BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pandangan Gennep (Winangun,1990 : 33) ketika seseorang memasuki masa peralihan (Rites of Passage) akan mengalami tiga proses, yaitu (1) Ritus pemisahan, yaitu ketika seseorang meninggal dan dimakamkan, orang tersebut akan pisah dengan sanak keluarga, dan memasuki cara hidup yang lain (2) Ritus peralihan, yaitu suatu pemindahan status dari tempat, umur tertentu ke status lain, misalkan kehamilan, supitan, tetesan dan sebagainya (3) Ritus Inkorporasi, yaitu ritus yang menyatukan, misalkan hubungan pernikahan. Pernikahan adalah menyatukan dua keluarga. Jepang adalah negara yang kaya akan tradisi dan budayanya. Jika kita membahas mengenai Jepang secara keseluruhan, ada hal yang tidak luput dari pandangan kita yaitu kebiasaaan masyarakat Jepang dengan tradisinya yang unik dan beragam. Meskipun Jepang dikenal sebagai negara maju, namun masyarakatnya tetap menjaga tradisi itu secara turun menurun seperti upacara minum teh, hari anak laki-laki, upacara pernikahan, dan masih banyak lainnya. Diantara semuanya, upacara pernikahan merupakan salah satu peristiwa terpenting didalam ritus-ritus kemanusiaan orang Jepang. Kebudayaan bersifat universal dimililki oleh setiap bangsa didunia ini. Hampir tiap bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Jepang merupakan salah satu negara didunia yang selalu berusaha memelihara dan melestarikan kebudayaan bangsanya. Bangsa Jepang umumnya dikenal sebagai bangsa yang mampu mengambil dan menarik manfaat dan hasil budidaya bangsa lain tanpa
Universitas Sumatera Utara
mengorbankan kepribadian sendiri. Selain itu juga sifat bangsa Jepang yang menunjukkan naluri yang sangat kuat untuk menjamin kelangsungan hidupnya serta meneruskan nilai-nilai budaya bangsanya. Banyak sikap dan sifat orang Jepang yang berkaitan erat dengan nilai-nilai penting yang harus dipertahankan didalam kehidupan masyarakat Jepang (Reishchaver, 1982:192). Koentjaraningrat (1997: 92) menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat hidupnya dibagi-bagi kedalam tingkat-tingkat. Tingkatan tersebut dinamakan tingkat-tingkat sepanjang daur hidup yang meliputi: masa bayi, masa anak-anak, masa remaja, masa dewasa, masa sesudah menikah, masa kehamilan, masa tua. Pada masa peralihan antara satu tingkat kehidupan ketingkat berikutnya biasanya diadakan pesta atau upacara yang bersifat universal. Penyelenggaraaan upacara tersebut disebabkan adanya kesadaran bahwa setiap tahap baru dalam daur hidup, menyebabkan masuknya seseorang kedalam lingkungan sosial yang baru dan lebih luas. Pada banyak bangsa, upacara daur hidup dilaksanakan sebagai upaya untuk menolak bahaya gaib yang timbul ketika masa peralihan. Disamping itu, upacara-upacara itu juga memilki fungsi sosial; antara lain memberitakan kepada khalayak ramai mengenai perubahan tingkat hidup yang telah dicapai. Upacara perkawinan adalah tahapan acara yang dilakukan mulai dari awal menentukan pasangan sampai kepada pesta pernikahan dan sesudahnya, yang mana didalamnya mengandung unsur unsur ritual dan nilai-nilai. Upacara perkawinan menurut Suyanto dan Narwoko (2004:207), adalah kegiatan-kegiatan yang telah dilazimkan dalam usaha mematangkan, melaksanakan dan menetapkan suatu perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
Bentuk perkawinan sangat erat kaitannya dengan bentuk keluarga. Dalam masyarakat Jepang dikenal ada dua buah konsep keluarga yaitu keluarga sebagai “Kazoku” dan keluarga sebagai “Ie”. Keluarga (Kazoku) menurut Situmorang (2006 : 22), adalah hubungan suami istri, hubungan orang tua dan anak dan diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut. Kazoku merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan komponen terpenting dalam pembentukan sistem kekerabatan dari kazoku inilah akan lahir sistem keluarga tradisional Jepang yang disebut dengan Ie. Ie (家), yang banyak diungkapkan dengan katakana (イエ ) adalah sekelompok orang yang tinggal disebuah lingkungan rumah memilki keterikatan antara anggota. Ikatan sosial para anggota khususnya dibidang kepercayaan (pemujaan), ekonomi dan moral (Situmorang 2000 : 98). Ariga Kizaemon dalam Situmorang (2006 : 24), mengatakan bahwa pada awalnya Ie terbentuk karena adanya pernikahan yaitu terbentuknya keluarga inti. Tetapi setelah mereka mempunyai anak dan apabila suami atau ibu didalam keluarga tersebut meninggal maka kepala keluarga tersebut diganti oleh anak lakilaki tertua. Jika keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki maka suami dari anak perempuan dapat diangkat menjadi kepala keluarga. Jadi dapat disimpulkan bahwa perbedaan Kazoku dengan Ie adalah bahwa Kazoku adalah sistem kekerabatan yang terbentuk hanya atas dasar hubungan suami istri, orang dan anak-anak dalam kurun waktu beberapa generasi saja,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan Ie anggota-anggotanya terdiri dari beberapa generasi meliputi anggota yang masih hidup dan mati. Peranan Nakoodo sangat penting sebagai perantara Ie dengan Ie dalam perkawinan di Jepang. Nakoodo adalah orang yang bertugas mencarikan pasangan calon pengantin. Berdasarkan pendapat Marta (1995 :6), perkawinan dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah “Kekkon” atau “Kon’in”. upacara perkawinan di Jepang dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: Shinzen kekkon shiki (perkawinan berdasarkan agama Shinto), Butsuzen kekkon shiki (perkawinan berdasarkan agama Budha) dan Kiritsutokyoo kekkon shiki (perkawinan bersarkan agama Kristen). Saat ini di Jepang, terdapat dua tata cara pernikahan yaitu, tata cara pernikahan modern yang dilangsungkan di gereja dengan sistem agama Kristen dan tata cara pernikahan tradisional yang dilangsungkan di kuil dengan sistem Budha atau Shinto. Masyarakat Jepang sendiri saat ini lebih tertarik pada upacara pernikahan dengan cara yang modern, yaitu menikah denngan tata cara Kristen di gereja meski keduanya tidak beragama Kristen, tetapi yang menikahkan keduanya tetap pendeta. Banyak diantara mereka tertarik dengan tata cara ini karena ingin memakai gaun pengantin berwarna putih yang indah serta disaksikan oleh keluarga, teman dan kerabat dekat. Oleh karena itu dalam penelitian ini, Aceh diambil sebagai bahan perbandingan kebudayaan untuk mewakili bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sedangkan untuk kajian Jepang yang diambil secara keseluruhan karena kebudayaan jepang dianggap bisa mewakili seluruh sub-sub di daerah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang memegang teguh adat istiadatnya. Jiwa adat yang sejalan dengan agama islam masih dikhayati oleh masyarakat Aceh, sesuai dengan ungkapan dalam adat Meukuta Alam/Adat Poteu Meureuhom, yakni: Hukom ngon Adat han jeut cre, lagee dzat ngon sipheut “Hukum dengan adat tidak bercerai, seperti tidak bercerainya zat dengan sifat” (Alamsyah, dkk, 1990:10). Jika dikaji ulang semua strata kehidupan dilaksanakan secara adat. Bagi masyarakat Aceh perkawinan bukan saja menyangkut penggabungan dua insan saja, tetapi lebih kepada penyatuan dua keluarga besar. Bentuk keluarga di Aceh dikenal dengan istilah “keluarga Batih” atau “rumah tangga”. Keluarga Batih adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah. Keluarga Batih merupakan kesatuan ekonomi dan kesatuan adat, dalam hal ini laki-laki lebih dititikberatkan tanggung jawabnya dalam usaha perekonomian, hubungan pemerintahan, dan kemasyarakatan. Sedangkan kaum wanita disamping bertugas membantu kaum laki-laki dalam berbagai usaha, juga peranannya lebih dituntut untuk mengurus rumah tangga dan pengasuhan anak. Secara garis besar upacara perkawinan masyarakat Aceh dibagi atas tiga tahapan yaitu: adat sebelum perkawinan, adat pelaksanaan perkawinan dan adat sesudah perkawinan. Di dalam ketiga tahapan tersebut mempunyai bagian-bagian tardisi yang unik dan syarat akan nilai. Makna perkawinan bagi masyarakat Aceh berdasarkan fungsi sosial perkawinan yaitu pasangan yang baru saja menikah, hidup bersama dalam satu ikatan, diakui dan disetujui oleh anggota-anggota masyarakat. Kepada mereka dituntut untuk bekerja sama antara sesamanya dan
Universitas Sumatera Utara
kadang-kadang dengan anggota kerabat lainnya dalam mengasuh rumah tangga (Suwondo, 1978:43). Satu diantara kegiatan yang khas pada upacara perkawinan di Aceh adalah Cah Ret. Alamsyah, dkk (1990:37), menyimpulkan bahwa Cah Ret adalah langkah awal dalam mencari jodoh yang dilakukan oleh ibu anak laki-laki ditemani oleh seorang atau dua orang wanita lain secara tidak resmi datang ke rumah gadis yang dimaksud. Alasan yang dicari umpamanya kalau dirumah itu ada orang sakit, datangnya untuk menjenguk orang sakit, atau jika didalam kebun pekarangan rumah gadis tersebut ada pohon buah-buahan, maka mereka berpurapura mencari buah-buahan. Dalam perkawinan tradisional masyarakat Aceh, orang yang bertugas sebagai perantara keluarga calon pengantin disebut dengan Seulangke (Alamsyah, dkk, 1990:38). Seulangke ditunjuk dari orang yang dituakan di dalam kampong yang cukup bijaksana, berwibawa, berpengaruh dan alim serta mengetahui selukbeluk adat perkawinan. Pada tradisi perkawinan di Aceh dikenal istilah “upacara mengantar tanda”. Mengantar tanda adalah pihak laki-laki menyerahkan “tanda” kepada pihak wanita sebagai ikatan. Tanda itu berupa bawaan, bawaan itu berupa bahan-bahan makanan, pakaian, dan sebagian dari mahar atau mas kawin (Soewondo, 1979:69). Pelaksanaan upacara ini dilakukan oleh Seulangke. Disamping Seulangke sebagai pelopornya, disertai juga orang-orang tua kampong, Keuchik, Tengku Meunasah, Ketua adat dan beberapa orang kaum kerabat dari pihak keluarga calon pengantin laki-laki
Universitas Sumatera Utara
Upacara mengantar tanda juga terdapat pada tradisi upacara perkawinan di Jepang.Menurut Situmorang dalam Dani (2005:20), menjelaskan bahwa buktibukti janji perkawinan yang berasal dari calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan disebut Yuuino. Benda pengikat dari bukti tersebut disebut Yuinomono yang biasanya terdiri dari sejumlah uang, barang tekstil, beras, sake dan lain-lain. Hal ini dipertegas lagi oleh Wibowo (2005:19), yang mengatakan bahwa tata cara untuk meresmikan kedua calon pengantin dalam masyarakat Jepang dimulai dari Yuinoo. Yuinoo dibagi dua yaitu Yuinoohin dan Yuinookin. Pertukaran barang-barang sebagai tanda pertunangan disebuat Yuinoohin, sedangkan pemberian uang sebanyak dua atau tiga bulan gaji calon pengantin pria disebut dengan Yuinookin. Sebagai balasan Yuinookin pihak akan memberikan setengah dari uang yang diterimanya. Pada dasarnya tahapan-tahapan upacara perkawinan dalam masyarakat Aceh dan masyarakat Jepang sama-sama memilki tiga fase yaitu: masa pra upacara perkawinan, upacara perkawinan, dan pasca perkawinan. Disamping mempunyai perbedaan dalam substansi kegiatan pada fase tersebut, namun setelah ditelaah lebih lanjut terdapat juga persamaan-persamaan upacara tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini akan berusaha mengungkapkan persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam upacara perkawinan tradisional masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh melalui judul skripsi “Perbandingan Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang Dan Masyarakat Aceh”.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Perumusan Masalah Salah satu wujud dari kebudayaan adalah sistem sosial, yaitu tindakan berpola dari masyarakat, terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan serta bergaul dengan yang lainnya. Sebagian rangkaian tersebut dapat di observasi, dikaji dan di dokumentasikan. Dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam hal perkawinan. Persamaan dan perbedaan terebut merupakan hal yang wajar dalam sebuah konsep perbandingan. Salah satu contoh persamaan adalah dalam menentukan pasangan. Di Jepang, menentukan pasangan dilakukan oleh seorang perantara yang disebut Nakoodo dengan melakukan penjajakan antar Ie, sedangkan dalam masyarakat Aceh menentukan pasangan dilakukan juga oleh perantara yang disebut Seulangke dengan melakukan kegiatan Cah Ret atau penjajakan. Persamaan yang lain adalah dalam hal bentuk perkawinan yang berkaitan erat dengan bentuk keluarga. Kemudian dalam hal pertunangan, masyarakat Jepang dan Masyarakat Aceh sama-sama melakukan pertunangan dengan menyerahkan benda-benda berharga sebagai syarat untuk melanjutkan ke jenjang perkawinan. Dalam masyarakat Jepang benda-benda tersebut dapat berupa uang, barang tekstil, beras, sake dan lain-lain. Tetapi di Aceh menurut Soewondo (1979:69), benda-benda yang dibawa adalah berupa bahan-bahan makanan , pakaian dan sebagian mahar atau mas kawin. Jadi, untuk mengetahui bagaimana perbandingan upacara perkawinan tradisional dalam masyarakat Jepang dan
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Aceh akan dilihat dari persamaan dan perbedaan upacara serta sistem perkawinannya. Dalam bentuk pertanyaan permasalahannya adalah: 1. Bagaimana bentuk keluarga dan tahapan upacara perkawinan masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh? 2. Apa saja persamaan dan perbedaan tahapan upacara perkawinan tradisional dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh? 1.3. Ruang Lingkup Pembahasan Adanya persamaan dan perbedaan dalam upacara perkawinan dalam masyarakat Jepang dan Aceh masyarakat merupakan hal menarik, karena Jepang dan Propinsi Aceh merupakan dua tempat yang berjauhan. Namun tidak menutup kemungkinan adanya persamaan unsur kebudayaan antara dua suku bangsa tersebut, terutama dalam tahapan upacara perkawinannya. Dengan demikian ruang lingkup pembahasannya terbatas pada persamaan dan perbedaan tahapan upacara perkawinan masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh serta unsur-unsur yang mempengaruhinya. Dalam menguraikan tahapan upacara perkawinan, penulis akan menggunakan beberapa konsep perkawinan dan kajian pranata perkawinan, juga mengenai bentuk keluarga, makna perkawinan, jenis – jenis perkawinan dan tahapan upacara perkawinan pada kedua masyarakat tersebut.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1. Tinjauan Pustaka Perkawinan adalah suatu transaksi dan kontrak yang sah dan resmi antara seorang pria dan wanita yang mengukuhkan hak mereka secara tetap (Haviland, 1993:77). Perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan biologisnya. Disamping itu perkawinan mempunyai beberapa fungsi yaitu melanjutkan generasi keluarga, memenuhi hak dan kewajiban sebagai suami istri, tentu juga memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu (Koentjaraningrat, 1997:93). Lebih lanjut Koentjaraningrat (1980:76), secara tegas menyatakan bahwa perkawinan mempunyai dua arti biologis dan sosiologis. Dipandang dari sudut biologis, perkawinan merupakan pengatur perilaku manusia yang berkaitan dengan seksual. Sedangkan dari sudut sosiologis, perkawinan memiliki beberapa fungsi yaitu memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan terhadap anak. Selain itu perkawinan juga memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup dan memenuhi akan status dalam masyarakat. Dengan menikah sepasang suami isteri akan membentuk suatu kesatuan sosial yang disebut rumah tangga, yaitu kesatuan yang mengurus ekonomi rumah tangganya (Haviland, 1993:105). Selanjutnya William dalam Hendry (1987:322323), menyatakan bahwa perkawinan merupakan rencana untuk meneruskan keturunan yang diberitakan pada masyarakat umum, diakui oleh masyarakat
Universitas Sumatera Utara
sebagai penyatuan seksual. Berdasarkan perjanjian perkawinan diuraikan hak dan kewajiban pasangan dan masa depan anak-anak. Di Jepang ada dua bentuk keluarga tradisional yaitu Kazoku dan Ie. Kazoku adalah general konsep dalam keluarga Jepang yaitu hubungan antar suami istri dan hubungan antara orang tua dengan anak diperluas pada hubungan persaudaraan. Keluarga tradisional Jepang cenderung merupakan keluarga besar. Dalam melanjutkan kehidupan keluarga tradisional tidak lepas dari pekerjaanpekerjaan yang religius. Keluarga yang telah mempunyai usaha, tradisi, simbolsimbol tertentu disebut dengan Ie. Jadi, yang dimaksud dengan Ie adalah keluarga yang anggota-anggotanya terdiri dari beberapa generasi dan telah mempunyai tradisi tertentu (Situmorang, 2005:45). Pada masyarakat tradisional Jepang, perkawinan yang sering terjadi adalah miakekkon, yaitu perkawinan yang dijodohkan oleh pihak ketiga dengan tujuan meneruskan keturunan sistem Ie. Pada masa sekarang miaikekkon sudah jarang terjadi yang digantikan oleh ren’ai kekkon, yaitu perkawinan atas dasar cinta. Sejak Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat yaitu sejak tahun 1970, menurut Situmorang (2005:18-19), bentuk-bentuk perkawinan menjadi beraneka ragam. Misalnya, perkawinan internasional, perkawinan tanpa melapor ke catatan sipil, perkawinan pisah rumah dan sebagainya. Tujuan perkawinan dalam masyarakat Jepang ada bermacam-macam. Pada masyarakat tradisional, perkawinan bertujuan untuk meneruskan keturunan Ie terutama bagi Shison (Putera pertama yang harus membawa istri ke dalam keluarga suami untuk menghasilkan keturunan). Sedangkan pada masyarakat pada
Universitas Sumatera Utara
masyarakat modern, perkawinan dilaksanakan atas dasar cinta sebagai landasan tunggal dan rasa saling membutuhkan antara kedua pihak yang melaksanakan perkawinan (Hendry, 1987:115). Bentuk keluarga pada masyarakat Aceh disebut keluarga batih (rumah tangga). Menurut Suwondo (1979:23), keluarga batih adalah bentuk keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Pada masyarakat Aceh, perkawinan dianggap sebagai suatu pekerjaan yang sangat suci, religi dan sakral. Orang tua yang mempunyai anak menginjak usia 15 tahun ke atas akan mengutus Seulangke untuk mencarikan pasangan yang cocok. Tujuannya adalah untuk terlaksananya perkawinan yang ideal menurut pandangan masyarakat Aceh. Dikatakan seimbang apabila berlangsung antara pasangan yang seimbang. Dalam istilah Aceh disebut “kawin sekufu”. Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan menurut ukuran keturunan, strata sosial, umur, kekayaan dan seimbang menurut ukuran bentuk dan paras (Suwondo, 1979:47). Dari penjelasan diatas ada kesamaan dari tujuan perkawinan menurut Koentjaraningrat, William dan Hendry yaitu perkawinan merupakan rencana untuk melanjutkan generasi keluarga. 1.4.2. Kerangka Teori Untuk membuktikan bahwa dalam sebuah perkawinan juga terdapat halhal yang mengungkapkan konsep perbandingan yaitu persamaan dan perbedaan, maka penulis akan menggunakan teori komparatif. Konsep perbandingan yang
Universitas Sumatera Utara
terdapat dalam kebudayaan yaitu perkawinan akan dijadikan sebagai tanda untuk di
interpretasikan
dengan
melihat
perilaku
dari
masyarakat
yang
melaksanakannya. Teori komparatif yang mengelompokkan masyarakat-masyarakat yang sama besarnya maupun sistem ekonominya, akan menganalisa bagaimana organisasi masyarakat tersebut disusun. Teori ini juga memperhatikan urutan yang sungguh-sungguh terjadi, bukan urutan-urutan imajiner yang disusun dari masyarakat yang terpisah jauh. Ruang dan waktu adalah satu usaha untuk membahas masalah-masalah penting dengan cara strategis yang bermanfaat (Keesing, 1992:2). Menurut Staruss (2000:12), ada beberapa teori yang dapat menjelaskan penyebab adanya persamaan pada dua kebudayaan yang berbeda dalam ilmu antropologi, teori tersebut adalah: 1. Teori Sruktualisme, menyatakan bahwa kebudayaan sebagai perwujudan yang tampak dari struktur mental yang terpengaruh oleh lingkungan fisik dan sosial kelompok maupun sejarahnya. Dengan demikian, dalam kebudayaan banyak terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya meskipun struktur proses berpikir manusia dianggap elementer. Oleh karena itu, kebudayaan bersifat universal sehingga menyebabkan kebudayaan itu dimana-mana sama. 2. Teori Difusianisme, menyatakan bahwa adanya persamaan unsur-unsur kebudayaan pada berbagai tempat di muka bumi, sebagai akibat dari
Universitas Sumatera Utara
hubungan antara bangsa pemilik kebudayaan yang bersangkutan dimasa lampau. Jadi, untuk memahami perkawinan secara perbandingan kita harus melihatnya sebagai suatu hubungan yang legal, menentukan pihak-pihak yang terlibat, hak-hak dan barang berharga apa saja yaitu tukarkan. Semua itu ditujukan untuk siapa dibagi-bagikan,antara siapa dan kepentingan apa saja yang terdapat pada individu maupun kelompok yang akan mendapatkan keuntungan dari persetujuan kontrak yang seperti itu. 1.5. Tujuan dan Manfaat penelitian 1.5.1. Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui sistem perkawinan masyarakat Jepang dan unsur-unsur yang mempengaruhinya. 2. Untuk mengetahui sistem perkawinan masyarakat Aceh dan unsur-unsur yang mempengaruhinya. 3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan tahapan upacara perkawinan tradisional masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh. 1.5.2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai tahapan upacara perkawinan tradisional masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh. 2. Memberikan pengetahuan bagi orang yang akan menikah dengan orang Jepang atau orang Aceh. 1.6. Metode Penelitian Bentuk penelitian adalah penelitian sosial, karena objek kerjanya adalah manusia dan interaksi manusia (Djojo Suroto, 2000:1). Metode yang digunakan dalam metode penelitian adalah metode deskriptip. Deskriptip menurut Mulyadi (2004:51), adalah tulisan yang menggambarkan bentuk objek pengamatan. Disamping itu, penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan sutudi aktifitas yang sangat penting dalam penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek perlu dicari dan diteliti meliputi: masalah, teori, konsep, dan penarikan kesimpulan (Nasution, 1946:14). Dengan kata lain studi kepustakaan adalah pengumpulan dengan cara membaca buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini. Data yang diperoleh dari referensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan. Teknik penelitian yang digunakan adalah meneliti data berupa buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Jadi teknik pengumpulan data yang digunakan adalah library research. Selain itu, penulis juga mengambil data-data dari situs internet.
Universitas Sumatera Utara