BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Menjadi Bali tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi jika sebelumnya telah mengalami keterputusan budaya dari tanah asalnya. Ketidakhadiran di dalam aktivitas kolektif masa lalu akan mengalami proses pembatinan, kemudian direproduksi sebagai pengetahuan dan kebenaran di masa kini dan akan datang. Kondisi itu membeku dan sulit dicairkan meskipun modal genealogis menubuh dalam wujud kekerabatan, bahasa, agama, dan kebudayaan. Tesis ini mengkaji tentang pergulatan identitas petani Bali perantau1 yang kembali ke tanah asal. Mereka adalah orang-orang Bali yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian dan memutuskan untuk ikut Program Transmigrasi Petani Teladan Orde Baru ke Timor Timur sejak 1980-an. Pemberangkatan dilakukan secara bergelombang hingga 1990-an. Hasil referendum2 yang diumumkan pada 30 Agustus 1999 dan dimenangkan pihak pro kemerdekaan
1
Penulis menggunakan istilah “petani Bali eks transmigran Timor Timur” atau lebih ringkas dengan menyebut “pengungsi Bali” atau “petani Bali perantau”. Ketiganya mengandung substansi yang sama yakni orang Bali yang bertransmigrasi ke Timor-Timor dan kembali ke tanah asal pasca referendum.
2
Referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat adalah agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas kekacauan politik yang terjadi di Timor Timur. Hasilnya diumumkan pada 30 Agustus 1999 dan dimenangkan oleh kelompok pro kemerdekaan. Dengan demikian, dapat dikatakan sejak pengumuman hasil referendum tersebut Timor Timur telah mendapatkan hak kemerdekaaannya dari Republik Indonesia.
22
mengakibatkan orang - orang Indonesia termasuk transmigran Bali diungsikan ke daerah asalnya masing-masing. Ketercerabutan identitas telah menjadikan orang Bali perantau sebagai “orang lain” dan mendapat penolakan di dalam lingkungan sosial tanah asal. Hal tersebut disebabkan kehadiran dan usaha untuk mengakrabkan diri dengan tanah asal bertepatan dengan proses transisi sosial, politik dan kebudayaan Bali dari Orde Baru menuju reformasi. Perubahan-perubahan itu tidak terlalu bersahabat dengan identitas yang melekat padanya. Muncul semacam “gagal paham” atau paling tidak bisa disebut kesenjangan antara apa yang dibayangkan dengan apa yang menjadi kenyataan. Ada empat hal yang menandai dinamika Bali pasca Orde Baru dan menjadi landasan bagi orang Bali ketika mempersepsikan orang lain. Pertama, Bali pada tahun 1999 mengalami transisi politik, yakni pengalihan kekuasaan dari kelompok pro Orde Baru kepada kaum Soekarnois yang anti Orde Baru. Beberapa di antaranya bahkan dilakukan secara berdarah-darah.3 Kedua, adanya penguatan unsur-unsur lokal. Bila di masa Orde Baru kedudukan adat tidak lebih sebagai 3
Peralihan kekuasaan yang berdarah-darah itu melibatkan dua partai politik, Orde Baru yang direpresentasikan oleh Golkar pada satu sisi dan PNI dalam wujud Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Jatuhnya Orde Baru memberi kesempatan bagi kelompok-kelompok anti Orde Baru yang tergabung ke dalam PDI-P. Golkarisasi yang dilakukan selama 32 tahun masa kekuasaan Orde Baru menyisakan dendam yang harus dituntaskan. Situasi tersebut kerap memposisikan keduanya dalam perselisihan yang berakhir dengan kekerasan. Dua di antara kasus-kasus kekerasan berlatar kepartaian di Bali pasca Orde Baru bisa dilihat pada kasus desa Petandakan-Buleleng. Lihat I Gede Made Metera, “Epilog Menyuarakan Kebisuan Korban Kekerasan di Pulau Kahyangan,” dalam Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern Bara di Bali Utara, I Ngurah Suryawan, (Jakarta : Prenada, 2010), hlm. 436.
23
legitimasi kebijakan negara berwujud dinas, melalui produk hukum reformasi, adat memperoleh kekuatan mereposisi tugas dan fungsinya untuk ikut menentukan arah kebijakan negara.4 Ketiga, penguatan suprastruktur lokal segera menegaskan diri ke dalam sikap keagamaan orang Bali. Perbedaan pemikiran terhadap penyebutan istilah “Hindu”5 mengakibatkan kelompok-kelompok dominan pasca Orde Baru melakukan perubahan-perubahan atas nama pelestarian kebudayaan Bali. Akibatnya, agama Hindu tidak lagi dipahami sebagai payung kerohanian berbagai etnis, tetapi telah mengalami penyempitan makna.6 Keempat, 4
Era reformasi telah membawa perubahan nama desa adat menjadi desa pekraman yang dianggap sebagai keputusan politik dan menjadi hukum berdasarkan pertimbangan bahwa Peraturan No.06 1986 sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan digantikan dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 tahun 2001 tentang Desa Pekraman. Lihat I Wayan Surpha, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, (Denpasar : Pustaka Bali Post, 2004), hal. 9. Jatuhnya rezim Orde Baru dan kemunculan era reformasi memberi ruang bebas bagi penguatan sistem ke-adat-an orang Bali berwujud “desa adat” yang selama ini tumbuh dan berkembang di bawah bayang-bayang “desa dinas”. Selama itu, “desa adat” tidak lebih dari “alat” “desa dinas” di bawah kontrol rezim dalam fungsinya untuk memobilisasi massa. Ketaatan orang Bali terhadap sesuatu yang disebut “adat” dan dilembagakan dalam bentuk suprastruktur “desa adat” menjadi kunci bagi “desa dinas” sebagai perpanjangan tangan rezim untuk mengatur ketertiban dan bahkan kemudian mereproduksi kepatuhan. Lihat Carrol Warren, “Adat Dalam Praktik dan Wacana Orang Bali : Memposisikan Prinsip Kewargaan dan Kesejahteraan Bersama (Commonweal),” dalam Jamie Davidson, David Henley dan Sandra Moniaga (ed), Adat Dalam Politik Indonesia, (Jakarta : Obor, 2010), hlm. 190.
5
Lihat Andrea Acri, “A New Perspektif for Balinese Hinduism in the Light of the Pre-Modern Religious Discourse : A Textual-Historical Approach,” dalam The Politics of Religion in Indonesia : Sycretism, Orthodoxy and Religious Contention in Java and Bali, Michel Picard and Remy Madinier, ed. (London and New York : Routledge, 2011), hlm. 146.
6
Agama Hindu yang dipahami oleh kelompok dominan di Bali bergeser dan tidak lagi bermakna universal sebagai pengayom umat secara umum. Hindu pasca Orde Baru mengalami “pembalian” atau keberulangan sebagaimana konsep agama tirtha yang diperjuangkan sebelumnya. Geertz menyebutnya sebagai
24
menguatnya sentimen suku dan agama yang disebabkan oleh beberapa kasus berlatar suku, ras, agama dan antargolongan (SARA). Sentimen itu menguat dan pada akhirnya menggumpal ke dalam sebuah gerakan kultural ajeg Bali pasca Bom Bali I tahun 2002. Masalah identitas tidak bisa dilepaskan dari konteks etnis dan agama. Bali perantau secara genealogis adalah orang Bali. Mereka berbahasa Bali, bernama Bali dan beragama Hindu. Diskusi panjang melibatkan intelektual organik7
pembatinan agama orang Bali atau “Baliisme”. Lihat Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan. Fransisco Budi Hardiman (penerjemah), (Yogyakarta : Kanisius, 1992), hlm. 137. Hal ini tidak terlepas dari upaya mengantisipasi pengaruh indianisasi dan gerakan reformasi Hindu di India yang dibawa oleh cendikiawancendikiawan Bali yang belajar di sana dalam wujud sampradaya seperti Sai Baba, Hare Krishna, Ananda Marga dan lain sebagainya. Lihat Leo Howe, The Changing World of Bali : Religion, Society and Tourism, (London and New York : Routledge, 2005), hlm. 96-99. Pada tahun 2001 misalnya muncul Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) versi Campuhan atau lebih dikenal dengan nama Parisadha Hindu Dharma Bali (PHDB) untuk merespon kinerja PHDI pusat yang dinilai lambat dalam mengayomi umat. Kenyataannya, upaya ini terperosok ke dalam primordialisme agama Hindu yang berporos pada Bali. Etnis-etnis luar Bali yang berkeinginan menjadi Hindu secara tidak langsung dipaksakan menerima agama Hindu yang telah “dibalikan” atau dengan kata lain terjadi Balinisasi terhadap etnis-etnis luar Bali. Lihat Putu Setia, Kebangkitan Hindu Menyongsong Abad ke-21, (Denpasar : Pustaka Manik Geni, 1993), hlm. 6-7 ; Lihat juga Martin Ramstedt, “Menafsirkan Kembali Tata Norma Bali Pasca Orde Baru : Persoalan Tanah dan Kegalauan Makna ke-Bali-an,” dalam Kegalauan Identitas : Agama, Etnisitas dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca Orde Baru, Martin Ramstedt dan Fadjar Ibnu Thufail, ed. (Jakarta : Grasindo, 2011), hlm. 50-51.
7
Istilah intelektual organik digunakan untuk membedakannya dengan pengertian intelektual secara umum. Konsep intelektual organik yang digunakan mengacu pada Gramsci yang membagi intelektual menjadi dua yakni tradisional dan organik. Intelektual organik adalah intelektual yang kehadirannya terkait dengan struktur produktif dan politik masyarakat yakni kelompok atau kelas yang mereka wakili. Mereka tampil sebagai fungsionaris atau deputi kelompok penguasa yang aktivitas intelektualnya diarahkan untuk memproduksi dan menyebarkan filsafat, teori politik maupun ekonomi dan sebagainya. Sementara intelektual tradisional adalah semua orang yang menunjukkan aktivitas keintelektualan. Lihat Antonio Gramsci, Selection From The Prison Notebook,
25
maupun tradisional tentang Bali pasca Orde Baru menghasilkan satu pemikiran bahwa untuk bisa diakui sebagai Bali, identitas keagamaan sangat penting dan menjadi penanda awal.8 Menjadi Bali wajib menjadi Hindu. Tetapi menjadi Hindu belum bisa diakui sebagai Bali. Oleh karena itu, perlu dimaknai terlebih dahulu kata “Bali” dalam kedudukan dan fungsinya ketika menjelaskan identitas kebalian.9 Warren mendefinisikan “Bali” sebagai produk kebudayaan yang
edited and translated by Quintin Hoare and Geofrey Nowell Smith (New York : International Publisher, 1971), hlm. 5, 9, dan 12.
8
Michel Picard, “What’s in a Name? Agama Hindu Bali in The Making” dalam Hinduism in Modern Indonesia: Minority Religion Between Local, National and Global Interest, Martin Ramstedt, ed. (London&New York : RoutledgeCurzon, 2004), hlm. 64-65.
9
Kebalian adalah wacana politik representasi orang Bali pasca Orde Baru untuk menegaskan posisi mereka ketika berhadapan dengan kepentingankepentingan ekonomi luar Bali. Sebelumnya, orang Bali tidak menghadirkan dirinya sebagai Bali, tetapi lebih pada identitas yang dibenturkan dalam lingkup etnisitas. Contoh, antara siapa yang disebut Bali aga dan siapa yang disebut Bali Majapahit. Lihat Thomas A. Reuter, “Mythical Centres and Modern Margins : A Short History of Encounters, Crises, Marginality and Social Change in Highland Bali,” dalam Inequality, Crisis and Social Change in Indonesia : The Muted Worlds of Bali, Thomas A. Reuter, ed. (London and New York : RouledgeCurzon, 2003), hlm. 169-170. Di era Majapahit dan berlanjut hingga era kolonial Belanda, mencari Bali yang “asli” muncul dalam benturan-benturan kewangsaan antara dua kelompok yakni Surya Kanta yang beranggotakan jabawangsa dan Bali Adnyana yang beranggotakan triwangsa. Lihat AAGN Ari Dwipayana, Kelas Kasta : Pergulatan Identitas Kelas Menengah Bali, (Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama, 2001), hlm. 228-232. Lihat juga penjelasan Henk Scholte Nordholt, “From Wangsa to Bangsa : Subaltern Voices and Personal Ambivalences in 1930s Colonial Bali” dalam To Change Bali : Essay in Honour of Gusti Ngurah Bagus, Adrian Vickers, I Nyoman Darma Putra dan Michele Ford, ed. (Denpasar : Bali Post, 2000), hlm. 74-75. Pada masa perjuangan kemerdekaan muncul identitas pembeda kebalian dalam wujud gerakan dari golongan republikan yang pro dengan konsep nasionalisme Soekarno dan Negara Kesatuan Republik Indonesianya serta golongan regional yang pro dengan konsep negara federal. Lihat Putu Sastra Wingarta, Meboya : Kearifan Lokal Buleleng dan Restorasi Nilainya, (Yogyakarta : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2009), hlm. 91.
26
berpusat di desa adat.10 Alasannya, di dalam jejaring sosial desa adat-lah, pembali-hinduan dilakukan untuk pertama kali.11 Dengan begitu, menjadi bagian terintegral dari desa adat secara tidak langsung akan memberi pengakuan kebalian sekaligus perlindungan dan rasa aman atas dasar solidaritas etnis dan agama. Berdasarkan hal tersebut, kesadaran identitas ke-“Bali” an orang Bali perantau telah muncul dengan sendirinya ketika mereka tiba di tanah asal pada September 1999 dan menjadi saksi sekaligus korban amuk massa satu bulan kemudian. Oleh sebab itu, menjadi bagian desa adat merupakan satu kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar. Persoalannya, desa adat asal bukan lagi tempat yang aman dan nyaman karena dinamika politik Bali pasca Orde Baru. Dua kelompok yang berselisih antara yang pro Orde Baru dan anti Orde Baru tidak hanya berlangsung di tingkat elit politik, melainkan telah merambah domain adat. Di masa Orde Baru, orang atau kelompok yang ditempatkan sebagai pengambil keputusan di dalam struktur kepengurusan desa adat adalah pihak yang loyal dengan pemerintah, sedangkan yang antipemerintah dipinggirkan. Keruntuhan Orde Baru adalah nilai positif bagi kelompok terpinggir ini untuk bersuara dan memperlihatkan eksistensinya.
10
Carol Warren, “Adat and Dinas : Village and State in Contemporary Bali” dalam State and Society in Bali, Hildred Geertz, ed. (Leiden : KITLV Press, 1991), hlm. 213-214.
11
Keluarga atau kuren (dalam bahasa antroplogi berarti keluarga batih atau keluarga inti yang terdiri dari ayah ibu dan anak) adalah ruang pertama dan utama yang memegang peranan penting dalam proses pembali-hinduan. Alasannya, di dalam keluargalah proses belajar “menjadi” (becoming) itu intensif dilakukan dan dimulai dengan penyelenggaraan siklus kehidupan manusia Bali dari dalam kandungan hingga kematian.
27
Suksesi kekuasaan pada tingkat adat bersamaan dengan keinginan orang Bali perantau untuk menjadi bagian desa adat asal. Namun, phobia berlebihan yang diperlihatkan elit adat baru terhadap “bahaya laten” Orde Baru diwujudkan dalam penolakan kehadiran Bali perantau. Alasan berupa adanya hubungan kekerabatan dan emosional dengan kelompok pro Orde Baru dibungkus dalam selubung kebudayaan, beban ekonomi dan aspek psikologis yang saling berkelindan. Menolak retransmigrasi yang ditawarkan pemerintah dengan beberapa pertimbangan dan lebih memilih direlokasi ke kawasan Bali barat12 menyisakan beberapa permasalahan. Namun, jika jawaban yang dicari berasal dari pemerintah dan isinya menyatakan bahwa Bali barat adalah tanah negara, tentu saja proses pengerjaan tesis ini telah selesai. Hal yang lebih penting dari itu bahwa kawasan Bali barat secara geografis dan historis menggambarkan terra incognita.13. Ada wacana-wacana tersembunyi yang menjadi perlu untuk diungkapkan. Secara geografis, Bali barat jauh dari akses politik dan ekonomi. Selain itu, kawasan ini bukan diperuntukan pertanian lahan basah. J.L Swellengrebel 12
Kawasan Bali barat yang dimaksud adalah kawasan yang menjadi batas wilayah kabupaten Buleleng dan kabupaten Jembrana. Lebih tepat disebut sebagai Bali utara bagian barat karena secara administratif merupakan wilayah terluar dari Bali utara atau kabupaten Buleleng yang berbatasan langsung dengan kabupaten Jembrana. Jadi, istilah “Bali barat” dipilih untuk menyebut wilayah ini untuk efisiensi kata dan kalimat. Jauh di masa kerajaan hingga saat ini, imajinasi orang Bali tentang kawasan Bali barat ini relatif sama. Penjelasan yang lebih mendalam akan dibahas pada Bab II.
13
Terra Incognita berarti tanah yang tidak terketahui (the unknown land). Istilah ini sengaja penulis pilih untuk mendeskripsikan kawasan Bali barat sebagai kawasan “pinggiran” Bali.
28
mengatakan basis kebudayaan Bali adalah sawah, sehingga pusat-pusat kebudayaan Bali lebih banyak ditemukan di Bali selatan, tengah, timur, dan beberapa daerah Bali utara yang memiliki sumber air dengan tekstur tanah yang subur.14 Dengan demikian, bisa dikatakan Bali barat bukan salah satu pusat dari kebudayaan Bali melainkan daerah “pinggiran” ketika membicarakan Bali pada konteks kebudayaan. Secara historis, kawasan Bali barat adalah “tumbal politik” kebijakan kolonial Belanda yang menolak hasrat kapitalisme swasta Eropa untuk mendirikan perkebunan di Bali selatan. Sebagai gantinya diberikan wilayah Bali barat yang secara demografi jarang penduduk dan bukan berorientasi pada jenis pertanian sawah karena tidak memiliki sumber mata air. Liefrinck15 beranggapan jika keinginan swasta Eropa mendirikan perkebunan di Bali selatan diloloskan akan berdampak negatif pada keberlangsungan kebudayaan Bali. pada waktu yang bersamaan, di tahun 1920-an, pemerintah kolonial Belanda sedang merealisasikan program politik “Balisering”,16 yakni sebuah program mem-“Bali” kan orang Bali dan menjadikannya “museum” hidup sekaligus melindungi dari hal-hal yang
14
Lihat J.L Swellengrebel, “Introduction” dalam Bali : Studies in Life, Thought and Ritual, Dutch Scholars, ed. (Amsterdam : The Royal Tropical Institute, 1969), hlm. 1-2.
15
Liefricnk merupakan residen Bali dan Lombok antara tahun 1896-1901. Kembali ke Bali tahun 1906 dan mempublikasi tulisan-tulisannya tentang Bali periode 1910-1921.
16
Kajian “Baliseering” secara mendalam bisa dilihat pada Tessel Pollman, “Bali Kolonial Cultuurservant in Ons Indie”, dalam De Gids, 154, No. 5/6 (Mei/Juni 1991), hlm, 1-35.
29
dianggap memberi dampak negatif bagi keberlangsungannya seperti dakwah Islam, missi dan zending ke-Kristen-an Barat. Desa di mana Bali perantau direlokasi sejak tahun 2000 yakni desa Sumberklampok merupakan wilayah eks perkebunan kolonial Belanda dengan hasil utamanya berupa kelapa. Perubahan rezim mengakibatkan adanya pergantian kepemilikan dan berubah menjadi sengketa lahan antara negara dengan penduduk setempat yang mengklaim diri sebagai keturunan eks pekerja perkebunan kolonial Belanda yang terdiri dari tiga etnis besar yakni Bali, Madura dan Jawa. Keberadaan Hutan Taman Nasional Bali Barat dengan satwa endemik Jalak Bali sering menjadi alat bagi negara untuk melakukan rehutanisasi kawasan ini dan mengirim penghuninya ke daerah lain melalui program transmigrasi atau dikembalikan ke daerah asal.17 Namun, usaha itu tidak pernah berhasil, sebab selalu mendapat penolakan dari penduduk dengan alasan bahwa tanah kawasan telah menjadi “tumpah darah” dan merasa memiliki hak hidup sebagai keturunan pekerja eks perkebunan Belanda.18 Hal yang menjadi persoalan terhadap pergulatan identitas Bali perantau di kawasan ini bahwa penduduk setempat yang terdiri dari tiga etnis tersebut memiliki ikatan kuat terhadap perjanjian masa lalu yang dituangkan ke dalam cerita babad, yakni babad cendek. Faktor ini menjadi perekat integrasi sosial antaretnis dan antaragama untuk memperjuangkan kepemilikan tanah sejak 1967. Kehadiran orang-orang Bali perantau memunculkan dikotomi antara siapa yang 17
Lihat “Siapa Pencuri Jalak Bali”, Editor No.29/THN.IV/Maret 1991.
18
Lihat “Sumberklampok Desa Tanpa Wilayah”, Harian Nusa Tenggara, 3 Februari 1991.
30
pantas disebut penduduk “asli” dan siapa yang disebut “pendatang” walaupun penanda-penanda kebalian19 seperti banjar adat telah dibentuk sejak tahun 2002.
1.2 Rumusan Masalah Tesis ini memberi perhatian khusus pada dimensi politik, sosial, dan kebudayaan di Bali pada awal reformasi sebagai landasan untuk melihat perubahan persepsi orang Bali. Pasca Orde Baru, adat menguat dan mulai mempertanyakan eksistensi dirinya sebagai dampak diterapkannya produk hukum reformasi, yakni UU No.22 tahun 1999. Legitimasi yang dibangun merupakan stimulus produk hukum pasca Orde Baru yang disakralkan dan disahkan dengan menarik garis masa lalu bahkan jauh ke belakang.20 Namun demikian, upaya untuk menutupi keterputusan ikatan dengan Orde Baru yang dibenci dan dicaci justru menghadirkan konsep adat yang dibangun di atas puing-puing rezim yang telah runtuh. Dengan kata lain, orangnya diganti, tetapi sistemnya tetap berjalan
19
Istilah kebalian tanpa tanda (-) digunakan untuk melihat pem-benda-an terhadap kebudayaan Bali pasca Orde Baru dari perspektif yang umum berkembang dan disebarkan melalui media massa dan tayangan televisi. Pada sisi yang lain, penggunaan tanda baca dan istilah ke-“Bali” an berfungsi memposisikan diri ketika melakukan kritik terhadap konsep ajeg Bali.
20
Salah satu contoh misalnya dengan menghilangkan kata “adat” pada “desa adat” dan menggantikannya dengan kata “pakraman atau pekraman”. Istilah adat berasal dari Arab, sedangkan “pekraman” dipilih karena dianggap memiliki unsur bahasa Sansekerta. Hal ini sejalan dengan kata “desa” yang juga berasal dari bahasa Sansekerta sehingga keduanya sesuai dengan jiwa zamannya. Dengan pemberlakuan itu, maka semua desa adat di Bali memiliki label “pekraman” di belakangnya. Contoh Desa Pekraman Pejarakan.
31
dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan.21 Redefinisi ke“Bali” an yang berfondasikan adat itu pada akhirnya terjebak ke dalam persoalan politik dan ideologi kepartaian yang mengkotak-kotakkan orang Bali pasca Orde Baru.22 Pada periode ini petani Bali perantau datang berstatus pengungsi. Ketidakhadirannya dalam ruang sosial orang Bali dan direproduksi sebagai pengetahuan
ketika
menjadi
Petani
Teladan
menghasilkan
“periode
kekosongan”.23 Alasan itu digunakan sebagai senjata untuk meminggirkan karena mereka adalah beban baru yang tidak diharapkan dalam proses mental orang Bali 21
Pada masa Orde Baru, desa adat di Bali sering dijadikan penggerak massa atau melancarkan program-program pemerintah. Oleh karena itu, petinggipetinggi desa adat harus diisi oleh orang-orang yang pro pemerintah selain mendudukkannya di bawah desa dinas. Pasca Orde Baru, kelompok anti pemerintah mulai memperlihatkan keberadaannya bahkan pada tingkat desa adat. Mereka adalah kelompok yang terpinggirkan yang membatinkan diskriminasi yang dilakukan negara terhadapnya. Dengan segera, mereka mengganti petinggipetinggi desa adat yang pro Orde Baru. Di beberapa tempat di Bali, proses itu bahkan berlangsung secara berdarah-darah.
22
Bali utara atau kabupaten Buleleng merupakan salah satu daerah di Bali yang memperlihatkan dinamika penuh gejolak pasca Orde Baru berkaitan dengan politisasi adat dibandingkan daerah lainnya. Sebagai contoh ketika memilih bupati, masyarakat Buleleng tidak terpecah hanya karena dari keturunan (baca : biasanya merujuk pada kawitan mana calon bupati bersangkutan berasal, keberpihakan lebih disebabkan oleh faktor ideologi kepartaian. Ada dua partai besar yang memiliki pengaruh, massa dan masa lalu yang kuat di Buleleng yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Golongan Karya (Golkar). Hal ini lumrah melihat kondisi masyarakat Buleleng yang egaliter, heterogen dan daerah pertama yang menerima modernitas Belanda sejak tahun 1849 pasca puputan Jagaraga.
23
Periode kekosongan meliputi waktu antara 1980-an – 1999 yakni waktu keberangkatan dan waktu kehadiran. Periode kekosongan mengakibatkan orang Bali perantau absen di dalam aktivitas orang Bali beberapa waktu. Apalagi jika aktivitas sosial itu menyangkut kehidupan kolektif di dalam desa adat. Menegosiasikan antara kondisi sosial dan upaya untuk menyatu ke dalam adat merupakan hal yang sulit dilakukan dalam waktu singkat.
32
ketika sedang menentukan format baru atas dirinya. Ketercerabutan identitas adat menjadi sebuah fakta sosial di masa lalu yang tidak bisa diganggu gugat dan hadir sebagai kebekuan yang sulit dicairkan. Berdasarkan persoalan di atas, penelitian ini berusaha untuk menjawab dua pertanyaan pokok. Pertama, mengapa muncul penolakan terhadap kehadiran petani Bali eks transmigran Timor Timur di tanah asalnya?. Pertanyaan pokok tersebut menghasilkan beberapa pertanyaan turunan yakni sejauh mana dan dalam hal apa transisi pada masyarakat Bali memberikan pengaruh untuk menentukan cara pandang ke-“Bali” an kepada petani Bali eks transmigran Timor Timur?. Apa yang terjadi pada petani Bali perantau di tengah transisi masyarakat Bali itu?. Lalu bagaimana keduanya, baik orang Bali sendiri dan petani Bali eks transmigran Timor Timur merespon masalah-masalah yang berkaitan dengan format identitas kebalian?. Pertanyaan pokok kedua adalah mengapa Bali barat dipilih sebagai tempat relokasi ratusan kepala keluarga petani Bali eks transmigran Timor Timur?. Pertanyaan pokok ini menghasilkan beberapa pertanyaan turunan yakni gambaran seperti apa yang melatarbelakangi pemilihan relokasi Bali barat?. Usaha-usaha apa yang dilakukan untuk memulihkan identitas seperti semula?. Mengapa usahausaha itu mengalami kegagalan?. Masalah-masalah seperti apa yang dihadapi selain usaha-usaha pemulihan identitas?. Lalu apa hubungan peminggiran mereka ke Bali barat dengan wacana kebalian yang menggumpal pasca Bom Bali I ?.
33
1.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penulisan tesis ini berkisar pada mempertanyakan identitas ke-“Bali ” an pengungsi Bali di tanah asal. Periode yang dipakai dalam penelitian ini dimulai dari 1999 sampai 2005. Tahun 1999 dipakai sebagai awalan dengan alasan bahwa kedatangan petani Bali eks transmigran Timor Timur di tanah asal bertepatan dengan transisi sosial, politik, dan kebudayaan manusia Bali. Berposisi sebagai korban sekaligus saksi peristiwa amuk massa Bali Oktober 1999 mengakibatkan kebutuhan menjadi bagian dari desa adat begitu penting, sebab adat akan memberikan pengakuan di samping pemulihan identitas karena ketercerabutan serta rasa aman atas dasar etnis dan agama. Namun, keinginan itu terbentur dengan suksesi kekuasaan di dalam tubuh adat. Mereka tidak saja dianggap beban limpahan pemerintah dan adanya konflik bipolar melibatkan dua kelompok yang berselisih, tetapi juga dicap memiliki hubungan kekerabatan dan emosional dengan kelompok pro Orde Baru. Salah satu sikap menolak kehadiran adalah tidak dilakukannya proses penjemputan orang Bali perantau yang telah ditempatkan di kantor-kantor pemerintahan. Padahal, ketika tiba di Bali antara 1417 September 1999, telah diinstruksikan dari Pemerintah Provinsi Bali kepada pihak bupati daerah asal serta desa adat setempat untuk mengambil warganya dan dibawa ke desa masing-masing. Keinginan menjadi Bali adalah sebuah proses yang tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Selalu ada negosiasi yang berproses menjadi (becoming). Tahun 2005 dipakai sebagai batas akhir dari tesis ini dengan alasan bahwa usaha meredefinisi ke-“Bali” an di Bali barat telah mengalami perubahan yang berarti.
34
Hal yang dipikirkan dan dilakukan bukan lagi sekedar apa yang tampak sebagai citra diri terlihat baik bagi orang lain melainkan lebih kepada penguatan dari dalam diri yang ditandai dengan semakin berkurangnya gejolak di dalam tubuh komunitas petani Bali. Tujuan utamanya adalah mencairkan dikotomi “asli” dan “tidak asli”. Di samping hal tersebut, tahun 2005 menjadi awal kevakuman aktivitas menuntut hak tanah, sebab, setelah tahun 2005 tidak ada lagi gerakan massa besar yang dilakukan seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Cakupan temporal yang dipakai tidak secara langsung menunjukkan periodisasi, sebab dalam perkembangan sosial dan sejarah tidak ada awal maupun akhir24. Biarpun terikat pada suatu cakupan temporal, tesis ini ini tidak akan disusun menggunakan pembagian waktu yang jelas dan tajam atas dasar peristiwa-peristiwa penting seperti yang umum digunakan dalam sejarah politik, melainkan pembagian berdasarkan tema-tema.25 Setiap tema ditulis secara melingkar, artinya berangkat dari masa kini26 untuk kembali ke masa lampau
24
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Machmoed Effendhie dan Punang Amaripudja penerjemah, (Yogyakarta, Matabangsa, 2002, hlm.1.
25
Dikembangkan dari pemikiran Sartono Kartodirdjo, “Kata Pengantar” dalam Nusa Jawa, Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu I, II, III, Denys Lombard. (Jakarta : PT Gramedia, 1996), hlm.xv.
26
Metode penulisan sejarah yang berangkat dari peristiwa kekinian merupakan anjuran dari James Vernon, sejarawan Inggris untuk menghadapi serbuan kaum posmodernisme. Sejak tahun 1980-an, pendukung teori posmodernisme menyatakan bahwa tulisan sejarah hanya sebuah wacana. Mereka menyerang pandangan sejarah ilmiah yang ditulis berdasarkan data primer. Pertanyaan mereka bukan “apa itu sejarah”, melainkan “apakah mungkin sejarawan menyusun sejarah secara utuh”. Dalan upaya menghadapi serangan itu, James Vernon menganjurkan sejarawan mengerjakan sejarah intelektual zaman
35
sebagai lacakan bukan fokus kajian (historical comparative),27 lalu berjalan secara linear menuju ke titik tolak masa kini. Melalui cara penulisan sejarah yang tematis, akan ditemukan alasan penolakan kehadiran dan penempatan di Bali barat yang multidimensional. Tesis ini terbagi ke dalam dua wilayah penelitian. Wilayah pertama mencakup pulau Bali. Penulis memfokuskan pembahasan mengenai beberapa peristiwa yang terjadi di Bali antara 1999-2000 dan pada saat yang bersamaan petani Bali eks transmigran Timor Timur tiba di tanah asal. Wilayah kedua mencakup kawasan Bali barat, yakni tempat direlokasinya petani Bali eks transmigran Timor Timur dengan mengambil rentang waktu antara 2000-2005.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1
Tujuan Penelitian Pemilihan tema tesis ini dimotivasi oleh dua hal. Pertama, tema ini
merupakan tema baru dan belum ada satu akademisi Bali atau luar Bali pun yang mengkajinya. Beberapa karya akademisi Bali maupun luar Bali pasca Orde Baru yang ditemukan tidak ada yang menyinggung persoalan ini. Keberadaan petani Bali eks transmigran Timor Timur yang bertepatan dengan transisi masyarakat Bali terlewatkan dan tenggelam dalam cerita bisu dari mulut ke mulut di tengah tertujunya perhatian orang Bali pada reifikasi kebalian dalam wujud gerakan
mereka sendiri, yaitu sejarah yang berdasarkan ide-ide. Lihat J. Evans Richard, In defence of History (London : Granta Book, 1997), hlm.5.
27
Dalam batas-batas tertentu studi ini menjadi serupa dengan model yang digunakan oleh Denys Lombard (1996).
36
kultural ajeg Bali.28 Dengan kata lain, kajian ini memiliki kebaruan akademis dan persinggungannya dengan konteks identitas dalam tema besar ajeg Bali sehingga menjadi pintu masuk untuk memahami proses mental politik representasi atas Bali pasca Orde Baru dari perspektif orang-orang “pinggiran”. Kedua, persoalan identitas, khususnya di Bali, diidentikkan sebagai wilayah kerja antropolog, sosiolog, dan budayawan. Sejarawan sebagai kelompok kepentingan yang bertugas melakukan penyadaran masa lalu cenderung melewatkan dan menafikan tema-tema tersebut. Padahal, dalam isu penguatan etnonasionalisme, tema identitas sedang hangat diperbincangkan pasca Orde Baru dan masih relevan sampai saat ini. Berdasarkan hal tersebut di atas, tujuan penelitian ini meliputi lima hal. Pertama, menjelaskan penolakan kehadiran petani Bali di tanah asal yang bertepatan dengan transisi masyarakat Bali dibungkus dalam selubung kebudayaan dan dipengaruhi oleh dinamika sosial dan politik di Bali pasca Orde Baru. Pembentukan identitas pada diri eks transmigran Timor Timur tidak saja sebagai akibat dari ketercerabutan tanah asal dan adanya reifikasi kebalian, tetapi juga persepsi atas label politis di masa lalu. Kedua, menjelaskan bahwa proses mental di masa lalu dari orang Bali memiliki
kecenderungan
menjadi
kebenaran
dan
pengetahuan
untuk
mempersepsikan orang lain. Proses itu membeku seiring dengan usaha
28
Bom Bali I atau dikenal dengan sebutan Bom Kuta karena meledak di kawasan pariwisata Kuta (Pady’s and Sari’s Club) terjadi pada Sabtu, 12 Oktober 2002.
37
memformat Bali melalui ajeg Bali. Produk mental di masa lalu seperti mitos, legenda dan babad mengakibatkan dikotomi “asli” dan “tidak asli” menjadi jelas. Ketiga, menunjukkan bahwa penempatan petani Bali eks transmigran Timor Timur di Bali barat memiliki alasan multidimensional. Secara politis merupakan usaha orang Bali menutupi “catatan hitam” sejarah perpolitikan pasca Orde Baru. Secara sosial dan kebudayaan adalah upaya untuk bangkit dari keterpurukan citra Bali pasca peristiwa amuk massa Oktober 1999. Keempat, menunjukkan adanya kesenjangan imajinasi mengenai Bali antara orang Bali dan Bali perantau dalam beberapa hal. Kesenjangan itu disebabkan oleh transformasi politik, sosial dan kebudayaan masyarakat Bali pasca Orde Baru. Kelima, menunjukkan bahwa ketika mendefinisikan tentang “Bali” dalam konteks etnis dan agama, semua berpusat di desa adat. Untuk bisa disebut “Bali”, seseorang atau kelompok harus masuk ke dalam struktur adat. Dapat dikatakan bahwa desa adat adalah pusat kebudayaan dan representasi Bali sebagai produk orang Bali di masa lalu. Oleh sebab itu, adat adalah kebutuhan manusia Bali yang memiliki keinginan untuk mendapat pengakuan dan perlindungan atas dasar etnis dan agama.
1.4.2
Manfaat Penelitian Menyangkut manfaat, ada empat hal yang bisa diraih dari studi ini.
Pertama memberikan inspirasi bagi sejarawan berikutnya untuk lebih menekuni sejarah sosial dan mental terutama yang berkaitan dengan benturan-benturan
38
identitas. Kedua, memberikan pengetahuan sejarah kepada para pengambil kebijakan untuk lebih memantapkan perumusan strategi kependudukan dalam bingkai kebudayaan terutama menyangkut persoalan
transmigrasi. Ketiga,
menyumbangkan gambaran mengenai dampak benturan berbagai kepentingan terhadap kondisi sosial, politik, dan kebudayaan Bali sehingga bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam menyusun kebijakan. Keempat, memberikan pemahaman kepada masyarakat luas mengenai benturan budaya yang berdampak positif maupun negatif.
1.5 Tinjauan Pustaka Petani Bali eks transmigran Timor-Timur hadir pada periode ketika wacana kebalian menjadi diskusi sentral orang Bali. Mereka dipaksa untuk “akrab” dengan format Bali asli sebagai rujukan proses mental dan pengalaman kolektif orang Bali. Perbedaan bayangan tentang Bali antara orang Bali dengan orang Bali perantau mengakibatkan petani Bali eks transmigran Timor Timur diposisikan sebagai orang “lain”. Dalam konteks ini, ke-“Bali” an bukan saja gerakan kebudayaan untuk membedakan Bali dengan orang bukan Bali, tetapi juga menegaskan formasi Bali asli sesama orang Bali. Melihat persoalan tersebut, kajian ini merupakan tema baru dalam upaya penulisan sejarah Bali kontemporer yang menjadikan orang Bali perantau sebagai objeknya. Belum ada kajian sejarah sejenis yang menguraikan benturan identitas antara orang Bali dengan orang Bali perantau. Pada sisi yang lain, konteks pergulatan identitas yang diusungnya berada di dalam kuali besar bernama ajeg
39
Bali. Oleh karena itu, penulis merujuk pada beberapa studi dari wilayah keilmuan berbeda yang relevan dengan tesis ini. Berikut ini penulis sajikan beberapa karya lokal maupun luar yang akan menjadi kerangka berpikir ketika orang Bali melihat dirinya dan mempersepsikan orang lain. Henk Scholte Nordholt menyebut Bali sebagai “benteng terbuka” yang menerima pengaruh luar negeri sambil berjuang melindungi diri darinya. Bali seharusnya bukan lagi dilihat sebagai pulau yang tertutup dan terisolir, melainkan medan pertarungan terbuka dari relasi kuasa berbagai kekuatan ekonomi politik nasional maupun global.29 Bali membutuhkan dunia luar (wisatawan, modal, dan tenaga kerja murah), tetapi rakyat pulau ini merasa terancam oleh kekuatan luar (investor besar, dekadensi Barat, dan Islam). Henk menggambarkan orang Bali bersikap ambivalen, antara membutuhkan dan meniadakan, mencintai sekaligus membenci.30
29
Henk Schulte Nordholt, Bali Benteng Terbuka, Arif B. Prasetyo (penerjemah), (Yogyakarta : Pustaka Larasan, 2010) atau dalam Renegotiating Boundaries : Local Politic in Post Suharto Indonesia, Henk Schulte Nordholt & Garry van Klinken, ed. (Leiden : KITLV Press, 2007), hal. 389-416; Politik Lokal di Indonesia, Henk Schulte Nordholt & Garry van Klinken, ed. (Jakarta : KITLV, 2007), hlm. 5005-542.
30
Mengutip pernyataan Putu Wijaya, seorang seniman Bali dalam sebuah artikelnya berjudul “Bali” dalam Bali dan Masa Depannya, (Denpasar : Bali Post, 1999), hlm. 183 yang menyatakan bahwa untuk bisa dan tidak sesat bicara tentang Bali, kita mesti terlebih dahulu memahami, paling sedikit memberi batasan tentang apa yang kita sebut dengan Bali. Bagi saya Bali adalah sebuah lempung yang sudah mengeras, padat bagaikan batu granit tetapi anehnya masih terus berproses membentuk dirinya. Ia mengalir dalam kesolidannya sehingga berbagai hal yang kontradiktif menyatu dalam setiap fenomena Bali.
40
Ulasan-ulasan Michel Picard31, Adrian Vickers32 dan Jean Couteau33 bisa digunakan untuk memperdalam konsep yang ditawarkan Henk. Picard fokus pada turisfikasi yang mengubah struktur masyarakat Bali dari dalam. Bersama Leo Howe34, Picard meramu teoritisi kebalian sebagai produk adat dan agama yang dilokalkan. Sedangkan Vickers dan Couteau menterjemahkan sikap ambivalen orang Bali sebagai beban masa lalu atas proyek puja-puji kolonial Belanda yang bermata dua. Pada satu sisi mem-Bali-kan dan berusaha melindunginya dari modernisasi, Islam dan Kristen melalui proyek Balinisasi, tetapi di sisi lain memasukkan modernitas Barat melalui sistem pendidikan.35 Kekurangan Picard dalam menguraikan perubahan struktur masyarakat Bali dari dalam ditutupi oleh Nengah Bawa Atmadja.36 Ia menunjukkan bahwa tanpa kehadiran pendatang yang dikonotasikan sebagai orang Jawa beragama Islam, struktur masyarakat Bali telah 31
Lihat Michel Picard, "The Discourse of Kebalian: Transcultural Constructions of Balinese Identity," dalam In Staying Local in the Global Village, R. Rubinstein and L. H. Connor, ed. (Honolulu: University of Hawai'i Press, 1999), hlm. 49
32
Lihat Adrian Vickers, Bali : A Paradise Created, (Australia : Ringwood Penguin Books,1989).
33
Lihat Jean Couteau, “Bali : Crise en Paradis”, Archipel. Volume 64, 2002, hlm.254.
34
Lihat Leo Howe, Hinduism and Hierarchy in Bali, World Anthropology, (Oxford : School of American Research Press, 2001), hlm. 138. 35
Lihat Frances Gauda, Dutch Culture Overseas : Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942, Jugiarie penerjemah, (Jakarta : Serambi, 2007), hlm.161.
36
Lihat Nengah Bawa Atmadja, Ajeg Bali : Gerakan Identitas Kultural dan Globalisasi, (Yogyakarta : LKiS, 2009).
41
memperlihatkan kerapuhannya ketika berhadapan dengan gelombang yang lebih besar, yakni globalisasi. Degung Santikarma mengkritisi dinamika politik identitas kebalian pasca Orde Baru. Ia tidak menulis dalam bentuk buku, tetapi artikel-artikelnya di media cetak berupa koran cukup banyak dijumpai seperti “Kisah Bali dengan Keakraban Dalam Kekerasan”,37 “Bali Sebagai Dekonstruksi”,38 “Monumen, Dokumen dan Kekerasan Massal”,39 “Sweeping Bali Sekala Niskala”. Artikel-artikel tersebut memberi perhatian khusus kepada “ajeg Bali” sebagai konsep yang masih kabur. Ia juga melakukan gugatan atas desain konsep yang dibuat Picard apakah menjadi Bali harus menjadi Hindu atau sebaliknya menjadi Hindu untuk bisa disebut Bali?. Ia menunjukkan bahwa mempertanyakan Bali yang “asli” dan “tidak asli” tidak lagi relevan pada kondisi Bali yang telah menjadi milik dunia. Jika ingin dilacak, lalu seperti apa format Bali asli?. I Ngurah Suryawan40 bisa dianggap sebagai penerus Degung.41 Dengan nada berapi-api, ia menunjukkan adanya misi tertentu di balik politik pencitraan 37
Kompas edisi 1 September 2000.
38
Nusa Tenggara edisi 22 Oktober 1994.
39
Kompas edisi 1 Agustus 2003.
40
Trilogi buku I Ngurah Suryawan, Sandyakalaning Tanah Dewata : Suara Perlawanan dan Pelenyapan, (Malang : Kepel Ekspres, 2005); Bali Antahberantah Refleksi di Dunia Makna Hampa Pariwisata, (Malang : Intrans Publishing, 2010) ; Sisi di Balik Bali, Politik Identitas Kekerasan dan Interkoneksi Global (Bali : Udayana Press, 2012) memiliki isi yang hampir sama yakni menggugat kebalian disertai genealogi sejarah kekerasan. Masing-masing memiliki orientasi yang berbeda namun substansi yang sama.
41
Ngurah Suryawan dan Degung Santi Karma sama-sama melakukan kritik terhadap politik representasi atas Bali. Keduanya memiliki perbedaan ketika
42
dan rasa pesimisnya terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Pada sebuah tulisan berjudul “Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia”, John Rosa mengkritik tulisan Ngurah dan mengatakan bahwa ia pandai menuliskan dengan gaya tajuk rencana surat kabar tetapi tidak tahu cara melakukan penelitian yang dapat menyingkap temuan-temuan baru mengenai kejadian-kejadian di masa lalu. Ungkapan empati menyemburkan banyak panas tetapi hanya sedikit sinar.42 Nyoman Wijaya43 menawarkan konsep “rajeg” untuk menggantikan “ajeg”. Rajeg lebih tepat untuk memproyeksikan dinamika kehidupan orang Bali yang disepadankan dengan konsep ke-“Jawa” an dan ke-“Bali” an tentang cakraning manggiling prawerthi yakni gerak spiral ke arah kanan dan bukan berputar pada sumbunya.44 Ia menunjukkan semangat mengajegkan Bali sudah ada sepanjang sejarah Bali dengan nama dan perwujudan yang berbeda-beda. Semangat itu selalu dibangkitkan kembali oleh para intelektual organik dari berbagai golongan dengan cara memanfaatkan atau mengelola sedemikian rupa wacana-wacana yang dianggap dapat mengikis identitas kebalian.
menyampaikan analisisnya. Ngurah dengan gaya berapi-api, sedangkan Degung dengan ciri khas penyampaian yang terbilang sinis dan dingin.
42
Lihat John Rosa dan Ayu Ratih, “Sejarah Lisan di Indonesia dan Kajian Subjektivitas” dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Henk Scholte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, ed. (Jakarta dan Denpasar : KITLV, Obor, dan Pustaka Larasan, 2008), hlm.195.
43
Nyoman Wijaya, “Mencintai Diri Sendiri : Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali 1910-2007”, Disertasi UGM tahun 2009. Tidak diterbitkan.
44
Ibid., hlm.647-649.
43
Ulasan Thomas A. Reuter45 tentang etnografi orang Bali pegunungan, I Gede Pitana46 mengenai klan pasek serta Jean Francois Guermonprez47 tentang klan pande berguna untuk menjelaskan konstruksi identitas Bali aga dan Bali Majapahit. AAGN Ari Dwipayana48 dan I.B.G.Y Triguna49 membantu memahami struktur-struktur sosial di dalam kajian diakronis Wijaya khususnya mengenai konflik kasta, mobilitas sosial, konflik di era kolonial Belanda dan Bali pasca Orde Baru. Terakhir adalah tulisan dari Bali Post pada tahun 2004, “Ajeg Bali : Sebuah Cita-Cita”. Isinya adalah hal-hal yang bersifat normatif mengenai tuntutan bagaimana seharusnya menjadi orang Bali yang diikat oleh adat dan agama, cara-
45
Lihat Thomas A. Reuter, Custodians of The Sacred Mountains : Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali, I Nyoman Darma Putra penyunting. (Jakarta : Obor, 2005).
46
Lihat I Gede Pitana, “In Search of Difference : Origin Group, Status and Identity in Contemporary Bali”. Disertasi pada Universitas Nasional Australia tahun 1997. Tidak diterbitkan.
47
Lihat Jean Francois Guermonprez, Soroh Pande di Bali : Pembentukan Kasta dan Nilai Gelar, Syamsul Alam Paturusi penerjemah. (Denpasar : Udayana University Press, 2012).
48
Ada dua tulisan AAGN Ari Dwipayana yang bisa digunakan untuk membaca kekurangan dari analisis Wijaya mengenai struktur di era kolonial Belanda dan pasca Orde Baru yakni Kelas Kasta : Pergulatan Kelas Menengah Bali dan sudah penulis jadikan catatan kaki pada latar belakang di atas dan karya kedua yakni Globalism : Pergulatan Politik Representasi Atas Bali, (Denpasar : Uluangkep Press, 2005).
49
Lihat Ida Bagus Gede Yuda Triguna, “Mobilitas Kelas, Konflik dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali”. Disertasi SosiologiAntropologi pada Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung tahun 1997. Tidak diterbitkan.
44
cara memperlakukan pendatang yang dianggap sebagai aktor utama yang merusak tatanan lokal, budaya serta lingkungan Bali.50 Kebanyakan tulisan yang disebutkan di atas baru muncul setelah tahun 2000-an, terutama yang melihat persoalan identitas kebalian. Padahal, pergulatan identitas orang Bali perantau telah dimulai sejak awal kedatangan di tanah asal pada September 1999. Pemberitaan tentang Bali perantau oleh media berupa koran lebih banyak menonjolkan basis kesadaran material seperti tuntutan tanah dan ganti rugi kepada negara, sedangkan harapan dan keinginan menjadi Bali melalui proses integrasi ke dalam desa adat terlewatkan. Kisah hidup sebagai saksi dan korban dalam peristiwa “amuk massa” Oktober 1999 di tempat pengungsian juga luput dari pemberitaan. Penempatan orang Bali perantau di Bali barat yang notabene jauh dari akses politik, ekonomi dan kebudayaan mengakibatkan kisah tentangnya menguap dan tidak mampu dilacak oleh usaha cendikiawan Bali ketika berusaha merumuskan persoalan identitas orang Bali. Kajian ini fokus pada celah yang tidak tersentuh dari beberapa tulisan di atas. Ragam wajah kebalian pasca Orde Baru tidak saja menghasilkan dikotomi “asli” dan “pendatang” antara orang Bali dan orang luar Bali, melainkan telah 50
Bali Post, Ajeg Bali: Sebuah Cita-Cita, (Denpasar : Bali Post Press, 2004). Pada halaman 46-47 dijelaskan konsep ajeg Bali dimaknai dalam tiga tataran meliputi tataran individu, tataran lingkungan kultural, dan tataran proses kultural. Tataran individu memaknai ajeg Bali sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri kultural (cultural confidence). Tataran lingkungan kultural memaknai ajeg Bali sebagai pencipta ruang hidup budaya Bali yang inklusif, multikultur dan selektif. Tataran proses kultural adalah interaksi manusia Bali dengan ruang hidup budaya Bali guna melahirkan produk budaya baru melalui proses nilai-nilai moderat, non-dikotomis, berbasis nilai budaya dan kearifan lokal serta memiliki kesadaran ruang dan waktu yang mendalam.
45
menciptakan batas-batas sesama orang Bali yang cenderung kaku dan tidak bisa dinegosiasikan. Tesis ini akan menempatkan orang Bali perantau dengan segala identitas yang melekat padanya sebagai entitas monolitik dan tunggal ketika berhadapan dengan reifikasi kebalian. Perjumpaan keduanya memperlihatkan kuatnya jejak kuasa politik pada proses pembentukan identitas kebalian pasca Orde Baru.
1.6 Kerangka Konseptual Bali pasca Orde Baru tidak saja memperlihatkan perubahan struktur kemasyarakatan atas dasar etnis dan agama, melainkan juga mental dalam membentuk persepsi terhadap “diri” dan orang lain. Proses itu tidak bisa mengesampingkan peran politik, sebab politik memberi jalan bagi perubahan yang sedang berlangsung. Dengan demikian, aspek sosial, kebudayaan dan politik membentuk mata rantai tentang realitas Bali pada tahun-tahun selanjutnya. Wacana kebalian51 adalah produk pengalaman masa lalu orang Bali di mana di dalamnya terkandung realitas sosial, politik dan kebudayaan menjadi 51
Wacana kebalian muncul sebagai romantisme masa lalu yang merujuk pada era kekuasaan raja-raja Bali Majapahit. Orang Bali membayangkan era ini sebagai zaman keemasan dan kejayaan. Pasca keruntuhan Majapahit, Bali berdiri sebagai kerajaan besar yang menguasai Blambangan dan Lombok. Blambangan dikuasai selain sebagai daerah impor hasil alam (baca : Bali miskin hasil alam), secara politik dijadikan benteng menahan laju kekuasaan Mataram Islam era Sultan Agung yang berkeinginan meluaskan daerahnya hingga ke bagian timur pulau Jawa. Lihat Sri Margana, Ujung Timur Jawa, 1763-1813 : Perebutan Hegemoni Blambangan, (Yogyakarta : Pustaka Ifada, 2012), hlm. 42. Begitu juga penguasan Lombok oleh kerajaan Karangasem dimaksudkan untuk menahan laju kekuasaan kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Lihat Anak Agung Gde Putra Agung, Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 50-52.
46
satu. Ia muncul ketika konstelasi politik Bali pasca Orde Baru memberi ruang bertumbuh melalui produk hukum reformasi, yakni UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa kepada suprastruktur lokal selaku pusat kebudayaan Bali. Orang-orang di dalamnya, baik intelektual organik maupun tradisional mulai melakukan penilaian dan interpretasi. Akan tetapi, pengalaman sosial masa lalu orang Bali masa Orde Baru yang membentuk realitas masa kini dibatinkan dan menghasilkan “warna” lain pada makna ke-“Bali” an. Bali sebagai produk kebudayaan yang menghasilkan ke-“Bali” an lalu dibendakan dan menjadikannya alat politik untuk membentuk wacana identitas orang Bali. Akibatnya, ke-“Bali” an terjebak pada pada kekakuan makna dan eksklusivisme atas dasar etnis dan agama. Ketika ke-“Bali” an menjadi alat politik, ia berubah menjadi regime of truth52 yang tidak saja digunakan untuk meminggirkan si “lain”, melainkan juga ingin mengukur kadar ke-“Bali” an seseorang atau sebuah kelompok melalui format yang telah ditentukan. Akibatnya, ia tidak saja memaksa orang Bali berkaca menggunakan “cermin” kebalian, namun juga mendisiplinkan53 yang
52
Regim of truth atau rezim kebenaran merujuk pada konsepsi Foucault tentang kekuasaan. Ia menyatakan bahwa kebenaran adalah hasil perkawinan antara kekuasaan dengan pengetahuan melalui wacana. Tiada kekuasaan tanpa pengetahuan dan begitu juga sebaliknya. Lihat Eriyanto, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta : LKiS, 2001), hlm. 66-67.
53
Kebalian merupakan seperangkat wacana yang mendisiplinkan dan memaksa orang Bali berkaca dengan format identitas “asli” yang telah ditentukan sebelumnya melalui normalisasi dan regulasi. Kebalian bisa dianalogikan sebagai pengawas (baca : panoptic prison) yang mengawasi orang Bali agar tetap menjaga identitasnya. Gagasan untuk menyimpang dikalahkan oleh pikiran tentang beratnya hukuman. Dengan kata lain, bukan lagi fisik yang disentuh kuasa,
47
“lain”. Bali perantau berada pada situasi dan periode yang bertepatan dengan proses pem-“benda” an terhadap Bali. Mereka “dipaksa” bercermin kebalian, sedangkan format-formatnya ditentukan orang Bali sendiri. Identitas mereka dipertanyakan karena ketercerabutan dengan tanah asal di masa lalu telah menciptakan periode “kekosongan” di samping label-label politis masa lalu. Ketercerabutan mengakibatkan Bali perantau melewatkan beberapa hal yang mungkin saja berisikan peristiwa-peristiwa penting dan pengalaman kolektif lainnya. Ketidakhadiran masa lalu menjadi akar keraguan bahwa pengalaman kolektif yang terlewatkan dan telah menghasilkan persepsi jati diri tentang Bali tidak membatin seutuhnya. Henk menyebut cerita masa lalu orang Bali sebagai babad54 dan merujuk pada kawitan.55 Keduanya merupakan penghubung antara nenek moyang dan masa kini serta menjadi wahana identitas kelompok.56 Identitas yang terbentuk akibat reifikasi ke-“Bali” an menjadi persoalan yang membedakan sekaligus memisahkan orang Bali dengan Bali perantau dalam hal cara pandang. Beberapa ahli sepakat bahwa identitas adalah sesuatu yang cair
melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan kehendak individu yang mampu menangkap tanda-tanda yang tersebar di tubuh masyarakat. Lihat Gary Gutting, Foucault : A Very Short Introduction, (USA : Oxford University Press, 2005), hlm. 79-81. 54 Babad merupakan sejenis teks dari Jawa dan Bali yang berhubungan dengan sejarah yang menjabarkan pikiran para budayawan pada zamannya. Sebagian dari pikiran tersebut tetap hidup dan berkembang dan terlihat kegiatan mencatat sejarah hidup berupa silsilah atau garis keturunan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
55
Kawitan berasal dari kata “wit” yang berarti “asal mula”. Biasanya merujuk pada raja atau tokoh-tokoh besar yang diteladani.
56
Henk Scholte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas Dalam Sejarah Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 78.
48
dan bisa dinegosiasikan. Stuart Hall57 menyatakan bahwa identitas adalah proses yang terbentuk melalui sistem bawah sadar. Sistem bawah sadar berjalan melalui waktu dan membentuk bayangan imajiner yang tidak pernah menemui titik akhir. Ia sampai pada kesimpulan bahwa identitas adalah sesuatu yang berproses (becoming) daripada nilai baku yang taken for granted. Stella Ting-Toomey58 menegaskan teori negosiasi identitasnya bahwa identitas atau konsepsi diri refleksif dipandang sebagai mekanisme eksplanatori bagi proses komunikasi antarbudaya. Identitas dipandang sebagai citra diri reflektif yang dikonstruksi, dialami, dan dikomunikasikan oleh para individu dalam satu budaya dan dalam satu situasi interaksi tertentu. Konsep negosiasi didefinisikan sebagai proses interaksi transaksional di mana para individu dalam satu situasi antarbudaya mencoba memaksakan, mendefinisikan, mengubah, menantang atau mendukung citra diri yang diinginkan pada mereka atau orang lain. Mengurai masalah identitas diri dan identitas kultural ini. Peter Burke & Jan Stets menyatakan bahwa identitas adalah seperangkat makna yang menentukan siapa seseorang ketika ia menjalani peran tertentu dalam masyarakat, menjadi anggota dari suatu kelompok, atau mendaku karakteristik 57
Stuart Hall, “Who Need Identity” dalam Stuart Hall & Paul du Guy (ed), Question of Cultural Identity (Cet. II. London : Sage Publition, 2003), hlm 1-17. Dalam mengelaborasikan pemaknaan terhadap kata kunci identitas, Hall tidak menafikan peran pencetus teori ‘interaksi simbolik’ dalam mengkaji interkasi sosial di masyarakat, salah satunya adalah George Herbert Mead, lihat Herbert Blumer (ed), George Herbert Mead and Human Conduct (Cet. I .USA : AltaMira Press, 2004) ; David L. Milner (ed), George Herbert Mead : Self, Language and The World (cet. I. USA : Texas University Press, 1973).
58
Stella Ting-Toomey, Communicating Accros Cultural (Cet. I . USA : Guilford Press, 1999)., hal 25-26.
49
tertentu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pribadi yang unik. Dalam batasan tersebut maka identitas sebenarnya adalah pertautan dinamis antara agency and social structure. Seperti dilanjutkan oleh Burke & Stets masyarakat (struktur sosial) diciptakan melalui tindakan-tindakan individual, kendati diakui bahwa tindakan-tindakan tersebut diproduksi dalam suatu konteks struktur sosial. Sekelumit pernyataan Burke & Stets di atas pada gilirannya membuka celah interpretatif bahwa apa yang disebut dengan “pengalaman” itu sendiri sebenarnya adalah ruang-ruang realitas yang mendorong terjadinya negosiasi budaya dan identitas dalam sebuah arena kontekstual. Negosiasi tersebut berlangsung secara trialektik yaitu “externalisasi-internalisasi-objektifikasi”.
Ia akan mengerucut
pada sebuah tindakan yang disepakati atau tidak disepakati bersama.59 Berkaca dari pemahaman di atas, Bali perantau dengan identitas yang tercerabut dari tanah asal tengah berhadapan dengan orang Bali yang sedang melakukan proses mem-“benda” kan format Bali “asli” melalui wacana ke-“Bali” an. Perbedaan persepsi ini mengakibatkan benturan identitas sesama orang Bali. Namun, secara kuantitas dan kualitas Bali perantau yang lebih kecil dan adanya keinginan untuk mengintegralkan diri sebagai Bali melalui desa adat, menjadikannya “kelompok minoritas” yang bersedia untuk di-“disiplin-kan”.
59
Peter Burke & Jan E. Stets, Identity Theory (Cet. I. London : Oxford University Press, 2009)., hal. 62 ; lihat juga Michael Bumberg, anna De Vina &Deborah Schiffrin, “Discourse and Identity Construction” dalam Seth J. Schwartz (ed), Handbook of Identity Theory and Research Volume I Structures and proccses (Cet I . New York : Springer, 2011)., hal 8.
50
Manuel Castells60 menyebut kondisi yang dialami Bali perantau sebagai resistensi atau resistance identity, yakni
proses bertahannya identitas sebagai bentuk
perlawanan atau dalam hal ini dihasilkan oleh mereka yang sedang dalam posisi yang lemah karena stigma dari pihak yang mendominasi dan biasanya digunakan lebih mengarah kepada kegunaan politik identitas. Hal tersebut berpengaruh pada pembentukan komunitas sehingga melalui perlawanan kolektif terhadap tekanan dapat memunculkan jaringan yang kuat dan solid. Homi K. Babha61 menyebut resistance identity sebagai keterlibatan dan penyesuaian seseorang atau kelompok inferior ke dalam identitas kelompok superior atau dominan ke dalam lembaga yang memiliki fungsi memformat ulang identitas sebelumnya. Dalam hal ini, lembaga tersebut adalah desa adat. Dasar pentingnya desa adat untuk menunjukkan praktik-praktik etnis dan agama merujuk pada konsep yang dikemukakan Fredrik Barth mengenai batasbatas etnis. Hal yang dinilai bukan seberapa banyak perbedaan objektif, tetapi perbedaan mana yang dianggap penting oleh kelompok kepentingan.62 Untuk membaca persoalan itu, ia merumuskan 4 hal sebuah kelompok bisa mendapat pengakuan dari kelompok lainnya. Pertama, mampu berkembangbiak, kedua,
60
Manuel Castells, The Information Age : Economy, Society and Culture ; The Power of Identity (Cet. I. United Kingdom : Blackwell Publishing Ltd., 2010)., hal 6-8.
61
Homi K. Babha, The Location of Culture, (London & New York : Routledge, 1994), hlm.36.
62
Lihat Fredrik Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya, Nining I. Soesilo penerjemah. (Jakarta : UI Press, 1988), hlm. 15.
51
memiliki nilai budaya yang sama, ketiga membentuk jaringan komunikasi dan keempat menentukan ciri kelompok yang diterima oleh yang lainnya. Menubuhnya atribut sebagai Bali tidak mampu mencairkan batas-batas etnisitas dan agama sebagai fakta sosial. Gejala itu terlihat pada prilaku menolak kehadiran dalam ruang sosial budaya sehingga Bali perantau merasa “asing”. Melakukan mobilitas vertikal bisa mengatasi persoalan dan alat untuk mencapainya adalah tanah atau ruang sosial baru. Tanah adalah modal identitas pertama dan utama yang bisa digunakan untuk mengekspresikan aktivitas kolektif dan memperagakan praktik-praktik kebalian yang dipersyaratkan. Tanah menjadi semacam media untuk mempelihatkan penanda-penanda etnisitas itu tetap melekat sehingga meminimalisasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Berdasarkan situasi di atas dan untuk menjelaskan unsur sinkronik, tesis ini menggunakan tiga dimensi yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. Dimensi pertama yakni dimensi sosial yang berguna melihat kedudukan tanah dalam konteks sosial orang Bali perantau dan berguna sebagai alat untuk memutus rantai kemiskinan. Hanya dengan memiliki tanah mereka bisa melakukan mobilitas sosial vertikal. Kedua, dimensi budaya dengan memposisikan desa adat sebagai lembaga yang memiliki otoritas menentukan kebalian. Desa adat adalah kebutuhan mendesak karena menjadi penghubung dengan segala hal yang berhubungan dengan pembali-hinduan.63 Menjadi bagian dari adat berarti memberi pengakuan terhadap kebalian karena di dalam desa adatlah pembali 63
Ritual ke-“Bali” an merujuk pada siklus kehidupan orang Bali mulai dari dalam kandungan hingga kematian dan hal tersebut menjadi domain desa adat.
52
hinduan itu dilakukan. Ketiga, dimensi mental yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan pengalaman yang dibatinkan oleh orang Bali dan dijadikan rujukan pembenar atas segala tindakan terhadap dirinya dan orang lain. Konsep dan teori di atas dibingkai dengan jenis sejarah yang dianggap mampu digunakan untuk mengorganisasi tulisan ini supaya tidak keluar dari jalur penulisan sejarah. Jenis tulisan sejarah yang dianggap paling tepat mengemban tugas ini adalah sejarah sosial yang dipadukan dengan sejarah mental. Michele Vovelle menyebut sejarah mental sebagai sejarah ketidaksadaran kolektif yakni sejarah tentang mentalitas yang pra verbal dan pra refleksif.64 Untuk mencapai uraian tentang itu, sejarah mentalitas menyediakan dua cara. Pertama, verstehen yakni jalan untuk memahami karena aktor sejarah adalah manusia yang berpikir dan merasa. Oleh karena itu harus ditemukan subjective mind, makna subjektif dan tafsir subjektif yang prosesnya melalui dua tahapan yakni empati ; menyatu rasa oleh dua pihak antara pemakna dan yang dimakna, dan to relive ; hidup dalam makna subjektif sehingga bisa memahami cinta, permainan dan ketakutan.65 Kedua, imajinasi sejarah yakni kamera yang sanggup membuat gambar seperti aslinya mempunyai kekuatan evocatif, bukan ornamental tetapi struktural.66
64
Kuntowijoyo, Metologi Sejarah Edisi Kedua, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003), hlm.240.
65
Ibid., hlm. 246.
66
Ibid., hlm. 247.
53
1.7 Metode Penelitian dan Sumber Data Melihat sifat kajian yang kontemporer sedangkan saksi peristiwa masih hidup, sumber-sumber primer tesis ini didapatkan dengan melakukan wawancara terhadap komunitas petani Bali perantau yang bermukim di Bali barat. Demi menghilangkan kesan formal dan kaku ketika melakukan wawancara, penulis melakukan observasi partisipatif di lokasi pemukiman.67 Tujuannya adalah mencairkan jarak kritis yang ditimbulkan antara pewawancara dengan yang diwawancarai. Untuk meminimalisasi keberpihakan atau empati yang terlalu besar terhadap objek kajian, penulis juga melakukan wawancara dengan penduduk setempat dan beberapa pejabat desa sehingga informasi yang didapat berimbang. Persoalan wawancara yang menitikberatkan pada aktivitas mengingat sehingga cenderung yang diwawancarai mengeluarkan emosi, perasaan, fantasi dan bahkan subjektivitas berlebihan serta hanya mampu mengingat hal-hal penting mengenai diri atau kelompoknya sedangkan masalah lain terlewatkan, maka hasil wawancara akan dilengkapi dengan sumber-sumber lain dalam bentuk dokumen tertulis68 atau informasi lain sehingga merestorasi teks ke dalam versi
67
Observasi partisipatif dilakukan dengan cara tinggal di lokasi pemukiman petani Bali perantau selama beberapa bulan serta mengikuti aktivitasnya sehari-hari (baca : biasanya berhubungan dengan aktivitas siklus hidup manusia Bali). Kegiatan itu sudah dilakukan sejak tahun 2011. Data lapangan tambahan didapat pada 2012. Beberapa orang yang memegang jabatan adat seperti ketua banjar adat telah memberikan informasi-informasi memadai terkait dengan tema tesis ini.
68
Lihat Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?, (Yogyakarta : Ombak, 2006), hlm. 73-74.
54
asli untuk membentuk perspektif khusus tentang masa lalu yang dihasilkan oleh dokumen lisan.69 Sumber tertulis atau informasi lain itu adalah sumber-sumber sekunder dalam bentuk koran, majalah, catatan administrasi pemerintah, laporan kerja suatu lembaga dan sebagainya. Sumber-sumber penunjang seperti buku, artikel dan jurnal didapatkan melalui Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pasca Sarjana UGM, Perpustakaan Asia Tenggara UGM, Perpustakaan Pedesaan UGM, Perpustakaan Daerah Yogyakarta, Perpustakaan Daerah Bali, Perpustakaan Gedong Kertya Buleleng, Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dan KITLV.
1.8 Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab. Bab I terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode dan sumber, dan sistematika penulisan. Bab II membahas proses ketercerabutan petani Bali eks transmigran Timor Timur dari tanah asalnya. Bab ini dilengkapi dengan transisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama di Bali pasca Orde Baru. Selain itu akan dijelaskan mengenai kondisi geografis, sosial, dan sejarah kawasan Bali barat sebagai pemukiman baru.
69
Ibid., hlm. 75.
55
Bab III membahas keterasingan petani Bali perantau di tanah asal. Kehadiran mereka ditolak adat dan menjadi korban dalam peristiwa amuk massa Bali 1999. Beban masa depan dan rasa malu yang mereka maknai sebagai “demam panggung” menegaskan diri sebagai rasa bersalah yang dilabelkan oleh transisi masyarakat Bali karena hubungan-hubungan masa lalu dengan Orde Baru yang telah tumbang. Bab IV membahas pergulatan identitas dan respon atas kekalahan petani Bali perantau di tempat relokasi. Mempertanyakan identitas adalah salah satu upaya adaptasi dengan lingkungan baru karena ketidakhadiran di masa lalu yang dilegitimasi oleh tradisi lisan. Benturan antara kemiskinan dan aktivitas memulihkan identitas menghasilkan prilaku merabas hutan lindung untuk kebutuhan lahan garapan. Dengan kata lain, prilaku tersebut mengalami benturan juga dengan konservasi lingkungan. Bab V merupakan penutup yang memuat kesimpulan penelitian.
56