BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penelitian Manusia dalam hidupnya akan mengalami perkembangan dalam
serangkaian periode berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lansia. Semua individu mengikuti pola perkembangan dengan pasti dan dapat diramalkan. Setiap masa yang dilalui merupakan tahap-tahap yang saling berkaitan dan tidak dapat diulang kembali, hal-hal yang terjadi dimasa awal perkembangan individu akan memberikan pengaruh terhadap tahap-tahap selanjutnya. Salah satu tahap yang akan dilalui oleh individu tersebut adalah masa lanjut usia atau lansia yang ditandai dengan beberapa kondisi khas yang disebabkan proses menua (Hurlock, 1999). Proses menua adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik dengan terlihat adanya penurunan fungsi organ tubuh. Hal ini juga diikuti dengan perubahan emosi secara psikologis dan kemunduran kognitif seperti suka lupa, dan hal-hal yang mendukung lainnya seperti kecemasan yang berlebihan, kepercayaan diri menurun, juga kondisi biologis yang kesemuanya saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia Batasan usia lanjut WHO menurut Nugroho (dalam Ismayadi, 2000) sebagai berikut : middle/young elderly usia antara 45-49 tahun, elderly usia antara 60-74 tahun, old usia antara 75-90 tahun dan dikatakan very old berusia di atas 90 tahun. Pada saat ini, ilmuwan sosial mengkhususkan diri mempelajari
penuaan merujuk kepada kelompok lansia : “lansia muda” (young old), “lansia tua” (old old). dan “ lansia tertua”(oldest old). Secara kronologis, young old secara umum dinisbahkan kepada
usia antara 65 sampai 74 tahun, yang
biasanya aktif, vital dan bugar. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,18%. Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2006 sebesar kurang lebih dari 19 juta, dengan usia harapan hidup 66,2 tahun. Pada tahun 2010 diperkiraan jumlah lansia sebesar 23,3 juta (9,77%), dengan usia harapan hidup 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%), dengan usia harapan hidup 71,1 tahun (Menkokesra, 2007). Pengaruh proses penuaan menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik, mental, maupun sosial ekonomi. Gangguan mental yang sering dijumpai pada lansia adalah insomnia, stress, depresi, anxietas, dimensia, delirium, dan alzheimer (Davidson,et. al.,
2006).
Depresi menjadi salah satu masalah
gangguan mental yang sering ditemukan pada lanjut usia (lansia). Prevalensinya diperkirakan 10%-15% dari populasi lanjut usia dan diduga sekitar 60% dari pasien di rumah sakit menderita depresi, sehingga gejala depresi yang muncul seringkali dianggap sebagai bagian dari proses menua (Soejono, 2000). Penelitian yang pernah dilakukan di Amerika menyatakan bahwa 11% laki-laki dan 18% wanita pada lansia mengalami simptom depresi (dalam Papalia,et. al., 2007). Depresi merupakan masalah mental yang paling banyak ditemui pada lansia. Karakteristik depresi pada orang lanjut usia yaitu rasa
khawatir, rasa tidak berguna, sedih, pesimis, fatik, tidak dapat tidur, dan sulit mengerjakan segala sesuatu merupakan simptom-simptom umum pada orang lanjut usia (Blazer, 1982 dalam Davidson,et. al., 2006.). Depresi adalah kondisi emosional yang biasanya ditandai dengan kesedihan yang amat sangat, perasaan tidak berarti dan bersalah, menarik diri dari orang lain dan tidak dapat tidur, kehilangan selera makan, hasrat seksual, dan minat serta kesenangan dalam aktivitas yang biasa dilakukan (Davidson,et. al., 2006). Selain kemunduran fisik, sering kali
munculnya depresi pada
lansia terjadi karena kurangnya perhatian keluarga terutama anak, dan orangorang terdekat. Salah satunya adalah masalah dukungan sosial, terutama dukungan dari orang-orang
terdekatnya.
Penelitian Tang
et.al. (2011),
menyatakan bahwa pentingnya dukungan sosial pada lansia seperti adanya keterlibatan sosial, memperluas jaringan dukungan sosial, memberikan peluang untuk kegiatan sosial, dan memperkuat jaringan informasi untuk menjaga kesehatan fisik dan mental dalam menghadapi proses penuaaan. Penelitian Guerette et.al. (2011), juga menambahkan bahwa dukungan sosial berkaitan positif dengan kesejaterahan fisik dan psikis. Dukungan sosial (social support) yaitu mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada individu (Gentry & Kobasa, 1984; Wallston et al., 1983; Wills & Fegan, 2001 dalam Sarafino, 2006). Menurut Sarafino (2006), dukungan sosial dapat berasal dari berbagai sumber seperti pasangan hidup, keluarga, pacar, teman, rekan kerja, dan organisasi komunitas. Orang-orang dengan dukungan sosial yang baik berkemungkinan kecil untuk bereaksi secara negatif terhadap
masalah-masalah hidup dibandingkan dengan orang-orang yang mendapatkan dukungan sosial sedikit (Lahey 2007). Dukungan sosial juga dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental pada lansia (Bioschop & Others, 2004 Erber, 2005; Pruchno & Rosenbaum, 2003 dalam Santrock, 2006). Sutajitt, et. al. (2010), menambahkan bahwa dukungan sosial juga sangat berperan penting dalam mengurangi gangguan physical dan depresi pada lansia, dengan meningkatkan dukungan sosial dapat meningkatkan kesehatan dan pencegahan depresi pada lansia. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Sari (2010), menunjukan bahwa
adanya pengaruh yang sangat kuat antara dukungan sosial dengan
depresi pada lansia karena memiliki hubungan yang luas dan erat dengan orang lain serta mendapat dukungan sosial dari begitu banyak sumber, seperti dari pasangan, teman, dan orang-orang yang sudah dianggap keluarga. Penelitian Pulungan (2007),
juga menambahkan semakin tinggi dukungan sosial yang
diperoleh lansia di panti wreda maka semakin rendah depresi yang dialaminya dan sebaliknya. Penelitian yang pernah dilakukan Myers (dalam kompas, 2010) menyatakan bahwa
dukungan sosial berkaitan erat dengan kebahagian dan
kesehatan pada lansia dan menemukan bahwa orang yang tidak mendapat dukungan sosial mereka lebih sering stres, kurang tidur, dan memiliki keinginan bunuh diri lebih besar, sedangkan mereka yang mendapatkan dukungan sosial yang baik, mudah berhubungan dengan orang lain (outgoing), afektif (penyayang) memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik. Mudjaddid (dalam Satria, 2008) mengemukakan depresi pada lansia harus segera ditangani dan diantisipasi karena dapat meningkatkan angka kematian pada lansia terutama lansia yang memiliki penyakit yang serius. Depresi pada lansia yang tidak segera ditangani dapat berlangsung bertahun-tahun dan dihubungkan dengan kualitas
hidup yang kurang baik, kesulitan dalam fungsi sosial dan fisik, dan dapat berakibat bunuh diri. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti
dengan
wawancara dan observasi yang dilakukan pada 20 orang lansia yang tinggal di panti wreda Waluya Sejati Abadi di Jakarta diketahui bahwa 75% lansia yang tinggal di panti tersebut kurang mendapatakan perhatian dan dukungan dari keluarga. Hal ini disebabkan oleh kesibukan dari anak-anaknya, tempat tinggal yang jauh sehingga anak jarang mengunjunginya, adanya konflik antara orang tua dengan anaknya dan anak tidak mau direpotkan dengan orangtuanya serta orangtua sudah tidak dianggap lagi menjadi bagian dalam keluarga.
Dari
penyebab itu lansia merasa sudah tidak dibutuhkan lagi, tidak berguna, tidak dihargai di dalam keluarganya dan merasa menjadi beban bagi keluarganya. Permasalahan yang dihadapi oleh lansia di atas dapat menjadikan mereka depresi. Ada sekitar 15 lansia di panti wreda tersebut yang memiliki gejala dari depresi, dimana mereka tampak murung, sedih, letih, tidak bergairah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, sering menyendiri atau melamun. Selain itu sebagian lansia yang memiliki penyakit yang serius ternyata lebih banyak yang memiliki gejala depresi karena mereka tidak dapat berbuat apa- apa dan tidak dapat menyalurkan hobby mereka lagi sehingga mereka harus mengantungkan kehidupannya pada perawat dan teman di panti tersebut. Dari hasil wawancara dan observasi
tersebut menunjukan bahwa
sebagian besar lansia yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak yang memiliki beberapa dari gejala depresi dimana mereka mengungkapkan tentang kondisi yang dialaminya. Adanya permasalahan tersebut maka peneliti tertarik
untuk meneliti hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat depresi pada lansia di panti wreda di Jakarta. 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah: Apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat depresi pada lansia di panti wreda di Jakarta? 1.3. Tujuan Penelitian 1 . Tujuan Umum a. Untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat depresi pada lansia di panti wreda di Jakarta. 2. Tujuan Khusus a.
mengidentifikasi dukungan sosial yang didapat oleh lansia
b. mengidentifikasi tingkat depresi yang terjadi pada lansia c.
menganalisis hubungan dukungan sosial dengan tingkat depresi pada lansia
1.4. Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya bidang psikologi klinis.
2. Manfaat Praktis a. Psikolog mendapatkan pengetahuan dan lebih dapat memahami seberapa besar hubungan dukungan sosial dengan tingkat depresi pada lansia di panti wreda. b. Masyarakat mendapatkan wawasan tentang depresi yang terjadi pada lansia, dukungan sosial bagi lansia, serta hubungan dukungan sosial dengan tingkat depresi pada lansia. c. Keluarga mendapatkan wawasan tentang depresi yang terjadi pada lansia, sehingga dapat terus mendukung dan membantu lansia tersebut. d.
Pengurus panti diharapkan lebih memperhatikan lansia yang mengalami depresi dan segera melakukan penangan yang serius.