BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Manusia sebagai individu yang berinteraksi dengan individu lain tentu
memerlukan ruang, khususnya dalam menjalin relasi sosial, dan lingkungan masyarakat menjadi salah satu ruang penting penunjang terjadinya interaksi sosial tersebut. Seperti yang disebutkan Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 2012: 55) bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Jadi, tidak terbatas hanya pada interaksi individu dengan individu lainnya saja, namun juga interaksi antarkelompok maupun interaksi individu dengan kelompok itu sendiri. Dalam interaksi tersebut pada umumnya terdapat kontak sosial yang tercermin lewat komunikasi. Namun, ketika individu mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi yang dalam hal ini memiliki permasalahan pada kemampuan mendengar akan memunculkan hambatan tersendiri dalam melakukan proses interaksi sosial tersebut. Pada umumnya, seseorang yang memiliki hambatan mendengar karena indera pendengaran yang dimiliki tidak berfungsi sebagaimana mestinya disebut sebagai tunarungu. Pinilih (2012: 19) menjelaskan bahwa sepintas tunarungu tampak seperti orang normal yang tidak memiliki kelainan. Mereka baru mengalami kebutuhan khusus ketika melakukan interaksi sosial terutama saat berkomunikasi dengan orang lain. Tunarungu juga memiliki karakteristik yang
1
2
khas dilihat dari segi inteligensia, bahasa dan bicara, emosi serta sosial. Namun, pada beberapa orang ketidakmampuan mendengar juga disertai dengan ketidakmampuan berbicara. Ketidakmampuan yang membuatnya menjadi terbatas dalam melakukan sesuatu terutama berkomunikasi tentu mengarahkan individu pada suatu kehidupan yang terasing (isolated) dalam masyarakat. Soekanto (2012: 62-63) memaparkan bahwa kehidupan terasing ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengadakan interaksi sosial bersama pihak-pihak lain. Dijelaskan pula bahwa seseorang yang sejak kecil dinyatakan memiliki kecacatan pada indera tertentu cenderung mengasingkan diri dari pengaruh-pengaruh kehidupan yang tersalur melalui inderanya, hal tersebut berpengaruh pada pembentukan kepribadian di mana orang-orang cacat akan mengalami perasaan rendah diri karena kemungkinan untuk mengembangkan kepribadiannya seolah-olah terhalang. Kehidupan terasing dari ketidakmampuan berinteraksi seperti paparan di atas erat kaitannya dengan status tunarungu yang disandang oleh individu yang dalam hal ini dicermati pada usia remaja. Masa remaja memang dianggap sebagai masa yang paling sulit dalam tahap perkembangan individu. Para psikolog selama ini memberi label masa remaja sebagai masa storm dan stress di mana pada masa inilah remaja menjalani proses evolusi menuju kedewasaan (Lestari, 2012: 108). Jika dikaitkan dalam tahapan sosialisasi, usia remaja dikategorikan masuk dalam tahap game stage (siap bertindak) di mana individu mulai mampu mengenali perannya secara pribadi dan bersiap menuju tahap generalized stage (kedewasaan) yang mulai dapat menjalankan perannya serta menempatkan diri di masyarakat.
3
Remaja penyandang tunarungu tentu akan mengalami konflik diri dalam menghadapi realitas bahwa kemampuan berinteraksinya di lingkup masyarakat akan sangat terbatas dikarenakan keterbatasan diri yang dimiliki untuk berkomunikasi, di mana komunikasi menjadi suatu bagian penting dalam memunculkan interaksi sosial. Konflik diri yang muncul bersamaan dengan berbagai persepsi masyarakat atas kedisabilitasan yang memunculkan stigma tersendiri bisa juga menghambat perkembangan potensi maupun kemampuan individu dalam menunjukkan identitasnya. Namun, pada dasarnya setiap individu dapat menjadi pribadi yang mampu melakukan apa yang memang diinginkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Hal ini bergantung pada besarnya introyeksi ke dalam diri yang dijadikan peristiwa definisi terhadap diri (Kartono, 2012: 47). Kemampuan dalam mendefinisikan diri tersebut dapat membuat individu menemukan suatu identitas maupun konsep bahwa ia merupakan aktor yang menjadi bagian dari masyarakat dan sudah semestinya dapat menyesuaikan diri, berpartisipasi, termasuk menjalin relasi bahkan membentuk suatu komunal meski dibatasi dengan kecacatan yang dimiliki. Demikian pula dalam hal meminimalisir keberadaan pada kehidupan yang terasing serta menghadapi stigma-stigma yang terbentuk baik dari dalam diri maupun pihak di luar diri. Pengetahuan mengenai diri dan masyarakat serta berbagai realitas yang dipahami atas status tunarungu tersebut diyakini akan memunculkan beragam perilaku maupun tindakan baik secara individual atau kelompok dari para remaja
4
penyandang tunarungu yang pada akhirnya dapat didefinisikan sebagai suatu fenomena yang patut diketahui dan dipahami di ranah sosial. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Tinjauan Fenomenologi atas Stigmatisasi Sosial Penyandang Disabilitas Tunarungu dengan menekankan pada sudut pandang serta pengalaman hidup remaja tunarungu yang ada di Bali tepatnya di Kota Denpasar mengingat kota ini merupakan pusat berkegiatan sekaligus tempat bersosialisasi para penyandang disabilitas tunarungu ditinjau dari keberadaan SLB khusus tunarungu serta beberapa komunitas maupun organisasi tunarungu yang terbentuk di Bali. Melalui penelitian ini, penulis mencoba memaparkan pengalaman hidup penyandang tunarungu atas proses pembentukan stigma terhadapnya melalui pemahaman pribadi atas kedisabilitasan yang dimiliki maupun persepsi yang diterima dari masyarakat, serta respon dalam menghadapi stigmatisasi sosial tersebut agar mereka tidak terkungkung dalam dunia maupun komunitas tersendiri, dan mampu bergabung atau menyesuaikan diri dalam lingkup masyarakat yang lebih luas. Perlu dipahami bahwa ketidakmampuan berkomunikasi sebagaimana mestinya membuat mereka hanya membagi pengalaman hidup pada sesama tunarungu atau kepada orang-orang yang hanya mengetahui bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka saja. Jadi, ulasan ini sangat diperlukan untuk dapat membantu pihak-pihak yang berkecimpung di bidang kesejahteraan sosial maupun masyarakat pada umumnya untuk dapat memahami keberadaan penyandang disabilitas khususnya tunarungu sebagai bagian dari masyarakat.
5
1.2
Rumusan Masalah Bagaimana pengalaman penyandang disabilitas
tunarungu
terhadap
stigmatisasi sosial yang dialaminya?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk dapat
membantu memberikan pemahaman mengenai stigmatisasi sosial terhadap penyandang disabilitas sebagai suatu fenomena yang ada di masyarakat yang dikaji melalui pengalaman penyandang disabilitas tunarungu. Di dalam pengalaman-pengalaman tersebut berupaya pula menemukan serta menjelaskan proses dan juga respon atas stigmatisasi sosial yang dialami oleh penyandang disabilitas tunarungu.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat antara lain
sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan dalam pembelajaran dan pengembangan ilmu terutama disiplin sosiologi serta dapat dijadikan acuan maupun informasi tambahan bagi peneliti lainnya yang ingin menggali lebih dalam mengenai studi terkait penyandang disabilitas khususnya tunarungu dalam lingkup sosial kemasyarakatan.
6
1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman pada masyarakat luas mengenai pengalaman hidup dari remaja tunarungu sebagai penyandang disabilitas beserta stigmatisasi yang terbentuk atas kedisabilitasan tersebut di masyarakat. Penelitian ini diharapkan pula mampu membuka wawasan masyarakat agar tidak memberikan label tersendiri pada mereka yang memiliki keterbatasan diri dalam bentuk apapun. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi instansi-instansi yang bergerak di bidang kesejahteraan sosial terhadap kaum difabel maupun pemerintah Kota Denpasar untuk lebih memahami dan menyadari keberadaan para penyandang disabilitas khususnya remaja tunarungu agar diberikan wadah seluas-luasnya untuk mengembangkan diri serta potensi yang dimiliki namun tidak menjadikannya sebagai komunitas tersendiri dalam lingkungan masyarakat.