BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir kondisi perekonomian indonesia cukup stabil meskipun perekonomian dunia banyak mengalami masalah. Di saat negara-negara Eropa dan negara maju di Asia dan Amerika mengalami krisis ekonomi, beberapa negara justru mengalami pertumbuhan ekonomi positif termasuk Indonesia. Tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 6 % setiap tahunnya. Secara makro perekonomian di indonesia terus meningkat. Salah satu elemen penting penunjang pertumbuhan ekonomi adalah sektor energi.1 Pada saat ini pertumbuhan kebutuhan energi dalam negeri berkisar 7-8 % setiap tahunnya. Dari sisi permintaan, konsumsi energi paling besar di sektor industri (41,49%) dan transportasi 32,52 %, sementara sektor rumah tangga 16,26%. Berdasarkan energy outlook BPPT (Badan Pengkaji dan Penerapan Teknologi) tahun 2011 bahwa proyeksi kedepan pertumbuhan konsumsi energi final mencapai 4 % sampai tahun 2014, dan 5,3 % sampai tahun 2030. Jadi, dapat terlihat jelas korelasi nyata antara pertumbuhan ekonomi dengan sektor energi. 1
Biro Riset BUMN center LM FEUI. Analissi Industri Gas Nasioanl. 2012, BPPT (Badan Pengkaji dan Penerapan Teknologi). Energy outlook. 2011, dikutip oleh Sony Ikhwanuddin pada http://berandamiti.com/memperkuat-ketahan-ekonomi-nasioanl-melalui-mempercepat-peralihan-energi-minyak-bumi-kegas-dan-energi-terbarukan, diakses 25 Oktober 2014
1
2
Gas bumi menjadi sumber energi masa kini dan masa depan bagi Indonesia. Dari sisa cadangan minyak dan gas bumi (migas) Indonesia sekarang, hampir 85 persen merupakan gas. Artinya, masih banyak cadangan gas yang bisa diproduksikan untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun untuk diekspor. Seiring pesatnya pertumbuhan ekonomi nasional, kebutuhan energi, termasuk gas, juga ikut naik. Alokasi gas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri pun ikut naik. Sejak tahun 2003, penyaluran gas untuk domestik mengalami peningkatan rata-rata sembilan persen per tahun.2 Minyak dan Gas (Migas) sebagai sumber daya alam berperan sebagai modal dasar pembangunan perekonomian nasional. Kegiatan industri migas dalam perekonomian berfungsi sebagai multiplier effects atau emmberikan efek penggandaan pada kegiatannnya dan digunakan sebagai energi untuk menggerakkan berbagai kegiatan ekonomi
termasuk bahan baku industri.
Industri migas juga ditopang dengan kegiatan fasilitas dan infrastruktur yang dapat dipakai oleh berbagai jenis kegiatan ekonomi, juga menghasilkan penerimaaan bagi negara dari pembagian hasil maupun pajak dan bukan pajak serta devisa bagi Negara.3 Pada dasarnya tumbuh dan kembangnya setiap negara sejalan dengan kebutuhan akan pergerakan sektor industri. Maka industrialisasi dianggap sebagai jalan keluar untuk memacu laju pembangunan ekonomi di negara-negara 2
3
Alfian, Dukungan Infrastruktur untuk Pengembangan Gas, Buletin SKK Migas No. 17, 2014, hal 6 Suyitno Padmosukismo, Migas: Politik, Hukum dan Industri, Fikahati Aneska, Jakarta, 2011, hal. 113
3
berkembang. Namun terkadang kebijaksanaan yang ditempuh seringkali dipaksakan, dalam arti hanya sekadar meniru pola kebijaksanaan pembangunan di negara-negara maju tanpa memperhatikan kondisi sosial, budaya yang ada. Sedikit sekali negara-negara berkembang yang menyadari, bahwa usaha untuk memajukan
dan
memperluas
sektor
industri
haruslah
sejajar
dengan
pembangunan dan pengembangan sektor-sektor lain seperti perkebunan, sebagai penyedia bahan baku maupun sebagai pasar bagi produk-produk industri. Setiap peningkatan daya beli pada setiap sektor merupakan rangsangan bagi pembangunan sektor industri pula.4 Dengan harga gas bumi yang jauh lebih murah dibandingkan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) industri, para pengusaha mampu menekan beban biaya, sehingga harga produknya ketika sampai di pasar menjadi kompetitif. Ketersediaan pasokan gas menjadi faktor kunci bagi pertumbuhan industri nasional Industri sangat membutuhkan gas untuk digunakan sebagai bahan baku industri dan juga sumber energi. Namun terdapat masalah jumlah pasokan yang masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan industri, sehingga harga gas menjadi tinggi. 5 Kegiatan industri gas bumi dapat dibedakan ke dalam dua kelompok utama: kegiatan hulu (upstream) dan hilir (downstream). Di antara kedua
4
5
http://www.kesimpulan.com/2009/05/peranan-sektor-industri-pada.html, diakses 25 oktober 2014 Reno Dalu, http://www.geoenergi.co/read/power/316/pln-purchases-electricity-from-mamujus-pltu-andijens pltp, diakses 25 oktober 2014
4
kelompok kegiatan itu, kadang ditambahkan kegiatan antara (midstream).6 Gambar 1 memperlihatkan diagram rantai nilai industri gas bumi.
Gambar 1.: Rantai Pengelolaan Gas Bumi Sumber: Hanan Nugroho, 2004
Seperti halnya minyak bumi, setelah kegiatan produksi di sisi hulu, industri hilir gas bumi diawali dengan kegiatan pengilangan gas, yang memproduksi LNG dan LPG. Di samping itu, terdapat pula kegiatan pemurnian gas di sisi hulu, yang hasilnya kemudian tanpa melalui kilang disalurkan langsung melalui jalur pipa (pipeline) transmisi/distribusi gas bumi untuk diteruskan ke konsumen. Pengembangan industri gas di Indonesia mengalami tiga tantangan besar.7 Pertama, kebutuhan gas dan pasokan gas tersebar secara tidak merata di berbagai pulau serta defisit dan surplus area berasal dari pulau yang berbeda. Infrastruktur gas bumi di Indonesia yang menghubungkan kebutuhan gas dan pasokan gas 6 7
Hanan Nugroho, Pengembangan industri hilir gas bumi Indonesia: tantangan dan gagasan, Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004, hal 3 Peta Jalan Kebijakan Gas Bumi Nasional 2014-2030, dikutip dari http://www.migas.esdm.go.id/beritakemigasan/detail/3789/Tantangan-Industri--Gas-di-Indonesia, diakses diakses 25 oktober 2014
5
masih sangat terbatas dan secara geografis, negara kepulauan seperti Indonesia memiliki tantangan tersendiri dalam pengembangan infrastruktur sehingga menambah tingkat kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan gas. Kedua, menjamin ketersediaan pasokan gas baik dari dalam dan luar negeri. Sebagaimana diketahui, produksi gas domestik saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri akibat terbatasnya infrastruktur hilir gas bumi. Selain melakukan pengembangan infrastruktur gas untuk pemenuhan gas dari produksi domestik, perlu juga dipersiapkan kemungkinan impor Liqufied Natural Gas (LNG) untuk menutupi kekurangan pasokan dalam jangka panjang. Diperkirakan, Indonesia akan menjadi importir gas pada tahun 2025. Penyaluran gas bumi dari produksi domestik dan impor perlu memperhatikan willingness to pay (WTP) pengguna gas bumi yang berbeda-beda untuk menghindari terjadinya penurunan keunggulan daya saing industri, potensi polarisasi pasokan ke industri dengan WTP lebih tinggi. Ketiga, disparitas harga yang cukup signifikan. Harga gas bumi di Indonesia masih dikelola business to business tergantung sumber pasokan gas, sehingga harga gas untuk lapangan-lapangan baru akan cenderung lebih tinggi dan menjadi tidak terjangkau bagi konsumen akhir. Harga gas akan semakin menjadi tidak terjangkau ketika pasokan berasal dari LNG. Makin bertambahnya pasokan gas untuk domestik tidak lepas dari bertambahnya produksi gas nasional. Sejak tahun 2002, industri hulu migas di Indonesia lebih didominasi gas. Tren tersebut diperkirakan akan terus berlanjut di
6
masa mendatang mengingat Indonesia masih memilki sejumlah proyek gas berskala besar yang akan on stream dalam waktu dekat. Di saat yang sama, kebutuhan gas domestik saat ini cukup tinggi tetapi pasokan gas dari hulu ke konsumen domestik masih terganggu dengan terbatasnya infrastruktur di midstream dan downstream. Bahkan tidak jarang jatah gas dalam negeri tidak terserap konsumen domestik akibat minimnya fasilitas infrastruktur seperti belum terpasangnya jaringan pipa. Pada dasarnya sistem transportasi gas alam meliputi : Transportasi melalui pipa salur, transportasi dalam bentuk Liquefied Natural Gas (LNG) dengan kapal tanker LNG untuk pengangkutan jarak jauh dan transportasi dalam bentuk Compressed Natural Gas (CNG), baik di daratan dengan road tanker maupun dengan kapal tanker CNG di laut, untuk jarak dekat dan menengah (antar pulau). Ketersediaan infrastruktur menjadi kunci utama kelancaran pasokan gas dari hulu ke hilir. Mulai pada tahun 2014 kebutuhan gas terbesar ada di wilayah Jawa Barat dan Sulawesi, tetapi produksi gas terbanyak ada di kawasan Sumatera bagian tengah, Kalimantan Timur dan Papua. Tanpa adanya jaringan pipa penghubung maupun infrastruktur pendukung lainnya, penyaluran gas dari satu tempat ke tempat lain akan terkendala, bahkan sulit dilakukan. Akibatnya, suplai gas tidak bisa terserap secara optimal. Indonesia masih kekurangan infrastruktur untuk mendukung pemanfaatan gas di sektor domestik. Pembangunan
7
infrastruktur untuk gas masih kurang progresif apabila dibandingkan dengan terus meningkatnya kebutuhan gas domestik.8 Terbatasnya kemampuan pembiayaan pemerintah, tingginya kebutuhan masyarakat akan infrastruktur, dan adanya potensi pengikutsertaan investasi swasta dalam pembangunan infrastruktur mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi dalam mempercepat pembangunan infrastruktur. Reformasi tersebut mengandung tiga pokok pembaharuan, yaitu (1) penghapusan bentuk monopoli
dengan
mendorong
terciptanya
kompetisi;
(2)
penghilangan
diskriminasi dan hambatan bagi swasta dan koperasi dalam penyediaan infrastruktur; dan (3) reposisi peran pemerintah
termasuk pemisahan fungsi
pembuat kebijakan dan fungsi operasi.9 Di Indonesia, Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Hilir Migas) telah menyusun Master Plan "Sistem Jaringan Induk Transmisi Gas Nasional Terpadu". Sistem jaringan pipa gas alam membentang sambung menyambung dari Aceh-Sumatera Utara-Sumatera Tengah-Sumatera Selatan-Jawa-Sulawesi dan Kalimantan. Saat ini jaringan pipa gas di Indonesia dimiliki oleh PERTAMINA dan PGN dan masih terlokalisir terpisah-pisah pada daerah-daerah tertentu, misalnya di Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Infrastruktur jaringan induk transmisi
8 9
Buletin BUMI Juni 2014, http://humasskkmigas.wordpress.com/2014/06/17/dukungan-infrastruktur-untukpengembangan-gas/, diakses 25 oktober 2014 http://www.bappenas.go.id/files/3313/6082/9889/percepatan_pembangunan_infrasruktur, diakses 25 oktober 2014
8
dan distribusi menjangkau area yang merupakan pasar utama gas. Pada area marginal baik dari sisi pasokan maupun kebutuhan pasar merupakan area yang tidak terjangkau oleh jaringan tersebut. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya anggaran pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara yang melakukan kegiatan sebagai operator yang melakukan investasi dengan tujuan keuntungan untuk infrastruktur jaringan tersebut. Dasar pengelolaan migas di Indonesia termaktub dalam konstitusi negara Indonesia yaitu dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam pasal ini, ayat (2) dan (3) secara berturut-turut berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Frase ‘cabang-cabang produksi’ dalam ayat (2) menyatakan kegiatan hilir berada di bawah kuasa pemerintah. Begitu pula dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang tercermin pada frase ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung’. Ini artinya, pemerintah bertanggungjawab secara penuh atas keberlangsungan kegiatan pengelolaan energi. Salah satu cerminan dari pasal 33 UUD tahun 1945 adalah UU No.8 tahun 1971 yang mengatur tata kelola energi primer sektor migas. Landasan hukum tata kelola sumber energi primer sektor migas berubah dari UU No.8 tahun 1971 menjadi UU Migas merubah pula secara keseluruhan nilai dan proses ekenomi pada sektor migas di Indonesia. Faktanya, latar
9
belakang UU Migas tidak berdasarkan UUD 1945 pasal 33 dan tidak disesuaikan dengan realita Indonesia. Berlakunya UU Migas merupakan bagian dari komitmen Indonesia terhadap IMF untuk mendapatkan paket pinjaman dana sebesar $43 miliar ketika krisis tahun 1997/1998 terjadi. Restrukturisasi ekonomi pada masa itu merujuk pada liberalisasi pasar di sektor migas yang mengakibatkan UU No.8 tahun 1971 harus diganti. Dapat disimpulkan bahwa penggantian UU Pertamina menjadi UU Migas berawal dari persengketaan kepemilikan blok tempat produksi migas, dengan kata lain ketika sektor usaha hulu menjadi persengketaan maka berimbas ke sektor usaha hilir. Penerapan liberalisasi sektor migas mengakhiri hak istimewa Pertamina dalam penyediaan dan pendistribusian BBM dan menjadikan UU Migas yang diwarnai dengan beberapa pasal yang mengedepankan pasar bebas. Akibat dari proses bisnis migas ini menimbulkan ongkos produksi migas di Indonesia semakin mahal dan berakibat pada naiknya harga jual kepada masyarakat.10 Perihal pengaturan privatisasi ini kemudian ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah yang mengacu pada Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat.11 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengubah banyak hal mengenai pengelolaan industri minyak dan gas bumi Indonesia. UU 22/2001 dimaksudkan untuk menciptakan kegiatan usaha minyak 10 11
Majalah Energi, Edisi November 2010, Halaman 48, dikutip dari http://majalahenergi.com/ akademisi/kisruh-migas-pasca-uu-migas-no-22-tahun-2001, diakses 25 oktober 2014 Suyitno Patmokusumo, Hal 183
10
dan gas bumi yang mandiri, transparan, berdaya saing, berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional. Beberapa ciri yang dapat dikemukakan dari UU 22/2001 tersebut adalah pembagian yang lebih tegas antara fungsi-fungsi pemerintah, pengatur dan pelaku usaha, pemecahan rantai usaha ke dalam beberapa kegiatan utama (unbundling) serta penekanan pada liberalisasi sektor hilir.12 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Minyak dan Gas Bumi (Migas) adalah Putusan MK atas Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas. Putusan MK yang berisi pembatalan atas beberapa ketentuan dalam UU Migas ini antara lain menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, menyatakan Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”, Pasal 28 ayat (2) dan (3) yang berbunyi, ayat (2) “Harga Bahan Bakar Minyak dan gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat” dan wajar”, dan Ayat (3) “Pelaksanaan kebijakan
harga
sebagaimana
dimaksud
ayat
(2)
tidak
mengurangi
tanggungjawab sosial Pemerintah terhadap golongan tertentu” dari UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas bertentangan dengan UUD 1945, dan menyatakan Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”, Pasal 28 ayat (2) dan (3)
12
Hanan Nugroho, hal 3
11
Undang undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas
tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.13
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat disampaikan permasalahan pokok yang akan dikaji dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi berimplikasi efektif pada peran pemerintah untuk menjamin ketersediaan pasokan dengan penetapan harga gas hilir? 2. Dengan adanya peran pemerintah dalam penetapan harga gas hilir pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi,
bagaimanakah
kelayakan
keekonomian
investasi
infrastruktur pada area marginal?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok bahasan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah untuk mengetahui dan memahami: 1. Keefektifan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan adanya kewajiban alokasi domestik dan penetapan harga untuk menjamin ketersediaan pasokan gas bumi hilir dengan harga wajar.
13
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 21 Desember 2004 hal 31.
12
2. Kelayakan keekonomian suatu investasi infrstruktur gas bumi skala kecil di area marginal gas hilir dengan adanya potensi penetapan harga oleh pemerintah.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis, dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya terkait hukum dan penerapan Undang-Undang Migas. 2. Secara praktis, untuk memberi sumbangan saran/informasi dan salah satu dasar dalam penentuan kebijakan bagi, aparat pemerintahan, aparat hukum, konsumen gas dan pengabilan keputusan instasi bagi investor infrastruktur gas hilir.
E. Keaslian Penelitian Menurut sepengetahuan peneliti dan hasil penelusuran perpustakan yang ada teradapat tesis dan desertasi hukum yang menjadikan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi sebagai objek kajian, yaitu; (1) Tesis milik Rine Nine Furusine, yang berjudul Pembenahan Undang Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka Pengembangan Industri Hulu Migas. Perbedaan tesis milik Rine Nine Furusine dengan milik penulis ialah tesis milik Rine Nine Furusine berfokus pada permasalahan dan pembenahan hukum hulu migas. (2) Desertasi Suyitno Padmosukismo yang berjudul Perspektif Politik
Hukum
Pengelolaan
Industri
Migas
dalam
Kaitannya
dengan
Pembangunan Ekonomi Nasional untuk Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat
13
yang diterbitkan menjadi buku oleh Penerbit Fikahati Aneska tahun 2011 yang berjudul Migas: Politik, Hukum dan Industri. Perbedaan desertasi milik Suyitno Padmosukismo dengan tesis milik penulis ialah desertasi milik Suyitno Padmosukismo berfokus pada perbandingan politik hukum migas pada orde lama, orde baru dan orde reformasi. Buku milik Suyitno Padmosukismo tahun 2011 menjadi salah satu bahan pustaka dalam penulisan tesis ini. Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan informasi maupun data yang ada pada kepustakaan terhadap judul ini belum ada dilakukan penelitian sebelumnya. Pembahasan ataupun penulisan tesis ini dengan judul “Implikasi Putusan
Mahkamah
Ketersediaan
Pasokan
Konstitusi
Nomor
dengan
Penetapan
002/PUU-I/2003 Harga
dan
terhadap Kelayakan
Keekonomian Investasi Infrastrukur Gas Hilir” belum pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dan dengan demikian penelitian yang diajukan ini adalah asli dan aktual maka penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.