BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Tulisan ini merupakan hasil kajian tentang interaksi antara manusia
dengan lingkungan melalui mata pencahariannya. Industri marmo merupakan bagian dari aktivitas ekonomi masyarakat di kawasan pertambangan marmer yang menjadi salah satu mata pencaharian penting bagi masyarakat Desa Besole, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung. Dipilihnya aspek mata pencaharian dalam kajian ini didasarkan pada pemahaman bahwa melalui aktivitas tersebut, mereka melakukan interaksi dengan lingkungannya baik fisik maupun sosial. Lingkungan fisik mencangkup daerah tambang dan kandungan sumberdaya alam, senantiasa dipersepsikan, ditanggapi dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga keberlanjutan atau eksistensi mata pencahariannya tetap dapat dipertahankan. Penggambaran interaksi antara masyarakat lokal yang terlibat dalam kelompok kerja
industri
marmo
dengan
lingkungannya,
dilakukan
dengan
mengoperasionalkan pendekatan dalam ilmu antropologi. Kabupaten Tulungagung memiliki kawasan perbukitan yang ditutupi oleh batu gamping yang telah mengeras sehingga menjadi marmer di bagian selatan. Luas wilayah Kabupaten Tulungagung yang mencapai 1.055,65 Km² yang terbagi dalam 19 Kecamatan dan 271 desa/kelurahan1. Dengan jumlah penduduk 1.048.472 jiwa di tahun 2012. Daerah ini mempunyai dataran sedang-tinggi dan
1
Sumber: http://www.tulungagung.go.id/index.php/, diakses Jumat, 26 Desember 2014
1
2
dilintasi pegunungan kapur di bagian selatan, Kabupaten Tulungagung menyimpan sumberdaya alam berupa batuan gamping kualitas baik, sehingga batu dapat diolah menjadi marmer beserta kerajinan-kerajinan batu turunannya. Menurut Undang-Undang Dasar Negara Pasal 33 disebutkan bahwa pemerintah menguasai sumber daya alam yang digunakan sebesar-besarnya untuk rakyat. Dari dasar hukum tersebut, pemerintahlah yang mengatur pengelolaan air limbah dan sisa hasil industri lainnya yang tidak terpakai. Dalam pasal 3 pada Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup pun disebutkan bahwa pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Namun, pada kenyataannya pihak pemerintah belum dapat melakukan monitoring dan pengontrolan terhadap air limbah yang semakin bertambah seiring dengan majunya industri. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tulungagung perusahaan Industri Kecil dan Kerajinan Rumah tangga (IKKR) tahun 2012 mengalami kenaikan sebesar 0,76 persen. Secara ekonomi, peningkatan jumlah industri dipandang sebagai peningkatan dalam kesejahteraan masyarakat. Namun, disisi lain hal ini juga berpengaruh dalam aspek ekologi, yakni bagaimana pengelolaan limbah industri-industri kecil termasuk industri marmoini tidak menimbulkan dampak negatif bagi kelangsungan hidup masyarakat. Sehingga tidak terjadi pencemaran lingkungan, seperti keruhnya sumber air, buruknya kualitas udara, dan kumuhnya tempat tinggal di sekitar industri.
3
Sebelum adanya industri marmo, Kabupaten Tulungagung sudah dikenal melalui produksi marmernya. Industri marmer di Tulungagung berpusat di wilayah Selatan, tepatnya di desa Besole. Sebagai daerah industri pertambangan dan pengolahan marmer, masyarakat lokal mempunyai cara sendiri untuk bertahan hidup di kawasan pertambangan. Berdirinya PT Industri Marmer Indonesia Tulungagung dan PT Dwi Tunggal Marmer Indonesia di desa Besole menjadi salah satu penanda bagi masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam berupa marmer untuk diolah menjadi barang bernilai. Pada awal tahun 1980-an masyarakat lokal mulai mengolah batuan gamping dengan cara pembakaran untuk mendapatkan serbuk kapur (Wibisono, 1983: 20). Kemudian pada pertengahan tahun 1990-an limbah marmer berupa potongan batu yang tidak terpakai dari PT IMIT dan PT DTMI diolah menjadi aspal2. Pada tahun yang sama pembakaran batu gamping sudah mulai ditinggalkan dan masyarakat mulai mengolah marmer menjadi kerajinan rumah tangga, seperti vas bunga, asbak, meja, kursi, dan hiasan lainnya. Pada akhir tahun 1990-an, masyarakat mulai mengolah kerajinan marmer jenis baru, yakni marmo. Dalam proses pengambilan data sampai pada tingkat analisa data, penulis sempat kebingungan dengan penggunaan istilah „marmer‟. Hal ini disebabkan masyarakat lokal menyebut bahan baku berupa batuan dari tambang sebagai „marmer‟ dan juga dalam hal produk yang sudah jadi. Hal tersebut membuat kerancuan di mana „marmer‟ digunakan untuk merujuk bahan baku juga dipakai sebagai hasil produk „marmer‟ itu sendiri. Sebagai contoh produk berupa 2
Aspal merupakan jenis kerajinan marmer yang diolah melalui pemotongan sehingga berbentuk pipih, kemudian diperhalus seperti keramik untuk dijadikan lantai. (Wawancara dengan Bapak Safuan, 7 Februari 2015)
4
lempengan tipis yang biasanya digunakan untuk lantai, maupun bahan baku kerjinan rumah tangga juga disebut sebagai „marmer‟ terbuat dari „marmer‟. Oleh karena itu, penulis menggunakan istilah „batu gamping‟ untuk merujuk pada bahan baku yang digunakan dalam industri tersebut, sedangkan „marmer‟ dalam hal ini untuk merujuk produknya. Pada dasarnya penggunaan istilah ini adalah untuk memudahkan pembaca dalam memahami alur karya tulis ini. Marmer merupakan produk jadi yang berasal dari batu gamping. Marmer ini biasanya berupa lempengan segiempat tipis, dan salah satu permukaannya halus. Marmer biasanya digunakan sebagai pelapis lantai, juga dapat dibentuk meja, kursi dan kerajinan rumah tangga lainnya. Tahun demi tahun, industri ini semakin berkembang sampai pada akhirnya muncul kerajinan jenis baru dengan bahan baku yang sama yakni marmo. Kerajinan jenis ini pada awalnya merupakan sisa hasil industri marmo berupa potongan-potongan berukuran sedang, kemudian diolah menjadi barang komoditi yang bernilai tinggi. Dari langkah awal inilah kemudian industri marmo menjadi berkembang sampai saat ini, dan banyak masyarakat yang mendirikan sebuah unit usaha untuk memproduksi marmo. Marmo ini pada dasarnya merupakan istilah untuk kerajinan yang berasal dari sisa-sisa potongan marmer yang diolah dengan menggunakan gergaji mesin untuk mendapatkan ukuran-ukuran tertentu, kemudian dibentuk dengan cara di thithik3. Umumnya marmo digunakan untuk menghias dinding pagar, perumahan, maupun gedung. Karajinan Marmo sudah banyak digunakan di berbagai gedung sekolah, instansi, maupun perkantoran namun belum banyak orang yang 3
Thithik merupakan aktivitas khas dalam pembuatan marmo, yakni dengan cara memukul batu marmer yang sudah dipotong sesuai ukuran untuk mendapatkan sisi yang tidak beraturan dari pecahan tersebut. (Wawancara dengan Sdr. Anjar, 24 Januari 2015)
5
mengenal cerita dibalik kerajinan jenis ini. Saat ini, industri marmo di desa Besole mencapai puncak keemasan yang ditandai dengan banyaknya pengusaha lokal skala kecil-menengah yang mendirikan grajen4. Produksi kerajinan marmo ini berbanding lurus dengan aktivitas penambangan marmer. Sehingga, Industri marmo ini sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat setempat, terutama dalam aspek ekonomi dan ekologi. Dalam aspek ekonomi misalnya, industri marmo ini telah menambah lapangan kerja baru karena terdapat pola ekonomi baru terkait proses produksi dan pengelolaan limbah industri. Pemanfaatan marmer lokal sebagai bahan mentah marmo sendiri juga memunculkan masalahmasalah ekologi, seperti kerusakan lahan di daerah tambang karena cenderung mengeksploitasi alam. Belum lagi industri pengolahan marmo yang berdiri di pemukiman setempat juga menimbulkan masalah lingkungan. Proses pengolahan marmo yang menggunakan mesin diesel untuk menjalankan gergaji, serta lalulalang transportasi pengangkut bahan mentah yang menambah polusi udara di sekitar pemukiman. Begitu juga dalam aspek politik, bagaimana kebijakan pemerintah setempat dalam mengelola industri-industri kecil tersebut agar tidak merugikan masyarakat lain. Pada dasarnya proses produksi hanya peduli untuk menghasilkan nilai tukar maksimal bagi setiap biaya yang dikeluarkan. Prioritasnya adalah untuk menekan biaya produksi serendah mungkin dan menghasilkan keuntungan semaksimal mungkin. Produsen akan menghindari pembiayaan lebih untuk melestarikan keseimbangan ekologis. Pembahasan mengenai ekologi tidak 4
Grajen merupakan pabrik/ unit pengolahan marmo. Berasal dari kata graji (bahasa jawa) yang artinya gergaji alat untuk memotong batu marmer. (Wawancara dengan Ibu Yatini, 30 Januari 2015)
6
terlepas dari aktivitas ekonomi yang menghancurkan lingkungan (Gorz, 2005: 37). Ekologi memberikan perhatiannya pada batas-batas eksternal yang harus dihormati dan diperhatikan oleh aktivitas ekonomi, sehingga dapat menghindari dampak-dampak
yang
bertentangan
dengan
aktivitas
tersebut.
Menurut
Soemarwoto (1994: 54), manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Interaksi yang dilakukan oleh manusia terhadap lingkungan ini kemudian saling mempengaruhi dan saling membantu satu sama lain. Keselarasan antara manusia dan alam menjadi persoalan ekologi dimana sumberdaya alam menjadi kebutuhan manusia untuk keberlangsungan hidupnya. Meningkatnya aktivitas manusia akibat dari praktek industrialisasi, telah meningkatkan pula jumlah limbah sebagai sisa hasil produksi tersebut. Seperti kasus-kasus dalam studi ekologi-budaya yang mempelajari tentang hubungan manusia dengan lingkungan dalam perspektif budaya lokal, sebuah industri umumnya memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi dan mengesampingkan limbah industri yang tidak terpakai. Sehingga limbah industri tersebut mengakibatkan pencemaran lingkungan, salah satunya sumber air. Menurut
Masbah (2004:
7),
pencemaran
air
adalah
“masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya”. Oleh karena itu, pencemaran air yang telah meluas dan berkembang pesat perlu pengelolaan limbah yang tepat untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
7
Masalah lingkungan yang dibahas dalam studi ini juga tidak terlepas dari masalah ekonomi akibat dari praktek industrialisasi. Masalah tersebut berdampak pada perubahan budaya yang terjadi dalam masyarakat yang merespon perubahan lingkungan yang terjadi. Pengelolaan lingkungan yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian adalah rencana proyek pembangunan dan untuk memperbaiki lingkungan yang mengalami kerusakan. Pengelolaan lingkungan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat pun telah memudar. Di lain pihak, pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh pemerintah lebih bersifat reaktif terhadap hasil pencemaran, bukan sebagai tindakan pemeliharaan lingkungan atau pencegahan terjadinya pencemaran. Oleh karenanya citra yang terbentuk menjurus pada anggapan bahwa pengelolaan lingkungan menghambat pembangunan. Dengan kata lain, ekologi menjadi penghambat perkembangan ekonomi (Gorz, 2005: 37). Di sisi lain, lingkungan selalu berubah. Kadang-kadang perubahan terjadi dengan lambat, bahkan dapat pula terjadi dengan cepat. Hal ini terjadi karena adanya dinamika ekosistem, yaitu kondisi lingkungan yang selalu berubah-ubah dan terlibat dalam proses evolusi, baik secara alamiah ataupun terjadi karena campur tangan manusia (Soemarwoto, 1994: 23). Sebagai masyarakat yang tinggal di kawasan tambang marmer Desa Besole dalam jangka waktu lama dan turun-temurun beserta generasinya, masyarakat lokal ini merupakan pihak yang berhubungan paling kuat dengan sumberdaya marmer. Hubungan yang mendalam antara masyarakat dengan sumberdaya marmer ini berlangsung secara turun-temurun kemudian dipandang telah melahirkan kearifan dan pengetahuan tentang sumberdaya tersebut ke dalam
8
kehidupan mereka. Dengan asumsi bahwa masyarakat sudah lama menetap di kawasan tambang marmer memiliki pengetahuan dan pemaknaan tersendiri tentang marmer dan hal ini cenderung tidak bisa disamakan dengan pengetahuan umum yang dimiliki oleh masyarakat lain. Kedekatan inilah yang kemudian membuat mereka menyatu baik sadar maupun tidak dalam kehidupan terutama dalam aktivitas ekonominya. Penelitian ini pada dasarnya ingin mengetahui dan memahami budaya serta pengetahuan masyarakat lokal terhadap kawasan tambang beserta sumberdaya marmernya. Melalui serangkaian aktivitas dalam industri marmo ini, diharapkan dapat mengupas berbagai masalah terutama berkaitan dengan ekonomi, serta lingkungan baik secara fisik maupun sosial.
1.2
Rumusan Masalah Munculnya usaha pembuatan marmo yang termasuk dalam turunan
industri kerajinan marmer ini,telah membuka harapan baru bagi masyarakat sekitar terutama dalam penyerapan tenagakerja. Selain itu, masyarakat desa Besole yang berada tepat kawasan pertambangan diuntungkan dengan berdirinya perusahaan marmer nasional PT IMIT dan PT DTMI. Disamping memberikan pengetahuan tentang pemanfaatan sumberdaya alam menjadi barang bernilai, perusahaan marmer tersebut menyediakan limbah industri sebagai bahan mentah pembuatan marmo. Limbah kering berupa potongan marmer dari perusahaan inikemudian distribusikan secara bergilir ke industri-industrilokal skala kecilmenengah untuk diolah kembali menjadi barang industri. Selain dari limbah
9
perusahaan tersebut, bahan baku marmo didapat dari pertambangan lokal/ tambang rakyat yang terletak di sekitar tambang milik perusahaan. Hal ini menjadikan kawasan tambang yang dulunya berupa perbukitan hutan dan perladangan mulai terkikis karena gencarnya pemanfaatan sumberdaya alam oleh industri pengolahan batu marmer ini. Keadaan tersebut ditambah dengan munculnya
industri marmo yang kian tahun berkembang, dan telah
mempengaruhi kualitas udara di lingkungan sekitar akibat dari penggunaan mesin industri. Ditambah lagi dengan polusi udara dari kendaraan pengangkut batu yang silih berganti meninggalkan debu, serta bisingnya mesin industri yang tepat berada di area pemukiman. Realitas baru atas lingkungan mereka melahirkan pandangan-pandangan baru tentang lingkungannya hingga terbentuknya perilaku yang berpola dalam menghadapinya. Lingkungan fisik dalam hal ini telah dipahami, diinterpretasikan, dan ditanggapi sedemikian rupa sehingga menjadi lingkungan budaya. Kebudayaan suatu masyarakat kawasan tambang disini menjadi penting sebagai model-model bagi interpretasi, tindakan, perilaku dan interaksi, baik terhadap lingkungan maupun sosialnya. Terkait hal tersebut, maka diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Mengapa industri marmo berkembang pesat dalam periode terakhir ini? 2. Bagaimana strategi adaptasi pengusaha marmo guna menghadapi masalahmasalah yang mereka hadapi dalam usahanya? Apakah strategi tersebut memuat prinsip ekonomi moral atau rasional atau keduanya?
10
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gejala umum desa Besole khususnya yang berada di dalam kawasan industri pertambangan dan pengolahan batu marmer sebagai basis penelitian. Penelitian ini juga bertujuan untuk memahai pola perilaku masyarakat khususnya pelaku usaha, serta masalahmasalah yang berkaitan dengan pola tersebut. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara ilmiah sekaligus memahami variablevariabel terpenting penelitian, sebagai berikut: 1. Bentuk, situasi dan kondisi masyarakat di kawasan tambang marmer. Kemudian, interaksi, dan relasi sosial atau pola hubungan masyarakat yang termasuk dalam pelaku industri marmo. 2. Masalah-masalah yang dihadapi para pelaku usaha marmo, termasuk bentukbentuk strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
1.3.2 Manfaat Penelitian Secara teoritis penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangan sekaligus menambah khazanah studi antropologi budaya, khususnya yang berkaitan dengan kondisi budaya masyarakat di kawasan tambang marmer. Manfaat teoritis lain dalam kasus ini dapat menambah gambaran lain tentang fenomena sosial-budaya yang dikaitkan dengan studi ekologi. Sedangkan secara praktis
hasil
penelitian
ini
berkepentingan, sebagai berikut:
diharapkan
dapat
bermanfaat
bagi
pihak
11
1. Pemerintah, pengambil kebijakan dalam rangka menentukan berbagai peraturan yang akan dikeluarkan terkait dengan masalah-masalah lingkungan dan budaya. 2. Pengusaha/ pengelola industri pertambangan dan pengolahan batu marmer, sebagai bahan pertimbangan dan kesadaran terhadap dampak sosial, ekonomi dan ekologi yang terjadi dalam jangka panjang. 3. Masyarakat di kawasan pertambangan dan pengolahan batu marmer itu sendiri untuk lebih kritis terhadap dampak ekologi, serta sadar akan terbatasnya sumber daya alam sebagai tumpuhan ekonomi mereka.
1.4
Tinjauan Pustaka Penelitian ini pada dasarnya melihat interaksi antara manusia dengan
lingkungannya, maka bagian Tinjuan Pustaka ini difokuskan pada isu-isu yang berkaitan dengan kedua hal tersebut. Lingkungan fisik berupa kawasan tambang dan sumberdaya di dalamnya dipandang banyak pihak mendapat pengaruh langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia: masyarakat di kawasan tambang pada umumnya dan para pelaku industri marmo khususnya. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dibicarakan kedua hal tersebut yakni kondisi fisik kawasan tambang marmer dan aktivitas masyarakat lokal terkait pemanfaatan sumber daya alam sebagai salah satu strategi adaptasi ekonomi mereka. Literatur yang mengulas tentang kehidupan sosial-budaya masyarakat di Kabupaten Tulungagung masih sangat terbatas, baik dari segi kedalaman kajian maupun dari segi jumlahnya. Dengan kenyataan ini, tinjauan terhadap beberapa
12
publikasi yang membahas isu serupa terhadap masyarakat kawasan tambang marmer di beberapa tempat di Indonesia dilakukan. Kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa kajian mengenai kehidupan masyarakat kawasan tambang marmer di Kabupaten Tulungagung relatif belum dilakukan secara intensif. Salah satu hasil penelitian yang masih relevan dalam kaitannya tema pokok penelitian di atas adalah Gunawan Wibisono (1983) yang berjudul “Usaha Pembuatan Kapur di Desa Besole Kecamatan Besuki Kabupaten Tulungagung Propinsi Jawa Timur: Suatu Tinjauan Sosial Ekonomi dan Ekologi” sesuai dengan judul dari laporan penelitian tersebut, berisi tentang aktivitas pengolahan batu kapur yang ada di desa Besole pada tahun 1980-an. Dalam laporan tersebut dipaparkan bahwa masyarakat desa Besole secara menyeluruh (bukan hanya yang berada di kawasan tambang marmer) banyak yang mendirikan usaha pembuatan kapur. Pembuatan kapur ini, dilakukan dengan cara membakar batu kapur yang diperoleh melalui penambangan. Menurut Gunawan proses penambangan pada saat itu secara manual menggunakan peralatan besi seperti palu, paji, bor manual dan peralatan lainnya. Berbeda dengan penambangan di perusahaan marmer PT IMIT dan PT DTMI, pada saat itu penambangan dilakukan dengan menggunakan mesin bor dan peralatan canggih lainnya. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa usaha pembuatan kapur di desa Besole dapat menambah penghasilan ekonomi masyarakat yang terlibat di dalamnya. Pengusaha lokal telah mengajak masyarakat setempat untuk ikut dalam usaha ini dengan menjadi buruh di pembakaran kapur. Masyarakat pada saat itu masih banyak yang bekerja di bidang pertanian, namun di saat-saat tertentu
13
menjadi pekerja di industri pembuatan kapur. Proses produksi kapur ini tidak dilakukan setiap hari, oleh karena itu masyarakat yang terlibat dalam pembakaran kapur biasanya mempunyai pekerjaan lain, yakni bertani maupun berternak. Dalam penelitian tersebut dijelaskan pula bagaimana kondisi ekologi di daerah pertambangan. Saat itu masih sedikit penambang lokal yang memasok batu gamping untuk pembakaran kapur, sehingga kondisi tambang masih hijau dipenuhi pepohonan bahkan masih ditemukan primata lokal disamping tambang perusahaan marmer. Kondisi jalan di desa dan pemukiman warga, pada tahun 1980-an jalanan masih tanah dan hanya jalan utama menuju pantai popoh yang beraspal. Rumah-rumah warga masih semi-permanen berbahan bambu (gedhek, istilah masyarakat lokal/ bahasa Jawa). Masalah lingkungan yang muncul dalam industri pembuatan kapur ini adalah asap pembakaran kapur dan polusi udara dari transportasi pengangkut batu gamping. Gunawan juga menjelaskan bahwa hal ini tidak dianggap serius bagi masyarakat, meskipun dampaknya bagi kesehatan sangat berpengaruh. Hal ini beralasan karena masyarakat mendapatkan penghasilan tambahan dari pembakaran kapur tersebut. Hasil penelitian berikutnya berkaitan dengan pengetahuan lokal tentang pemanfaatan limbah industri. Hal ini masih relevan dengan tema pokok, tentang ekologi-budaya masyarakat di kawasan pertambangan yakni Nurstiyani (2010) “Pemanfaatan Limbah Pengolahan Marmer Sebagai Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dan Mengurangi Dampak Pencemaran Lingkungan: Studi Kasus di Desa Besole, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung”. Dalam laporan penelitian tersebut dijelaskan bahwa masyarakat desa Besole
14
sangat bergantung pada alam untuk bertahan hidup, sebagian besar masyarakat bekerja di sektor pertanian dan sebagian yang berada di kawasan tambang cenderung sebagai pengrajin marmer. Masalah lingkungan sangat diperhatikan dalam penelitian tersebut, karena pada dasarnya peneliti memfokuskan diri pada pemanfaatan limbah sebagai jalan untuk meminimalisir dampak lingkungan disamping hal tersebut juga berpengaruh pada ekonomi warga. Dengan kondisi lingkungan yang berada di daerah tambang, masyarakat mampu beradaptasi dengan memanfaatkan limbah marmer sebagai upaya mengurangi dampak pencemaran lingkungan. Limbah industri ini berasal dari perusahaan marmer maupun industri lokal yang mengolah kerajinan marmer yang kemudian dikeringkan menjadi dolosit5 sebagai campuran bahan bangunan sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Nurstiyani juga menjelaskan bahwa pemanfaatan limbah marmer ini berdampak pada kesejahteraan masyarakat lokal, hal ini dikarenakan adanya peningkatan pendapatan, mengurangi angka pengangguran, dan adanya perbaikan-perbaikan fasilitas umum seperti adanya pembangunan jalan, bantuan sosial, serta adanya pembangunan saluran air untuk pertanian. Literatur selanjutnya berhubungan dengan masyarakat tambang yang dipaparkan oleh Howard (1995, dalam Ballard & Banks, 2003) yakni tentang empat kemungkinan pola hidup masyarakat lokal dalam konteks pertambangan di Asia Tenggara, yaitu: “Masyarakat lokal dengan gaya hidup pra-industrial; petani yang mencari keuntungan dari pertambangan; penambang skala kecil yang 5
Dolosit merupakan serbuk putih yang berasal dari limbah cair marmer yang diendapkan kemudian dikeringkan.
15
biasanya bersaing dengan pertambangan skala besar; dan pekerja tambang”. Kehadiran industri tambang ini memiliki dua sisi yang saling melengkapi, yakni manfaat dan dampak buruk yang diterima oleh masyarakat lokal. Di sinilah dilemma posisi masyarakat lokal menghadapi industri pertambangan. Seperti yang diungkapkan oleh Ballard & Banks (2003), bahwa “The local communities have swiftly assumed a pivotal position in the politics and analyses of the wider global mining community. However unequally the might be positioned with respect to the distribution of the benefits and the negative impacts of the industry”. (Masyarakat lokal secara cepat telah menjadi posisi yang sangat penting dalam politik dan analisis komunitas pertambangan global, walaupun begitu secara tidak seimbang mereka mungkin akan diposisikan dengan hormat atas distribusi keuntungan dan efek buruk dari industri). Salah satu efek negatif dari hadirnya industri pertambangan bagi masyarakat lokal, yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani adalah hilangnya akses mereka pada aset utama masyarakat agrarian, yaitu tanah. Kegiatan agraria yang berlangsung secara turun temurun digusur untuk kepentingan industri pertambangan. Montrie (2003) memaparkan perbandingan pengelolaan tanah yang dilakukan oleh petani dan perusahaan tambang, yaitu: …farmer worked the soil with long-term perspective and their ability to continue to use the land productively was intimately linked to the stability of local communities. Strippers, on the other hand, were purportedly motivated by greed and had little interest in either the health of the soil or the well-being of the surrounding communities. (…petani mengerjakan tanah dengan perspektif jangka panjang dan kemampuan mereka mengelola lahan secara produktif sangat terkait dengan stabilitas masyarakat lokal. Pertambangan terbuka, di sisi lain, termotivasi atas dasar ketamakan dan hanya memiliki ketertarikan yang
16
sangat kecil terhadap kesehatan tanah atau kehidupan di sekitar komunitas) Hasil penelitian di atas memang berbeda dari segi pendekatan dalam proses penelitiannya. Namun, jika ditarik benang merah akan sama yakni menjelaskan tentang kondisi masyarakat dari aspek ekologi yang berkaitan dengan ekonomi ataupun sebaliknya. Studi kasus dari kedua penelitian tersebut sama-sama di Tulungagung, meskipun tidak secara rinci namun terdapat gambaran mengenai keadaan masyarakat di kawasan tambang marmer dari aspek sosial-budaya bahkan situasi politik daerah setempat. Sesuai dengan topik, peneliti akan memberikan perhatian pada aktivitas masyarakat dalam industri pengolahan marmer dan marmo. Melalui studi ekologi-budaya yang menerapkan perspektif dari masyarakat lokal, diharapkan dapat menjelaskan kondisi masyarakat desa Besole yang berada di kawasan pertambangan marmer. Dengan demikian, dapat diketahui permasalahan-permasalahan yang terkait dengan lingkungan dan juga pengetahuan lokal yang berkaitan dengan industri marmer dan marmo.
1.5
Kerangka Pemikiran Industri marmo ini merupakan salah satu bentuk usaha yang dilakukan
oleh masyarakat di wilayah Desa Besole. Kabupaten Tulungagung untuk mempertahankan hidup. Seperti halnya makhluk hidup pada umumnya, masyarkat Besolejuga harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok tertentu untuk dapat menjalankan kehidupannya, baik kebutuhan biologis maupun kebutuhan lainnya.
17
Menurut Haviland (1985b, dalam Ahimsa-Putra, 2003) kebutuhan fundamental yang dipecahkan oleh setiap kebudayaan mempunyai tingkatan. Pertama, kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti pangan, penyaluran hasrat; kedua, kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan akan hukum dan pendidikan; dan ketiga, kebudayaan harus memenuhi integratif, seperti agama dan kesenian. Kebutuhan tersebut merupakan syarat minimal agar makhluk hidup dapat bertahan hidup. Berkaitan
dengan
upaya
mempertahankan
serta
kelangsungan
kehidupannya setiap makhluk hidup perlu melakukan adaptasi. Salah satu perhatian dari kajian antropologi adalah masalah adaptasi kelompok dan adaptasi budaya (Kaplan dan Manners, 2004: 47). Perspektif antropologi mendefinisikan adaptasi sebagai suatu strategi yang digunakan oleh manusia di dalam sepanjang masa hidupnya untuk mengantisipasi perubahan lingkungan, baik fisik maupun sosial (Alland Jr., 1975). Agar kelangsungan hidup manusia tetap terjaga, maka ia mengembangkan kapasitas dirinya untuk menghadapi kendala-kendala yang bersumber dari linkungan mereka. Semakin besar kemampuan adaptasi suatu makhluk
(manusia),
maka
semakin
besar
pula
kemungkinan
untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, adaptasi pada dasarnya merupakan serangkaian proses di mana individu-individu berusaha memaksimalkan kesempatan hidupnya (Sahlins, 1968). Teori adaptasi Bennett (Ahimsa-Putra, 2003: 10) mengemukakan bahwa adaptasi bukan hanya sekedar persoalan bagaimana manusia mendapatkan makanan dari suatu kawasan tertentu, tetapi juga mencangkup persoalan
18
transformasi sumberdaya-sumberdaya lokal dengan mengikuti model dan patokan-patokan, standard-standard konsumsi manusia yang umum, serta biaya dan harga atau mode-mode produksi tingkat nasional. Selanjutnya Bennett membedakan antara adaptive behavior (perilaku adaptif) dengan adaptive strategies (strategi-strategi adaptif) dan adaptive processes (proses-proses adaptif). Pembedaan semacam ini memudahkan kita dalam mempelajari masalah adaptasi karena perilaku-perilaku manusia sebagai hal yang mula-mula terlihat dan mudah diamati, berbeda secara konseptual dengan strategi dan proses. Jika strategi-strategi
adaptif
berada
pada
tingkat
kesadaran
individu
yang
menjalankannya (tineliti) sehingga mampu merumuskan dan menyatakannya, maka proses-proses adaptif merupakan pernyataan atau formulasi dari pengamat atau peneliti. Teori
Bannett
mengenai
perilaku
adaptif
(adaptive
behaviour)
menyulitkan peneliti karena didalamnya mencangkup perilaku-perilaku yang ditujukan untuk mengatasi kendala-kendala yang sulit, seperti kelangkaan dan keterbatasan sumberdaya, guna mencapai tujuan-tujuan tertentu atau mewujudkan harapan-harapan yang diinginkan (Ahimsa-Putra, 2003: 10). Artinya, suatu coping mechanisms dinyatakan berhasil jika: (1) tujuan-tujuan yang dimaksud telah tercapai, dan (2) harapan-harapan yang diinginkan tineliti juga terwujudkan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, maka penelitian ini menggunakan teori adaptasi yang telah disempurnakan oleh Ahimsa-Putra (2003: 12-13). Dengan mengganti „adaptif‟ menjadi „adaptasi‟, menurut Ahimsa-Putra setiap perilaku dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk menyesuaikan diri dengan suatu
19
lingkungan agar tercapai tujuan yang diinginkan dan masalah yang dihadapi dapat diatasi. Oleh karena itu, perilaku adaptasi adalah perilaku yang ditujukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi atau untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan. Ahimsa-Putra (2003: 13) mengemukakan bahwa strategi adaptasi mencakup pola-pola berbagai usaha yang direncanakan oleh manusia untuk dapat memenuhi syarat minimal yang dibutuhkannya dan untuk memecahkan masalahmasalah yang mereka hadapi di situ. Strategi adaptasi mengacu juga pada aturanaturan, pedoman, petunjuk, norma-norma untuk berperilaku, yang semuanya berada pada tataran ide dan pengetahuan. Oleh karena itu, teori adaptasi Bennett ini, oleh Ahimsa-Putra (2003: 12) dicakupkan ke dalam tiga hal, yaitu (1) strategi adaptasi, (2) perilaku adaptasi, dan (3) proses adaptasi. Istilah strategi di sini dapat menunjuk pada dua hal, yaitu (1) rencana, pedoman, petunjuk mengenai apa yang akan dilakukan, atau dapat pula berupa (2) perilaku atau tindakan-tindakan yang telah diwujudkan. Sehubungan dengan kajian mengenai strategi beradaptasi pengusaha marmo Besole, di sini akan diperhatikan kategorisasi-kategorisasi dan modelmodel yang dimiliki pengusaha tersebut untuk mewujudkan tingkah laku mereka sehari-hari. Strategi beradaptasi di sini diartikan sebagai pola-pola yang dibentuk oleh berbagai usaha yang direncanakan individu sehingga dapat memenuhi syarat minimal yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi (Ahimsa-Putra, 2003). Berdasarkan pengertian ini muncul konsep “pola” dalam antropologi yang dapat dibedakan menjadi dua, yakni “pola bagi” (pattern for) dan “pola dari” (pattern of) (Keesing, 1989). Bentuk strategi yang pertama
20
merupakan pola ideal (model for/ pattern for) yang membimbing perilaku individu-individu. Bimbingan atau petunjuk dari pandangan hidup, nilai-nilai, norma-norma, serta berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek kehidupan ini dapat berupa kegiatan keagamaan, kegiatan ekonomi, kegiatan kekeluargaan atau berbagai kegiatan lainnya. Sistem petunjuk, sistem pembimbing inilah yang merupakan „pola bagi‟ yang seringkali disebut sebagai kebudayaan atau sistem budaya (Goodenoughm 1964; dalam Ahimsa-Putra, 2003: 13). Sedangkan pola yang ingin digambarkan di sini adalah “pola dari” kegiatan ekonomi pengusaha marmo. Tingkah laku yang berpola ini pada dasarnya dikendalikan oleh seperangkat pengetahuan atau dapat terwujud karena adanya pengetahuan tersebut yang tidak lain adalah “pola bagi”. Pola ini bersifat abstrak, tidak bisa diraba, sedangkan “pola dari” wujudnya kongkrit dan bisa dilihat (Ahimsa-Putra, 2003). Berdasarkan kajian pustaka yang ditunjukkan sebelumnya, umumnya hasil penelitian tersebut kurang mengungkapkan sistem pengetahuan masyarakat tambang marmer yang diteliti, termasuk bagaimana mengoperasionalisasikan sistem pengetahuan tersebut. Padahal melalu sistem pengetahuannya, masyarakat lokal dapat memilih dan memutuskan apa yang akan dilakukan untuk menghadapi kendala-kendala dalam lingkungannnya. Pada akhirnya, jika mereka berhasil mengatasi kendala-kendala di lingkungannya, termasuk dampak dari aktivitas pertambangan, maka pengetahuan akan terpola dalam serangkaian strategi dan perilaku adaptasi mereka. Penelitian ini menekankan pada dua hal, yakni pengetahuan dan perilaku masyarakat tambang marmer. Menurut R. Ellen (1982; dalam Bellon, 1991),
21
peran pengetahuan dalam interaksi antara manusia dengan lingkungannya merupakan pusat perhatian dalam kajian manusia. Pengetahuan manusia dan struktur kognitif sangat penting untuk menganalisis hubungan-hubungan ekologis, karena manusia melihat dan menanggapi alam dalam citra-citra budaya mereka. Pentingnya bingkai pengetahuan ke dalam pandangan dunia pada kelompok budaya tertentu, membantu untuk membentuk interaksi suatu kelompok budaya dengan lingkungannya, sambil membentuk kerangka kerja untuk menafsirkan pengalaman dan berkomunikasi dengan orang lain. Dalam penelitian ini, kebudayaan dipandang sebagai sistem-sistem pengetahuan. Seperti yang diungkapkan oleh Ward Goodenough (Keesing, 1974) bahwa kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dalam cara yang dapat diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya bukanlah suatu fenomena material (bukan terdiri dari benda-benda, manusia, tingkah laku atau emosi-emosi), melainkan lebih kepada organisasi dari hal-hal tersebut. Budaya adalah bentuk dari hal-hal yang ada dalam pikiran (mind) manusia, model-model yang dimiliki manusia untuk menerima, menghubungkan, dan kemudian menafsirkan fenomena material diatas. Dengan kata lain, kebudayaan menurut Ward Goodenough di atas merupakan model-model yang terdapat di dalam pikiran (mind) manusia yang berfungsi untuk mempersepsikan, menghubungkan, dan menginterpretasikan lingkungannya (Ahimsa-Putra, 1985). Hasil interpretasi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Untuk dapat mengungkapkan model-model pengetahuan
22
setempat, maka pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan dalam ilmu antropologi. Berkenaan dengan dimensi moral dan rasional dalam strategi mereka, perlu
dipaparkan
sudut
pandang
antropologi
dalam
memandang
atau
mendefinisikan konsep ekonomi. Menurut Raharjana (dalam Ahimsa-Putra, 2003) Pertama, ekonomi didefinisikan sebagai proses maksimalisasi; kedua, ekonomi dipandang secara substansial yakni sebagai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup ditengah lingkungan alam dan sosial. Secara ringkas konsep pertama menjelaskan bahwa pandangan ini cenderung melihat gejala ekonomi sebagai tindakan memilih di antara tujuan-tujuan yang tidak terbatas jumlahnya, dengan sarana yang terbatas. Hal ini berarti bahwa manusia dipandang sebagai makhluk yang rasional dalam melakukan aktivitas ekonomi. Sementara konsep yang kedua, memandang bahwa ekonomi sebagai cara bagaimana manusia memenuhi kebutuhan mereka akan barang dan jasa. Dalam kaitannya dengan kajian ini, pendekatan ekonomi moral adalah menempatkan nilai-nilai sosial sebagai faktor yang berpengaruh dalam sistem ekonomi, bahwa perilaku ekonomi masyarakat diatur oleh moralitas yang dikenal dengan etika susbsistensi, sedangkan pendekatan ekonomi rasional menempatkan perhitungan untung dan rugi di dalam setiap tindakan manusia (Ahimsa-Putra, 2003: 77). Tulisan ini ingin mengungkapkan pengetahuan pengusaha industri marmo dalam menjalankan usahanya. Pengetahuan mereka tentang pasar, tentang model usaha yang laku di pasaran, dan hal-hal yang lain berkaitan dengan kegiatan usaha mereka, seperti tempat menjual hasil produksi, waktu pesanan
23
ramai maupun sepi, serta berbagai gejala lainnya yang turut menentukan kelangsungan usaha. Kemudian pola-pola yang dibentuk dari kegiatan ekonomi tersebut akan dikaji dari sudut pandang ekonomi moral dan rasional.
1.6
Metode Penelitian
1.6.1 Pemilihan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada di Desa Besole yang merupakan daerah pertambangan marmer di Kabupaten Tulungagung. Desa ini ini dapat ditempuh dari terminal pusat kota Tulungagung dengan menggunakan ojek motor atau angkutan umum jurusan pantai Popoh/ Desa Besole, dengan jarak tempuh kurang lebih satu jam. Kondisi jalan menuju lokasi ini cukup baik, mengingat kawasan ini dilalui jalan utama menuju pariwisata pantai selatan. Pemilihan lokasi ini mempertimbangkan beberapa hal, pertamakarena daerah ini merupakan tempat perusahaan besar industri pertambangan dan pengolahan marmer berada, yakni PT Industri Marmer Indonesia Tulungagung (PT IMIT) dan terdapat kawasan tambang rakyat tepat di samping tambang perusahaan tersebut, sehinggakawasan ini banyak ditemukan industri pembuatan marmo. Alasan Kedua, karena lokasi industri-industri pembuatan marmo tidak jauh dari daerah tambang, dan tepat di tengah-tengah pemukiman, sehingga masyarakat setempat dapat merasakan perubahan lingkungan akibat dari aktivitas industri ini.
24
1.6.2 Pemilihan Informan Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary, seorang informan adalah “seorang pembicara asli yang berbicara dengan mengulang kata-kata atau frasa, atau kalimat dalam bahasa atau dialeknya sebagai model imitasi dan sumber informasi” (Spradley, 2007: 35). Informan utama dalam penelitian ini adalah para pelaku dalam industri pembuatan marmo yakni pekerja, pengusaha marmo dan beberapa relasi yang berkaitan dengan industri ini. Pemilihan informan ini dilakukan dengan melihat situasi dan kondisi serta latarbelakang informan, yakni mereka yang sudah mempunyai pengalaman lebih dibanding lainnya dalam hal ini terkait industri marmo, sehingga peneliti mendapatkan informasi yang rinci, lengkap dan menyeluruh. Informan lainnya adalah pengelola atau perantara dalam industri pengolahan batu marmer ini, para pengelola inilah yang mengatur jalannya usaha dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan birokrasi. Oleh karena itu informan yang berasal dari para pengelola ini sangat diperlukan untuk dapat lebih memahami pola kerja di dalam industri pengolahan marmo ini. Informan-informan tersebut adalah Safuan (40 tahun) beliau merupakan pengusaha marmo yang pertama kali di desa Besole;Ibu Win (40 tahun) beliau merupakan pengusaha marmo juga mengolah sendiri limbah industrinya;Pak Gemplo (35 tahun) adalah pemilik usaha yang memproduksi marmo secara musiman; Bakat (50 tahun) adalah ketua RT 001 yang sekaligus ketua pengusaha marmo yang menangani masalah distribusi bahan mentah dari limbah PT IMIT; Anjar (26) pengusaha yang sekaligus pekerja marmo, sampai saat keluarganya bekerja sebagai penambang lokal untuk memasok bahan mentah di pabriknya.
25
Keempatnya (kecuali Pak Bakat) merupakan informan yang memberikan gambaran tentang bagaimana keadaan mereka secara ekonomi, juga kondisi lingkungan secara ekologi sebelum dan sesudah masuknya industri marmo. Informan lainnya adalahpelaku yang terkait dengan pola relasi dalam industri marmo. Mereka adalah pekerja tambang, jasa angkut, pekerja pengolah marmo, dan perangkat desa. Pertama, pekerja tambang ini merupakan penambang lokal yang bekerja untuk mereka sendiri atau bekerjasama dengan pihak pengepul bahan mentah. Pekerja tambang dipilih berdasarkan rekomendasi informan utama untuk mendapatkan informasi terkait dengan kondisi ekonomi dan ekologi pada saat sebelum dan sesudah masuknya industri marmo. Jasa angkut merupakan pekerja yang menawarkan jasa untuk mengangkut bahan mentah, hasil produksi (marmo) maupun limbah industri. Penyedia jasa angkut ini penting untuk diketahui terkait dengan informasi dinamika dalam industri marmo. Ketiga, pekerja pengolah marmo adalah mereka yang bekerja disebuah industri marmo, mulai dari proses pemotongan bahan mentah hingga proses pembentukan marmo.Informan pendukung yang terakhir adalah perangkat desa. Hal ini penting karena mereka dapat memberikan pandangan tentang persaingan usaha lain dalam industri pengolahan marmo ini. Dari keseluruhan informan pendukung inilah kemudian dapat digali informasi
mengenai segala sesuatu yang tidak bisa
dijelaskan oleh informan utama, terkait dengan masalah-masalah dalam industri marmo. Jumlah informan utama dan pendukung ini, dianggap sudah mewakili gambaran kehidupan dari masyarakat di kawasan pertambangan dan pengolahan batu marmer desa Besole.
26
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui pengamatan secara langsung (direct observation) dan pengamatan terlibat (participant observation) dengan cara ikut berbaur dalam kegiatan dari masyarakat yang tinggal di kawasan industri pertambangan dan pengolahan marmer, khususnya para informan yang telah dipilih. Dalam kesempatan itu, peneliti dapat mewawancarai dan mendengarkan obrolan mereka tentang usaha pertambangan dan pengolahan batu marmer. Pada dasarnya kegiatan manusia dilakuakan dengan berpedoman kepada nilai-nilai dan aturanaturan dari masyarakatnya, berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya,
dipengaruhi oleh apa
yang dirasakan sebagai kebutuhan-
kebutuhannya, sentiment-sentimennya, pendapat-pendapatnya dan pemikiranpemikiran lain serta mengingat orang lain yang dihadapinya (Bachtiar, 1996: 119). Metode wawancara dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat dan pendirianpendirian mereka (Koentjaraningrat, 1997: 129). Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang lebih rinci, wawancara mendalam dilakukan dengan pedoman wawancara (interview guide). Pedoman wawancara ini sifatnya terbuka sehingga dapat berkembang sesuai dengan keperluan dan situasi yang dihadapi di lapangan. Data penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara mendalam terhadap informan, sedangkan data sekunder yang meliputi indentifikasi wilayah penelitian dan pengetahuan teori serta konsep
27
tentang masalah yang diteliti ini, diperoleh melalui studi pustaka. Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan dan mempelajari bahan-bahan tertulis berupa buku dan monografi pedesaan. Studi pustaka ini diperlukan untuk mendukung keberhasilan penulisan laporan penelitian. Mengingat informan dalam penelitian ini sangat kompleks jenis pekerjaannya, peneliti melakukan pembagian waktu. Pertama, pagi hari disaat mesin gergaji marmo belum dinyalakan sudah berdatangan beberapa pekerja. Pada saat inilah kelompok pekerja industri masih belum terlalu sibuk untuk melakukan pekerjaannya, secara bertahap peneliti melakukan wawancara. Kemudian, menjelang siang peneliti menghampiri pekerja tambang dilain tempat sebelum mereka pulang untuk istirahat. Siang hari, peneliti kembali ke tempat industri marmo, disana sudah ada pekerja dan pengusaha yang ikut memantau hasil pekerjaan yang istirahat. Beberapa kali, di tempat tersebut terdapat kendaraan pegangkut batu marmer (bahan mentah) disaat itu pula terdapat bos marmer (sebutan untuk pengepul) wawancara dilakukan secara bergantian sesuai dengan kebutuhan peneliti. Malam harinya, peneliti kembali menemui informan untuk mendapatkan informasi yang belum jelas, termasuk kondisi ekonomi mereka. Pembagian waktu ini sangat penting dalam wawancara penelitian ini, selain untuk mengklarifikasi satu sama lain, juga terkait pola relasi yang sangat erat. Sehingga tidak jarang peneliti seharian penuh mengamati serta melakukan wawancara terhadap informan yang telah dipilih.
28
1.6.4 Analisis Data Analisis data adalah proses mengorganisir dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis hasil kerja seperti yang tertuang dalam data (Ratna, 2010: 302). Data yang diperoleh di lapangan, kemudian dianalisis dengan cara deskriptif untuk memperoleh gambaran tentang pokok bahasan dan hasil dari pengumpulan data sebelumnya. Penelitian ini bersikap deskriptif dan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan demikian analisis datanya dilakukan dengan menguraikan dan menafsirkan kasus-kasus yang telah diteliti, serta didukung oleh studi pustaka yang berkaitan dengan pokok bahasan penelitian. Data yang didapat dalam penelitian ini akan dianalisa secara deskriptif kualitatif, yakni penggambaran dari data kualitatif. Data yang bersumber dari berbagai ide, pendapat, gagasan, dan tindakan manusia seputar industri marmo di desa Besole beserta permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan hal tersebut kemudian disusun dan diorganisasi sedemikian rupa, sehingga akan didapat gambaran tentang kehidupan masyarakat dalam industri marmo yang mudah untuk dimengerti dan dipahami.