BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masa peralihan Indonesia menuju suatu cita demokrasi merupakan salah satu proses yang menjadi tahapan penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi adalah terjadinya perubahan di bidang ketatanegaraan yang diantaranya mencakup proses perubahan konstitusi Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002. 1 Setelah terjadinya empat kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengakibatkan beberapa perubahan antara lain adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945. 2
1
Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945”, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Denpasar, 14-18 Juli 2003, http://legal.daily-thought.info, akses pada Februari 2010. hal. 1. 2 Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Sesuai denagan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2002, hal. 42-43.
Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak. Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan. Kemungkinan dari amar putusan MK itu adalah; Pertama, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Ketiga, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. 3 Munculnya ketentuan ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan untuk lebih mempertegas sistem pemerintahan presidensial yang merupakan salah satu kesepakatan dasar Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. 4 Penegasan sistem pemerintahan presidensial tersebut mengandaikan adanya lembaga kepresidenan yang mempunyai legitimasi kuat yang dicirikan 3
Lihat ketentuan Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003,TLN No. 4316. 4 Selengkapnya kesepakatan dasar yang disusun Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR adalah (1) tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) mempertegas sistem pemerintahan presidensial; (4) penjelasan UUD NRI Tahun 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan kedalam pasal-pasal; dan (5) melakukan perubahan dengan cara adendum Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Sesuai denagan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002), hal. 13.
dengan (1) adanya masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fixed term); (2) Presiden selain sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan; (3) adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances); dan (4) adanya mekanisme impeachment. 5 UUD 1945 sebelum perubahan tidak mengatur bagaimana mekanisme impeachment dapat dilakukan dan alasan apa yang dapat membenarkan impeachment boleh dilakukan. UUD 1945 tidak mengatur secara eksplisit dan detail mengenai hal tersebut. UUD 1945 hanya mengatur mengenai penggantian kekuasaan dari presiden kepada wakil presiden jika presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya sebagaimana tertera dalam Pasal 8 UUD 1945. Tidak adanya pengaturan mengenai alasan dan mekanisme impeachment tersebut menyebabkan terjadinya kekosongan konstitusi (constitutionale vacuum) mengenai hal tersebut dalam UUD 1945. 6 Kekosongan konstitusi yang mengatur mengenai impeachment tersebut dapat dimengerti jika dikaitkan dengan status UUD 1945 yang masih bersifat sementara sebagaimana pernah dikemukakan oleh Soekarno dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesai (PPKI). Status sementara itu disebabkan para anggota PPKI tidak memiliki cukup waktu lagi untuk menyusun sebuah konstitusi yang lengkap karena kondisi politik saat itu muncul keinginan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 5
Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Sesuai denagan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002), hal. 56. 6 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, http://id.wikisource.org, akses pada Februari 2010.
PPKI mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD 1945 hasil Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai konstitusi Indonesia. 7 Impeachment tersebut dilakukan dengan cara yang relatif mudah. Bila DPR berpendapat bahwa presiden telah melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau mengambil sikap politik yang berlawanan dengan sikap politik DPR, DPR dapat mengundang MPR untuk melakukan Sidang Istimewa (SI) untuk membicarakan impeachment presiden. Bila MPR setuju,presiden harus berhenti. 8 Mudahnya impeachment presiden di bawah UUD 1945 sebelum amandemen mengakibatkan timbulnya pendapat bahwa sistem presidensial tersebut tidak murni karena telah bercampur dengan sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, perdana menteri yang merupakan kepala pemerintahan dapat diberhentikan setiap saat (yang juga berarti bubarnya kabinet) bila tidak lagi mendapat dukungan DPR. Hilangnya dukungan DPR berarti DPR memberikan “mosi tidak percaya” kepada perdana menteri dan kabinetnya yang menyebabkan bubarnya
pemerintah.
Oleh
karena
itu
sistem
parlementer
cenderung
menghasilkan ketidakstabilan politik karena kabinet bisa jatuh setiap waktu yang menyebabkan
sulitnya
pemerintah
melaksanakan
program-program
pembangunan. Sistem presidensial yang digunakan di bawah UUD 1945 setelah amandemen telah semakin mendekati sistem presidensial murni karena presiden
7
Ibid. Maswadi Rauf, Impeachment dalam Sistem Presidensial, aipi.wordpress.com. Akses pada Februari 2010 8
dipilih langsung oleh rakyat dan presiden tetap dapat diberhentikan bila terjadi pelanggaran hukum sebagai mekanisme kontrol terhadap presiden. 9 Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi. 10 Proses pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Adanya kemungkinan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR inilah yang secara teknis ketatanegaraan disebut dengan istilah impeachment. Akan tetapi, yang menjadi persoalan selanjutnya, ketentuan-ketentuan mengenai impeachment yang terdapat di dalam konstitusi tidak mengatur lebih
9
Ibid. Winarno Yudho, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Pusat penelitian dan pengkajian sekretariat jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2005. Hal. 5. 10
jauh persoalan-persoalan teknis, sehingga pada saat ini masih diupayakan formulasi yang tepat terhadapnya. Ada banyak persoalan yang tidak atau belum sepenuhnya bisa terjawab dengan sebaik-baiknya. Di antara beberapa persoalan tersebut adalah; Apakah proses impeachment tunduk pada prinsip-prinsip dan asas-asas yang terdapat di dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, atau perlukah disusun satu hukum acara tersendiri? Apakah diperlukan semacam special prosecutor yang dibentuk secara khusus untuk melakukan penuntutan terhadap Presiden di depan sidang yang digelar oleh MK? Bagaimanakah tata cara DPR mengumpulkan bukti-bukti, sehingga bisa sampai pada suatu kesimpulan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden? Apakah yang dimaksud dengan kata “pendapat” yang terdapat di dalam Pasal 7A dan 7B tersebut berupa “pendapat politik” yang berarti secara luas bisa dilatarbelakangi persoalan suka atau tidak suka (like and dislike) kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden ataukah “pendapat hukum” yang berarti harus terukur dan terbingkai oleh normanorma yuridis; apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat dan DPR telah menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada MPR dan MPR pun menerima usulan tersebut, maka bisakah di kemudian hari, setelah tidak menjabat lagi, Presiden dan/atau Wakil Presiden diadili (lagi) di peradilan umum dan tidak
melanggar asas nebis in idem dalam hukum pidana? Apakah proses peradilan yang bersifat khusus bagi Presiden dan/ atau Wakil Presiden ini tidak bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum (equality before the law), mengingat putusan MK yang memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat tidak mengikat MPR, Apakah ini bisa diartikan bertentangan dengan prinsip supremasi hukum (supremacy of law) yang dikenal dalam hukum tata negara? Persoalan-persolan yang berkaitan dengan impeachment ini masih memerlukan beberapa penelitian yang lebih mendalam, khususnya yang berkaitan dengan apakah proses impeachment tunduk pada prinsip-prinsip dan asas-asas yang terdapat di dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, atau perlukah disusun satu hukum acara tersendiri; keterkaitan proses impeachment dengan asas nebis in idem dalam hukum pidana; keterkaitan proses impeachment dengan asas equality before the law; dan keterkaitan proses impeachment dengan asas supremacy of law. B. Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah penulis paparkan, maka dapatlah dirumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini : 1. Bagaimanakah Impeachment ditinjau secara global, sejarah impeachment di Indonesia dan penerapan impeachment di negara lain? 2. Bagaimana proses pemakzulan (impeachment) presiden menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
3. Apakah proses impeachment tunduk pada asas-asas hukum dan bagaimana keterkaitan proses impeachment dengan asas nebis in idem dalam hukum pidana keterkaitan proses impeachment dengan asas equality before the law; dan keterkaitan proses impeachment dengan asas supremacy of law? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan permasalahan di atas, maka dapat disimpulkan yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah untuk menguraikan lebih rinci lagi pembahasan mengenai permasalahan diatas yaitu: 1. Mengetahui Impeachment ditinjau secara global, sejarah impeachment di Indonesia dan mengetahui bagaimana penerapannya di beberapa negara. 2. Untuk mengetahui proses pemakzulan presiden (impeachment) menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Memahami keterkaitan proses impeachment dengan asas nebis in idem dalam hukum pidana keterkaitan proses impeachment dengan asas equality before the law; dan keterkaitan proses impeachment dengan asas supremacy of law? Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan diperoleh dari penulisan adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis a. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Tata Negara, khususnya yang berkaitan dengan proses pemakzulan presiden (impeachment) menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Dapat memberi masukan dalam bidang Hukum Tata Negara kepada masyarakat, pemerintah, dan aparat penegak hukum tentang proses pemakzulan presiden (impeachment). c. Mengingat pembahasan dari permasalahan diatas juga melibatkan konstitusi-konstitusi terdahulu, maka melalui tulisan ini kita dapat mengetahui perkembangan hukum tentang pemakzulan presiden (impeachment) dari perspektif sejarah. d. Sebagai pemenuhan syarat guna menyelesaikan studi dan meraih gelar Sarjana Hukum. 2. Manfaat praktis Dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, maupun pihak lainnya dalam penulisan-penulisan ilmiah lainnya yang berhubungan. D. Keaslian Penulisan Sebelum tulisan ini dimulai, telah dilakukan penelusuran terhadap tulisantulisan terdahulu, dan sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) bahwa penulisan tentang “ Proses Pemakzulan Impeachment Menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945” belum pernah ada. Kemudian, bahwa permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis sendiri. Oleh sebab itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin oleh penulis.
E. Tinjauan Pustaka 1. Presiden dan Wakil Presiden Istilah presiden merupakan derivatif dari to preside yang berarti memimpin atau tampil di depan. Sedangkan kata Latin presidere berasal dari kata prae yang berarti di depan, dan kata sedere yang berarti duduk. Jabatan presiden yang dikenal sekarang ini, yaitu sebagai kepala dari negara yang berbentuk republik, muncul di Amerika Serikat pada abad ke-18. Hal ini dapat dilihat dalam Konstitusi (Art. II, Sect. 1, Par. 1) yang dihasilkan oleh Konvensi Federal pada 1787: “The executive power shall be vested in a President of the United States of America....” 11 Di Indonesia, Presiden memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar, 12 berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, 13 dan menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. 14 Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. 15 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. 16 Di Indonesia, jabatan Wakil Presiden dalam struktur ketatanegaraan hanya difungsikan sebagai “ban serep” belaka. Artinya,Wakil Presiden tidak mempunyai posisi strategis dalam struktur ketatanegaraan dan hanya menjadi pengganti dari 11
Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), hal. 10 12 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 13 Pasal 5 ayat (1) Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945 14 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 15 Pasal 6A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 16 Pasal 7 Perubahan Pertama UUD 1945
Presiden belaka. Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden. 17 Apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannyan dalam masa jabatannya. ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. 18 Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. 19 Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. 20
2.
Pertanggungjawaban Presiden Menurut
Mochtar
Kusumaatmaja,
secara
filosofi
keberadaan
pertanggungjawaban merupakan deriviasi dari adanya kekuasaan yang lebih besar atas kekuasaan lainnya yang diserahi tanggung jawab untuk menyelenggarakan hak dan kewajiban dalam rangka mencapai tujuan dari pemberi kuasa. Untuk menilai apakah kekuasaan yang diberikan itu dipergunakan sesuai dengan peruntukan diberikannya kekuasaan itu sangat tergantung pada standar-standar norma yang telah ditetapkan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Atas dasar itu, secara filosofi eksistensi pertanggungjawaban bertumpu pada; pertama, tidak ada ruang
dan
waktu
mempertanggungjawabkan
17
bagi
pemegang
segala
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 8 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 19 Pasal 6A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 20 Pasal 8 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 18
kekuasaan
penggunaan
untuk
kekuasaan;
tidak kedua,
pertanggungjawaban berarti adanya pembatasan kekuasaan oleh norma yang berlaku dalam masyarakat. 21 Terlepas dari itu, apabila kita kembali kepada hakikat pertanggungjawaban sebagai amanah sesuatu yang dipercayakan kepada orang lain maka dengan sendirinya pertanggungjawaban merupakan syarat mutlak dari pemberi amanah. Atas
nama
amanah,
kepemimpinan
manusia
akan
dimintai
pertanggungjawabannya secara sendiri-sendiri, yang besar kecilnya tergantung pada besarnya kekuasaan yang ditanggung oleh seorang pemimpin. 22 Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan dalam sebuah adagium yang berbunyi geen macht zonder veraantwoordelijkheid, yang artinya tidak ada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban. Banyak dimensi-dimensi berpikir yang melingkupi arti tanggungjawab dan pertanggungjawaban, termasuk didalamnya hukum, politik, sosial, budaya, dan teologis. Oleh karena itu, timbul kesulitan untuk memberi suatu batasan yang disepakati mengenai pertanggungjawaban. Hal terpenting untuk menjadi bahan perenungan guna memahami makna terdalam tanggung jawab adalah bagaimana suatu tanggung jawab lahir dan membebani manusia. 23 Menurut Roscue Pound yang menjadi titik tolak dari pertanggungjawaban adalah tindakan-tindakan personal, apakah pertanggungjawaban karena tindakan yang merugikan orang lain atau kewajiban melaksanakan janji. Jika konsep
21
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, Bandung, Yrama Wijaya, 2007. 22 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan keduabelas, Jakarta, Balai Pustaka, 1991, hal. 34. 23 Ismail Suny dalam Issanuddin, Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945, Medan, Fakultas Hukum USU, 1981, hal. 30-31.
tersebut diterapkan ke dalam pengertian pertanggungjawaban Presiden berarti; pertama, pertanggungjawaban merupakan pertanggungjawaban yang timbul karena adanya suatu tindakan Presiden yang merugikan rakyat (berupa Idetournament
depouvoir)
yang
kepadanya
dapat
dimintakan
pertanggungjawaban; kedua, terkait dengan janji presiden yang diucapkan dalam sumpah jabatan. 24 Kemudian berdasarkan pemikiran Miriam Budiardjo, pertanggungjawaban merupakan konsekuensi dari jabatan presiden sebagai pihak yang diberi mandat oleh rakyat, yang mana pertanggungjawaban itu adalah suatu bentuk manifestasi dari perwujudan kedaulatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam negara. 25 Pembentukan lembaga kepresidenan dengan segala tugas dan wewenang yang melekatinya merupakan suatu pelembagaan kedaulatan rakyat untuk menyelenggarakan salah satu fungsi pemerintahan dibidang eksekutuf, sehingga segala bentuk penggunaan kekuasaan senantiasa dipertanggungjawabkan kepada pemilik kekuasaan, yaitu yang memberi mandate (rakyat). Oleh sebab itu, baik secara organisasi maupun pejabat, pertanggungjawaban merupakan salah satu instrumen demokrasi. 26 3. Impeachment Menurut Richard A. Posner dalam buku The Investigation, Impeachment, and Trial of President Clinton, secara historis impeachment berasal dari abad ke-
24
Roscue Pound dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 15. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, dan lain sebagainya, dalam keadaan siap tersaji yang telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu. 26 Firdaus, Pertanggungjawaban presiden…, Op. Cit., hal 19. 25
14 di Inggris. Parlemen menggunakan lembaga impeachment untuk memproses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang amat powerful, yang terkait dalam kasus korupsi, atau hal-hal lain yang bukan merupakan kewenangan pengadilan biasa. Dalam praktek, The House of Commons bertindak sebagai a grand jury yang memutuskan apakah akan meng-impeach seorang pejabat. Apabila
pejabat
itu
di-impeach,
maka
The
House
of
Lords
akan
mengadilinya.Apabila dinyatakan bersalah, maka pejabat tersebut akan dijatuhi hukuman sesuai ketentuan yang telah diatur, termasuk memecat dari jabatannya. 27 Di Inggris, impeachment pertama kali digunakan pada bulan November 1330 di masa pemerintahan Edward III terhadap Roger Mortimer, Baron of Wigmore yang kedelapan, dan Earl of March yang pertama. 28 Ketika zaman penjajahan Inggris di Amerika Serikat, impeachment mulai digunakan pada abad ke-17.Akan tetapi, dalam perkembangannya impeachment lebih dikenal di Amerika Serikat daripada di Inggris. Di Amerika Serikat, impeachment diatur dalam UUD yang menyatakan, The House of Representatives (DPR) memiliki kekuasaan untuk melakukan impeachment, sedangkan Senat mempunyai kekuasaan untuk mengadili semua tuntutan impeachment. Jadi impeachment merupakan suatu lembaga resmi untuk mempersoalkan tindak pidana yang dituduhkan pada Presiden,Wakil Presiden, hakim-hakim, dan pejabat sipil lainnya dari pemerintahan federal yang sedang berkuasa.
27
Uraian tentang hal ini, lihat Luhut M.P. Pangaribuan,“’Impeachment’, Pranata untuk Memproses Presiden”, Kompas, edisi Senin, 19 Februari 2001 28 Naf’an Tarihoran,“Makna Impeachment Presiden bagi Orang Amerika”,Tesis Magister Studi Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia, (Jakarta: Studi Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia, 1999), http://id.wikisource.org, akses tanggal 20 Januari 2010.
Sejatinya impeachment merupakan instrumen untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dari pemegangnya. Ketika konstitusi dirancang pada tahun 1787, di Philadelphia, Pennsylvania, para bapak bangsa Amerika Serikat sudah melihat adanya kecenderungan para pemimpin menjadi korup ketika berkuasa. Selain korupsi, para pemimpin itu juga berusaha untuk terus berkuasa selama mungkin. Oleh karena itu, mereka menciptakan sebuah konstitusi yang didasarkan pada fondasi checks and balances yang dapat meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan. Impeachment didesain sebagai instrumen untuk “menegur” perbuatan menyimpang, penyalahgunaan dan pelanggaran terhadap kepercayaan publik dari orang yang mempunyai jabatan publik. 29 Black’s Law Dictionary mendefinisikan impeachment sebagai “A criminal proceeding against a public officer, before a quasi political court, instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment”. 30 Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan quasi political court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment, yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan pidana. Jadi artikel impeachment adalah satu surat resmi yang berisi tuduhan yang menyebabkan dimulainya suatu proses impeachment. 31
29
Gary McDowell, “’High Crimes and Misdemeanors’:Recovering the Intentions of the Founders” http://id.wikisource.org, akses tanggal 20 Januari 2010. 30 Henry Campbell, Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence,Ancient and Modern (St. Paul, Minn: West Group, 1991), http://id.wikisource.org, akses tanggal 20 Januari 2010. 31 Pangaribuan, loc. cit.
Di Amerika Serikat, pengaturan impeachment terdapat dalam Article 2 Section 4 yang menyatakan, “The President,Vice President, and all civil officers of the United States, shall be removed from office on impeachment for and conviction of treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors”. Pasal inilah yang kemudian mengilhami konstitusi-konstitusi negara lain dalam pengaturan impeachment termasuk Pasal 7A Perubahan Ketiga UUD 1945. Hanya saja menurut sejarahnya, impeachment tidak mudah digunakan dan tingkat keberhasilannya dalam menjatuhkan seorang presiden sangat rendah. Sebagaimana telah disebutkan, secara historis, impeachment berasal dari abad ke-14 di Inggris. Parlemen menggunakan lembaga impeachment untuk memproses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang amat powerful, yang terkait dalam kasus korupsi, atau hal-hal lain yang bukan merupakan kewenangan pengadilan biasa. Black’s Law Dictionary mendefinisikan impeachment sebagai “A criminal proceeding against a public officer, before a quasi political court, instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment”. 32 Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan quasi political court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment, yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan pidana. Jadi, artikel impeachment
32
Campbell , loc. cit.
adalah satu surat resmi yang berisi tuduhan yang menyebabkan dimulainya suatu proses impeachment. 33 Di Amerika Serikat, pengaturan impeachment terdapat dalam Article 2 Section 4 yang menyatakan, “The President,Vice President, and all civil officers of the United States, shall be removed from office on impeachment for and conviction of treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors”. Pasal inilah yang kemudian mengilhami konstitusi-konstitusi negara lain dalam pengaturan impeachment termasuk Pasal 7A Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, karena perubahan tersebut tidak lagi mengikuti doktrin supremasi parlemen yang mendudukkan MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Doktrin yang dianut oleh UUD 1945 setelah mengalami perubahan adalah supremasi konstitusi di mana konstitusi menjadi suatu institusi tertinggi di Indonesia. Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, karena perubahan tersebut
33
Pangaribuan, loc. cit.
tidak lagi mengikuti doktrin supremasi parlemen yang mendudukkan MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Doktrin yang dianut oleh UUD 1945 setelah mengalami perubahan adalah supremasi konstitusi di mana konstitusi menjadi suatu institusi tertinggi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa tidak seperti dalam UUD 1945 yang lama, MPR dalam hal ini tidak lagi memiliki kekuasaan yang eksklusif sebagai satu-satunya instansi pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat. 34 MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. 35 MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota Negara. 36 Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak. 37 Sementara itu, wewenang MPR adalah mengubah dan menetapkan UUD, 38 melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, 39 dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. 40 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga perwakilan yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. 41 DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. 42 Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. 43 DPR memiliki fungsi
34
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002, hal. 2. 35 Pasal 2 ayat (1) Perubahan Keempat UUD 1945 36 Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 37 Pasal 2 ayat (3) UUD 1945 38 Pasal 3 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 39 Pasal 3 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 40 Pasal 3 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 41 Pasal 19 ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 42 Pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945 43 Pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. 44 Selain itu, DPR juga mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. 45 Setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. 46 Anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. 47 Keberadaan lembaga-lembaga negara sebagai pelaksana kewenangan dan kuasaan legitimasinya bertumpu pada konstitusi. Kekuasaan yang ada dalam organisasi negara merupakan merupakan jabatan dijalankan oleh pejabat (ambt) yang diberi wewenang untuk itu. Pertanggungjawaban terhadapnya merupakan suatu keharusan konstitusional terhadap kekuasaan itu diperoleh serta lingkup kekuasaan itu digunakan. 48 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif), yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi. Penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan menginventarisir hukum positif yang berkaitan dengan hukum di bidang Hukum Tata Negara mengenai pemakzulan presiden (impeachment).
44
Pasal 20A ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 20A ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 46 Pasal 20A ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945 47 Pasal 21 Perubahan Pertama UUD 1945 48 Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op. Cit., hal. 14. 45
2. Jenis Data Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder
yang dimaksudkan penulis adalah
sebagai berikut : a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi. b. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku hukum, majalah-majalah, karya tulis ilmiah ataupun buku lain yang terkait dengan tulisan ini .seperti seminar hukum, majalah-majalah, karya tulis ilmiah yang berkaitan dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan di atas. c. Bahan hukum tersier merupakan semua dokumen yang berisi konsepkonsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus dan artikel. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library research (penelitian kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti : peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet, pendapat sarjana dan bahan lainnya yang berkaitan dengan skripsi. 4. Analisa Data
Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif.
Analisis
secara
kualitatif
dilakukan
untuk
menjawab
permasalahan di dalam skripsi. G. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I
:
Pendahuluan Merupakan bab yang memberikan ilustrasi guna memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan,
keaslian
penulisan,
tinjauan
pustaka,
metode
penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II
:
Impeachment Bab ini merupakan awal dari pembahasan dari permasalahan yang telah dirumuskan diatas. Mengingat skripsi ini adalah tentang Impeachment Presiden, maka pembahasan diawali dari pandangan umum terhadap Impeachment dan menjelaskan Impeachment di Indonesia dengan menguraikan ketentuanketentuan impeachment yang terdapat dalam Konstitusi RIS, UUDS 1950, dan UUD 1945. Bab ini juga akan membahas praktek impeachment dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Selain itu bab ini akan menguraikan penerapan Impeachment di beberapa negara.
Bab III
: Proses Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden Menurut
UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Bab ini merupakan bab inti, karena pembahasannya langsung kepada pokok permasalahan yaitu, proses impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD NRI Tahun 1945 Setelah Perubahan
Keempat
dan
akan
menguraikan
mekanisme
impeachment dalam ketentuan UUD 1945 setelah terjadinya perubahan, alasan-alasan impeachment, proses impeachment di Dewan Perwakilan Rakyat, proses impeachment di Mahkamah Konstitusi, proses impeachment di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Bab IV
:
Kesimpulan Dan Saran Bab ini merupakan bagian akhir yang berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penulisan dan kaitannya dengan masalah yang diidentifikasikan, sehingga memberikan gambaran yang jelas mengenai impeachment presiden.