BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi memiliki dimensi luas, tidak hanya masalah kesehatan tetapi juga masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan, dan lingkungan. Faktor pencetus munculnya masalah gizi dapat berbeda antar wilayah ataupun antar kelompok masyarakat, bahkan akar masalahnya dapat berbeda antar kelompok usia balita (Sihadi, 2005). Keadaan gizi kurang dan buruk dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit, terutama penyakit infeksi yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan jaringan otak yang akan mengurangi kualitas sumber daya manusia Indonesia (Sihadi, 2000) Penyebab gizi kurang pada balita sangat kompleks. Penyebab langsung anak tidak mendapat gizi seimbang, yaitu Air Susu Ibu (ASI) saat umur 0-6 bulan, dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang memenuhi syarat saat umur 6-24 bulan. Penyebab langsung lain adalah infeksi, terutama diare, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan campak. Kedua sebab langsung ini saling memperkuat, didorong oleh faktor kemiskinan, kurangnya pendidikan, lingkungan tidak bersih, dan banyaknya anak dengan jarak kelahiran terlalu dekat. Faktor ini dapat menyebabkan anak tidak diasuh dengan semestinya, seperti tidak diberi ASI, tidak dapat menyediakan MP-ASI yang baik, dan tidak dibawa ke posyandu atau pelayanan kesehatan (Martianto, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gizi kurang dan buruk merupakan masalah yang perlu penanganan serius. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah antara lain melalui revitalisasi Posyandu dalam meningkatkan cakupan penimbangan balita, penyuluhan dan pendampingan, pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) atau Pemberian Makanan Tambahan (PMT), peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi melalui tata laksana gizi buruk di Puskesmas Perawatan dan Rumah Sakit, penanggulangan penyakit menular dan pemberdayaan masyarakat melalui Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Pemerintah telah melaksanakan kegiatan penanganan terhadap balita gizi buruk dengan pemberian PMT bubur susu dan susu bubuk namun dalam kenyataannya hal ini juga kurang efektif untuk menekan angka balita gizi kurang dan buruk pada umumnya hal ini juga terjadi di wilayah kerja Puskesmas Pematang Panjang Kecamatan Air Putih Kabupaten Batubara. Ketidak efektifan ini terjadi karena berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan bahwa persentase anak balita gizi buruk di Indonesia sebesar 5,4% (Depkes RI, 2007). Walaupun angka ini menurun dibandingkan hasil Susenas tahun 2005 (8,8%), tetapi menunjukkan bahwa anak balita gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama, jika di suatu daerah ditemukan gizi buruk > 1% maka termasuk masalah berat (Depkes RI, 2000). Prevalensi balita gizi buruk dan kurang berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Sumatra Utara tahun 2010 adalah 3,14% untuk balita gizi kurang dengan
Universitas Sumatera Utara
jumlah balita 41.994 orang dan prevalensi untuk balita gizi buruk 0,19% dari 2.580 orang (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Utara, 2011). Pada Profil Kesehatan Kabupaten/Kota tahun 2010, jumlah balita yang mengalami gizi buruk dan kurang hanya 44.574 balita (3,33% )dari 1.337.008 balita yang ditimbang. Ini menunjukkan bahwa banyak kasus balita gizi buruk dan kurang yang tidak dijangkau oleh pelayanan kesehatan (Dinkes Provinsi Sumatra Utara, 2011). Untuk Wilayah Kabupaten Batubara berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Sumut, prevalensi balita gizi buruk tahun 2010, sebanyak 29 orang balita gizi buruk (0,08%) dari 37.906 balita yang di timbang (Dinkes Provinsi Sumatra Utara, 2011). Pada Puskesmas Pematang Panjang Kabupaten Batubara 2011, jumlah balita yang mengalami gizi buruk dan kurang sebanyak 18 balita dari 3194 balita yang di timbang atau prevalensinya 0,5%. Upaya yang dilakukan dalam penanganan gizi kurang dan buruk meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya promotif dan preventif yang dilakukan diwilayah kerja Puskesmas Pematang Panjang ini dengan memberikan penyuluhan gizi dan penimbangan anak yang dilakukan tiap bulannya di posyandu. Upaya penanggulangan lain terhadap balita gizi buruk dan gizi kurang di Puskesmas Pematang Panjang yaitu dengan memberikan bantuan pemberian makanan tambahan berupa susu dan biskuit sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh petugas puskesmas. Bantuan pemberian makanan ini tidak selalu ada tergantung pada ketersediannya. Setelah tidak mendapatkan PMT lagi masalah gizi kurang ini timbul
Universitas Sumatera Utara
kembali. Upaya penanganan seperti ini belum menekan angka gizi kurang dan buruk di wilayah kerja Puskesmas Pematang Panjang ini. Untuk upaya kuratif dan rehabilitatif terhadap penanganan gizi buruk pada umumnya dilakukan di Panti Pemulihan Gizi, Puskesmas Rawat Inap dan Rumah Sakit sesuai tata laksana penaganan anak gizi buruk
( Direktorat Bina Gizi
Masyarakat, 2007). Contoh Panti Pemulihan Gizi yang melakukan upaya kuratif dan rehabilitatif dalam rangka penanganan masalah gizi buruk adalah di Panti Pemulihan Gizi NTT (2004) perkembangan kondisi anak penderita gizi buruk selama perawatan dengan terapi gizi modisco anak perempuan usia 11 bulan Desa Kamanasa, Kecamatan Malaka Tengah (Betun) Kabupaten Belu mengalami peningkatan berat badan yang signifikan, dalam satu bulan berat badan awal 3.6 kg menjadi 5.6 kg dengan Z-score awal -3/-4 menjadi -2/+2 ( Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 2007). Penggunaan PMT Modisco dalam rangka memperbaiki status gizi balita juga dilakukan Puskesmas Banjarangkan II. Mereka melakukan inovasi dalam pemberian makanan tambahan pemulihan. Inovasi tersebut berupa pemberian MODISCO (Modified Dietetic Skim and Cotton Sheet Oil). Modisco singkatan dari Modified Dietetic Skim and Cotton Sheet Oil ditemukan pada tahun 1973 oleh May White Head. Modisco merupakan formula bergizi tinggi, kaya kalori dan protein yang terdiri atas susu skim, gula dan minyak atau margarine. Modisco telah teruji dan memenuhi syarat-syarat khusus diet untuk anak balita di Indonesia sehingga dapat digunakan untuk perbaikan status gizi
Universitas Sumatera Utara
(Pemberian Makanan Tambahan) atau menambah berat badan anak secara cepat (Adi, A.C, 2001). Pemberian Modisco dilakukan setiap hari selama 3 bulan. Hasil kegiatan ini mampu menurunkan gizi kurang sebesar 68 % dari 25 orang gizi kurang, 17 orang menjadi gizi baik. Selama kegiatan berlangsung, partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan ini sangat baik karena dana yang dipakai sebagian besar adalah dana dari swadaya masyarakat yang sangat peduli dengan gizi balita. Peran kader dalam pelaksanaan kegiatan ini sangat penting, dari proses persiapan, pengerahan sasaran sampai pemberian kepada sasaran serta kader tentunya terampil dalam pembuatan PMT Modisco. Mengingat keberhasilan Modisco dalam upaya penanganan gizi kurang dan buruk di tempat Pemulihan Gizi dan Puskesmas, PMT Modisco bisa dijadikan sebagai alternatif PMT yang penanganannya bisa dilakukan sendiri di rumah. Sebagaimana kita ketahui kader merupakan tenaga pilihan yang sangat tepat untuk usaha-usaha masyarakat, karena kader mengenal betul masyarakat setempat, dipilih dan diterima oleh mayarakat disegani dan dipercaya sehingga saran dan petunjukknya didengar dan diikut oleh masyarakat (Mantra, 1997). Selain itu kader merupakan perantara langsung antara petugas kesehatan dengan masyarakat. Kader adalah orang pertama yang mengetahui bagaimana perkembangan atau kemunduran status gizi balita, berdasarkan penimbangan berat badan yang dilakukan setiap bulan di posyandu. Bila kader mendapatkan ibu yang memiliki anak dengan berat badan tidak naik atau terus menurun, bahkan sampai berstatus gizi kurang kader bisa langsung memberikan informasi dan keterampilannya. Hal ini bisa menjadi upaya preventif
Universitas Sumatera Utara
agar status gizi balita tersebut tidak bertambah parah menjadi gizi buruk. Jadi kader merupakan perantara yang tepat dalam
menyampaikan pengetahuan dan
keterampilannya kepada ibu-ibu yang memiliki anak gizi kurang dan buruk
di
posyandu. Oleh karena itu, kader yang memiliki keahlian dan keterampilan dalam pembuatan PMT
Modisco sangat dibutuhkan. Untuk memperoleh keahlian dan
keterampilan ini diperlukan pelatihan, karena Metode konvensional tidaklah cukup menangani kasus gizi buruk dan gizi kurang di wilayah kerja puskesmas. Sebaiknya kader kesehatan diberikan metode pelatihan yang disertai dengan demonstrasi yang merupakan alternatif untuk menambah pengetahuan dan keterampilan kader dalam pembuatan dan pemanfaatan PMT. Kader yang terampil akan sangat membantu dalam pelaksanaan kegiatan posyandu sehingga informasi dan pesan-pesan gizi akan dapat dengan mudah disampaikan kepada masyarakat. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan adakah pengaruh pelatihan terhadap keterampiln kader dalam pembuatan PMT Modisco di Wilayah Kerja Puskesmas Pematang Panjang Kecamatan Air Putih Kabupaten Batubara. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk Mengetahui pengaruh pelatihan terhadap keterampilan kader dalam pembuatan PMT Modisco di Wilayah Kerja Puskesmas Pematang Panjang Air Putih Kabupaten Batu Bara.
Universitas Sumatera Utara
1.3.2 Tujuan Khusus Untuk mengetahui pengetahuan dan keterampilan kader dalam pembuatan PMT Modisco di Wilayah Kerja Puskesmas Pematang Panjang sebelum dan sesudah pelatihan. 1.4 Manfaat Penelitian Untuk menambah pengetahuan dan keterampilan kader-kader untuk menyampaikan informasi dan penerapan dalam pembuatan PMT Modisco pada masyarakat sekitar untuk penanganan gizi kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Pematang Panjang.
Universitas Sumatera Utara