1
BAB I PENDAHULUAN
Kualitas audit merupakan isu sentral dalam membangun kepercayaan investor terhadap laporan keuangan. Investor berkepentingan mengurangi risiko informasi akibat adanya asimetri informasi dalam hubungan keagenan antara pemegang saham dengan manajemen (Jensen dan Meckling, 1976). Audit laporan keuangan dipandang sebagai salah satu cara efisien meningkatkan keterandalan laporan keuangan dengan mengurangi asimetri informasi dan masalah moral hazard manajer perusahaan (Dopuch, 1980; Zimmerman, 1983; dan Palepu, 2001). Namun demikian, sampai saat ini profesi Akuntan Publik (AP) masih dihadapkan pada masalah defisiensi dan kegagalan audit sebagai akibat kurangnya penerapan skeptisisme profesional dan perilaku skeptis. Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia mengesahkan Undangundang No. 5 Tahun 2011 tentang akuntan publik (AP) diikuti munculnya blue print (cetak biru) gagasan bahwa lulusan berbagai jurusan bisa menjadi akuntan profesional dalam menghadapi keterbatasan jumlah akuntan profesional memasuki persaingan pasar bebas ASEAN. Hal ini menambah marak perbincangan tentang pengaruh latar belakang pendidikan dan UU No 5 Tahun 2011 terhadap kualitas audit. Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh perbedaan latar belakang pendidikan formal auditor, menguji pengaruh tekanan waktu dan sanksi untuk memitigasi defisiensi dan kegagalan audit tersebut menggunakan studi ekperimental.
2
1.1 Latar Belakang Profesi akuntansi kembali diguncang berita kegagalan auditor menerapkan skeptisisme profesional secara tepat dalam melaksanakan audit setelah kasus Lehman Brothers (Epstein, 2015). Ketidakmampuan Ernst & Young ShinNihon LLC sebagai auditor independen PT. Thosiba dalam mengungkap penggelembungan laba senilai US$1.22 miliar sejak tahun 2008 (BBC, 2015) melengkapi kasus kegagalan bisnis perusahaan-perusahaan besar seperti Lehman Brothers, WorldCom, dan Enron yang bedampak pada runtuhnya nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut. Auditor disebut-sebut memiliki andil terhadap skandal tersebut karena masing-masing perusahaan telah diaudit dan menerima opini wajar tanpa pengecualian (WTP), kegagalan penerapan skeptisisme profesional yang tepat oleh auditor ditengarai sebagai salah satu penyebab terjadinya defisiensi dan kegagalan audit (PCAOB, 2015). Di Indonesia juga muncul pemberitaan adanya beberapa kantor akuntan publik (KAP) terkena sanksi karena rendahnya kualitas audit yang dihasilkan atau terjadi pelanggaran atas etika profesi dan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) 1 . Pemberitaan-pemberitaan tersebut berdampak negatif terhadap jasa audit karena memburuknya reputasi (Srinivasan dan Skinner, 2009) dan menyebabkan 1
Tanggal 29 Mei 2015 melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor : 445/KM.1/2015 karena dalam audit atas laporan keuangan klien yang tidak sesuai dengan standar audit dan SPAP berpotensi berpengaruh cukup signifikan terhadap Laporan Auditor Independen. Tanggal 28 Nopember 2006 Menteri Keuangan RI membekukan izin Akuntan Publik (AP) selama dua tahun karena terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan Laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT Great River International Tbk. tahun 2003, dan beberapa berita pemberian sanksi pembekuan ijin AP dan KAP sejak penerapan KMK 423/KMK.06/2002 (KMK 359/KMK.06/2003).
3
krisis kredibilitas (Whittington dan Pany, 2004). Terdapat bukti yang kuat dan sistematis bahwa berita buruk tentang perilaku salah satu auditor mengakibatkan eksternalitas negatif signifikan (spillovers) untuk semua auditor (Doogar dkk., 2007). Proses audit banyak melibatkan aktivitas pengumpulan, pengevaluasian kecukupan dan ketepatan bukti sebagai dasar menyatakan opini sesuai ketentuan dalam standar audit (SA315, SA330, SA520, dan SA700). Standar-standar tersebut menekankan dua hal penting bagi auditor, yaitu: melaksanakan judgment profesional dan mempertahankan skeptisisme profesional dalam audit (SA200 dan SA240). Penerapan dua hal tersebut dalam praktik menjadi sesuatu yang kompleks dan sulit dilaksanakan selain karena bukti adanya salah saji akibat ketidakberesan yang sengaja disembunyikan oleh klien (Plesis dan Koornhof, 2002) maupun karena adanya tradeoff antara efisiensi dan efektifitas audit. Apabila auditor menerapkan skeptisisme terlalu tinggi maka dibutuhkan terlalu banyak bukti sehingga audit menjadi tidak efisien dan sebaliknya jika kurang skeptis kemungkinan auditor gagal menemukan adanya salah saji atau informasi yang kontradiktif. Penggunaan International Financial Reporting Standards (IFRS) menambah kompleks peran audit dalam meningkatkan keterandalan dan kredibilitas informasi keuangan (Watkins dkk., 2004; IFAC, 2011). IFRS dikenal sebagai standar akuntansi yang berbasis prinsip (principle-based) dengan basis penilaian menggunakan nilai wajar (fair value) menggantikan standar akuntansi berbasis aturan yang detil (rulebased) dan basis penilaian kos (Maines dkk., 2007 dan Agoglia dkk., 2011). IFRS memungkinkan penyusun laporan keuangan dan auditor menggunakan lebih banyak
4
judgment, memunculkan bias (Martin dkk., 2006), meningkatkan latitude, dan meningkatkan second guessing2 (Grenier dkk., 2011). Kenyataan tersebut merupakan sinyal semakin pentingnya penerapan skeptisisme profesional bagi auditor, baik untuk mempertanyakan kewajaran estimasi yang dibuat manajemen maupun menilai kecukupan dan ketepatan bukti audit untuk mendukung estimasi tersebut (FRC, 2010). Menyadari semakin besarnya tantangan dan peran yang dihadapi oleh auditor karena kompleksitas lingkungan serta tingginya harapan publik untuk mendapatkan informasi relevan yang dapat diandalkan, standar audit menegaskan pentingya penggunaan skeptisisme profesional dan peningkatan tanggung jawab auditor untuk mencegah dan menemukan salah saji material (CAQ, 2010). Literatur dan standar audit sepakat bahwa semakin skeptis auditor berperilaku semakin tinggi kemungkinan salah saji atau ketidakberesan dapat ditemukan dalam audit (PCAOB, 2012). Saat ini, profesi auditor di Indonesia selain menghadapi masalah defisiensi audit karena kurangnya penerapan skeptisisme profesional dan meningkatnya kompleksitas pelaporan keuangan, juga menghadapi masalah terbatasnya tenaga akuntan dalam menghadapi persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan membebaskan pasar tenaga kerja termasuk akuntan di awal tahun2016. Menurut informasi Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P3K)
3
Kementerian Keuangan
Republik Indonesia, jumlah akuntan terdaftar sampai dengan 2014 sebanyak 53.800
2 3
Beda auditor mungkin akan memberikan dugaan berbeda atas keadaan yang sama Sebelumnya menggunakan nama Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP)
5
orang (7.306 dalam proses) dan yang menjadi akuntan publik hanya 1.060 orang (Subur, 2015) dari jumlah penduduk 230-an juta jiwa. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang membutuhkan jasa audit (sampai dengan akhir 2013 tercatat sekitar 226.000 organisasi memerlukan tenaga akuntan, 514 diantaranya terdaftar di BEI). Kekurangan jumlah auditor disamping berdampak pada menariknya peluang ini bagi tenaga akuntan asing juga bisa berdampak pada penurunan kualitas audit karena kurangnya penerapan skeptisisme profesional sebagai akibat dari banyaknya klien yang harus ditangani dalam waktu yang relatif bersamaan dan tenur audit yang panjang4 (Rittenberg, 2012; dan Carey dan Simnett, 2006). Badan regulasi profesi pengaudit telah merespon berbagai hal yang kemungkinan dapat berdampak buruk terhadap kualitas jasa penjaminan dengan menetapkan standar pengendalian mutu yang termuat dalam SA220. Ketentuan dalam SA220 (2012) tentang pengendalian mutu perikatan melalui reviu merupakan standar yang baik untuk dilaksanakan. Pelaksanaan ketentuan tersebut akan menambah kebutuhan sumber daya manusia kompeten dalam jumlah yang tidak sedikit. Oleh karena itu, asosiasi profesi atau instansi terkait perlu segera mencari alternatif untuk mengatasi masalah tersebut. Terkait dengan masalah tersebut salah satu gagasan jalur alternatif untuk menjadi akuntan profesional di Indonesia berupa cetak biru pengembangan profesi (AkuntanOnline, 2013). 4
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2015 Tentang Praktik Akuntan Publik Pasal 11 ayat 1 memberikan batasan tenur 5 tahun berturut-turut, ketentuan ini lebih longgar dibanding ketentuan sebelumnya.
6
Gambar 1.1 Cetak Biru Pengembangan Profesi Akuntansi Indonesia Cetak biru biru pengembangan profesi akuntansi ditunjukkan dalam Gambar 1.1. Cetak biru pengembangan profesi akuntansi di Indonesia tersebut memungkinkan lulusan pendidikan diploma IV (D-IV) atau sarjana (S-1) dari berbagai jurusan menjadi akuntan profesional melalui pendidikan profesi akuntansi (PPAk) 5 . Cara serupa juga digunakan oleh beberapa negara (antara lain: Amerika, Spanyol, Inggris, dan Jerman). Namun demikian, alternatif ini perlu kajian hati-hati dan dipelajari dampaknya terhadap kuantitas serta kualitas audit sebelum diputuskan. Studi bidang ketenagakerjaan dan keorganisasian mengungkapkan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan kinerja, termasuk fleksibilitas 5
Sampai saat ini IAPI menggunakan jalur yang hanya mengakui lulusan D-IV/S-1 akuntansi saja yang memenuhi syarat untuk menjadi akuntan profesional.
7
untuk berganti posisi dan pekerjaan (Ng, dkk., 2005). Namun demikian, belum banyak studi yang menguji hubungan berbagai latar belakang jurusan pendidikan dengan kinerja (Ng dan Feldman, 2009). Penelitian ini mengisi kekosongan tersebut dengan menginvestigasi hubungan antara berbagai latar belakang pendidikan formal (jurusan) terhadap kinerja satu bidang pekerjaan akuntansi, yaitu audit menggunakan eksperimen dengan tatanan konteks audit. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dengan menyediakan salah satu bukti hubungan keberagaman latar belakang pendidikan formal (S-1 atau D-IV) dengan kinerja melalui skeptisisme profesional. Watkins dkk., (2004) membuat sintesa penelitian-penelitian kualitas audit dan memisahkan kualitas audit menjadi kualitas aktual (kekuatan pemonitoran) dan kualitas persepsian (reputasi). Kemudian Francis (2011) mengembangkan rerangka untuk memudahkan pemahaman penelitian kualitas audit. Kekuatan pemonitoran dipengaruhi oleh faktor input, proses (proses audit, KAP), dan institusi. Kualitas audit tinggi dihasilkan dari kompetensi dan independensi personil yang melakukan audit menggunakan prosedur audit yang menghasilkan bukti audit cukup dan kompeten. Prosedur audit dikembangkan oleh KAP baik secara individual maupun kolektif (industri melalui best practices). Sedangkan sebagai suatu keluaran, kualitas audit dipengaruhi oleh standar dan ketentuan relevan lain yang ditetapkan oleh institusi terkait (Francis, 2011). Menurut Nelson (2009), saat ini masih terdapat perbedaan sudut pandang (neutral vs. presumptive doubts) antara teori dan literatur pengauditan dengan standar
8
audit mengenai konsep skeptisisme. Pany dan Whittington (2001), menambahkan bahwa standar audit sebagai panduan untuk implementasi konsep skeptisisme profesional tidak memadai. Penggunaan kata “cukup”, “tepat” dan “skeptisisme profesional” dalam standar audit sulit didefinisikan secara tepat (Epstein, 2015), katakata tersebut mengandung interpretasi relatif antarindividu sehingga memungkinkan persepsi
yang
tidak
sama
terhadap
standar
dan
berakibat
munculnya
ketidakseragaman penerapan skeptisisme profesional antarauditor (Zikmund, 2008). Oleh karena itu, eksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional dan perilaku skeptis pada tingkat yang tepat penting bagi teori dan praktik pengauditan agar diperoleh keseragaman pemahaman. Berbagai kasus yang melibatkan profesi auditor mulai dari kasus Enron, Worlcom, Lehman Brothers hingga yang terbaru penggelembungan laba oleh PT Thosiba di tahun 2015 mendasari pergeseran paradigma dalam pengauditan. Pengauditan yang menggunakan paradigma bahwa klien “baik” sehingga skeptisisme profesional dimaknai sebagai sikap netral (neutral), auditor tidak bersikap tidak mempercayai asersi manajemen tetapi juga tidak begitu saja menerima pernyataan (Jusup, 2001) telah bergeser ke penggunaan paradigma presumptive doubts atau auditor harus lebih proaktif untuk lebih berani men-challenge pernyataan manajemen (Glover dan Prawitt, 2014; SA316). Diperlukan upaya konsisten untuk selalu mengingatkan auditor bahwa risiko terjadinya kecurangan (fraud/irregularities) lebih besar daripada risiko salah saji karena faktor ketidaksengajaan (error).
9
Beberapa penelitian menemukan pengaruh positif sikap skeptisisme terhadap kualitas audit yang diproksikan dengan perilaku skeptis. Fullerton dan Durtschi (2004), menggunakan auditor internal menguji pengaruh skeptisisme profesional terhadap kecenderungan mencari bukti dan menemukan pengaruh positif skala skeptisisme terhadap hasrat auditor mencari bukti. Hurtt, dkk., (2010), Robinson (2011), dan Popova (2013) menguji dan menemukan pengaruh skeptisisme profesional terhadap perilaku skeptis. Penelitian Robinson (2011) menemukan dukungan parsial peran mediasi skeptisisme profesional “state” terhadap hubungan antara skeptisisme “traits” dengan perilaku skeptis. Tiga isu pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) adanya peluang calon auditor dari berbagai jurusan pendidikan formal, (2) defisiensi dan kegagalan audit karena ketidaktepatan penerapan skeptisisme profesional dan perlunya mekanisme untuk memitigasi defisiensi dan kegagalan audit dengan meningkatkan skeptisisme profesional auditor, dan (3) mengeksplorasi peran skeptisisme profesional dalam meningkatan kualitas audit melalui perilaku skeptis. Berkaitan dengan isu pertama, penelitian ini bertujuan menguji pengaruh beragam latar belakang pendidikan formal auditor (S-1/D-IV) terhadap skeptisisme profesional dan perilaku skeptis. Berkaitan dengan isu kedua, penelitian Choo (1995) dan Kelly dan Margheim (1990) menemukan adanya pengaruh tekanan waktu terhadap kinerja auditor. Arnold dkk., (2000) menunjukkan keterbatasan waktu mempengaruhi kemampuan individu dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Liyanarachchi dan McNamara (2007),
10
mensikapi adanya tekanan waktu tersebut auditor cenderung menurunkan kualitas pekerjaannya. Sejalan dengan penelitian-penelitian di atas, diduga adanya tekanan waktu berpengaruh terhadap kualitas judgment auditor sehingga penelitian ini bertujuan menguji pengaruh tekanan waktu terhadap skeptisisme profesional dan perilaku skeptis auditor. Peneltian ini menggunakan tinjauan audit sebagai proses yang dinamis dan kualitas audit aktual serta tinjauan dari aspek peran institusi dalam menjaga dan meningkatkan kualitas audit melalui mekanisma sanksi seperti penelitian Dopuch dan King (1992), dan King dan Schwartz (1999). Penggunaan tinjauan proses dinamis dilakukan karena lingkungan bisnis selalu berubah dan tuntutan untuk memberikan jasa audit berkualitas semakin besar. Penggunaan asumsi pengujian hipotesis asuransi seperti yang dilakukan oleh Brown, dkk., (2008) dan Menon dan Williams, (1994) serta pengujian kualitas audit menggunakan asumsi peran asuransi juga tidak dipilih karena secara teoritis tidak sesuai dengan fenomena jasa audit di Indonesia dan tidak dimungkinkan6 oleh sistem hukum yang berlaku. Analisis pengaruh keberagaman latar belakang pendidikan auditor terhadap skeptisisme profesional digunakan karena merupakan hal baru di Indonesia. Sejauh pengetahuan penulis, penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali terkait hubungan keragaman latar belakang pendidikan dengan skeptisisme profesional,
6
Indonesia bukan negara common law. Ketentuan hukum Indonesia dalam UU No. 5 Tahun 2011, tidak memberikan kesempatan bagi publik untuk menuntut auditor mengganti kerugian yang diderita oleh pengguna. Kondisi ini memungkinkan mengabaikan faktor asuransi dalam kualitas audit untuk konteks Indonesia.
11
khususnya di Indonesia. Penelitian-penelitian terdahulu menghubungkan ketentuan tambahan waktu studi (credit hours) terhadap kualitas audit dan kos audit yang harus ditanggung oleh klien (Allen dan Woodland, 2010) dan perbedaan degree (Gul dkk., 2013). Berbeda dengan studi Endrawes dan Monroe (2011) yang membandingkan pengaruh dua dimensi budaya (Individualism dan Power Distance) antara Mesir dengan Australia, persepsi atas risiko kecurangan dan kesalahan, serta akuntabilitas dan pengetahuan audit terhadap skeptisisme profesional, penelitian ini menggunakan teori ekonomi the credence good dan teori keperilakuan cognitive bias (Tversky dan Kahnemann, 1974) serta membandingkan pengaruh beragam latar belakang pendidikan (jurusan) auditor dalam satu konteks sistem dan budaya terhadap skeptisisme profesional. Berkaitan dengan isu ketiga, penelitian ini akan menguji pengaruh skeptisisme profesional dalam memprediksi perilaku profesional, yaitu auditor memeriksa lebih banyak bukti audit dan mampu menemukan lebih banyak informasi kontradiktif. Penelitian ini juga akan menguji peran mediasi skala skeptisisme terhadap hubungan antara latar belakang pendidikan, tekanan waktu, dan sanksi terhadap perilaku skeptis auditor. Teori utama yang mendukung penelitian ranah ini adalah teori keperilakuan bias kognitif (heuristics dan judgmental bias), disonansi kognitif (Festinger, 1957), dan teori ekonomi the credence goods (Dulleck dan Kerschbamer, 2006). Beberapa
12
teori lain seperti behavior modification (Martin, 1988) dan transtheoretical (Prochaska dan Norcross, 2010) melengkapi urain dalam penelitian ini. Metode eksperimen digunakan dalam penelitian ini karena dipandang sesuai untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang hubungan sebab akibat (Nahartyo, 2012; Campbell dan Stanley, 1963) dan memungkinkan untuk mengukur independensi serta perilaku auditor (Yu, 2005). Model eksperimen juga memungkinkan peneliti melakukan manipulasi untuk menciptakan situasi atau fenomena yang dikehendaki secara artifisial untuk merepresentasi realitas. Oleh karena itu, pilihan sudut pandang audit sebagai proses yang dinamis dan penggunaan eksperimen diharapkan memiliki relevansi teoritis, praktis serta kebijakan yang tinggi. Analisis pada level individual dipilih selain karena bervariasinya tugas auditor untuk menyatakan opini dan adanya pengaruh beberapa atribut personal auditor seperti pengetahuan, keahlian dan personalitas terhadap hasil (Nelson dan Tan, 2005 dan Buuren, 2009), juga karena eksplorasi kaitannya dengan latar belakang pendidikan formal auditornya. Skeptisisme profesional dipengaruhi oleh faktor bawaan individu (sikap, nilai-nilai etika, kompetensi) dan faktor lingkungan (budaya, sistem hukum, regulasi) atau situasional (Robinson, 2011; Endrawes dan Monroe, 2011; Hurtt dkk., 2011; Hurtt, 2010 dan Nelson, 2009). Beberapa riset kualitas audit juga mendukung bahwa kualitas audit dipengaruhi oleh karakteristik individu pengambil keputusan seperti: pengalaman, kemampuan, pendidikan, gender, sikap terhadap risiko, dan latar belakang politik (Trotman dkk., 2009; dan Miller, 1992) dan persepsi pasar atas kualitas audit dalam
13
hal tertentu diinferensi dari karakteristik individual partner auditnya (Zerni, 2009). Pilihan unit analisis ini juga didukung pernyataan Watkins dkk., (2004) bahwa kualitas audit merupakan hasil judgment auditor individual dan pengaruh individu auditor terhadap kualitas audit secara ekonomik dan statistik signifikan, lebih kuat dibanding pengaruh KAP (Gul dkk., 2011) dan penelitian Chen dkk., (2010) yang menemukan hubungan positif antara tingginya kemungkinan individu auditor dikenai sanksi dengan independensi auditor. 1.2 Motivasi Penelitian Motivasi utama dilakukannya penelitian ini karena masih terdapat senjang antara teori dan praktik mengenai konsep skeptisisme profesional sebagai upaya perbaikan kualitas audit. Skeptisisme profesional merupakan syarat yang diperlukan dalam mencapai audit yang efektif. Akan tetapi, sederetan bukti menunjukkan masih belum cukup untuk menjadikan audit yang efektif. Publikasi peristiwa skandal bisnis yang mengarah pada kegagalan auditor dalam menerapkan skeptisisme profesional masih menghiasi berbagai media hingga kini. Standar audit dan berbagai aturan yang menyertainya
tidak
memberikan
panduan
gamblang
mengenai
skeptisisme
profesional. Kedua, munculnya gagasan dari pemerintah yang membuka peluang bagi calon akuntan profesional dari berbagai latar belakang pendidikan formal—semula hanya yang berlatar belakang pendidikan formal akuntansi yang memenuhi kualifikasi menjadi akuntan profesional perlu empiris untuk bahan pertimbangan
14
keputusan kedepan. Di Indonesia, kajian atau penelitian bidang tersebut belum banyak dilakukan. Ketiga, beberapa peristiwa yang mengindikasikan masih adanya tindakan penurunan kualitas audit karena pandangan teori ekonomi the credence goods sehingga diperlukan mekanisme untuk mencegah dan memitigasi tindakan tersebut, dan terakhir, pernyataan Watkins dkk. (2004) dalam simpulannya mengungkapkan bahwa tantangan yang dihadapi studi kualitas audit dari sisi permintaan adalah tidak adanya ukuran-ukuran langsung kekuatan pemonitoran. Reviu merupakan mekanisma yang memungkinkan profesi melakukan pemonitoran proses audit. Keempat, adanya perbedaan lingkungan hukum yang menjadikan fenomena profesi audit di Indonesia berbeda, rendahnya tekanan pasar terhadap kualitas audit dari hipotesis asuransi dan adanya kebutuhan meningkatkan jumlah auditor di Indonesia dengan gagasan membuka peluang auditor dari berbagai latar belakang pendidikan D-IV dan S-1. Temuan Allen dan Woodland (2010) menunjukkan pengaruh positif persyaratan tambahan satuan kredit semester (sks) mahasiswa akuntansi terhadap fee audit tetapi tidak menemukan pengaruhnya terhadap kualitas audit. Adanya temuan hubungan positif antara tingkat pendidikan terhadap kinerja (Ng, dkk., 2005) dan belum banyak studi yang menguji hubungan antara berbagai latar belakang jurusan pendidikan dengan kinerja (Ng dan Feldman, 2009) serta masih adanya temuan yang tidak konsisten membuka peluang dilakukannya penelitian ini.
15
1.3 Pertanyaan Penelitian Profesi perlu melakukan perbaikan input dan proses secara fokus dan terus menerus untuk mengurangi defisiensi dan kegagalan audit. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk membantu melakukan perbaikan tersebut melalui kajian literatur dan empiris maupun perbaikan ketentuan/regulasi. Hasil penelitian ini dapat di diseminasikan agar publik memiliki sumber acuan memadai untuk membentuk opini mereka menjadi lebih objektif. Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan yang relevan dengan skeptisisme profesional, kesesuaian pilihan penambahan jumlah akuntan, pengaruh skeptisisme profesional terhadap kualitas audit dan peran institusi dalam menjaga dan meningkatkan kualitas audit. Lebih rinci masalah tersebut dirumuskan sebagai berikut: 1. Belajar dari pengalaman profesi di Amerika pada tahun 60-an terkait penambahan jumlah akuntan melalui jalur pembebasan latar belakang pendidikan, apakah perbedaan latar belakang pendidikan tersebut berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor? 2. Audit memerlukan bukti audit yang cukup dan tepat untuk menyatakan pendapat dalam batasan besaran fee dan waktu audit. Batasan fee dan penerimaan penugasan yang mendekati akhir tahun buku berdampak pada terbatasnya waktu yang bisa dipergunakan untuk pengumpulan bukti audit, apakah kondisi ini berpengaruh terhadap tingkat skeptisisme profesional auditor?
16
3. Kurangnya penerapan skeptisisme profesional bisa berdampak pada defisiensi audit sehingga diperlukan upaya untuk melindungi kepentingan publik. Penelitian sebelumnya dibidang kualitas audit menemukan bukti adanya kegagalan audit karena kurangnya penerapan tingkat skeptisisme yang tepat (Beasley dkk., 2001) dan adanya hubungan positif antara tanggung jawab hukum dengan kualitas audit (King dan Schwartz, 1999), dengan demikian apakah sanksi hukum yang diintroduksi melalui proses reviu berpengaruh terhadap tingkat skeptisisme profesional auditor? 4. Literatur pengauditan sebelumnya tidak atau belum memberikan secara jelas variabel yang menjadi anteseden perilaku skeptis, apakah skeptisisme profesional merupakan variabel yang langsung mempengaruhi perilaku skeptis auditor atau skepetisisme profesional memediasi hubungan kemampuan dengan perilaku skeptis auditor? Ringkasan keterkaitan isu penelitian dan pertanyaan penelitian disajikan dalam Tabel 1.1. Pertanyaan pertama, yaitu berkaitan dengan isu mengenai adanya gagasan dari pemerintah untuk membuka peluang calon auditor dari berbagai latar belakang pendidikan menjadi akunta. Pertanyaan kedua dan ketiga terkait dengan isu masih ditemukannya defisiensi dan kegagalan audit karena kurangnya penerapan skeptisisme profesional auditor, dan pertanyaan keempat berkaitan dengan isu mekanisme untuk memitigasi defisiensi dan kegagalan audit.
17
Tabel 1.1. Keterkaitan antara Isu Penelitian dengan Pertanyaan Penelitian Isu Penelitian Peluang calon auditor dari berbagai jurusan pendidikan formal
Defisiensi dan kegagalan audit karena ketidaktepatan penerapan skeptisisme profesional serta pengaruh tekanan waktu dan penerapan sanksi terhadap kualitas audit
Peran skeptisisme profesional dalam meningkatan kualitas audit melalui perilaku skeptis
Pertanyaan Penelitian Adanya gagasan jalur alternatif menjadi akuntan profesional dan belajar dari pengalaman profesi di Amerika pada tahun 60-an terkait penambahan jumlah akuntan melalui jalur pembebasan latar belakang pendidikan, apakah perbedaan latar belakang pendidikan tersebut berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor? Audit memerlukan bukti audit yang cukup dan tepat untuk menyatakan pendapat dalam batasan besaran fee dan waktu audit. Batasan fee dan penerimaan penugasan yang mendekati akhir tahun buku berdampak pada terbatasnya waktu yang bisa dipergunakan untuk pengumpulan bukti audit, apakah kondisi ini berpengaruh terhadap tingkat skeptisisme profesional auditor? Penelitian sebelumnya dibidang kualitas audit menemukan bukti adanya kegagalan audit karena kurangnya penerapan tingkat skeptisisme yang tepat (Beasley dkk., 2001) dan adanya hubungan positif antara tanggung jawab hukum dengan kualitas audit (King dan Schwartz, 1999; Chen dkk, 2010), dengan demikian apakah sanksi hukum yang diintroduksi melalui proses reviu berpengaruh terhadap tingkat skeptisisme profesional auditor? Literatur pengauditan sebelumnya tidak/belum memberikan secara jelas variabel yang menjadi anteseden perilaku skeptis, apakah skeptisisme profesional merupakan variabel yang langsung mempengaruhi perilaku skeptis auditor atau skepetisisme profesional memediasi hubungan kemampuan dengan perilaku skeptis auditor?
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut: 1. Menguji pengaruh perbedaan latar belakang pendidikan formal auditor terhadap skala skeptisisme profesional auditor. 2. Menguji pengaruh tekanan waktu terhadap skala skeptisisme profesional auditor. 3. Menguji pengaruh penerapan sanksi terhadap skala skeptisisme profesional auditor. 4. Menguji pengaruh skala skeptisisme auditor terhadap perilaku skeptis yang diukur menggunakan jumlah bukti audit diperiksa dan temuan informasi kontradiktif.
18
5. Menguji pengaruh latar belakang pendidikan, tekanan waktu, ancaman sanksi, dan skeptisisme profesional terhadap perilaku skeptis. Tabel 1.2 berikut berisi ringkasan keterkaitan antara isu penelitian, pertanyaan penelitian, dan tujuan penelitian dalam disertasi ini Tabel 1.2. Keterkaitan antara Isu Penelitian, Pertanyaan Penelitian, dan Tujuan Penelitian Isu Penelitian
Peluang calon auditor dari berbagai jurusan pendidikan formal
Defisiensi dan kegagalan audit karena ketidaktepatan penerapan skeptisisme profesional serta pengaruh tekanan waktu dan penerapan sanksi terhadap kualitas audit
Pertanyaan Penelitian Adanya gagasan jalur alternatif menjadi akuntan profesional dan belajar dari pengalaman profesi di Amerika pada tahun 60-an terkait penambahan jumlah akuntan melalui jalur pembebasan latar belakang pendidikan, apakah perbedaan latar belakang pendidikan tersebut berpengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor? Audit memerlukan bukti audit yang cukup dan tepat untuk menyatakan pendapat dalam batasan besaran fee dan waktu audit. Batasan fee dan penerimaan penugasan yang mendekati akhir tahun buku berdampak pada terbatasnya waktu yang bisa dipergunakan untuk pengumpulan bukti audit, apakah kondisi ini berpengaruh terhadap tingkat skeptisisme profesional auditor? Penelitian sebelumnya dibidang kualitas audit menemukan bukti adanya kegagalan audit karena kurangnya penerapan tingkat skeptisisme yang tepat (Beasley dkk., 2001) dan adanya hubungan positif antara tanggung jawab hukum dengan kualitas audit (King dan Schwartz, 1999; Chen dkk, 2010), dengan demikian apakah sanksi hukum yang diintroduksi melalui proses reviu berpengaruh terhadap tingkat skeptisisme profesional auditor?
Tujuan Penelitian Menguji pengaruh perbedaan latar belakang pendidikan formal auditor terhadap skala skeptisisme profesional auditor.
Menguji pengaruh tekanan waktu terhadap skala skeptisisme profesional auditor.
Menguji pengaruh penerapan sanksi terhadap skala skeptisisme profesional auditor.
19
Tabel 1.2 Lanjutan Isu Penelitian
Peran skeptisisme profesional dalam meningkatan kualitas audit melalui perilaku skeptis
Pertanyaan Penelitian Literatur pengauditan sebelumnya tidak/belum memberikan secara jelas variabel yang menjadi anteseden perilaku skeptis, apakah skeptisisme profesional merupakan variabel yang langsung mempengaruhi perilaku skeptis auditor atau skepetisisme profesional memediasi hubungan kemampuan dengan perilaku skeptis auditor?
Tujuan Penelitian Menguji pengaruh skala skeptisisme auditor terhadap perilaku skeptis yang diukur menggunakan jumlah bukti audit diperiksa dan temuan informasi kontradiktif. Menguji pengaruh latar belakang pendidikan, tekanan waktu, ancaman sanksi, dan skeptisisme profesional terhadap perilaku skeptis.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki kontribusi teoritis, metodologi dan implikasi praktis bagi beberapa pihak. Pertama, kontribusi teoritis penelitian diperoleh melalui tilikan teori akuntansi keperilakuan dalam menjelaskan kinerja proses dan judgment performance yang dicapai auditor. Menggunakan sudut pandang bahwa audit adalah proses yang dinamis, penelitian ini diharapkan dapat menyediakan empiris pengaruh latar belakang pendidikan formal, tekanan waktu dan probabilitas direviu yang mencerminkan adanya ancaman sanksi terhadap skala skeptisisme. Temuan empiris ini menambah penjelasan fenomena hubungan keragaman latar belakang pendidikan terhadap kinerja menjadi sumbangan dalam teori kognitif seperti diungkapkan dalam teori akuntansi positif (Zimmerman, 1986). Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk mendukung pentingnya penerapan skeptisisme profesional yang tepat terutama ketika auditor dihadapkan pada kelompok transaksi, akun atau rekening yang berisiko tinggi.
20
Auditor yang kukuh menjaga skeptisisme profesional cenderung menolak bukti audit yang tidak cukup (Wooten, 2003) sehingga diharapkan mampu menurunkan risiko audit pada tingkat yang dapat diterima. Auditor biasa bekerja dalam keterbatasan waktu, baik keterbatasan waktu dianggarkan karena batasan fee audit maupun karena saat penerimaan penugasan yang mendekati akhir tahun. Hasil pengujian perlakuan terhadap tekanan waktu diharapkan dapat dipergunakan untuk melengkapi atau mengkonfirmasi temuan sebelumnya bahwa tekanan waktu berdampak negatif pada kinerja judgment seperti temuan Choo (1995) dan Kelly dan Margheim (1990) atau sebaliknya. Bahasan dan eksplorasi menggunakan kacamata teori ekonomi the credence goods (Dulleck dan Kerschbamer, 2006) dan teori psikologi cognitive bias (Tversky dan Kahnemann, 1974) untuk mengarahkan perilaku yang sesuai norma melengkapi kontribusi teoritis. Temuan dalam penelitian ini diharapkan menambah bukti bahwa kondisi tertentu atau situasional dapat membuat perbedaan dalam penerapan skeptisisme profesional bisa dikurangi variabilitasnya melalui mekanisme sanksi. Temuan dalam penelitian ini diharapkan juga dapat dipergunakan untuk mendukung literatur dan standar pengauditan yang menyatakan bahwa auditor yang memeriksa bukti audit lebih banyak memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menilai kewajaran estimasi yang dibuat oleh manajemen. Disamping itu, temuan dalam penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian relevan sebagai upaya untuk mengurangi perbedaan persepsi mengenai skeptisisme profesional antara auditor dengan regulator dan publik.
21
Kontribusi metodologis diharapkan diperoleh dari tilikan atas dua faktor yang berpengaruh terhadap kualitas audit melalui skeptisisme profesional, yaitu: aspek input dan aspek institusi secara berkesinambungan. Penggunaan metode eksperimen diharapkan melengkapi literatur pengauditan khususnya dari teori keperilakuan bias kognitif dalam pengambilan keputusan. Bagi badan regulasi (asosiasi profesi dan pemerintah) kajian dan pengujian pengaruh keberagaman latar belakang pendidikan formal auditor terhadap skeptisisme profesional dapat dipergunakan sebagai salah satu bahan rujukan dalam membuat kebijakan yang relevan terkait penyusunan peraturan untuk memenuhi kebutuhan kuantitas dengan tetap menjaga kualitas akuntan dan kualitas audit. Pengujian yang membandingkan kinerja keputusan auditor yang menerima pengetahuan deklaratif dan prosedural ketika menempuh pendidikan formal akuntansi (S-1/D-IV/PPAk.) diharapkan memiliki peran dalam menjelaskan peran siknifikan pendidikan formal akuntansi sebagai landasan dalam membentuk skeptisisme profesional auditor. Bagi KAP temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk mengatur strategi penerimaan dan pelatihan audit pasca berlakunya UU-AP dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas audit. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk penyiapan dan pelaksanaan pendidikan profesi akuntansi (PPAk). Jika skeptisisme profesional memiliki sisi situasional maka dapat dipengaruhi melalui rancangan silabus dan kurikulum dengan lebih banyak
22
diberi muatan berupa contoh-contoh terkini yang mempromosikan konsistensi dalam penerapan skeptisisme profesional.