BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG 1. LATAR BELAKANG MASALAH Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 1997-1998 melanda hampir tiap negara di seluruh dunia, termasuk salah satunya di Indonesia juga mengalami krisis ekonomi. Hal tersebut mengakibatkan bank mengalami berbagai goncangan, sehingga banyak yang mempertanyakan sistem pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank. Kelemahan pengaturan dan pengawasan yang pada waktu itu dirasakan kurang mendukung, diharapkan dapat diperbaiki sehingga dapat terciptanya sistem kerangka pengaturan dan pengawasan yang tangguh. Reformasi di bidang pengaturan dan pengawasan tidak saja di bidang perbankan akan tetapi meliputi semua bidang keuangan. Dengan demikian diharapakan dapat menanggulangi krisis yang terjadi dan dapat menampung dinamika permasalahan yang akan terjadi sekaligus dapat mewujudkan perekonomian nasional Indonesia yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil . Dinamika di bidang keuangan, termasuk di dalamnya di bidang perbankan. Hal itu disebabkan hubungan antara bank dan nasabah adalah hubungan kepercayaan, dimana status bank sebagai "a place of special safety and probity". (Simons, & White, 1984: 285)
2 Terbentuknya ide awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan yang sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan rancangan undang-undang tentang Bank Indonesia antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan
Rancangan
Undang-Undang
tentang
Bank
Indonesia
yang
memberikan independensi kepada bank sentral. Rancangan Undang-Undang ini di samping memberikan independensi, juga mengeluarkan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (bank sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan rancangan undang-undang (kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank. (Andren Sutedi, 2014: 37) Independensi bank sentral merupakan salah satu bagian dari sektor jasa keuangan disamping masih ada pasar modal dan industri keuangan non bank. Ketiga bagian tersebut digarapkan dapat mewujudkan perekonomian nasional Indonesia yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil dan transparan, dan akuntabel, serta mewujudkan system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terpadu, independen, dan akuntabel, maka dibentuklah Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Di dalam
3 Undang-Undang 21 Tahun 2011 tersebut, OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan. b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal. c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Disamping OJK terdapat juga lembaga lainnya yang independen dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta dibentuk berdasarkan Undang-Undang. Lembaga tersebut antara lain adalah: a. Undang-Undang Nomor Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999
Tentang Bank Indonesia Bank
Indonesia. Dimana Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang Bank Indonesia. Sedangkan tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia mempunyai tugas: 1) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; 2) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; 3) mengatur dan mengawasi Bank. Tugas mengatur dan mengawasi Bank tersebut beralih ke OJK sejak tanggal 31 Desember 2013.
4 b. Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan
Simpanan. LPS adalah lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dalam menjalankan fungsinya LPS mempunyai tugas: 1) merumuskan
dan
menetapkan
kebijakan
pelaksanaan
penjaminan
simpanan; dan 2) melaksanakan penjaminan simpanan c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap
Peserta
dan/atau
anggota
keluarganya.
BPJS
berfungsi
menyelenggarakan program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan berfungsi menyelenggarakan: 1) program jaminan kecelakaan kerja; 2) program jaminan kematian; 3) program jaminan pensiun; 4) dan jaminan hari tua. Otoritas jasa keuangan tidak hanya ada di Indonesia tetapi juga terdapat di berbagai negara, adapun Otoritas jasa keuangan yang masih ada sampai saat ini antara lain adalah sebagai berikut: a. Otoritas Jasa Keuangan di Australia.
5 Otoritas Jasa Keuangan di Australia adalah The Ausytalian Prudential Regulation Authority (APRA yang mempunyai kewenangan antara lain untuk: 1) Memperoleh, memiliki atau melepas property. Melakukan perikatan atau perjanjian. Menyewa seluruh atau sebagian tanah atau bangunan untuk keperluan sendiri. 2) Menguasai, menggunakan, dan mengendalikan penggunaan tanah atau bangunan yang dimiliki atau disewa oleh persemakmuran dan tersedia untuk keperluan APRA serta melakukan tindakan-tindakan lain yang diperlukan untuk menjalankn fungsinya. 3) Lembaga-lembaga yang menjadi obyek regulasi APRA di antranya bank, asuransi, penyedia retirement saving account, trustee of superannuation entity. APRA membiayai kegiatan dengan: 1) Dana yang dipungut oleh pemerintah persemakmuran yang diteruskan ke APRA. 2) Pungutan yang diterapkan dan ditarik oleh APRA. Dimana APRA diperkenankan untuk meminjam dari pemerintah persemakmuran atau pihak-pihak lain. Sedangkan untuk pajak, APRA dinyatakan bukan subyek pajak, baik pada tingkat negara persemakmuran maupun negara bagian dan teritori. b. Otoritas Jasa Keuangan di Kanada.
6 Otoritas Jasa Keuangan di Kanada adalah Office of the Supertntendent of Financial Intitutions (OFSI) yang pembentukannya juga berdasarkan undangundang. Bidang tugas OFSI pada intinya adalah: 1) mengawasi lembaga-lembaga keuangan. 2) memberikan saran kepada pengurus lembaga keuangan, 3) mengawasi dan mengevaluasi kondisi mikro maupun makro yang berpengaruh pada lembaga keuangan. OFSI melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap bank, asuransi, dana pension, dan lembaga pembiayaan. c. Otoritas Jasa Keuangan di Jepang. Otoritas Jasa Keuangan di Jepang adalah Financial Supervisory Authority (FSA) yang pembentukannya berdasarkan undang-undang. FSA merupakan lembaga independen yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan yang meliputi bank, pasar modal dan asuransi. d. Otoritas Jasa Keuangan di Jerman. Otoritas
Jasa
Keuangan
di
Jerman
adalah
Bundesanstalt
für
Finanzdienstleistungsaufsicht (BaFin) yang dibentuk pada tanggal 25 Januari 2001 dan mulai beroperasional pada tanggal 1 Mei 2002 yang berdasarkan hukum otoritas jasa keuangan merupakan badan pengawas tunggal. Adapun BaFin gabungan dari lembaga-lembaga pengawas sebelumnya yang meliputi lembaga pengawas perbankan, lembaga pengawas asuransi, dan lembaga pengawas sekuritas.
7 BaFin memiliki wewenang terkait pengawasn lembaga kredit, perusahaan asuransi, perusahaan investasi, dan lembaga keuangan lainnya. BaFin bertujuan menjamin stabilitas dan integritas sistem keuangan Jerman secara menyeluruh. Tujuan utamanya yaitu menjaga solvabilitas bank, penyedia jasa keuangan dan perusahaan asuransi, dan perlindungan konsumen dan investor. (Martin Schuler, 2013: 13) e. Otoritas Jasa Keuangan di Perancis. Otoritas Jasa Keuangan di Perancis adalah Prudential Supervision Authority atau Autorité de Contrôle Prudentiel (ACP) yang dibentuk pada tanggal 21 Januari 2010. ACP merupakan lembaga independen yang mempunyai tugas untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan memberikan perlindungan pada konsumen, perlindungan pada anggota, perlindungan pada ahli waris, dan orang yang diasuransikan oleh entitas yang diawasinya.. ACP dibentuk dari gabungan antara badan perizinan Perancis dan otoritas pengawas sektor perbankan dan pengawas sektor asuransi. Tujuan dibentuknya ACP adalah membentuk sistem integrasi yang erat antara prudential supervision dengan fungsi-fungsi utama lain pada bank sentral dan juga dengan industry asuransi yang memegang peranan cukup besar pada sektor keuangan. Hubungan operasional yang terintegrasi tersebut sangat diperlukan dalam dinamika sektor keuangan, terutama dalam mengambil keputusan yang tepat di pada saat terjadinya krisis dan penanggulanganya. Dari uraian singkat di atas mengenai otoritas jasa keuangan baik Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia mempunyai beberapa persemaan, dimana salah satu
8 persamaannya adalah lembaga ini mempunyai kekuasaan yang independen. Kekuasaan yang independen dalam hal pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan. Meskipun lembaga keuangan yang menjadi obyek pengaturan dan pengawasan tersebut ada perbedaan di beberapa negara. Persamaan otoritas jasa keuangan di beberapa negara adalah mengenai dana anggaran dan adanya prasarana pendukung operasional, yaitu barang atau aset. Mengenai dana anggaran operasional Otoritas Jasa Keuangan sudah jelas diatur di dalam beberapa ketentuan, antara lain di dalam: a. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 1) Pasal 34 ayat (2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. 2) Pasal 35 ayat (1) Anggara OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi, pangadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya. 3) Pasal 35 ayat (3) Untuk mendukung kegiatan operasional OJK, Pemerintah dapat melakukan penempatan dana awal ke OJK. 4) Untuk menetapkan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), OJK terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 5) Pasal 37 (1) OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
9 (2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK. (4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri. (5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. b. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan. 1) Pasal 2 (1) OJK mengenakan pungutan kepada para pihak. (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar Pungutan yang dikenakan OJK. Pihak yang dimaksud sesuai yang terdapat dalam ketentuan umum adalah yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan adalah Lembaga Jasa Keuangan dan/atau orang perseorangan atau badan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. 2) Pasal 3 (1) Pungutan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi, pengadaan aset, serta kegiatan pendukung lainnya. (2) Pungutan yang diterima OJK pada tahun berjalan digunakan untuk membiayai kegiatan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada tahun anggaran beriutnya.
10 (3) Dalam hal Pungutan yang diterima OJK pada tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (4) Dalam melakukan penyetoran ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), OJK berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. c. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.02/2014 tanggal 1 April 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan. Di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dalam pasal 1 ayat (1) disebutkan ada 2 (dua) jenis pungutan yang dikenakan OJK terhadap pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan yang meliputi: 1) Biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran,pengesahan, dan penelaahan atas rencana korporasi; dan 2) Biaya tahunan dalam rangka pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian. Adapun jenis, satuan, dan besaran pungutan OJK mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan. Sedangkan mengenai barang atau aset yang dipergunakan oleh OJK tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Undang-Undang OJK dalam Pasal 55 menjadi pokok masa transisi, termasuk di dalamnya mengenai barang atau aset. Adapun pasal 55 yang dimaksud selangkapnya adalah sebagai berikut: (1) Sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa Keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana
11 Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangn lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK. (2) Sejak tanggal 31 Desember 2013 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa Keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK. Adapun Pasal 55 tersebut diterapkan dalam Pasal 65 ayat (1), yang selengkapnya sebagai berikut: Terhitung sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55. a.
kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan; dan
b.
kekayaan
negara
dan
dokumen
yang dimiliki
dan/atau
digunakan
Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lenbaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dapat digunakan oleh OJK Selanjutnya dalam Pasal 56 ayat (2) juga disebutkan tentang kekayaan, kekayaan negara dan dokumen, yang selengkapnya adalah sebagai berikut: Penggunaan kekayaan, kekayaan negara, dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan bersama atau keputusan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner yang ditetapkan paling singkat 1 (satu) bulan sebelum beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55.
12 2. PERMASALAHAN Seperti yang telah diuraikan di atas, maka dalam hal tersebut permasalahan yang akan diteliti adalah: a. Bagaimana status hukum aset OJK? b. Bagaimana pengelolaan dan pertanggungjawaban aset OJK? c. Bagaimana pelaksanaan pelaporan pengelolaan aset OJK? 3. KEASLIAN PENELITIAN Menurut pengetahuan penulis, penelitian tentang Aspek Hukum Terhadap Barang Atau Aset Yang Dipergunakan Oleh Otoritas Jasa Keuangan sampai saat ini belum ada yang secara mendalam. Penelitian tentang barang atau aset saat ini hanya tulisan mengenai pengertian, jumlah barang atau aset, merupakan bagian dari laporan dan sebagainya. Sebagai contoh adalah sebagai berikut: a. Laporan Keuangan Semesteran OJK. b. Laporan Keuangan Tahunan OJK. c. Laporan Kegiatan Bulanan OJK. d. Laporan Kegiatan Triwulanan OJK. e. Laporan Kegiatan Tahunan OJK. 4. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
13 a. Secara Teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum perdata dan hukum kekayaan negara pada umumnya serta kekayaan OJK pada khususnya. b. Secara Praktis, diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi pembentukan peraturan-peraturan untuk menyempurnakan pengaturan mengenai kekayaan dan status barang yang dipergunakan oleh lembaga negara yang bukan merupakan instansi pemerintah, serta memberikan manfaat bagi pengembangan pembangunan, khususnya di bidang hukum. B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian tentang barang yang dipergunakan oleh OJK ini bertujuan untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang: a. Status hukum aset OJK. b. Pengelolaan dan pertanggungjawaban aset OJK. c. Pelaksanaan pelaporan pengelolaan aset OJK.