BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang penting
selain penerimaan bukan pajak. Pembayaran pajak sangat penting bagi negara untuk pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional, serta untuk kesejahteraan rakyat. Karena pajak mempunyai fungsi sebagai budgetair yang artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Perkembangan pendapatan negara dari tahun 2011-2015 dapat dilihat pada tabel 1.1. Tabel 1.1 Pendapatan Negara, 2011-2015 (miliar rupiah) Uraian I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri 1) Pajak Penghasilan a. Migas b. Nonmigas 2) Pajak Pertambahan Nilai 3) Pajak Bumi & Bangunan 4) BPHTB 5) Cukai
2011 LKPP 1.205,3 873,9 819,8 431,1 73,1 358,0 277,8 29,9 (0,0) 77,0
1
2012 LKPP 1.332,3 980,5 930,9 465,1 83,5 381,6 337,6 29,0 95,0
2013 LKPP 1.432,1 1.077,3 1.029,9 506,4 88,7 417,7 384,7 25,3 108,5
2014 LKPP 1.633,1 1.246,1 1.189,8 569,9 83,9 486,0 475,6 21,7 117,5
2015 LKPP 1.758,9 1.370,8 1.319,3 636,0 82,9 553,1 525,0 26,7 125,9
2
6) Pajak Lainnya b. Pajak Perdagangan Internasional 1) Bea Masuk 2) Bea Keluar 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak a. Penerimaan SDA 1. Migas a) Minyak bumi b) Gas bumi 2. Non Migas a) Pertambangan umum b) Kehutanan c) Perikanan d) Panas bumi b. Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya d. Pendapatan BLU II. Penerimaan Hibah
Jumlah
3,9 54,1
4,2 49,7
4,9 47,5
5,2 56,3
5,7 51,5
25,3 28,9 331,5
28,4 21,2 351,8
31,6 15,8 354,8
35,7 20,6 386,9
37,2 14,3 388,0
213,8 193,5 141,3 52,2 20,3 16,4 3,2 0,2 0,6 28,2 69,4 20,1 5,3
225,8 205,8 144,7 61,1 20,0 15,9 3,2 0,2 0,7 30,8 73,5 21,7 5,8
226,4 203,6 135,3 68,3 22,8 18,6 3,1 0,2 0,9 34,0 69,7 24,6 6,8
241,1 211,7 154,8 56,9 29,4 23,6 5,0 0,3 0,6 40,0 85,0 20,9 2,3
236,7 206,8 156,4 50,4 29,9 24,6 4,5 0,3 0,6 41,0 88,3 22,1 3,4
1.210,6
1.338,1
1.438,9
1.635,4
1.762,3
Sumber : Nota Keuangan dan RAPBN 2015 Peran pajak sangat besar untuk pendapatan negara, terlihat jelas bahwa penerimaan perpajakan lebih besar dari penerimaan negara bukan pajak. Penerimaan pajak dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai kemampuan secara finansial untuk membayar pajak. Selain itu besarnya pemungutan pajak, penambahan Wajib Pajak dan optimalisasi penggalian sumber pajak melalui objek pajak juga berperan dalam meningkatkan penerimaan dari pajak. Sumber pendapatan negara dari pajak telah menjadi unsur utama dalam menunjang kegiatan perekonomian di Indonesia yang menggerakkan roda pemerintahan dan penyediaan fasilitas umum bagi masyarakat. Jumlah
3
penerimaan pajak yang sangat dominan di dalam penerimaan dalam negeri tersebut sebenarnya masih bisa lebih besar jumlahnya. Nyatanya secara nominal jumlah tersebut masih jauh dari potensi yang sebenarnya bisa digali. Hal ini bisa disebabkan oleh tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang dinilai belum baik. Karena berdasarkan Tabel 1.2 bisa dilihat sebagaimana besar kepatuhan wajib pajak untuk menyampaikan SPT PPh Tahunan dari tahun ke tahun. Tabel 1.2 Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT PPh Tahun 2010-2013 Uraian 2010 2011 2012 Wajib Pajak 14.101.933 17.694.317 17.659.278 Terdaftar Wajib SPT SPT Tahunan 8.145.866 9.332.626 9.447.398 PPh Rasio Kepatuhan 57,76% 52,74% 53,50% Sumber : Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak
2013 17.731.736
9.575.137 54%
Dari Tabel di atas masih banyak Wajib Pajak yang belum patuh untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh. Di tahun 2010 Wajib Pajak Terdaftar Wajib SPT berjumlah 14.101.933, tetapi yang patuh untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh hanya 8.145.866 atau 57,76% dari jumlah Wajib Pajak yang terdaftar, bahkan di tahun 2011 perkembangan rasio kepatuhan cenderung menurun, kemudian pada tahun 2012-2013 mengalami peningkatan. Melihat data tersebut ada fenomena menarik. Pemerintah melakukan upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dari sektor perpajakan. Salah satu cara yang akan dilakukan adalah dengan intensifikasi penyerapan pajak dan perlunya mengambil langkah ekstensifikasi. Mekanisme ekstensifikasi merupakan
4
maksimalisasi penyerapan pajak dengan menggali potensi pajak yang belum terserap (Afriyadi, 2014). Saat ini, pemerintah melirik sektor UMKM yang dinilai memiliki potensi yang besar untuk pemasukan pajak, dimana omset dan labanya memang jauh lebih
kecil dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan besar. Namun
nyatanya saat ini keberadaan usaha ini hampir dapat dijumpai di sepanjang jalan yang mampu memberikan sumbangsih yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi. Kementerian Koperasi dan UKM menyatakan, jumlah UMKM di Indonesia kini mencapai 56,5 juta unit atau 99,9% dari total unit usaha Indonesia. Bahkan sektor ini telah menyerap 110,8 juta orang tenaga kerja atau 97,16 % dari total tenaga kerja Indonesia. Dapat dilihat pada gambar 1.1 di bawah ini.
Usaha Besar
2.84 0.01
Usaha Menengah
2.94 0.09
40.92 13.59
9.68 4.09 1.11
Usaha Kecil
35.81
90.12
Usaha Mikro 0
20
Kontribusi Terhadap PDB (%)
40
60
Tenaga Kerja (%)
80
98.79
100
Unit Usaha (%)
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2013 Gambar 1.1 Kontribusi UMKM Terhadap PDB Nasional Tahun 2012 Dari data di atas, menunjukkan sebagian besar penerimaan pajak didominasi oleh UMKM sebesar 59,08 %, yaitu Usaha mikro 35,81%, Usaha
5
Kecil 9,68% , Usaha Menengah 13,59% dan sisanya sebesar 40,92 % dari Usaha Besar. Jika dilihat dari gambar 1.1, menunjukkan bahwa UMKM memiliki kontribusi yang besar terhadap PDB Nasional. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan kontribusi UMKM terhadap penerimaan pajak, terdapat miss-match dimana kontribusi UMKM pada penerimaan perpajakan sangat kecil, yaitu kurang dari 1% dari total penerimaan pajak. Ketidakimbangan kontribusi UMKM tersebut merupakan suatu indikasi bahwa tingkat ketaatan UMKM dalam memenuhi kewajiban perpajakan masih sangat rendah (www.kemenkeu.go.id). Dalam upaya untuk mendorong pemenuhan kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary tax compliance) serta mendorong kontribusi penerimaan Negara dari UMKM, pada tanggal 12 Juni 2013 Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan / atau Badan yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu, yaitu penghasilan yang kurang dari 4,8 M terbatas pada penghasilan dari usaha. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini merupakan aplikasi dari model presumptive regime dalam perpajakan. Presumptive regime sendiri merupakan suatu bentuk pendekatan pengenaan pajak yang diterapkan dalam ekonomi yang pelakunya masih memiliki keterbatasan kemampuan administrasi dan pembukuan. Untuk itu perlu ada desain pemajakan khusus, dengan tujuan meminimalisir cost of compliance (Ibrahim, 2014).
6
Materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yaitu mengenai pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final dan penetapan besaran tarif pajak terhadap penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final tersebut ditetapkan dengan berdasarkan pertimbangan perlunya kesederhanaan dalam pemungutan pajak, berkurangnya beban administrasi bagi Wajib Pajak maupun Dirjen Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter (Pohan, 2013). Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 menyebutkan bahwa peraturan ini diperuntukkan khusus bagi Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 disebutkan bahwa subjek dalam PP ini bisa berupa Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan, tetapi tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT). Baik Wajib Pajak orang pribadi maupun badan, keduanya harus merupakan pelaku usaha yang menerima penghasilan bruto tidak lebih dari Rp 4,8 miliar dalam 1 tahun pajak. Kemudian, jika dikaitkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Undang-Undang UMKM), maka dapat diketahui bahwa penggolongan UMKM berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini berbeda dengan penggolongan UMKM berdasarkan PP Undang-Undang UMKM. Berikut
ini
penggolongan kelompok UMKM
berdasarkan omzet: a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang lain perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro, yaitu
7
memiliki kekayaan bersih maksimal Rp 50 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp 300 juta. b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil, yaitu memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50 juta hingga Rp 500 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki penjualan tahunan lebih dari Rp 300 juta sampai Rp 2,5 miliar. c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Kecil atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria usaha kecil, yaitu memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500 juta hingga Rp 10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki penjualan tahunan lebih dari Rp 2,5 miliar sampai Rp 50 miliar. Dari pengelompokkan UMKM di atas, diketahui pengusaha yang beromzet Rp 50 miliar setahun pun masih termasuk sebagai pengusaha UMKM. Sementara, pengusaha yang diwajibkan mengikuti ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013, maksimal beromzet Rp 4,8 miliar dalam setahun. Pengusaha yang omzetnya
8
diatas Rp 4,8 miliar setahun, tidak dikenakan PPh Final berdasarkan PP ini, melainkan mengikuti ketentuan yang diatur dalam UU PPh yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan (Indonesian Tax Review, 2013). Untuk mempermudah Wajib Pajak melakukan kewajiban perpajakannya, pemerintah melakukan reformasi perpajakan yaitu menganut Self Assessment System. Penerapan Self Assessment System akan efektif apabila kondisi kepatuhan sukarela (voluntary compliance) pada masyarakat telah terbentuk. Meskipun demikian dalam implementasinya, suatu negara akan menghadapi kendala terutama terkait kemauan masyarakat untuk membayar pajak. Dalam hal ini akan muncul perilaku tax avoidance dan tax evasion dari masyarakat sebagai wujud dari keengganannya dalam membayar pajak yang dibebankan oleh negara kepadanya, upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dihadapkan pada kondisi belum optimalnya sistem perpajakan dijalankan. Dalam Self Assessment System yang berlaku saat ini posisi Wajib Pajak sangat penting karena Wajib Pajak diwajibkan untuk melaksanakan kewajiban pajaknya secara mandiri. Kewajiban perhitungan pajak, pembayaran pajak, dan pelaporan pajak dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak. Dengan demikian Wajib Pajak dituntut untuk mengerti dan memahami tidak hanya peraturan pajak, tetapi juga aspek administrasi dan prosedur perpajakan. Pemenuhan kewajiban ini tidaklah mudah dilakukan Wajib Pajak. Berjalannya sistem ini banyak bergantung pada aturan yang jelas, adil, transparan dan prosedur administrasi tidak berbelitbelit. Selain itu, administrasi perpajakan juga dituntut untuk benar-benar tranparan
9
dan memberikan pelayanan yang baik dan terpuji, sehingga Wajib Pajak dapat melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannya dengan baik dan bertanggung jawab (Mardiasmo, 2008). Dengan sistem ini sepanjang tidak ditemukan data yang menyimpang, maka otoritas penentuan besarnya jumlah pajak terutang sudah bergeser ke Wajib Pajak. Dengan demikian efektivitas sistem ini banyak bergantung pada seberapa besar kesadaran dan tanggung jawab seorang Wajib Pajak. Kesadaran masyarakat atau kepatuhan pajak akan menjadi hal utama dalam proses jalannya Self Assessment System. Fenomena yang terjadi, perilaku penghindaran pajak cenderung menjadi bagian dari perilaku masyarakat dalam melakukan pemenuhan tindakan kewajiban perpajakannya. Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian selanjutnya yang lebih mendalam mengenai: ”Pengaruh Kontribusi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Self Assessment System Terhadap Penerimaan Pajak (Studi Kasus Pada KPP Pratama Bandung Tegallega)”
1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasikan masalah
sebagai berikut: 1. Apakah Kontribusi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 berpengaruh terhadap penerimaan pajak? 2. Apakah Self Assessmet System berpengaruh terhadap penerimaan pajak?
10
3. Apakah Kontribusi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Self Assessment System berpengaruh terhadap penerimaan pajak?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas,
penulis merumuskan tujuan penelitian, yaitu: 1. Untuk mengetahui pengaruh Kontribusi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 terhadap penerimaan pajak. 2. Untuk mengetahui pengaruh Self Assessment System terhadap penerimaan pajak. 3. Untuk mengetahui pengaruh Kontribusi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Self Assessment System terhadap penerimaan pajak.
1.4
Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, kegunaan penelitian ini yaitu: 1. Bagi Penulis a. Dapat mewujudkan suatu bentuk skripsi, sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian kesarjanaan Jurusan Akuntansi S1 Fakultas Ekonomi pada Universitas Widyatama. b. Diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai Kontribusi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Self Assessment System serta hubungannya dengan penerimaan pajak.
11
2. Bagi Direktorat Jenderal Pajak Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam menerapkan kebijakan perpajakan secara benar dan konsisten serta dalam melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 untuk meningkatkan penerimaan pajak. 3. Bagi Pihak Lain a. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi tulisan lain yang sejenis dan juga sebagai sumber informasi dalam penelaahan lebih lanjut. b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi khususnya untuk mengkaji topik-topik yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, penulis memperoleh data pada Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Bandung Tegallega. Alamat Jalan Soekarno Hatta Nomor 216 Bandung. Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2015 sampai dengan selesai.