1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).1 Pada awal diundangkannya KUHAP, bangsa Indonesia sangat bangga atas terciptanya karya kodifikasi dan unifikasi hukum acara pidana nasional tersebut. Kehadiran KUHAP telah memberikan harapan besar bagi terwujudnya penegakan hukum pidana yang lebih efektif, adil, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Sehingga tidak heran jika pada awal-awal diberlakukannya, KUHAP disebut-sebut sebagai „Karya Agung Bangsa Indonesia.‟2 Di dalam KUHAP terdapat beberapa hal yang baru yang bersifat fundamental apabila dibandingkan dengan Het Herziene Inlands Reglement (HIR) yang juga dikenal dengan Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB),3 salah satunya perihal praperadilan. Praperadilan
merupakan
salah
satu
lembaga
baru
yang
diperkenalkan KUHAP di tengah-tengah kehidupan penegakan hukum. 1
Andi Hamzah, 2014, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Kedelapan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 63. 2 Al. Wisnubroto & G. Widiartana, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 3. 3 Loebby Loqman, 1987, Pra-Peradilan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 7.
2
Praperadilan di dalam KUHAP diletakan pada Bab X Bagian Kesatu sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri.4 Praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri, tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. Jika selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri mengadili dan memutus perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas pokok, maka terhadap tugas pokok tadi diberi tugas tambahan5 sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP yang berbunyi: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: 1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.6 Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: 1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
4
M. Yahya Harahap, 2012, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Cetakan Ketiga Belas, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1. 5 Ibid, hlm. 1 - 2. 6 Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76).
3
2.
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.7
Adapun penggunaan kata lembaga tidak merujuk pada suatu institusi atau suatu struktur dalam penegakan hukum, akan tetapi penggunaan kata lembaga menunjukan sebuah badan atau bentuk yang memiliki tujuan8 yang hendak ditegakan dan dilindungi, yakni tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.9 Jadi jelas sekali bahwa lembaga praperadilan dimaksudkan untuk pengawasan penggunaan upaya-upaya paksa oleh aparat penegak hukum fungsional dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan.10 Tujuan adanya pengawasan ini adalah antara lain untuk konkritisasi konsep hak asasi manusia (HAM) sebagaimana telah menjadi rujukan di dalam KUHAP.11 Setelah KUHAP diberlakukan selama kurun waktu kurang lebih 35 (tiga
puluh
lima)
tahun,
keterbatasan-keterbatasan.
ternyata
semakin
Harapan-harapan
menampakan
terhadap
KUHAP
adanya telah
berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan setelah pada kenyataannya masih saja terjadi pelanggaran HAM pada proses peradilan pidana. Di sisi lain, ternyata KUHAP masih saja menampakan peluang-peluang untuk 7
Pasal 77 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76). 8 Tolib Effendi, 2014, Dasar-dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan dan Pembaharuannya Di Indonesia, Setara Press, Malang, hlm. 154. 9 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 3. 10 Luhut M. P. Pangaribuan, 2014, Hukum Acara Pidana Surat Resmi Advokat Di Pengadilan Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Duplik, Memori Bandiing, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, hlm. 97. 11 Ibid, hlm. 98.
4
ditafsirkan sekehendak pihak yang berkepentingan sehingga justru semakin kehilangan
aspek
kepastian
hukumnya.
Lobang-lobang
kevakuman
ketentuan yang diatur di dalam KUHAP sering menimbulkan persoalan dalam pelaksanaannya. Fenomena yang sering kali tampak dalam kasuskasus riil,12 seperti pada putusan praperadilan bagi Bachtiar Abdul Fatah dan Budi Gunawan. Pada tanggal 27 November 2012, Suko Harsono selaku hakim praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dibantu Umiarti selaku panitera pengganti pada pengadilan negeri tersebut menjatuhkan putusan Nomor: 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel untuk pemohon Bachtiar Abdul Fatah dan termohon Jaksa Agung Republik Indonesia cq. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus cq. Direktur Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dengan amar yang berbunyi: 1. 2.
3.
4.
12
Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan Pemohon untuk sebagian; Menyatakan tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka telah melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Menyatakan tidak sah menurut hukum penahanan terhadap Pemohon sesuai Surat perintah penahanan Nomor: Print30/F.2/Fd.1/09/2012 tanggal 26 September 2012 sebagai Tersangka telah melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP; Memerintahkan kepada Termohon untuk membebaskan Tersangka BACHTIAR ABDUL FATAH (Pemohon dalam perkara praperadilan ini) dari tahanan seketika setelah putusan ini diucapkan;
Al. Wisnubroto & G. Widiartana, Op.Cit., hlm. 3 - 4.
5
5. 6. 7. 8.
Menghukum Termohon untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada Pemohon; Memulihkan hak-hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan, harkat, serta martabatnya; Menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya; Menghukum Termohon untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara praperadilan ini sebesar: Rp. 5.000 (lima ribu rupiah).13
Sementara pada tanggal 16 Februari 2015, Sarpin Rizaldi selaku hakim praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dibantu Ayu Triana Listiati selaku panitera pengganti pada pengadilan negeri tersebut menjatuhkan putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel untuk pemohon Budi Gunawan dan termohon Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cq. Pimpinan KPK dengan amar dalam pokok perkara yang berbunyi: 1. 2.
3.
13
Mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan untuk sebagian; Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat; Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
Amar atau diktum putusan Pengadilan 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel., hlm. 79 – 80.
Negeri
Jakarta
Selatan
Nomor:
6
4. 5.
6. 7.
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat; Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah; Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon; Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar nihil; Menolak Permohonan Pemohon Praperadilan selain dan selebihnya.14
Dilihat secara kasat mata di dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP tidak diatur perihal sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Namun, di dalam putusan praperadilan baik yang dikeluarkan oleh hakim Suko Harsono maupun Sarpin Rizaldi, keduanya memutus kurang lebih bahwa penetapan tersangka yang dilakukan oleh termohon adalah tidak sah. Artinya, di dalam kedua putusan praperadilan tersebut hakim yang bersangkutan secara tidak langsung mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Kendatipun sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 yang salah satu amarnya pada intinya mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, tetapi perdebatan diantara para pakar hukum khususnya dalam hal ini para pakar hukum pidana dan acara pidana tidak kunjung selesai, tetap ada yang berpendapat bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka bukan sebagai obyek praperadilan, begitu juga sebaliknya. 14
Amar atau diktum putusan Pengadilan 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., hlm. 242 – 243.
Negeri
Jakarta
Selatan
Nomor
7
Perdebatan terutama dalam konteks kedua putusan praperadilan yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan sebelum adanya putusan MK tersebut. Kedua putusan praperadilan tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Hakim yang bersangkutan ketika melakukan penemuan hukum
tersebut
tentunya
mempunyai
pertimbangan-pertimbangan
tersendiri. Tidak dapat disangkal lagi kebenarannya bahwa penemuan hukum yang baik terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam pasalpasal KUHAP akan dapat mencapai tujuan dari pembentukannya sesuai dengan
kehendak
pembentuk
undang-undang.
Namun,
sebaliknya
penemuan hukum yang buruk atau kurang tepat terhadap ketentuanketentuan tersebut akan membuat tujuan dari pembentukan KUHAP itu sendiri menjadi tidak ada gunanya sama sekali.15 B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana sah atau tidaknya penetapan tersangka bukan sebagai obyek praperadilan menurut KUHAP sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014?
15
P. A. F. Lamintang & Theo Lamintang, 2013, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Edisi Kedua, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 11.
8
2.
Apa pertimbangan hakim yang bersangkutan sebagai bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan?
C.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara garis besar dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu: 1.
Tujuan obyektif a.
Menegaskan bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka bukan sebagai obyek praperadilan menurut KUHAP sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor
21/PUU-
XII/2014. b.
Mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim yang bersangkutan sebagai bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan.
2.
Tujuan subyektif Penelitian ini dimaksudkan untuk menyelesaikan Penulisan Hukum sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D.
Keaslian Penelitian Penelitian yang dilakukan hendaknya asli, dalam arti bahwa masalah yang dipilih belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya atau harus dinyatakan dengan tegas bedanya dengan penelitian yang sudah
9
pernah dilakukan.16 Oleh karena itu sejauh pengetahuan Peneliti, penelitian dengan judul “Analisis Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Terkait Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka Sebagai Obyek Praperadilan” belum pernah diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Namun, untuk lingkup Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada terdapat penelitian dengan tema yang sama terkait sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, tetapi berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan. Adapun penelitian yang ada sebelumnya itu adalah sebagai berikut: 1.
Taufan Trianggara Atmaja dengan NIM 09/285773/HK/18211 melakukan penelitian dengan judul “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor
21/PUU-XII/2014
Terhadap
Sah/tidaknya
Penetapan Tersangka Sebagai Obyek Praperadilan.” Adapun rumusan masalahnya, yaitu: a.
b.
2.
Bagaimanakah sah tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014? Bagaimanakah sah tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014?17
Rizka Fakhry A. dengan NIM 11/312053/HK/18683 melakukan penelitian dengan judul “Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan dalam KUHAP Terhadap Pelaksanaan Pengujian
16
Maria S. W. Sumardjono, 2001, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar, Cetakan Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 18. 17 Taufan Trianggara Atmaja, 2015, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUUXII/2014 Terhadap Sah/tidaknya Penetapan Tersangka Sebagai Obyek Praperadilan, Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 9.
10
Sah/tidaknya Penetapan Tersangka.” Adapun rumusan masalahnya, yaitu: a.
b.
Bagaimana pendapat Penulis terkait perluasan kewenangan praperadilan mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka? Bagaimana implikasi lemahnya pengaturan perihal praperadilan dalam KUHAP terhadap pelaksanaan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka?18 Dari pemaparan di atas sudah sangat jelas perbedaan antara
penelitian yang dilakukan oleh Peneliti dengan penelitian yang dilakukan baik oleh Taufan Trianggara Atmaja maupun oleh Rizka Fakhry A., walaupun sama-sama terkait sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Di dalam penelitian ini, Peneliti membahas dan menganalisis pertimbangan hakim yang bersangkutan ketika melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) di dalam kedua putusan praperadilan yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan sebelum adanya putusan MK Nomor 24/PUU-XII/2014, sementara baik Taufan Trianggara Atmaja maupun Rizka Fakhry A. membahas dan menganalisis terkait implikasi dari putusan MK Nomor 24/PUU-XII/2014 terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, baik sebelum maupun setelah putusan MK tersebut. Di samping itu, Peneliti juga melakukan penelusuran terkait judul penelitian dan perumusan permasalahan lain di internet. Namun, kebanyakan diantaranya hanya membahas 1 (satu) putusan praperadilan 18
Rizka Fakhry A., 2015, Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan dalam KUHAP Terhadap Pelaksanaan Pengujian Sah/tidaknya Penetapan Tersangka, Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 10.
11
yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, baik sebelum maupun setelah putusan MK tersebut, sementara Peneliti membahas dan menganalisis kedua putusan praperadilan yang mengabulkan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan sebelum adanya putusan MK tersebut secara bersamaan. Terlebih lagi pembahasan antara penelitian yang satu dengan yang lain tentunya akan memiliki perbedaan, mengingat kemampuan dari masingmasing peneliti yang melakukan penelitian tersebut tentunya berbeda-beda. E.
Kegunaan Penelitian Penelitian
harus
berfaedah
bagi
kepentingan
negara/masyarakat/pembangunan (segi praktis) dan memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan (segi teoritis).19 Oleh karena itu berdasarkan hasil penelitian ini, Peneliti mengharapkan bahwa penelitian ini akan memberikan kegunaan, yaitu: 1.
Segi praktis Penelitian ini diharapkan akan memberikan masukan bagi para hakim dalam melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) khususnya penemuan hukum dalam hukum pidana, mengingat hanya hakim yang dapat melakukannya. Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa para penegak hukum yang lain tidak perlu memahami perihal penemuan hukum, tentunya mereka juga harus memahaminya, sehingga secara tidak langsung penelitian ini diharapkan juga akan
19
Maria S. W. Sumardjono, Loc.Cit.
12
memberikan pemahaman bagi para penegak hukum lainnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan akan memberikan masukan bagi masyarakat yang diwakili oleh DPR di dalam menyusun dan merumuskan KUHAP yang baru kedepannya. Dari pemaparan di atas, kiranya dengan sendirinya penelitian ini akan berguna bagi pembangunan bangsa dan negara. 2.
Segi teoritis Penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangsih pemikiran bagi dunia hukum di Indonesia dalam kaitannya dengan obyek praperadilan, mengingat kecenderungan belakangan ini yang begitu menjunjung tinggi perlindungan HAM, di mana dalam konteks ini adalah hak-hak tersangka.