BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu problem yang tak asing lagi kita dengar. Masalah kemiskinan selalu menjadi pusat perhatian utama di Indonesia. Dari tahun ke tahun angka kemiskinan di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk mengatasi persoalan kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan maupun non makan. Sedangkan menurut Bappenas (1993), kemiskinan didefinisikan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Menurut Gunawan Sumodiningrat (dalam Makmun 2003, hh. 4-5), masyarakat miskin secara umum ditandai oleh ketidakberdayaan/ketidakmampuan (powerlessness) dalam hal, pertama memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangandan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic need deprivation). Kedua, melakukan kegiatan usaha produktif (unproductiveness). Ketiga, menjangkau sumber daya sosial dan ekonomi (inacceribility). Keempat, menentukan nasibnya diri sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan
1
diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik (vulnerability) dan kelima, membebaskan diri dari mental budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor). Dilihat dari penyebab kemiskinan itu sendiri, ada dua jenis kemiskinan yang dapat diidentifikasi. Pertama, kemiskinan kultural dan yang kedua adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural mengacu kepada sikap masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya. Artinya kemiskinan disebabkan karena masyarakat itu sendiri yang tidak mau berusaha ataupun bekerja keras untuk merubah nasibnya. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena struktur ekonomi dan politik yang melingkupi si miskin. Struktur ekonomi dan politik yang kurang berpihak pada sekelompok masyarakat tertentu sehingga menimbulkan hambatan-hambatan dalam akses sumber daya ekonomi, lapangan pekerjaan dan partisipasi dalam pembangunan. Dalam hal ini sering kali masyarakat tersingkirkan dalam pembuatan kebijakan sehingga yang terjadi masyarakat tidak berdaya atau dapat dikatakan tidak mampu mengakses sumberdaya ekonomi maupun politik. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan tersebut menumbuhkan perilaku miskin yang bermuara pada hilangnya kemerdekaan untuk berusaha dan menikmati kesejahteraan secara bermartabat. Kemiskinan juga ditandai oleh keterbelakangan dan pengangguran yang selanjutnya meningkat menjadi pemicu ketimpangan pendapatan dan kesenjangan antar golongan penduduk. Kesenjangan dan pelebaran jurang kaya miskin tidak mungkin untuk terus dibiarkan karena
2
akan menimbulkan berbagai persoalan baik persoalan sosial maupun politik di masa yang akan datang. Ada beberapa ukuran kemiskinan yang telah diterapkan di Indonesia dewasa ini, diantaranya adalah ukuran dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan World Bank. Kriteria menurut BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurangdari 2.100 kalori perkapita perhari. Sedangkan kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera apabila pertama, tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya. Kedua, Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari. Ketiga, seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian. Keempat, bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah. Dan kelima, tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. Kriteria yang ditampilkan oleh Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1,00 perhari. Data yang ditunjukkan oleh Badan Pusat Statistik, pada bulan September 2012 prosentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 11,66% atau sebanyak 28 juta penduduk Indonesia berada dibawah garis kemiskinan. Sedangkan untuk wilayah Yogyakarta sendiri prosentase penduduk miskin mencapai 15,88%. Sebagai contoh kemiskinan yang terjadi di Dusun Gemawang, Sinduadi, Mlati, Kabupaten Sleman. Pada tahun 2008 Sejumlah 6.901 jiwa (8,1%) masyarakat di sekitar lokasi masih tergolong miskin yaitu termasuk dalam keluarga pra sejahtera dan sejahtera 1. Selain itu, penduduk yang tidak bekerja mencapai 392 jiwa dari
3
total angkatan kerja 1.146 jiwa. Hal ini berarti sepertiga dari angkatan kerja di dusun gemawang adalah pengangguran. Hal ini menunjukkan bahwasanya persoalan kemiskinan merupakan persoalan yang serius untuk ditangani segera. Maka dari itu, untuk menangani persoalan kemiskinan di Dusun Gemawang, masyarakat bekerjasama dengan Yayasan Damandiri dan UST menciptaan suatu wadah sebagai sarana pemberdayaan, oleh karenanya hadirlah Posdaya. Hal ini merupakan suatu fenomena unik dimana Yayasan Damandiri merupakan Non Government Organisation (NGO) melakukan fungsi-fungsi yang seharusnya dilakukan oleh aktor formal (Negara) yaitu sebuah proses pemberdayaan dalam rangka pengentasan kemiskinan. Dalam sistusnya, Damandiri menjelaskan Posdaya merupakan suatu forum silaturahmi, advokasi, komunikasi, dan edukasi, sekaligus sebagai wadah koordinasi kegiatan-kegiatan untuk penguatan fungsi-fungsi keluarga secara terpadu. Posdaya adalah wahana untuk pemberdayaan fungsi-fungsi keluarga dengan merevitalisasi modal sosial yang dimiliki masyarakat, seperti semangat kegotongroyongan. Upaya-upaya yang dilakukan melalui Posdaya dikembangkan secara bertahap, dan terutama ditujukan untuk peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM/HDI). Untuk itu, kegiatan-kegiatan diprioritaskan pada empat bidang yaitu: bidang pendidikan, kesehatan, kewirausahaan, dan lingkungan. Gerakan Posdaya kini sedang diterapkan di sejumlah daerah diseluruh Indonesia dengan melibatkan segenap komponen masyarakat beserta jajaran Pemerintah Daerah. Salah satu gerakan Posdaya tersebut terdapat di Kabupaten Sleman, Yogyakarta yang tidak lepas dari masalah kemiskinan sehingga
4
keberadaan posdaya diharapkan dapat sebagai salah satu upaya mengajak peranserta masyarakat dalam rangka ikut menuntaskannya. Posdaya Delima berdiri semenjak adanya sosialisasi oleh Yayasan Damandiri dan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) 26 November 2009 di Gemawang, Sinduadi, Mlati, Sleman dengan Surat Keputusan Lurah Desa Sinduadi No.158/KD tahun 2009. Visi Posdaya adalah terciptanya organisasi masyarakat warga (civil society organization) di tingkat kelurahan/desa yang memiliki kemampuan strategis untuk mengatasi persoalan kemiskinan secara mandiri, efektif dan berkelanjutan. Sedangkan Misinya adalah membangun masyarakat melalui penguatan kelembagaan lokal agar menjadi penggerak, motivator dan inisiator terhadap kegiatan kemasyarakatan untuk secara mandiri melakukan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan, termasuk dengan menjalin kerjasama sinergis dengan pihak lain baik Pemda, dunia usaha, dll. Penelitian mengenai Posdaya menarik untuk diteliti, pertama karena Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) merupakan prmberdayaan masyarakat yang komprehensif, dikatakan komprehensif karena tidak hanya berfokus pada pemberdayaan perempuan saja, namun fokusnya pada keluarga. Dikatakan keluarga karena dalam hal ini yang diberdayakan meliputi anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak dan lansia. Selain itu pula mencakup semua sektor pemberdayaan yaitu terdapat aspek pendidikan, peningkatan perekonomian dan juga kesehatan. Lokus pada penelitian ini yaitu
ingin melihat bagaimana pola relasi yang
tergambar antara insitusi formal yaitu Yayasan Damandiri yang memainkan fungsi Negara yaitu melakukan pemberdayaan dalam rangka pengentasan 5
kemiskinan. Fenomena ini cukup menarik, dimana terdapat aktor informal yang mencoba berelasi dengan aktor formal (Negara) dalam pemberdayaan sehingga menciptakan suatu hubungan positif yang saling bersinergi. Sehingga menarik untuk diteliti lebih jauh hubungan apakah yang tercipta dari relasi antara informal institution yaitu Yayasan Damandiri terhadap formal institution yaitu Negara dalam memberdayakan masyarakat Dusun Gemawang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus karena pertama, penelitian Studi Kasus identik untuk menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa (Yin 1996, h. 5). Rumusan masalah disini adalah bagaimana strategi yang dilakukan oleh Posdaya Delima dalam mengentaskan kemiskinan. Kedua, studi kasus memiliki boundaries atau batasan kasus yang meliputi waktu, aktor, konteks, dan lokus. Dalam penelitian terkait Posdaya ini terdapat batasan aktor. Aktor yang terlibat diantaranya Yayasan Damandiri, Kesra Sinduadi, Pemerintah Kecamatan Mlati, Dukuh Gemawang, Kader Posdaya dan warga Dusun Gemawang mulai dari anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak hingga lansia. Lokus penelitian ini yaitu Posdaya Delima di Dusun Gemawang, Sinduadi, Mlati, Sleman. Ketiga, penelitian studi kasus mencakup isu-isu yang kontemporer. Isu mengenai kemiskinan merupakan isu kontemporer yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara maksimal. Posdaya yang diinisiasi oleh Yayasan Damandiri yang dapat dikatakan institusi informal mencoba mengatasi persoalan tersebut melalui gerakan pemberdayaan.
6
B. Rumusan Masalah Dari paparan diatas sudah dijelaskan bahwasanya kemunculan Posdaya merupakan suatu gagasan baru dalam mengatasi persoalan kemiskinan. Dalam lokus kajian ini, Posdaya Delima masih terbilang baru yaitu semenjak tahun 2009. Namun segudang prestasi dapat diraih hingga kejuaraan tingkat DIY. Bahkan Posdaya Delima sering mendapatkan kunjungan dari instansi dalam dan luar negri dan juga pusat kunjungan belajar. Hal menarik lainnya adalah Posdaya yangn merupakan gagasan dari Yayasan Damandiri dalam hal ini informal institution melakukan fungsi-fungsi yang sebagaimana seharusnya dilakukan oleh Negara. Maka, akan sangat menarik bila pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1. “Bagaimana strategi pemberdayaan yang dilakukan oleh Posdaya Delima dalam mengentaskan kemisikinan?” 2. “Bagaimana pola relasi kuasa yang terbangun antara Negara, NGO, dan Masyarakat Dusun Gemawang dalam pemberdayaan Posdaya Delima?” C. Tujuan Penelitian Secara konsep, penelitian ini berguna untuk pertama, mengetahui bagaimana strategi yang dilakukan oleh Posdaya Delima dalam mengatasi persoalan kemiskinan. Strategi dalam hal ini mencakup pemberdayaan strategi apa saja yang dilakukan dan bagaimana prosesnya. Kemudian yang kedua, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implikasi kehadiran Posdaya Delima terhadap kemandirian masyarakat. Dalam hal ini yang akan dibahas lebih jauh adalah pola relasi seperti apa yang terbangun antara Negara, Yayasan Damandisi sebagai
7
NGO, dan juga Masyarakat dalam proses pemberdayaan dalam rangka pengentasan kemiskinan. D. Manfaat Penelitian Penelitian mengenai Strategi Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) dalam mengatasi masalah kemiskinan sebagai upaya membangun kemandirian masyarakat (Studi Posdaya Delima, Gemawang, Sinduadi, Mlati, Sleman) ini bermanfaat bagi : a. Bagi bidang keilmuan yaitu Jurusan Politik dan Pemerintahan. Penelitian ini bermanfaat karena dapat memberikan kontribusi pada khasanah kajian keilmuan khususnya dalam hal strategi dan teknik pemberdayaan masyarakat, karena Posdaya erat kaitannya dengan kegiatan pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan hal yang sangat penting untuk membangun masyarakat yang mandiri. Dalam hal ini penelitian ini bermanfaat karena dapat memperkaya wawasan kajian mengenai strategi pemberdayaan masyarakat dan pola-pola relasi yang terbangun antara aktor informal dan formal dalam mencapai kepentingan bersama. b. Bagi lembaga masyarakat yakni hasil penelitian dapat dijadikan masukan dan sekaligus refleksi dalam upaya pengembangan keswadayaan masyarakat membangun kemandirian masyarakat dalam rangka mengatasi kemiskinan.
8
c. Bagi pemerintah penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi untuk memberikan
bantuan
atau
dukungan
kepada
masyarakat
yg
berkomitmen untuk membangun kemandirian masyarakat dalam rangka mengatasi kemiskinan. Selain itu penelitian ini juga bermanfaat untuk mengetahui peran pemerintah dalam Posdaya yakni dalam upaya membangun kemandirian masyarakat untuk pengentasan kemiskinan. E. Kerangka Teori E. 1. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan kondisi dimana seseorang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya terutama kebutuhan dasar atau kebutuhan primernya. Kebutuhan dasar tersebut meliputi sandang, pangan, dan papan. Menurut Nasikun (1995), kondisi yang sesungguhnya harus dipahami mengenai kemiskinan. Kemiskinan adalah sebuah fenomena multifaset, multidimensional, dan terpadu. Miskin dalan hal ini bukan hanya hidup di dalam kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan melainkan pula akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain:
informasi,
ilmu
pengetahuan,
teknologi
dan
kapital.
Sedangkan
Kartasasmita (1997, h. 234) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan,
yang
kemudian
meningkat
menjadi
ketimpangan.
masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan
9
terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi.
Pada dasarnya kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu kemiskinan struktural dan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor- faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu (Baswir 1997, h. 21 dalam Sholeh, hh. 5-6). Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada kebijakan tersebut lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pencapaian kesejahteraan (2013). Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang naik kelas, artinya jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan pendidikan atau pelatihan. Sedangkan kemiskinan kultural menurut Oscar Lewis, kemiskinan kultural terdiri dari nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola kelakuan yang adaptif terhadap lingkungan hidup yang serba kekurangan yang menghasilkan adanya diskriminasi, ketakutan, kecurigaan dan apatis. Pada dasarnya kemiskinan ini muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan
10
sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas (2013). Dalam penelitian ini, kemiskinan yang akan dikaji adalah kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural ini terjadi di Dusun Gemawang. Mereka memiliki sifat malas, apatis, dan mudah menyerah. Banyak dijumpai warga yang hanya pasrah saja menerima pekerjaan mereka sebagai buruh cuci dan banyak warga pula yang acuh tak acuh terhadap kegiatan-kegiatan sosial di masyarakat. Selain itu mereka hanya menunggu bantuan dari pemerintah, dalam hal ini misalnya saja pelayanan kesehatan gratis. E.2. Pemberdayaan Masyarakat Salah satu cara untuk mengentaskan kemiskinan adalah melalui pemberdayaan. Secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuasaan atau kemampuan. Bertolak dari hal itu, pemberdayaan masyarakat
adalah
proses
untuk
mengembangkan,
memandirikan,
menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Sutoro Eko, 2002). Pengertian “proses” disini menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan. Proses ini merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat yang lemah, baik knowledge, attitude maupun practice menuju pada 11
penguasaan pengetahuan, sikap-perilaku sadar, dan kecakapan ketrampilan yang baik (Sulistyani 2004, h. 77). Ada dua cara pandang mengenai pemberdayaan masyarakat. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukan obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen/partisipan yang bertindak) berbuat secara mandiri. Kedua, pemberdayaan dimaknai masyarakat yang berdiri sebagai partisipan. Hal ini berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan potensi dan kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdaya sendiri menyelesaikan masalah secara mandiri dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Dalam hal ini masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan. Gunawan (1999) mengungkapkan, indikator keberhasilan yang dipakai untuk mengukur pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari beberapa hal berikut, pertama berkurangnya penduduk miskin. Kedua, berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Ketiga, meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin. Keempat, meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif dari anggota dan kelompok, makin kuatnya permodalan kelompok, makin rapinya sistem administrasi kelompok, serta nakin luasnya interaksi kelompok dengan kelompok lain didalam masyarakat. Kelima, meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan 12
pendapatan yang ditandai oleh peningkatan pendapatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya. Pemberdayaan masyarakat bila dibaca dalam kacamata ilmu politik tidaklah berada didalam ruang hampa. Bahwa aktor-aktor yang terlibat dalam pemberdayaan memiliki nilai atau kepentingan tersendiri dalam proses pemberdayaan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Bahwasanya terdapat share of resource dan share of benefits dalam kegiatan pemberdayaan sehingga pada dasarnya kegiatan pemberdayaan ditujukan untuk melaksanakan misi-misi tertentu dam untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan tertentu. Oleh karenanya perlu kita mengetahui lebih dalam kepentingan apakah yang melandasi kegiatan pemberdayaan Posdaya Delima. E.3. Strategi Pemberdayaan Strategi yang diambil dalam suatu program pemberdayaan masyarakat miskin akan sangat menentukan keberhasilan dalam program dilapangan. Dalam sebuah program yang ditujukan umtuk memberdayakan masyarakat miskin perlu diperhatikan adanya suatu strategi yang tepat dan efektif. Karena berhasil dan tidaknya suatu program pemberdayaan masyarakat miskin juga tergantung pada ketepatan dan keefektifan strategi yang akan dikembangkan dalam program tersebut. Berkaitan dengan konsep strategi pemberdayaan masyarakat, Winami (1998, h. 75-76) mengungkapkan bahwa inti dari strategi pemberdayaan mencakup tiga hal, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), dan terciptanya kemandirian. Disamping itu pemberdayaan
13
hendaknya jangan menjebak masyarakat dalam perangkap ketergantungan (charity), pemberdayaan sebaliknya harus
mengantarkan pada proses
kemandirian. Pemberdayaan masyarakat ini dapat diwujudkan dengan mengambil langkah-langkah strategis yang langsung memperluas akses rakyat pada sumberdaya yang ada dan menciptakan peluang yang seharusnya bagi masyarakat lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dengan cara demikian mereka semakin berperan aktif, tanggap dan kritis dalam mengatasi persoalan yang ada. Menurut Chin dan Benne (1969), Rothman (1974), Crowfoot dan Chesler (1974) serta Christenson dan Robinsom (1980) yang dikemukakan kembali oleh J. Nasikun dalam Cholisin (2011, hh.5-6) pemberdayaan masyarakat memiliki beberapa strategi untuk dapat diimplementasikan. Pertama, strategi gotong royong yang melihat masyarakat sebagai suatu “sistem sosial” yang berarti masyarakat memiliki kapasitas untuk pemberdayaan. Strategi ini percaya bahwa masyarakat pada dasarnya selalu berada dalam keadaan harmonis dan tertib. Masyarakat terdiri atas bagian-bagian yang saling bekerjasama untuk mewujudkan tujuan bersama. Gotong royong dipercaya bahwa perubahan-perubahan masyarakat dapat diwujudkan melalui partisipasi luas dari seluruh komponen masyarakat dalam pengambilan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan masyarakat. Prosedur dalam gotong royong bersifat demokratis dilakukan diatas kekuatan sendiri dan kesukarelaan. Tidak mengherankan pula apabila strategi gotong royong demikian percaya bahwa perubahan-perubahan kemasyarakatan dapat dicapai secara 14
optimal melalui partisipasi luas dari segenap komponen masyarakat pada tingkat komunitas di dalam penentuan tujuan-tujuan dan tindakan-tindakan dimana prosedur-prosedur yang bersifat demokratik kerjasama yang bersifat sukarela dan tujuan-tujuan pendidikan memperoleh peranan yang besar (Rothman 1974 dalam Hikmat 2006, h.101). Strategi gotong royong percaya bahwa watak manusia pada dasarnya bersifat kooperatif, rasional dan mampu mengendalikan diri. Strategi ini menganjurkan tindakan-tindakan atau praktek-praktek gotong royong diatas kekuatan kaki sendiri dan partisipasi sukarela didalam menciptakan perubahanperubahan kemasyarakatan. Didalam strategi ini peranan agen perubahan tidaklah lebih dari sekedar membantu masyarakat memecahkan alternatif dan keputusan bersama, dengan demikian membantu masyarakat menolong diri sendiri. Peranan agen pembaharu dalam strategi pembangunan gotong royong tidaklah kebih dari peranan seorang “enabler”, seorang “katalis” seorang “koordinator” atau seorang “guru” didalam keahlian-keahlian dan nilai-nilai etik yang diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Strategi
kedua
adalah
strategi
teknikal-profesional.
Strategi
ini
mengatakan bahwa masalah kelompok masyarakat dipecahkan dengan cara mengembangkan norma, peranan, prosedur baru untuk menghadapi situasi baru yang selalu berubah. Dalam strategi ini peranan agen-agen pembaharuan sangat penting. Peran yang dilakukan agen pembaharuan terutama dalam menentukan program pembangunan menyediakan pelayanan yang diperlukan dan menentukan tindakan yang diperlukan dalam merealisasikan program pembangunan tersebut.
15
Dalam hal ini, ia menganggap partisipasi masyarakat sangat diperlukan, strategi ini biasanya dipakai pada kelompok-kelompok kerja dan organisasi-organisasi yang terdiri atas sejumlah kecil warga masyarakat yang dimobilisasi untuk mengorganisasikan informasi-informasi mengurangi rasa takut terhadap resiko yang berhubungan dengan adopsi inovasi baru, menemukan cara-cara yang lebih kreatif untuk menyelesaikan masalah–masalah yang mereka hadapi sehingga hambatan-hambatan
dalam
pelaksanaan
program
pembaharuan
dapat
diminimalisir. Strategi ketiga yaitu strategi konflik. Strategi konflik menganggap bahwa “paksaan” atau “kekuasaan” merupakan landasan yang lebih realistik bagi tertib sosial masyarakat. Dengan kata lain strategi ini menyatakan bahwa dalam suatu sistem kemasyarakatan, masyarakat memilihara dan menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan yang terus-mennerus berubah melalui alokasi dan penggunaan kekuasaan. Strategi konflik melihat dalam kehidupan masyarakat dikuasai oleh segelintir orang atau sejumlah kecil kelompok kepentingan tertentu serta melihat pula distribusi kekuasaan yang tidak merata diantara kelompokkelompok tersebut. Strategi ini melihat pula struktur kekuasaan masyarakat dewasa ini memberikan tekanan pada pemeliharaan stabilitas sosial daripada pembagian yang lebih merata didalam mengatur hubungan-hubungan antar kelompok dan antara kelompok dengan sumber-sumber daya masyarakat yang menghasilkan konsentrasi kekuasaan yang semakin besar ditangan segelintir orang atau sejumlah kecil kelompok kepentingan tertentu.
16
Strategi ini menganjurkan perlunya mengorganisir lapisan penduduk miskin yang kurang beruntung untuk mengartikulasikan permintaan-permintaan mereka atas sumberdaya masyarakat dan atas perlakuan yang lebih adil dan lebih demokratis (Rothman 1974 dalam Hikmat 2006, h.104). Strategi konflik menaruh tekanan perhatian pada perubahan struktural yang mendasar (changes of the system) melalui distribusi kekuasaan, sumberdaya dan keputusan masyarakat. Keempat, strategi pembelotan kultural yang menekankan pada perubahan tingkat subyektif dimulai dari perubahan-perubahan “diri” dan nilai-nilai pribadi menuju pembentukan “gaya hidup baru” yang lebih manusiawi yaitu gaya hidup penerimaan atau cinta kasih terhadap sesama dan partisipasi penuh didalam komunitas orang lain. Strategi ini memandang manusia menurut kodratnya bersifat emosional dan spiritual. Strategi pembelotan kultural menekankan pengertian
“skala
kecil”
didalam
strategi
perubahan-perubahan
kemasyarakatannya. Strategi pembelotan kultural menganjurkan suatu masyarakat yang kurang bersifat “urbanized”, kurang dikuasai oleh dorongan-dorongan masyarakat industrial yang menekankan produktivitas, lebih ditandai operasioperasi yang berskala kecil dan bersifat lokal, serta dijiwai oleh hubunganhubungan sosial yang lebih pribadi dan partisipastif. Di dalam perwujudannya akhir-akhir ini, salah satu bentuk khusus strategi pembelotan kultural dapat kita jumpai didalam salah satu varian gerakan teknologi tepat guna dengan semboyannya “kecil adalah indah” (Schumacher 1973 dalam Hikmat 2006, hh. 107-108).
17
Penelitian ini menggunakan strategi yang dikemukakan oleh Nasikun tersebut bahwasanya strategi pemberdayaan meliputi strategi gotong royong, pembelotan kultural, konflik, dan teknikal professional. Hal ini dikarenakan prinsip dasar bekerjanya posdaya adalah semangat kegotongan royongan yang ditandai oleh partisipasi seluruh elemen masyarakat. Selain itu, masyarakat memiliki cara-cara kreatif untuk meningkatkan kesejahteraan mereka misalnya saja dengan membangun kelompok simpan pinjam. Sementara disisi lain perubahan-perubahan mendasar pada individu juga mulai dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat dusun Gemawang yang mana merupakan dusun bebas asap rokok berhasil mengurangi perilaku merokok pada kaum pria. Namun dalam penelitian lapangan, strategi konflik tidak cocok untuk menjelaskan strategi Posdaya hal ini dikarenakan konteks masyarakat disini melakukan pemberdayaan secara sukarela tanpa adanya paksaan. Selain itu dalam strategi konflik mengemukakan
adanya musuh bersama dan aksi-aksi nyata untuk melawan
kelompok kepentingan tertentu. Dalam hal ini, tidak termasuk dalam strategi Posdaya Delima karena dalam Posdaya Delima, pihak-pihak yang terkait saling bekerjasama baik dari Damandiri, UST dan juga Pemerintah itu sendiri untuk mengentaskan kemiskinan. Jika kita ingin memberdayakan suatu masyarakat, tentunya kita harus memberdayakan terlebih dahulu unit terkecil dari masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, unit terkecil tersebut adalah keluarga. Menurut Departemen Kesehatan dalam Effendy (1998), mendefinisikan keluarga seagai unit terkecil dari masyarakat, yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul
18
dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Oleh karena itu penting untuk memberdayakan unit mikro terlebih dahulu sebelum kita memberdayakan unit yang lebih besar dari masyarakat itu sendiri. E. 4. Pola Relasi NGO (Non Government Organisation) terhadap Negara Perlu kita ketahui bahwa pemberdayaan yang dilakukan oleh NGO tidak hidup dalam ruang hampa artinya pemberdayaan hidup dalam ruang publik yang mengharuskan bersinggungan dengan aktor-aktor lain seperti Negara dan masyarakat itu sendiri. Bila kita kaitkan dengan Posdaya disini Posdaya merupakan sebuah gerakan atau bisa dibilang wadah dimana pemberdayaan tersebut berlangsung. Dalam hal ini Posdaya tidak berdiri sendiri, dalam pemberdayaannya Posdaya yang merupakan sebuah gerakan yang berasal dari NGO yaitu Damandiri yang berelasi dengan Negara yaitu pemerintah desa dan juga masyarakat yang hendak diberdayakan. Untuk membaca bagaimana relasi yang terjalin antara Damandiri, Pemerintah Desa dan Masyarakat kita bisa menggunakan kaca mata teori dari Steven Levitsky, yakni tentang tipologi relasi NGO terhadap Negara. Sebelum menjelaskan mengenai tipologi relasi dari kacamata Levitsky, adakiranya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan institusi formal dan institusi informal. Menurut Levitsky institusi formal adalah aturan atau prosedur yang dibuat, dikumonukasikan, dan bersifat memaksa yang menembus berbagai saluran/lini yang diterima sebagai aturan resmi. Sedangkan institusi informal adalah aturan sosial yang biasanya tidak tertulis dimana dibuat dan 19
dikomunikasikan dan bersifat memaksa yang berada di luar aturan resmi yang menyentuh channel tertentu. Kemuculan institusi informal ini dikarenakan beberapa sebab diantaranya yang pertama institusi formal tidak berjalan efektif dan tidak sempurna. Kedua institusi informal bisa menjadi pilihan strategi bagi aktor yang menginginkan sesuatu tetapi tidak bisa meraih aksesnya melalui institusi formal disebabkan diantaranya institusi formal sering dianggap costless, sebagai strategi alternatif ketika institusi formal tidak efektif, dan untuk mencapai sebuah tujuan tidak harus selalu menggunakan logika penerimaan publik (Gretchen & Levitsky, 2003 h.8). Adanya kedua institusi ini menyebabkan lahirnya pola interaksi yang disebabkan kedua institusi tersebut. Perlu diketahui bahwa terdapat beberapa pola relasi antara institusi informal terhadap institusi formal. Hal ini penting bagi seorang ilmuwan politik mempelajari hal tersebut dikarenakan kedua institusi tersebut baik informal maupun formal saling berpengaruh yang pada akhirnya menimbulkan beberapa pola yang bersifat negatif maupun positif. Dalam melihat strategi pemberdayaan yang dilakukan oleh Posdaya tentunya penting juga untuk melihat pola relasi yang terbentuk dari kacamata Levitsky. Lebih lanjut Levitsky melanjutkan ada beberapa tipologi yang terbangun antara informal institution terhadap institusi formal, diantaranya adalah: 1. Complementary Informal Institution 2. Accomodating Informal Institution 3. Competing Informal Institution
20
4. Substitutive Informal Institution Tabel 1. Tipologi Relasi Informal Institution terhadap Negara Efektifitas Negara
Efektif
Tidak Efektif
Compatible
Complementary
Substitutive
Goals/Convergent
(Melengkapi)
(Menggantikan)
Conflicting
Accomodating
Competing (Bersaing)
Goals/Divergent
(Mengakomodasi)
Pola Relasi
Tipologi yang pertama menurut Levitsky adalah complementary. Pola relasi ini terjadi apabila relasi institusi informal terhadap Negara mendekat sedangkan institusi formal (Negara) berjalan efektif maka yang terjadi adalah institusi informal melengkapi institusi formal Negara (mengisi lubang yang belum diisi Negara). Ciri lain dari tipologi ini adalah institusi informal dalam pola relasi ini menciptakan atau memperkuat insentif dalam masyarakat lokal yang memiliki fungsi pelayanan masyarakat sehingga secara tidak langsung muncul kesepakatan etis antara institusi informal terhadap Negara. Tipologi kedua dalam kategorisasi Levitsky adalah substitusi. Tipologi ini terjadi apabila pola relasi antara institusi informal terhadap Negara mendekat, namun institusi formal Negara tidak berjalan efektif, yang akhirnya menyebabkan
21
institusi komunitas menggantikan institusi formal Negara. Adapun yang dimaksud Levitsky adalah melemahnya kepatuhan terhadap peraturan formal dan ketidakmampuan institusi Negara menciptakan kepentingan institusi insformal dimana hal tersebut diikuti pula dengan menguatnya kepatuhan nilai, tradisi, dan norma uang berkembang dalam institusi informal (informal rules). Dalam tipologi ini berperannya institusi informal yang menggantikan institusi formal Negara diasumsikan dan diharapkan mampu merespon dan mengarahkan kepentingan bersama. Tipologi ketiga dalam relasi antara institusi informal dengan Negara adalag pola relasi accommodating. Tipologi ini terjadi apabila kapasitas Negara berjalan efektif, namun pola relasi antara institusi informal terhadap Negara bersifat menjauh sehingga muncul akomodasi institusi informal terhadap institusi Negara. Hal ini berarti institusi informal dapat menciptakan peraturan yang bersumber norma/nilai institusi informal untuk mengatur perilaku anggota atau warganya dengan secara tidak langsung merubah nilai subtantif dari peraturan formal. Sehingga yang terjadi adalah peraturan komunitas itu menegakkan aturan formal Negara. Tipologi yang terakhir dalam tipologi Levitsky adalah apa yang disebut dengan competing. Hal ini terjadi bilamana kapasitas Negara tidak efektif, tetapi pola relasi antara institusi informal terhadap Negara bersifat menjauh yang akhirnya menyebabkan institusi informal berkompetisi dengan institusi Negara. Selain itu pola relasi ini muncul dikarenakan institusi formal (Negara) tidak
22
berdaya menjalankan fungsinya sehingga muncul perlawanan dan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan formal (Gretchen & Levitsky 2003, hh. 11-14). Dari kacamata teori Steven Levitsky diatas, menurut penulis hal tersebut relevan untuk digunakan dalam membaca relasi antara informal institution yaitu NGO Damandiri dan Negara dalam proses pemberdayaan yang berwadahkan Posdaya Delima. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola relasi yang terbangun adalah complementary dimana NGO Damandiri dan Negara saling bekerjasama. F. Definisi Konseptual -
Kemiskinan adalah suatu kondisi dimana masyarakat tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya meliputi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Sedangkan kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang terjadi karena terdapat budaya kemiskinan yang diadopsi oleh masyarakat.
-
Pemberdayaan adalah suatu proses menggerakkan, memandirikan dan menswadayakan serta memperkuat posisi tawar masyarakat dengan cara menempatkan masyarakat sebagai pelaku (agen/partisipan yang bertindak secara mandiri bukan sebagai objek (penerima manfaat).
-
Strategi pemberdayaan adalah langkah-langkah strategis yang bertujuan memperluas akses rakyat pada sumberdaya yang ada dan menciptakan peluang yang seharusnya bagi masyarakat lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Strategi pemberdayaan yang digunakan oleh Posdaya Delima meliputi strategi gotong royong, strategi teknikal professional, dan strategi pembelotan kultural.
23
-
Pola relasi antara informal institution dengan Negara adalah sebuah hubungan yang berlandaskan atas kepentingan tertentu dimana terdapat sharing sumberdaya yang dimiliki masing-masing aktor untuk mencapai tujuan bersama.
G. Definisi Operasional -
Kemiskinan kultural ditandai dengan :
Masyarakat memiliki sifat malas, tidak disiplin, pantang menyerah
Masyarakat bersifat apatis, acuh tak acuh dan curiga terhadap masyarakat lain
-
Masyarakat memiliki sifat menerima nasib
Pemberdayaan meliputi:
Adanya proses pembelajaran
Adanya pengembangan kemampuan/skill, potensi dan kreasi dan ketrampilan
Menempatkan masyarakat sebagai subyek/pelaku yang berbuat secara mandiri
-
Strategi Pemberdayaan: a. Strategi gotong royong ditandai dengan :
Adanya partisipasi luas seluruh komponen masyarakat. Partisipasi tersebut meliputi:
Keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap kegiatan mulai dari perencanaan hingga evaluasi program
Partisipasi masyarakat bersifat sukarela 24
Adanya pembagian kewenangan
Keterlibatan aktif dalam penyampaian pendapat dan pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan dilakukan secara demokratis
Adanya tanggungjawab bersama
Adanya perencanaan yang bersifat bottom up
Masyarakat saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
b. Strategi teknikal-profesional ditandai dengan adanya :
Pemecahan masalah dengan mengembangkan norma, peranan, dan prosedur baru
Menemukan cara-cara yang lebih kreatif dalam menyelesaikan masalah.
c. Strategi pembelotan kultural ditandai dengan adanya:
-
Perubahan masyarakat berskala kecil
Perubahan pola perilaku, mindset individu
Perubahan-perubahan pada tingkat subyektif individu
Pola Relasi Informal Institution (NGO) dengan Negara:
Complementary ditandai dengan adanya:
Peran Negara yang masih efektif
Institusi
informal
memperkuat
daya
yang
dimiliki
masyarakat
Institusi formal dan Negara saling bekerjasama untuk mecapai tujuan tertentu.
25
H. Metode Penelitian H. 1. Jenis Penelitian Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif mengelaborasi tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif banyak jenisnya, dalam penelitian ini saya menggunakan metode studi kasus. kasus. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus karena pertama, penelitian Studi Kasus identik untuk menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa (Yin 1996, h. 5). Rumusan masalah disini adalah bagaimana strategi yang dilakukan oleh Posdaya Delima dalam membangun pemberdayaan khususnya dalam mengentaskan kemiskinan dan bagaimana pola relasi yang terbangun dari tiga aktor yaitu Negara, NGO dan masyarakat. Kedua, studi kasus memiliki boundaries atau batasan kasus yang meliputi waktu, aktor, konteks, dan lokus. Dalam penelitian terkait Posdaya ini terdapat batasan aktor. Aktor yang terlibat diantaranya Yayasan Damandiri, Kesra Sinduadi, Camat, Kepala Dukuh Gemawang, dan warga Dusun Gemawang mulai dari anak-anak, ibu-ibu, hingga lansia. Lokus penelitian ini yaitu Posdaya Delima di Dusun Gemawang, Sinduadi, Mlati, Sleman. Ketiga, penelitian studi kasus mencakup isu-isu yang kontemporer. Isu mengenai kemiskinan merupakan isu kontemporer yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara maksimal. Posdaya mencoba mengatasi persoalan tersebut melalui gerakan pemberdayaan. Hingga sampai saat ini pun Posdaya Delima banyak diberitakan di internet. Sehingga
26
strategi yang dilakukan oleh Posdaya Delima dalam mengentaskan persoalan kemiskinan cocok diteliti menggunakan metode studi kasus. Kekurangan studi kasus adalah dalam hal reliabilitas dan validitas. Bahwa studi tersebut sulit untuk mengeneralkan satu kasus ke kasus lainnya dan bahwasanya ketakutan dari validitas studi kasus adalah keputusan-keputusan yang subjektif dalam menginterpretasikan data. Dalam penelitian ini, kekurangankekurangan itu akan diatasi dengan cara menggunakan multi sumber bukti dan juga metode triangulasi. Menggunakan multi sumber bukti hal ini wajib dilakukan agar bukti-bukti yang terkumpul dapat disimpukan dengan jelas, bukti tersebut misalnya tidak hanya dari internet ataupun berita di media cetak saja tetapi harus paling tidak menggunakan enam sumber bukti (Yin 1996, h.103) misalnya dengan melakukan indepth interview, mengumpulkan dokumen-dokumen terkait dengan kegiatan yang dilakukan oleh Posdaya Delima, foto-foto, rekaman arsip, dan observasi langsung. Lalu agar tidak terlampau subyektif, penelitian studi kasus juga harus menggunakan metode triangulasi yaitu menanyakan isu/kasus dari satu orang ke orang lainnya untuk dapat menemukan kata kuncinya sehingga interpretasi yang didapat adaah hasil temuan wawancara dari beberapa orang, minimal tiga orang dapat dijadikan narasumber. Jenis studi kasus yang akan digunakan adalah studi kasus deskriptif. Hal ini terkait dengan pertanyaan penelitian yaitu bagaimana strategi yang dilakukan oleh Posdaya Delima dalam mengentaskan persoalan kemiskinan. Secara umum pertanyaan ini menuntut untuk penjelasan secara deskriptif pola relasi yang terbangun antara Negara, NGO dan masyarakat. Pada dasarnya tujuan dari studi 27
kasus deskriptif sendiri adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistimatis, aktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. H. 2. Unit Analisis Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwasanya penelitian ini ingin melihat bagaimana relasi yang terbangun antara Negara, NGO dan masyarakat dalam membangun pemberdayaan khususnya dalam rangka pengentasan kemiskinan. Dalam hal ini unit yang akan dianalisis adalah strategi yang digunakan oleh Posdaya Delima. Selain strategi Posdaya Delima dalam mengentaskan persoalan kemiskinan, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui tipologi relasi seperti apa yang melandasi hubungan antara Negara, NGO, dan masyarakat. Lebih jauh penelitian ini juga membahas mengenai implikasi kehadiran Posdaya Delima. H. 3. Jenis Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil wawancara mendalam dan observasi langsung dilapangan. Wawancara mendalam menjadi salah satu metode pengumpulan data karena dianggap mampu berperan sebagai sarana untuk memperoleh informasi yang mendalam. Infomasi mengenai motif, latar belakang, hingga suasana kebatinan dapat dielaborasi secara mendalam. Dalam penelitian ini yang akan diwawancarai adalah Yayasan Damandiri, Kesra Sinduadi, Dukuh Gemawang, kader Posdaya Delima, dan warga Dusun Gemawang. Data primer selanjutnya
28
didapat dari metode observasi langsung. Observasi langsung bertujuan untuk memetakan bagaimana suasana, kondisi setempat, dan perilaku setiap aktor dalam kegiatan pemberdayaan. Dalam hal ini yang akan diobservasi secara langsung adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Posdaya Delima. Dengan begitu, informasi yang diperoleh melalui indepth interview akan dikombinasikan dengan observasi sehingga akan menghasilkan temuan yang komprehensif. Pada tahap awal peneliti akan mengumpulkan data atau informasi sebanyak mungkin. Lalu pada tahap selanjutnya peneliti melakukan observasi terfokus yaitu menyempitkan data atau informasi yang diperlukan sehingga peneliti dapat menemukan pola-pola perilaku hubungan yang terus menerus terjadi. Sedangkan untuk data sekunder didapat dengan menggunakan studi pustaka. Tidak lupa juga penelitian ini menggunakan studi pustaka karena untuk menambah wawasan dalam mengkerangkai realitas yang ada. Penelitian ini menggunakan banyak sumber data karena sebagai suatu proses trianggulasi untuk menghasilkan data yang lebih meyakinkan, tepat sasaran, dan valid. Studi pustaka disini merupakan sarana pembantu peneliti dalam mengumpulkan data atau informasi dengan cara membaca brosur, pengumuman, iktisar rapat, pernyataan tertulis dll. Selanjutnya, penelitian ini juga menggunakan dokumentasi. Dokumentasi bisa berbagai bentuk yaitu surat, memorandum, dan pengumuman resmi, agenda, kesimpulan-kesimpulan pertemuan, laporan peristiwa-peristiwa tertulis, dokumen-dokumen administratif seperti proposal, dan dokumen-dokumen intern lainnya, kliping dan artikel-artikel yang muncul dimedia massa. Untuk penelitian studi kasus penggunaan dokumen adalah untuk mendukung dan
29
menambah bukti sumber-sumber lain (Yin 1996, hh.103-105). Data sekunder selanjutnya didapat melalui rekaman arsip. Rekaman arsip dapat digunakan bersama-sama dengan sumber-sumber informasi yang lain. Dalam pelaksanaan studi kasus rekaman disini bisa jadi sangat penting karena digunakan untuk kebutuhan analisis. H. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam studi kasus terdapat tiga prinsip dalam pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang pertama ialah penelitian ini akan menggunakan multi sumber bukti. Seperti yang sudah dijelaskan dalam sumberdata diatas, penggunaan multi sumber bukti sangatlah penting, karena dalam hal ini untuk mendukung analisis data yang lebih luas. Penggunaan multi sumberbukti dalam penelitian strategi Posdaya Delima dalam pengentasan kemiskinan ini yang pertama dapat dikaji melalui dokumen-dokumen yang ada seperti SK Pendirian Posdaya Delima, dokumen yang berasal dari media cetak maupun internet lalu setelah itu peneliti akan melakukan wawancara mendalam untuk membuktikan kebenaran dari dokumen-dokumen itu. Selain wawancara, peneliti juga akan melakukan observasi langsung dari kegiatan yang dilakukan Posdaya Delima. Prinsip yang kedua, teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah menciptakan data dasar studi kasus. Data dasar studi kasus disini bisa berupa data atau bukti dasar dan laporan peniliti yaitu peninjauan data dasar tersebut kembali dengan begitu akan meningkatkan reliabilitas keseluruhan studi kasus. Teknik pengumpulan data yang selanjutnya adalah memelihara rangkaian bukti.
30
Memelihara rangkaian bukti dimaksudkan agar pembaca penelitian ini mengikuti asal muasal bukti sejak dari pertanyaan awal penelitian hingga konklusi diakhir penelitian. Sehingga penelitian ini memuat data dasar yang relevan yang dibuktikan dengan mengutip dokumen-dokumen, wawancara atau observasi tertentu. Lalu selanjutnya data dasar tersebut menyatakan bukti aktual dengan menyebutkan pada siapa, waktu dan tempat wawancara. Terakhir, mengkaitkan antara pertanyaan awal penelitian dengan isi peneitian sehingga isinya nanti menjadi relevan dapat menjawab rumusan masalah dan konsisten menunjukkan rangkaian bukti. H. 5. Sumber Data Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, data yang akan didapat nantinya berasal dari wawancara, observasi langsung, dan studi pustaka. Terkait dengan wawancara, yang akan saya wawancarai adalah Yayasan Damandiri, Kesra Sinduadi, Dukuh Gemawang, Kader Posdaya, dan masyarakat Dukuh Gemawang. Wawancara dengan Dukuh Gemawang data wawancara yang dibutuhkan adalah apa strategi apa saja yang dilakukan di Posdaya Delima dalam mengentaskan persoalan kemiskinan, bagaimana relasi Negara, Damandiri dan Masyarakat dengan pemberdayaan yang berwadahkan Posdaya Delima, dan apasaja kendala-kendala yang ditemui. Sedangkan untuk observasi langsung bertujuan untuk mengetahui kondisi teknis dilapangan apa saja kegiatan Posdaya yang dilakukan selama ini, dan bagaimana respon masyarakat terhadap Posdaya. Studi pustaka sendiri terkait dengan dokumen-dokumen yang terkait dengan
31
kegiatan Posdaya, pemberitaan di media baik cetak maupun elektronik dan juga teks book yang berkaitan dengan Posdaya Delima. H. 6. Teknik Analisis Data Untuk teknik analisis data dalam penelitian studi kasus yang pertama dilakukan adalah mengikuti proposisi teoritis yang menuntun studi kasus (Yin 1996, hh. 136-139). Dalam hal relasi antara Negara, Damandiri dan masyarakat pertanyaan besarnya adalah bagaimana pola relasi yang terbentuk antara ketiga aktor tersebut dalam sebuah wadah pemberdayaan Posdaya Delima, transfer sumberdaya apasaja yang terjadi dalam Posdaya Delima, bagaimana struktur kuasa yang terjadi dalam Posdaya Delima. Proposisi ini akan membantu memfokuskan perhatian pada data tertentu dan abai terhadap data yang lain. Langkah selanjutnya adalah mengembangkan deskripsi kasus. Dalam hal ini data mengenai pola relasi antara Negara, Damandiri, dan masyarakat dikembangkan menjadi sebuah deskripsi sehingga pembaca dapat mengetahui apa yang sebenarnya Posdaya Delima lakukan. Pemahaman deskripsi ini pada akhirnya menuntun kearah penghitungan, pentabulasian, dan pada akhirnya cenderung pengkuantifikasian berbagai keputusan. Dari situlah kita dapat menganalisis data. I. Sistematika Penulisan Pada
bab-bab
awal,
penelitian
ini
mengelaborasi
apa
yang
melatarbelakangi lahirnya Posdaya yang utama adalah mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan. Latar belakang masalah memberikan gambaran 32
mengenai hal-hal apa saja yang melatarbelakangi penelitian sehingga masalah ini menjadi menarik untuk diteliti. Dalam bab ini juga memuat rumusan masalah yang merupakan pertanyaan yang harus dijawab dalam penelitian, serta tujuan penelitian yg berisi tentang apa saja yang akan dicapai dengan adanya penelitian ini. Kerangka teori juga merupakan bagian yang dirasa amat penting. Bagian ini menjelaskan kerangka berfikir yang digunakan dalam menganalisis permasalahan penelitian, dan di bagian akhir bab ini merupakan metode penelitian. Pada Bab II penelitian ini akan membahas kemiskinan kultural yang terjadi di Gemawang yang diawali dengan membahas seluk beluk Dusun Gemawang yang meliputi kondisi daerah dilihat dari aspek sosial, ekonomi, budaya dan yang menjadi point inti adalah menjelaskan mengenai kemiskinan di Dusun Gemawang. Apa yang menandai adanya kemiskinan kultural akan dibahas dalam bab ini. Pada bab selanjutnya yaitu bab III akan dibahas hal-hal ikhwal terkait dengan Posdaya dimulai dari apa itu Posdaya, sejarah berdirinya Posdaya Delima, landasan hukum berdirinya Posdaya Delima, visi, misi, dan tujuan berdirinya Posdaya Delima, dan juga sasaran Posdaya Delima. Selain membahas mengenai seluk beluk Posdaya Delima, dalam bab ini juga akan dibahas terkait dengan kegiatan-kegiatan yang ada dalam Posdaya Delima dan untuk siapa saja kegiatan tersebut ditujukan dan apa manfaatnya bagi warga Dusun Gemawang. Dalam hal ini, tidak lupa pula akan dibahas prestasi-prestasi apa saja yang pernah didapat oleh Posdaya Delima.
33
Setelah itu pada bab IV akan dibahas mengenai strategi pemberdayaan yang dilakukan oleh Posdaya Delima, yang meliputi bagaimana cara Posdaya Delima dalam membangun Pemberdayaan dan merangkul masyarakat untuk tergabung didalamnya, kegiatan apa saja yang difokuskan dalam rangka pengentasan kemiskinan dan mengapa kegiatan tersebut yg dipilih. Dalam bab ini juga akan dibahas mengenai pola relasi antara Negara, Damandiri (NGO) dan masyarakat yang berwadahkan pemberdayaan Posdaya Delima dalam artian bagaimana struktur kuasa yang terjadi dalam pemberdayaan Posdaya Delima tersebut dan tipe relasi seperti apa yang terjadi dari ketiga aktor akan dibahas dalam bab ini. Bab V dalam penelitian ini yaitu penutup. Penutup dalam hal ini terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan ditarik berdasarkan analisis yang dilakukan dan fakta dilapangan, sedangkan saran berisi pertanyaan yang tidak terjawab dalam penelitian ini sehingga berkontribusi terhadap penelitianpenelitian selanjutnya.
34