BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Ragu, adalah kesan yang pertama kali muncul saat saya mengangkat persoalan masyarakat Samin sebagai topik tulisan ini. Di satu sisi, saya memiliki keinginan yang mendalam (sebagai mahasiswa antropologi) untuk menangkap dan menerjemahkan fenomena modern yang kekinian dan sarat dengan unsur budaya pop, sehingga tak perlu melulu akrab dengan isu – isu kesuku-bangsaan dan masyarakat terpencil. Menambahkan daftar lulusan Antropologi yang mampu menelurkan karya yang akrab dengan kehidupan sehari – hari mereka sendiri. Namun, hidup bersama orang – orang Samin selama satu-setengah bulan rupanya telah menyentil pemahaman saya yang dangkal akan istilah “modern” diatas. Yang suatu hal dan sebab lainnya akan saya coba jelaskan pada paragraf – paragraf berikutnya. Pandangan masyarakat terhadap kaum Samin atau Sedulur Sikep, begitu beragam berdasarkan dari kacamata mana kita memandang.1 Istilah “Samin” sendiri kerap dikaitkan dengan konotasi laku yang “tak normal”, seperti agak bloon dan sikap keras kepala. Bahkan ketika seseorang sedang kesal dengan lawan bicaranya, umpatan seperti “dasar Samin!” dapat dikeluarkan dengan mudah (Nurkhoiron, 2002). Selain itu, terdapat pendapat lain yang mengatakan 1
Pengikut ajaran Samin menyebut diri mereka sendiri sebagai Sedulur Sikep, Wong Sikep, atau Sikep saja. Maka selanjutnya, penggunaan istilah Samin atau Sikep akan disesuaikan dengan sudut pandang yang relevan dalam teks.
1
bahwa orang – orang Samin adalah kaum dengan kepercayaan musyrik, suka menutup diri, pasif, dan berpendidikan rendah.2 Stereotipe tersebut muncul bukan karena tidak ada alasan. Sejarah panjang dari pergerakan pengikut ajaran Samin yang tak lain adalah kaum tani, dalam berjuang melawan kolonialisme Belanda dengan sikap lugu, ngeyel (bandel), dan menutup diri, menjadi salah satu alasan dari berkembangnya pandangan negatif masyarakat, membuat pergerakan mereka dianggap sebagai sebuah bentuk perlawanan yang tidak “elitis”. Pandangan itu pun kemudian diperparah dengan keengganan mereka untuk bersekolah. Keyakinan yang kemudian dianggap masyarakat sekitar sebagai bentuk kendablegan (kebandelan) Samin yang lain, dilakukan tak lebih untuk kepentingan memisahkan diri. Saya pun menyaksikan sendiri kebenarannya. Kebanyakan anak – anak Samin yang saya temui memang tidak disekolahkan oleh orangtuanya. Ketika saya bertanya kepada anak – anak itu, dengan lugu mereka menjawab, “Lho, sikep iku cen ora sekolah, mbak. Neg sekolah berarti dudu sikep.” (Lho, sikep itu memang tidak sekolah, mbak. Kalau sekolah berarti bukan sikep.) Meskipun demikian, nyatanya saya sempat bertemu dengan beberapa orang Samin yang toh menyekolahkan anaknya, walaupun hanya satu – dua anak saja. Angka yang memang berselisih jauh dengan jumlah anak – anak sikep yang tidak bersekolah. Melihat fenomena ini, pertanyaan yang kemudian muncul dalam benak saya adalah, mengapa?
Seperti yang dijelaskan oleh Kiai Muadz, “Orang Pesantren Sendiri Memandang Samin Kurang Simpatik”, dalam Majalah Kebudayaan DESANTARA Edisi 06/TAHUN 2/2002. 2
2
Padahal sudah sejak tahun 1994, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) telah merintis program Wajib Belajar 9 Tahun. Usaha ini merupakan upaya Negara demi mencapai misi yang tertera dalam Undang – undang Dasar 1945 pasal 31, ayat (1): bahwa Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, (2): Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang, dan (3): Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Demi meningkatkan persentase jumlah peserta didik, pemerintah bahkan menghapuskan peraturan pungutan wajib sekolah yang tertera dalam Undang – undang RI No: 20 Tahun 2003 pasal 34 ayat (2): yang menjelaskan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Tetapi apa mau dikata, semua kebijakan itu tetaplah tak dihiraukan, dan sekali lagi orang – orang Samin dinilai bodoh dan ngeyelan (selalu bandel). Meski begitu, Samin dalam kacamata akademisi rupanya justru dipandang dengan persepsi yang berbeda. Mereka dianggap sebagai lahan penelitian yang subur. Tak ubahnya seperti organisme, mereka bertumbuh, bergerak, dan berkembang, menjadi berbeda ditengah dinamika kemajemukan masyarakat disekitarnya yang seragam.
3
Sejak permulaan tahun 2007 sendiri masyarakat awam mendapat sudut pandang baru dalam memandang orang – orang Samin. Samin Pati yang lebih akrab dipanggil Sedulur Sikep, rupanya memainkan peran penting dalam aksi tolak pembangunan pabrik semen oleh PT. Semen Gresik, yang rencananya didirikan di Sukolilo, kaki Pegunungan Kendeng Utara pada tahun 2005. Berbeda dengan gaya perlawanan klasik mereka yang lugu, ngeyel (bandel), dan pasif, kini mereka berjuang melalui cara advokasi dan orasi, yang kemudian dianggap sebagai wujud identitas kearifan lokal dalam perjuangan menjaga lingkungan dan justifikasi sosial (Crosby, 2009). Kepopuleran Sedulur Sikep saat itu bahkan membuat
mereka menjadi ikon dari aksi perlawanan yang memakan waktu
kurang lebih berjalan selama lima tahun.3 Untuk soal praktik kehidupan sehari – hari pun ternyata orang Sikep tidak membutakan diri dari pendidikan. Sebab setiap seminggu sekali, secara rutin mereka mengadakan kelompok belajar yang melibatkan anak – anak sikep di Omah Kendeng. Mengetahui hal ini membuat saya bertanya – tanya, apakah ”kelompok belajar” ini menjadi salah satu usaha yang mereka tempuh untuk bisa mendapatkan bekal pengetahuan tanpa harus bersekolah? Terlepas dari itu semua, penemuan - penemuan diatas kemudian membuat saya menyadari akan variasi pelabelan yang melekat pada diri orang – orang Sikep, baik sebagai Samin yang masih identik dengan konotasi negatif, ataupun Sikep yang berperan ganda sebagai agen lingkungan dan pejuang kesejahteraan warga. Hal itu lantas membuat saya keheranan, siapakah Sedulur Sikep 3
Kasus ini berakhir dengan kekalahan di pihak PT. Semen Gresik. Pada tahun 2010, mereka secara resmi mengumumkan pembatalan perencanaan pendirian pabrik. 4
sebenarnya? Dan mengapa sampai saat ini Sedulur Sikep masih enggan untuk bersekolah disaat mereka sendiri rupanya tidak ”alergi” dengan praktik belajar dan pendidikan? Padahal bentuk dasar perlawanan mereka yang mulanya berkutat pada sikap pasif, kini pun secara perlahan telah mereka tinggalkan, atraktor yang mengarahkan mereka untuk dapat mentransformasikan nilai akan larangan bersekolah juga telah bermunculan, baik itu dari ejekan yang dilontarkan tetangga, interaksi dengan para peneliti yang datang silih berganti, dan peran mereka dalam aksi menolak pembangunan pabrik semen. Saya sendiri awalnya melihat sikap antipati mereka terhadap sekolah sebagai tindak tanduk yang kuno, pemikiran yang tidak mau berkembang ditambah dengan keyakinan yang sudah tak relevan di jaman modern ini. Namun ternyata proses saya dalam memahami persoalan ”belajar” orang Sikep ini lah, yang justru memaksa saya untuk menimbang pemahaman saya atas apa itu ”pemikiran yang modern”.
1.2. Rumusan Masalah Perbedaan “tingkat ketaatan” Sedulur Sikep dalam mempraktikan nilai – nilai ajaran mereka, seperti yang telah saya jelaskan pada bahasan sebelumnya, adalah alasan yang mendorong saya untuk mengangkat persoalan pembangunan identitas Sedulur Sikep dalam tulisan ini. Fenomena “ketatnya” Sikep dalam mempertahankan keyakinan untuk tidak sekolah sendiri, adalah faktor determinan yang membuat saya memfokuskan diri pada persoalan pendidikan dari Sedulur Sikep.
5
Saya ingin mengulik lebih dalam mengenai bagaimana sesungguhnya pendidikan dimaknai dalam ajaran Sikep, dan bagaimana pemaknaan itu dipraktikan dalam kehidupan sehari – hari, sehingga dari situ, saya berharap akan diketemukannya pemahaman yang lebih mendalam mengenai siapakah Sedulur Sikep sebenarnya? Lewat usaha saya untuk menjawab persoalan atas mengapa pendidikan menjadi sangat penting dalam pengkonstruksian jati diri mereka?
1.3. Tujuan Penelitian Saya berharap, hasil penelitian ini tidak hanya akan digunakan untuk dapat menjelaskan bagaimana Sedulur Sikep dan pendidikan bertautan. Melainkan juga untuk memahami bagaimana Sedulur Sikep memaknai dan mempraktikan filsafah hidupnya melalui ide dan cara mereka mengkonsepsikan pendidikan. Oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan bahwa pembahasan ini dapat menyinggung ranah lain seperti religi dan politik masyarakat adat. Saya juga berharap dapat memetakan dengan jelas perbedaan antara Negara dan Sedulur Sikep dalam mendefinisikan pendidikan, sekolah, dan belajar. Sampai pada akhirnya dapat menawarkan persepsi – yang mungkin tidak benarbenar baru, namun bisa lebih mendalam mengenai bagaimana “pendidikan yang layak” dapat dimaknai secara berbeda. Hingga akhirnya pendidikan bisa dipahami tidak hanya melalui cara berpikir biner saja, seperti baik-buruk, benar-salah, dan sekolah atau tidak sekolah.
6
Tujuan utama dari penelitian ini sendiri tentunya juga agar dapat membuat masyarakat bisa memahami Sedulur Sikep secara lebih baik. Melalui pandangan tentang bagaimana menjadi Samin (nyamin) lewat kacamata orang – orang Samin sendiri. Semoga melalui bacaan ini, harapan – harapan tersebut dapat terwujud
1.4. Tinjauan Pustaka Bicara tentang orang Samin, Sikep, ataupun Sedulur Sikep tidak akan pernah lepas dari tokoh yang menginisiasinya, Samin Surosentiko.4 Tokoh yang ajarannya terkenal dengan sebutan Saminisme ini pada mulanya adalah seorang kuli kencang dari Ploso Diren, Randublantung, Blora Selatan (Widodo, 1977: 263). 5 Apa yang kemudian diajarkan oleh Surosentiko sendiri disebut sebagai agama adam oleh para pengikutnya yang menyebut diri mereka sebagai Uwong Sikep. Onghokham (1977) lewat tulisannya menjelaskan bahwa uwong sikep diartikan sebagai mereka yang siaga, mereka yang memeluk, atau mereka yang bertanggung jawab atas negara. Surosentiko terus menyebarkan ajarannya, hingga pada tahun 1903 Residen Rembang mencatat terdapat 772 orang pengikut Samin yang tersebar di wilayah Blora Selatan, Bojonegara, Ngawi, hingga Grobogan (Benda & Castles,
4
Terdapat beberapa versi nama lain seperti Samin Surontiko dan Samin Surantika. Namun dalam “Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora, Jawa Tengah” oleh Kementrian Budaya & Pariwisata (2004) dijelaskan bahwa tokoh yang akrab dipanggil Mbah Samin ini bernama asli Raden Kohar. 5
Petani desa yang bertugas mengontrol lahan garapan dan membayar pajak kepada priyayi atau bupati dalam sistem tanam paksa.
7
1959: 211). Empat tahun berselang dari catatan terakhir Residen Rembang, dilaporkan bahwa pada tahun 1907, jumlah pengikut Samin bertambah hingga 3000 orang, merambah wilayah Pati, Kudus, Madiun, dan sekitarnya. Karena mendengar kabar ini, seorang kontrolir Belanda (posisi pegawai terendah dalam kantor administrasi Belanda), melakukan penangkapan atas delapan orang Sikep yang sedang mengadakan upacara Slametan pada tanggal 1 Maret 1907 di Kedungtuban. Penangkapan ini dilakukan karena tersiar kabar bahwa ritual tersebut merupakan dalih dari diskusi orang Sikep untuk melakukan persiapan perlawanan terhadap Belanda. Meski saat itu Samin Surosentiko tidak ada ditempat, ia diinterogasi beberapa hari setelahnya dan ditangkap atas tuduhan pemberontakan. Ia kemudian dibuang ke Sawah Lunto, Padang, Sumatera Barat, dan meninggal disana pada tahun 1914 (Benda & Castles, 1969). Meski dengan ketiadaan Surosentiko, pergerakan kaum Samin tidak serta merta padam. Amrih Widodo (1997) menggambarkan bahwa pergerakan kaum Samin justru mencapai puncaknya pada tahun 1914. Hal ini ditandai dengan aksi penolakan terhadap pembayaran pajak dan penyumbangan buruh paksa. Mereka bahkan berani berbicara menggunakan Bahasa Jawa kasar (ngoko) pada petugas kolonial Belanda dan priyayi, serta dengan tegas menolak pengaruh agama dan Negara dalam tata cara pelegalan perkawinan dan penguburan jenazah.
1.5. Kerangka Pemikiran Saya akan mencoba merumuskan kerangka pemikiran yang akan menjadi pijakan untuk menganalisis data – data dalam penelitian ini. Pembahasan ini akan
8
saya titik beratkan kedalam tiga fokus, pertama: perspektif tentang pendidikan rakyat “kecil”, kedua: Gambaran yang jelas mengenai bagaimana konsep agama ditubuhkan dalam ajaran kebatinan Samin, ketiga: Sedulur Sikep dalam wacana komunitas adat, atau indigenous people. 1. Sikep dan Perspektif Pendidikan Rakyat “Kecil”6 Sebelum
membahas
bagaimana
pendidikan
dikonsepsikan
dalam
kehidupan Sedulur Sikep, terlebih dahulu kita mesti memahami apa “pendidikan” itu sendiri. François Jacob (1991) menjelaskan bahwa pendidikan adalah proses belajar yang muncul atas dasar kebutuhan alami manusia, yang memang diprogram untuk mencari tahu dan menciptakan ide ataupun alat yang dapat digunakan untuk bertahan hidup. Hingga benda ataupun pemikiran yang mereka hadirkan kemudian adalah wujud dari proses panjang mengumpulkan, dan mengolah pengalaman dan informasi dalam kepala, atau dengan kata lain, suatu bentuk dari materialisasi gagasan. Paulo Freire sendiri memandang pendidikan sebagai proses pembelajaran yang tak lain adalah sebuah dimensi dari praktik sosial (baik dalam konteks produktifitas, budaya, ataupun religi). Bahwa di balik kompleksitas yang berada didalamnya. pendidikan adalah sebuah bukti dari wujud eksistensi manusia (Freire, 1999: 83). Dalam golongan masyarakat sederhana, pendidikan dipraktikan dalam ranah learning cultures, atau yang dijelaskan Margaret Mead sebagai kebudayaan
Saya menekankan istilah “kecil” untuk membatasi deskripsi mengenai konsep dan praktik pendidikan dalam lingkaran kaum – kaum minoritas saja (dalam arti kedudukan, bukan besar jumlahnya) seperti golongan tani atau masyarakat terpencil. 6
9
belajar atau kebudayaan mengajar. Didalamnya, pendidikan tidak disekat kedalam suatu praktik yang terpisah dari suatu kebudayaan, melainkan dimana saat proses kebudayaan tersebut dimaknai, dihayati, dan dipraktikan adalah wujud dari pendidikan itu sendiri.7 Namun dewasa ini, makna pendidikan tereduksi menjadi bentuk pembelajaran formal atau
sekolah yang berisikan kurikulum – kurikulum,
akreditasi, dan nilai – nilai atau peringkat (grades). Hingga kemudian muncul ukuran – ukuran, dan stratifikasi sosial yang diidentikkan dengan gelar. Anggapan inilah yang kemudian mempengaruhi pandangan masyarakat dalam memandang pengikut ajaran Samin yang sampai saat ini masih enggan untuk bersekolah. Label negatif seperti bodoh dan bloon yang kemudian mengikuti mereka, menjadi konsekuensi dari menjalankan kepercayaan mereka yang dianggap masih terbelakang. Anehnya, sikap yang kerap dianggap masyarakat sebagai kendablegan tersebut justru memiliki kesamaan dengan gagasan Ivan Illich (1970) yang saking mempesonanya, sempat membangkitkan pemberontakan di kalangan mahasiswa Yogyakarta pada tahun1990-an, membuat puluhan mahasiswa memutuskan untuk desertir dari kelas – kelas. Peristiwa itu dipicu oleh tulisannya yang berjudul Deschooling Society, dimana ia menjelaskan bahwa sekolah kini telah menjadi candu, sekolah tidak lagi dipahami sebagai sumber dimana kita dapat bebas menggali pertanyaan, melainkan tereduksi menjadi legitimasi alat pencari materi.
7
Dikutip dari Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Antropologi II. Jakarta: UI Press hal. 230.
10
2. Agama, Kepercayaan, dan Praktiknya Apa itu agama?Apa itu kepercayaan? Apakah keduanya merupakan sebuah definisi yang berdiri sendiri – sendiri, ataukah justru mewakili sebuah pemahaman yang sebenarnya kurang lebih sama? Emile Durkheim, memaknai agama sebagai sebuah sistem terpadu tentang kepercayaan dan praktik yang berkenaan dengan hal – hal spiritual, tentang apa yang boleh dan apa yang terlarang. Hingga membentuk sebuah komunitas moral yang terintegrasi, seperti contohnya saja, Gereja (Durkheim, 1965: 62). Namun lewat bukunya yang berjudul Primitive Culture, E.B Taylor (1871) mencoba memberikan sebuah penjelasan yang lebih sederhana, yaitu agama sebagai kepercayaan terhadap wujud spiritual. Kedua penjelasan diatas akhirnya meninggalkan kita pertanyaan pertanyaan baru seperti apakah sesungguhnya kepercayaan menjadi bagian dari agama? Lalu apa itu spiritual? Dan bagaimana posisinya dipetakan dalam kosmos kajian agama? Jack David Eller mencoba memandang permasalahan ini, bahwa sesungguhnya usaha – usaha untuk mendefinisikan agama ini sendiri cenderung menjadi
kebuntuan.
Sebab
Antropologi
seharusnya
tidak
berusaha
menerjemahkan, melainkan membahasakan apa itu agama melalui perspektif dari masing – masing pengikutnya. Namun ia sendiri pada akhirnya sempat menjelaskan bahwa kepercayaan (yang saya terjemahkan dari istilahnya, beliefs) tetaplah merupakan sebuah esensi dari agama.
11
Padahal, di Indonesia terdapat batas yang jelas antara agama yang “disahkan” dengan aliran kepercayaan. Aliran kepercayaan ini sendiri terdiri dari kepercayaan yang dianut oleh suku – suku bangsa di Nusantara seperti kepercayaan Sunda Wiwitan di kalangan orang Sunda, Perbegu di kalangan orang Batak, Oseng di Banyuwangi, Kaharingan di kalangan orang Dayak, Patuntung di Makassar, dan masih banyak lagi. Heddy Sri Ahimsa dalam tulisannya yang berjudul Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa: Ciri dan identitas (Ahimsa, 2009), menjelaskan tentang karakteristik aliran kepercayaan yang terletak dalam kepercayaan terhadap dunia gaib berserta penghuni dan penguasanya. Ia menambahkan bahwa aliran kepercayaan pun biasa memiliki ritual – ritual yang khas beserta pembagian yang jelas mengenai posisi manusia dengan tuhan dan lingkungannya. Untuk itu di dalam tulisan ini saya akan berusaha mengidentifikasi karakteristik tersebut dalam bagaimana Sedulur Sikep mempersepsikan eksistensi tuhan dan ritual agama adam, terutamanya dalam konteks komunitas mereka yang telah diakui Negara sebagai bagian dari “golongan” aliran kepercayaan ini. 3. Wacana Indigeneous People Pada Konferensi Bumi Internasional yang diadakan di Rio de Janeiro pada tahun 1993, terbentuk agenda atas 21 hasil kesepakatan yang meminta para negara peserta agar mengakui hak – hak indigenous people. Namun apa yang sesungguhnya dimaksud dengan indigeneous people? Dalam Bahasa Indonesia,
12
indigenous people lebih kerap diterjemahkan sebagai komunitas adat, istilah yang dianggap tidak beresiko politis.8 Konferensi tersebut sesungguhnya membawa perubahan besar dari istilah yang sebelumnya digunakan untuk menggambarkan mereka yang belum beradab, atau menggunakan istilah James Scott, the Uncivilised. The Uncivilised ini sendiri merupakan sekumpulan komunitas atau masyarakat yang dianggap masih hidup dengan cara – cara tradisional atau adat istiadat yang kuno, bahkan primitif. Lewat bukunya yang berjudul The Art of Not Being Governed, Scott menyinggung tentang usaha untuh merubah, mengembangkan, memajukan suatu komunitas yang masih “terbelakang” demi meningkatkan nilai budaya dan moral mereka, agar sesuai dengan konteks “beradab” dalam sudut pandang kekuasaan (Scott, 2009). Pernyataan Scott diatas rupanya telah diaplikasikan pada paruh kedua dasawarsa 1970-an. Saat itu muncul wacana akan perencanaan sebuah program yang berjudul Komunitas Adat Terpencil (KAT) oleh Departemen Sosial, sebuah proyek yang bertujuan untuk memajukan kehidupan masyarakat adat. Seiring 30 tahun berjalannya program ini, telah terjadi beberapa perubahan dalam penggunaan istilah guna mendefinisikan komunitas sasaran. Pada tahun 1976 misalnya, komunitas sasaran program ini disebut sebagai “suku terasing” yang dimaknai sebagai sekelompok masyarakat atau suku – suku tertentu yang dikategorikan masih terasing secara sosial budaya sehingga belum bisa membaur dengan masyarakat sekitar. Pada tahun 1987 istilah suku terasing ini kemudian
8
Lihat Fauzan, M. Uzair. 2005. Politik Representasi dan Wacana Multikulturalisme. 13
diganti menjadi masyarakat terasing, yang definisinya pun mengalami tiga kali perubahan, yaitu dari tahun 1992, 1994, dan 1998. 9 Penyerapan istilah indigeneous people ini sendiri pada akhirnya tidak pernah sampai pada titik kejelasan tentang karakteristik seperti apa yang mesti dimiliki oleh sebuah kelompok masyarakat untuk dikatakan sebagai indigeneous people. Dalam Declaration on Indigenous People Rights (DIPR) pada tahun 2007 misalnya, muncul berbagai persepsi yang multi-tafsir dan kontradiktif di beberapa bahasan.10 Problematika yang muncul kemudian adalah bagaimana negara memilah – milah masyarakat seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai kelompok indigeneous ini. Hafid Abbas, yang merupakan bagian dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) bahkan menyatakan bahwa tidak ada yang namanya indigeneous
people
di
Indonesia,
karena
istilah
“indigenous”
sendiri
diperkenalkan oleh Belanda sebagai bentuk pemecah identitas nusantara.11 Sikap sentimen kepada sejarah kolonialisme Belanda ini sendiri hanya merupakan satu dari ragam argumen yang mengikuti perkembangan pemahaman akan indigeneous people di Indonesia. Konsepsi indigenous dalam kehidupan Sedulur Sikep inilah yang berusaha saya pelajari. Hal ini penting dilakukan agar kita bisa mendapat pandangan yang lebih jelas tentang bagaimana Sikep mengidentifikasikan diri dalam relasi
9
Lihat Fauzan, M. Uzair. 2005. Politik Representasi dan Wacana Multikulturalisme.
10
Dikutip dari Pereira, Matthieu. 2014. Indegeneity and Resistance Practices: The Sedulur Sikep (Samin people) of Central Java. 11
Ibid. 14
politiknya dengan Negara. Nantinya, relasi politis yang telah terbaca akan saya gunakan sebagai pijakan dari usaha analisis saya untuk mencari dampak kausalitasnya, sehingga akan ditemukan sebuah dasar nilai ajaran Sikep.
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini menempati wilayah – wilayah dimana mayoritas komunitas Sedulur Sikep masih tinggal berkelompok dan membentuk pola perilaku yang masih sarat dengan praktik ajaran Samin, yaitu melingkupi dusun Bombong (Baturejo),
Bowong
atau Ngawen (Sukolilo), dan Galiran (Baleadi), yang
ketiganya berada di wilayah Kabupaten Pati Selatan, serta dusun Kaliyoso (Undaan), wilayah Kabupaten Kudus. 1.6.2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Untuk keperluan pengumpulan data saya menggunakan metode kualitatif yang oleh Bogdan dan Taylor didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data – data deskriptif berupa kata – kata tertulis atau lisan dari subjek yang perilakunya kita amati secara seksama (Bogdan dan Taylor. 1975). Metode ini meliputi teknik obervasi partisipatoris, dimana saya hidup bersama Sedulur Sikep kurang lebih selama satu-setengah bulan, tepatnya di rumah Bapak Kukoh dan Gunarti di Dusun Ngawen, Sukolilo. Metode wawancara mendalam juga saya gunakan guna mendapatkan informasi – informasi yang kiranya akan mendukung penelitian ini.
15
Pemilihan informan tidak saya lakukan secara khusus, pada praktiknya saya mengamati, berpartisipasi, mencatatat, dan mendokumentasi seluruh kegiatan dalam kehidupan sehari – hari Sedulur Sikep, sehingga saya mendapatkan gambaran utuh mengenai bagaimana Sikep memaknai hidup mereka sendiri. Pengerjaan penyusunan paradigma dari tulisan ini sendiri terwujud melalui informasi – informasi yang saya dapatkan dari lingkungan Sikep, meliputi para ibu, ayah, dan tentunya anak – anak, serta tentunya pemikiran para tetangga, masyarakat non-sikep, aparat desa dan tenaga pendidik yang dekat dengan fenomena Sedulur Sikep berada. Data – data yang saya telah saya dapatkan, kemudian saya coba analisis melalui uji komprehensif dengan kerangka pemikiran yang telah saya susun sebelumnya. Sebagaimana yang dikatakan James Spradley (1997), sebagai pengujian sistematis terhadap sesuatu yang menentukan bagian – bagiannya, hubungannya diantara
bagian – bagian, serta hubungan bagian – bagian itu
dengan keseluruhannya.
16