BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk
menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat di sebelah bawahnya. Dengan demikian, pukat membentuk semacam dinding jaring di dalam air yang akan melingkari kumpulan ikan dan mencegahnya melarikan diri. Jaring ini dapat dioperasikan baik dengan menggunakan kapal ataupun dari darat (pantai). Penggunaan pukat harimau di Indonesia berkembang pesat pada tahun 1970-an karena banyaknya permintaan izin dan memang diizinkan. Akan tetapi, nelayan tradisional pada saat itu melakukan penolakan, dan penolakan besarbesaran terjadi pada tahun 1980-an dikarenakan perolehan tangkapan nelayan tradisional menurun secara dratis dari tahun ke tahun. Akhirnya, pada tanggal 1 Juli 1980 dikeluarkanlah Kepres No. 39/1980. Kepres No. 39/1980 menimbang bahwa bahwa dalam pelaksanaan pembinaan kelestarian sumber perikanan dasar dan dalam rangka mendorong peningkatan produksi yang dihasilkan oleh para nelayan tradisional serta untuk menghindarkan terjadinya ketegangan-ketegangan sosial maka perlu dilakukan penghapusan kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan jaring trawl. Pasca dikeluarkannya Kepres tersebut, pengadaan bahan baku udang nasional tersendat. Oleh karenanya, dalam rangka memanfaatkan sumber daya udang di perairan kawasan timur Indonesia, maka pemerintah mengeluarkan
12
Universitas Sumatera Utara
peraturan baru melalui Kepres No. 85 Tahun 1982 tentang Penggunaan Pukat Udang. Menurut Kepres ini, pukat udang dapat dipergunakan menangkap udang di perairan kepulauan Kei, Tanimbar, Aru, Irian Jaya, dan laut Arafura dengan batas koordinat 1300 B.T. ke Timur, kecuali di perairan pantai dari masingmasing pulau tersebut yang dibatasi oleh garis isobat 10 meter. Dengan kata lain, Kepres No. 85/1982 hanya mengizinkan penggunaan pukat secara terbatas, karena di luar wilayah yang diatur Kepres No. 85/1982, ketentuan-ketentuan yang tertuang pada Kepres No. 39/1980 tetap berlaku. Meskipun sudah ada aturan mengenai pelarangan penggunaan pukat, alat tangkap ini masih banyak digunakan di beberapa wilayah perairan Indonesia. Bahkan, pada saat musim ikan tertentu, hanya pukat lah yang dapat digunakan. Namun, pelaksanaan penegakan hukum masih terbentur berbagai permasalahan, yaitu diantaranya lemahnya penegakan hukum yang disebabkan kurangnya sarana dan prasarana dalam penegakan hukum di daerah, khususnya pelanggaran di jalur penangkapan. Selain itu juga disebabkan rendahnya moral oknum aparat penegak hukum yang menjadi ”mitra” nelayan-nelayan pengguna Pukat. Lebih lanjut, adanya ketidakjelasan dalam penetapan batasan pengertian alat tangkap trawl. Untuk mengatasi masalah modifikasi terhadap alat tangkap trawl, pemerintah mengeluarkan SK Dirjen Perikanan No. IK.340/DJ.10106/97 tentang Petunjuk Pelaksanaan SK Menteri Pertanian No. 503/Kpts/UM/7/1980. Masalah utama dari penggunaan pukat adalah semua ikan baik yang dewasa maupun yang kecil ikut terjaring di dalamnya karena ukuran lubang jalanya sangat kecil jika dibandingkan dengan ukuran lubang jala yang digunakan
13
Universitas Sumatera Utara
oleh nelayan tradisional. Selain itu, penggunaan pukat dapat menimbulkan masalah pada lingkungan. Karena pukat harimau menggunakan alat tangkap berat yang diletakkan di dasar laut, hal itu menyebabkan kehancuran ekosistem laut yaitu kerusakan terumbu karang yang merupakan habitat ikan dan juga merusak rumput laut. Dikutip dari situs Warta Ekonomi (2015), Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengingatkan berbagai pihak bahwa sumber daya perikanan yang terjadi di kawasan perairan Indonesia semakin menurun, sehingga dibutuhkan kebijakan pelestarian berkelanjutan. Menurut Susi, penurunan sumber daya ikan itu juga terjadi akibat merajalelanya "illegal fishing" serta penggunaan alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Dengan demikian, hal tersebut juga membuat daya tangkap dari nelayan tradisional semakin sulit. Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2 / PERMEN-KP / 2015 disebutkan bahwa penggunaan alat penangkapan ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia telah mengakibatkan menurunnya sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan. Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia atau sering disingkat dengan WPP-NRI merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut territorial, zona tambahan, dan zona ekonomi ekslusif Indonesia (ZEEI). Penentuan WPP-NRI yang
14
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya berdasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan perikanan yang terbagi ke dalam 9 WPP NRI. Salah satu wilayah pengelolaan perikanan tersebut adalah Selat Malaka yang meliputi Aceh, Sumatera Utara, dan Riau. Wilayah Pantai Barat Sumatera Utara sendiri terdiri dari 12 kabupaten/kota yang berada di wilayah Pantai Barat yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, Kota Gunung Sitoli, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidempuan, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara. Kota Sibolga adalah salah satu kota di provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini terletak di pantai barat pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli, sekitar ± 350 km dari kota Medan. Kota ini hanya memiliki luas ±10,77 km² dan berpenduduk sekitar 84.481 jiwa.Pada masa Hindia-Belanda kota ini pernah menjadi ibu kota Residentie Tapanuli. Setelah masa kemerdekaan hingga tahun 1998, Sibolga menjadi ibu kota Kabupaten Tapanuli Tengah. Kota Sibolga dipengaruhi oleh letaknya yaitu berada pada daratan pantai, lereng, dan pegunungan. Terletak pada ketinggian berkisar antara 0 - 150 meter dari atas permukaan laut, dengan kemiringan lahan kawasan kota ini bervariasi antara 0-2 % sampai lebih dari 40 %.
15
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kondisi riil di lapangan terlihat jelas bahwa sarana dan prasarana pendukung kegiatan usaha di bidang kelautan dan perikanan yang ada di Kota Sibolga masih kurang, baik dari segi kuantitas, kualitas maupun kapasitasnya. Karena itu, demi untuk memajukan dan mengembangkan sektor kelautan dan perikanan khususnya di Kota Sibolga maka perlu upaya nyata untuk membangun dan mengembangkan sarana dan prasarana pendukungnya seperti Pasar Ikan, Cold storage, Pabrik es, dan lain-lain.
Kota Sibolga di Sumatera Utara sudah sejak dahulu dikenal sebagai pusat perikanan tangkap di pesisir barat Sumatera dimana laut Sumatera bagian barat memiki potensi perikanan tangkap yang besar, lebih besar daripada potensi perikanan tangkap di pesisir timur Sumatera. Dari potensi perikanan tangkap yang besar tersebut terlihat dengan mudah dilihat dari banyaknya kapal-kapal penangkap ikan berbagai ukuran yang bersandar di sepanjang pantai kota Sibolga. Sebagian besar masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan. Masyarakat yang mempunyai mata pencaharian dan berpenghasilan sebagai usaha nelayan merupakan salah satu dari kelompok masyarakat yang melakukan aktivitas usaha dengan mendapatkan penghasilan bersumber dari kegiatan usaha nelayan itu sendiri. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan dan binatang air lainnya. Tingkat kesejahteraan nelayan sangat ditentukan oleh hasil tangkapannya. Banyaknya tangkapan tercermin pula besar pendapatan yang diterima dan pendapatan tersebut sebagian besar untuk keperluan konsumsi keluarga. Dengan demikian tingkat pemenuhan kebutuhan
16
Universitas Sumatera Utara
konsumsi keluarga atau kebutuhan fisik minimum (kfm) sangat ditentukan oleh pendapatan yang diterima. Nelayan melakukan pekerjaan dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan demi kebutuhan hidup. Untuk pelaksanaannya diperlukan beberapa perlengkapan dan dipengaruhi oleh banyak faktor guna mendukung keberhasilan kegiatan. Menurut Salim (1999) faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha nelayan meliputi sektor sosial dan ekonomi yang terdiri dari besarnya modal, jumlah tenaga kerja, pengalaman kerja, teknologi. Dengan demikian pendapatan nelayan berdasarkan besar kecilnya volume tangkapan, masih terdapat beberapa faktor yang lain yang ikut menentukannya yaitu faktor sosial dan ekonomi selain diatas. Pengembangan sektor kelautan dan perikanan berjalan lambat, karena kebijakan pembangunan lebih berorientasi kepada pengembangan kegiatan di daratan dibandingkan di kawasan pesisir dan lautan. Sehingga eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya pesisir dan kelautan terabaikan, dan sebagian besar masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan masih hidup di bawah garis kemiskinan, (Serdiati, 2002). Tangkahan adalah pelabuhan perikanan yang dikelola swasta yang memberikan pelayanan yang lebih dibandingkan pelabuhan perikanan yang dikelola pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat dari tangkahan yang terus beroperasi bahkan tangkahan yang ada di Kota Sibolga semakin lama semakin meningkat, dimana saat ini sudah terdapat 46 unit tangkahan (Zain, 2002).
17
Universitas Sumatera Utara
Keberadaan tangkahan di kota Sibolga mencapai 46 buah yang terdiri dari berbagai ukuran dan termasuk yang sudah tidak beroperasi lagi. Besar kecilnya tangkahan ditentukan oleh jumlah kapal yang dimiliki pemilik tangkahan dan kapal ikan milik orang lain yang yang menjadi langganannya. Salah satu tangkahan yang paling besar dapat melakukan bongkar muat ikan sampai 10 ton per hari dengan melibatkan tenaga kerja sampai 100 orang dengan jumlah kapal yang menjadi anggota tangkahan tersebut mencapai 200 buah dengan ukuran > 30 GT. Tangkahan memberikan pelayanan tidak hanya soal kegiatan bongkar muat dan pengisian BBM serta air bersih, tetapi juga memberikan pelayanan pinjaman untuk biaya melaut, pengolahan dan pemasaran ikan hasil tangkapan, bahkan dapat mengurus perizinan kapal dan lainnya. Berbeda dengan Pelabuhan Perikanan Nusantara yang belum menyediakan fasilitas jasa diluar pengisian BBM, air bersih dan tempat melelang ikan hasil tangkapan. Tangkahan lebih mengikat pemilik kapal penangkap ikan untuk mendaratkan ikannya disitu. Sebenarnya data-data ikan yang didaratkan di tangkahan sangat lengkap, mulai dari jumlah kapal yang bongkar muat ikan setiap harinya, jumlah ikan hasil tangkapan, jenis ikan yang tertangkap, ukuran ikan yang tertangkap sampai harga dari tiap jenis dan ukurannya. Suatu data yang akurat dan komprehensif dari produksi ikan hasil tangkapan dimana data-data tersebut seharusnya dapat membantu meningkatkan akurasi statistik perikanan. Namun sayangnya, akses terhadap data perikanan tangkap di tangkahantangkahan tersebut sulit dilakukan.
18
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut, dikutip dari situs Medan Bisnis (2015) bahwa data yang dimiliki DKP Sibolga, hanya ada sekitar 58 kapal nelayan di atas 10 GT yang bertangkahan di Sibolga. Tetapi jika dihitung total kapal di Sibolga dan Tapteng ada 200-an kapal (di atas 10 GT). Terkait pengawasan pasca terbitnya Permen KP 2/2015, tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (Trawls) dan pukat tarik (Seine Nets) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, DKP Sibolga hanya dapat memantau dari kelengkapan dokumen kapal saat akan berangkat dan pulang melaut. Sedangkan pengawasan di tengah laut tidak sanggup dilakukan. Kepala Dinas Kelautan Perikanan Kota Sibolga juga menjelaskan, batas akhir pemakaian pukat yang dilarang Permen KP 2 tahun 2015 adalah di tahun ini. Artinya, izin kapal pengguna pukat itu tidak akan diberikan lagi sampai masa berlaku pajak tahunannya habis sepanjang tahun ini. Alokasi DAK dari Kementrian KP untuk Kota Sibolga pada tahun 2013 yang lalu totalnya mencapai Rp 3,2 miliar, tahun 2014 sebesar Rp 3,6 miliar dan tahun 2015 ini meningkat sedikit menjadi sekitar Rp 3,9 miliar. DAK tersebut dianggarkan untuk bantuan-bantuan peralatan tangkap dan pelatihan kepada nelayan laut dan air tawar. 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penyusunan penelitian ini
penulis terlebih dahulu merumuskan masalah sebagai berikut: 1.
Apakah modal, tenaga kerja, lama melaut, dan iklim berdampak positif terhadap variabel produksi dan pendapatan nelayan ?
19
Universitas Sumatera Utara
2.
Apakah terdapat perbedaan hasil produksi dan pendapatan nelayan sebelum dan sesudah Permen-KP no 2 Tahun 2015 ?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui variabel modal, tenaga kerja, lama melaut dan iklim berpengaruh positif terhadap variabel produksi dan pendapatan nelayan. 2. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil produksi dan pendapatan nelayan sebelum dan sesudah Permen-KP no 2 Tahun 2015. 1.4
Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmiah dan menjadi sumber referensi bagi pembaca. 2. Sebagai bahan pertimbangan kepada pihak PPN Sibolga dalam menentukan arah kebijakannya kedepan.
20
Universitas Sumatera Utara