BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan Kepolisian Republik Indonesia melalui Detasemen Khusus (Densus) 881 membongkar jaringan teroris berideologi Islam radikal di Indonesia 2 dan menangkap pelaku-pelakunya, menyebabkan Lembaga Pemasyarakatan yang ditangani Direktorat Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM dihadapkan pada permasalahan menampung tahanan dan narapidana tindak terorisme yang semakin bertambah.3 Hal demikian lebih sulit lagi karena sedikit sekali yang dijatuhi hukuman mati,4 sisanya hanya dijatuhi hukuman dalam hitungan tahun yang pada akhirnya akan kembali lagi di tengah masyarakat. Oleh karenanya, program pembinaan terhadap narapidana 5 terorisme menjadi penting sebagai bagian dari upaya counter-terrorism atau perlawanan terhadap terorisme.
1
Kapolri menerbitkan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 menandai terbentuknya Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri. Keberadaan Skep Kapolri tersebut sebagai tindaklanjut dari diterbitkannya UU No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme atau disebut UU Anti Terorisme, yang mempertegas kewenangan Polri sebagai unsur utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, sedangkan TNI dan BIN menjadi unsur pendukung. 2 Jaringan teroris yang menyebabkan munculnya isilah Islam jihadi di Indonesia dalam laporan International Crisis Group (ICG) wilayah Asia Tenggara merupakan daur ulang atau regenerasi dari gerakan NII. Nur Khaliq Ridwan, 2009, Regenerasi NII Membedah Jaringan Islam Jihadi di Indonesia, Erlangga, Jakarta, hlm. 39-48 3 Dalam penanganan terorisme kurun wktu 2010, Detasemen Khusus 88 telah menewaskan 28 orang yang terduga teroris dan sekitar 600 orang ditahan. IAM, “28 Orang Terduga Teroris Tewas”, Kompas, diakses pada tanggal 7 Oktober 2014. 4 Pada 2008, hanya 3 orang pelaku bom Bali (2002) yang dieksekusi mati, yaitu Imam Samudera, Amrozi, dan Mukhlas alias Ali Gufron. Abdul Jalil Salam, 2010, Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam, HAM, dan Demokratisasi Hukum, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, hlm. 389-397 5 Pembinaan narapidana (treatment) merupakan upaya spesifik yang direncanakan untuk melakukan modifi kasi karakteristik psikologi sosial seseorang. Untuk itu, pembinaan narapidana adalah rangkaian kegiatan yang direkayasakan guna mempengaruhi narapidana terlepas dari hal-
2
Tertangkapnya Aman Abdurrahman alias Oman Rahman di Kampung Panteneun, Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, jelas mempertegas terbangunnya struktur organisasi teroris baru di Indonesia yang berawal dari Lembaga Pemasyarakatan. Oman yang menjalani hukuman sebagai narapidana terorisme justru leluasa melakukan koordinasi jaringan terorisme dari dalam penjara dengan adanya sel baru jaringan terorisme yang berlatih militer di Nangroe Aceh Darussalam.6 Kesadaran atas kondisi demikian menjadikan aparatur pemenjaraan nasional segera bertindak membaca momentum dengan mendesain ulang pola pembinaan bagi pelaku terorisme dalam proses deradikalisasi melalui program re-edukasi nilai-nilai kemanusiaan yang didukung dengan program Deradikalisasi7 bagi narapidana terorisme. Hal demikian dipengaruhi adanya narapidana terorisme selama berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, beberapa di antara mereka memungkinkan untuk mempengaruhi para tahanan dan narapidana kriminal biasa agar dapat bergabung ke dalam aksi teror setelah bebas.8 Hal tersebut tentu mendapatkan korelasi tinggi seiring dengan adanya perubahan-perubahan tekanan psikologis yang dihadapi narapidana biasa di dalam penjara. Perubahan drastis yang menjadikan lingkungan semakin menekan bagi narapidana, seperti kehilangan
hal yang mempengaruhinya melakukan tindak pidana. Muh. Khamdan, 2010, Pesantren di Dalam Penjara, Parist, Kudus, hlm. 69 6 NTA/INA, Eks Napi Didalami, Kompas, diakses pada tanggal 7 Oktober 2014 7 Program reintegrasi merupakan pola pembinaan yang menempatkan individu warga binaan sebagai suatu kesatuan hubungan dengan masyarakat dalam proses pemasyarakatan melalui sejumlah tahapan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pasal 14 (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 77) 8 Dalam teori atribusi misalkan, seseorang akan dapat mudah mempengaruhi orang lain jika dapat selalu menonjolkan pada pokok-pokok fikiran yang sangat rasional dan logis untuk menyederhanakan pemrosesan kognitif dengan memberi.reaksi yang sangat banyak kepada stimuli yang menonjol. David O. Sears, 1994, Psikologi Sosial, Jakarta, Erlangga, hlm. 115
3
kebebasan fisik, kehilangan kelayakan hidup normal, kehilangan komunikasi keluarga, hilangnya stimulasi hidup dan terpaan gangguan psikologis akan menuntut mereka untuk mencari kebermaknaan hidup,9
dan para narapidana
teroris tentu dapat memanfaatkan kondisi tersebut. Para tersangka atau narapidana terorisme bukanlah individu yang memiliki tipe kepribadian khusus atau menyandang kelainan jiwa. Kalangan ini justru menampilkan karakteristik kepribadian yang normal, bukan psikopat ataupun psikotik.10 Hal ini menjelaskan bahwa narapidana teroris merupakan individu yang sadar dan mampu mempertanggungjawabkan tindakannya. Oleh karena itu, tingkat radikalisme narapidana terorisme sangat terkait dengan persepsi atas keyakinan atau ideologinya,11 sehingga memiliki peluang untuk dapat dikurangi atau diminimalisasi secara perlahan melalui perlakuan yang manusiawi, yaitu memenuhi hak-haknya,12
memperhatikan harga dirinya, sekaligus menjaga
keluarganya.13 Berbagai perlakuan dengan kekerasan hanya akan menguatkan identitas sosial tertentu yang akan membuat dendam semakin bertambah. 14 Oleh karena itu pada tahun 2005, Indonesia mulai mewacanakan konsep Rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme yang diratifikasi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengesahan ASEAN Convention on Counter Terrorism sebagai upaya memasyarakatkan kembali pelaku terorisme. 9
Toto Tasmara, 2001, Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intellegence), Gema Insani Press, Jakarta, hlm. 143 10 Hal ini setidaknya sebagaimana memahami cara pandang para pelaku tindak terorisme seperti dalam bukunya Imam Samudera, 2004, Aku Melawan Teroris, Jazeera, Jakarta, hlm. 15 11 Ibid, hlm. 24 12 Ibid 13 Ibid, hlm. 38 14 Ibid, hlm. 67
4
Oleh karena adanya latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai “Pelaksanaan Program Rehabilitasi Melalui Proses Deradikalisasi Bagi Pelaku Terorisme Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengesahan ASEAN Convention on Counter Terrorism”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana
pelaksanaan
Program
Rehabilitasi
Melalui
Proses
Deradikalisasi Bagi Pelaku Terorisme Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengesahan ASEAN Convention on Counter Terrorism di Indonesia ? 2. Apa saja kendala dan solusi yang dihadapi dalam pelaksanaan Program Rehabilitasi Melalui Proses Deradikalisasi Bagi Pelaku Terorisme Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengesahan ASEAN Convention on Counter Terrorism ?
C. Tujuan Penelitian Penulisan hukum ini mempunyai dua tujuan, yaitu sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana internasional, yaitu mengetahui dan
5
menganalisis mengenai implementasi, tingkat keberhasilan dan kendala program rehabilitasi melalui proses Deradikalisasi bagi pelaku Terorisme menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengesahan ASEAN Convention on Counter Terrorism dalam upaya pencegahan tindak pidana terorisme 2. Tujuan Subyektif Untuk memperoleh data yang akurat yang dipergunakan dalam penyusunan penulisan hukum sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada
D. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran yang telah penulis lakukan, belum ada penulisan hukum yang membahas Pelaksanaan Program Rehabilitasi Melalui Proses Deradikalisasi Bagi Pelaku Terorisme Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengesahan ASEAN Convention on Counter Terrorism. Sebagai perbandingan, penulis menemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian yang penulis lakukan yaitu, antara lain: 1. Eka Tama Pebrianto, 2010, “Pengaruh Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 Tahun 2001 Terhadap Upaya Kerjasama Internasional Dalam Pemberantasan Terorisme”, Program Sarjana Universitas Gadjah Mada. Penelitian berbentuk skripsi ini memiliki rumusan masalah diantaranya :
6
a. Bagaimana pengaruh Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1373 Tahun 2001 terhadap upaya kerjasama Internasional dalam melakukan pemberantasan Terorisme ? b. Implikasi apa yang timbul setelah dikeluarkannya Resolusi tersebut? Kemudian, Penulis memberikan kesimpulan diantaranya : a. Setelah dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 Tahun 2001, upaya kerjasama Internasional mengalami peningkatan. Kerjasama dituangkan dalam berbagai bentuk seperti pembentukan konvensi Internasional yang baru dan pembuiatan protokol konvensi yang telah ada, serta kerjasama-kerjasama pada tingkat regional dan perjanjian bilateral antar negara. Letak pengaruh resolusi dapat dilihat dalam konsiderans beberapa deklarasi, konvensi Internasional, atau protokol yang ada. b. Implikasi dari dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 Tahun 2001 adalah wacana bagi negara-negara untuk
melakukan
peningkatan
kerjasama
dalam
upaya
pemberantasan Terorisme. Yang paling terlihat adalah wacana “Global War on Terror” yang diprakarsai oleh pemerintah Amerika Serikat. Isi Resolusi dijadikan legitimasi dalam memerangi kelompok Terorisme Internasional Al-Qaeda dan jaringan yang berkaitan dengan organisasi Terorisme tersebut.
7
Pengaruh Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 Tahun 2001 terhadap negara-negara anggota terlihat dengan adanya peraturan-peraturan yang mengatur adanya pertukaran intelijen dan juga negara-negara anggota telah mebuat undang-undang anti-terorisme untuk mematuhi Resolusi. 2. Hery Firmansyah, 2011, “Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia”, Program Sarjana Universitas Gadjah Mada. Penelitian berbentuk skripsi ini memiliki rumusan masalah diantaranya : a. Bagaimana langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah dalam
upaya
penanggulangan terhadap
Tindak Pidana
Terorisme ? b. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala pemerintah dalam hal penanggulangan terhadap tindak pidana terorisme? Kemudian, penulis memberikan kesimpulan diantaranya : a. Penanggulangan terhadap kegiatan terorisme yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan dengan pendekatan preemtif, preventif, dan represif untuk dapat tercapai upaya penegakan hukum dan penegakan politik secara terpadu. Dalam keadaan tertentu, perbuatan terror diperlukan penanggulangan secara konseptual yang persuasive sebagai upaya penyelesaian di luar hukum dan politik bersumber dari kekuatan aksi social. Dalam perang melawan terorisme perlu dilakukan upaya secara terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional, dan secara
8
simultan dilakukan langkah-langkah yang bersifat represif, preventif, preemtif, maupun rehabilitasi. Pengalaman berbagai Negara menerapkan konsep yang mengutamakan tindakan represif
dengan
kekuatan
bersenjata
ataupun
dengan
penegakan hukum secara tegas bagaimanapun tidak akan efektif menghentikan terorisme. Selain langkah represif dan preventif kita harus menyentuh akar terorisme (roots of terrorism)
melalui
langkah-langkah
resosialisasi
dan
reintegrasi para pelaku terorisme ke dalam masyarakat. Yang perlu diingat bahwa kebijakan dan langkah pemerintah untuk menyusun undang-undang tentang pemberantasan terorisme bukan karena tekanan Negara-Negara maju. Undang-Undang tentang
Pemberantasan
Terorisme
didasarkan
pada
3
paradigma sebagai berikut : 1) Melindungi bangsa dan kedaulatan NKRI; 2) Melindungi hak asasi korban dan saksi-saksi; 3) Melindungi hak azasi pelaku Terorisme. Yang harus diingat langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah tidak boleh diskriminatif. Undang-undang tentang Pemberantasan
Terorisme
tidak
ditujukan
pada
suatu
kelompok manapun. Siapapun yang melakukan perbuatan teror akan melihat latar belakang etnis maupun agamanya.
9
b. Kendala
yang
penanggulangan
dihadapi tindak
oleh pidana
pemerintah terorisme
dalam yaitu
hal
adanya
resistensi terhadap peranan intel yang sangat tinggi dan respon pemerintah yang hanya bersifat reaktif sedangkan inisiatif berada ditangan teroris. Berulangnya aksi teroris di Indonesia terutama disebabkan sistem dan kinerja aparat yang lemah, sementara disisi lain, pelaku kejahatan terorisme cukup canggih mengorganisir dan menjalankan modus operandi kejahatannya hal ini dapat dilihat dari lemahnya koordinasi dan rendahnya kapasitas intelijen dan polisi, bukan karena kurangnya kewenangan mereka. Oleh karena itu diperlukan adanya pemeriksaan dan evaluasi kinerja aparat (TNI, POLRI, dan BIN) yang harus dilakukan secara jujur dan terbuka. Dengan ini, belum ada tesis dengan topik bahasan “Pelaksanaan Program Rehabilitasi Melalui Proses Deradikalisasi Bagi Pelaku Terorisme Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengesahan ASEAN Convention on Counter Terrorism” dan Penulis berkesimpulan bahwa penulisan hukum yang akan dibuat oleh Penulis memenuhi kriteria sebagai penulisan hukum yang orisinal.
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara akademis maupun praktis. Adapun kegunaannya sebagai berikut:
10
1. Kegunaan Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan hukum pidana Internasional tentang Pelaksanaan Program Rehabilitasi Melalui Proses Deradikalisasi Bagi Pelaku Terorisme Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengesahan ASEAN Convention on Counter Terrorism. 2. Kegunaan Praktis a) Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya bidang hukum pidana Internasional, serta dapat dipakai sebagai acuan dalam Program Rehabilitasi Melalui Proses Deradikalisasi Bagi Pelaku Terorisme Menurut UndangUndang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengesahan ASEAN Convention on Counter Terrorism. b) Bagi Praktisi, dapat dipakai sebagai pedoman dan sebagai bahan evaluasi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, dapat lebih memperjelas
mengenai
Program
Rehabilitasi
Melalui
Proses
Deradikalisasi Bagi Pelaku Terorisme Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengesahan ASEAN Convention on Counter Terrorism sebagai bagian dari Kebijakan Hukum Pidana. c) Bagi Peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk menambah pengetahuan serta wawasan di bidang hukum tindak pidana terorisme