BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Industri pengolahan kayu yang semakin berkembang menyebabkan ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan bahan baku kayu. Menurut Kementriaan Kehutanan (2014), data realisasi penggunaan bahan baku kayu IPHHK sebesar 64.371.929 m3. Akan tetapi produksi kayu bulat nasional tahun 2013 sebesar 23.227.012 m3 sehingga terjadi defisit kebutuhan kayu sebesar 41.144.917 m3. Salah satu pemasok kayu bulat adalah hutan alam, padahal saat ini kondisi hutan alam yang saat ini terus menurun menyebabkan turunnya kemampuan untuk menyediakan bahan baku kayu. Produksi kayu bulat hutan alam pada tahun 2008 sebanyak 8.058.734 juta m³, sedangkan pada tahun 2012 sebesar 5.342.112 juta m³ (BPS, 2013). Hal ini mendorong industri pengolahan kayu mencari alternatif bahan baku lain salah satunya kayu yang berasal dari hutan rakyat. Data Ditjen RLPS Kementerian Kehutanan (2006) menyebutkan bahwa luas total hutan rakyat di seluruh Indonesia sebesar 1.272.505,61 ha dan meningkat sesuai data Ditjen RLPS (2009) menjadi 3.589.343 ha, dimana 77,98 % atau 2.779.181 ha terdapat di pulau Jawa. Peningkatan juga terjadi pada luas hutan rakyat Jawa Tengah dari tahun 2010 sebesar 329.943 ha menjadi 742.923 ha pada tahun 2012 (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, 2012).
1
Potensi hutan rakyat yang besar tersebut dapat dikembangkan untuk menutupi kekurangan kebutuhan kayu pada industri pengolahan kayu, serta menjadi peluang usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Simon, 2008). Salah satu jenis pohon yang dapat dipilih untuk pengembangan hutan rakyat yaitu jabon. Jabon memiliki beberapa sifat unggul untuk memenuhi kebutuhan kayu rakyat sehingga untuk pengembangnya dapat melalui program hutan rakyat. Tanaman jabon sudah di kenal masyarakat sejak lama, namun popularitasnya kembali menguat karena adanya serangan penyakit yang terjadi pada tanaman sengon. Para petani mencari alternatif tanaman lain yang pertumbuhannya cepat dengan kualitas yang bagus dan tahan terhadap serangan hama penyakit, salah satunya jabon (Mansur dan Tuheteru, 2010). Jabon memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan tanaman keras lainnya diantaranya yaitu cepat tumbuh dengan pertumbuhan diameter batang 10 cm/thn, pemanenan kayu jabon relatif singkat 5-6 tahun (Mulyana, 2010). Jabon merupakan jenis kayu yang mempunyai berat jenis rata-rata 0,42 yang termasuk dalam kelas awet V kelas keras III, kelas kuat III dan mampu menahan lentur 500 - 725 kg/cm2 dan dapat mengantisipasi kuat desak 300 – 425 kg/cm2 (Martawijaya dkk., 1989). Kayu jabon dapat digunakan untuk bahan baku kayu lapis, konstruksi ringan, lantai, pulp dan kertas, langit-langit, kotak, peti, mainan, ukiran, korek api, sumpit dan pensil (Soerianegara dan Lemmens 1993). Hasil pengujian sifat pemesinan menunjukkan bahwa kayu
2
jabon dapat dibentuk, dibuat lubang persegi dan diamplas dengan hasil baik (Martawijaya dkk., 1989). Kualitas kayu hutan rakyat memiliki kecenderungan berbeda dengan hutan alam. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas hasil kayu hutan rakyat tersebut. Salah satu proses penting yang mendukung peningkatan kualitas kayunya adalah dengan pengeringan kayu yang benar. Pengeringan kayu merupakan proses penting yang harus dilalui karena kayu yang baru saja ditebang masih dalam kondisi basah atau segar, sedangkan kayu untuk penggunaannya harus dalam keadaan kering dan sesuai dengan lingkungan, tempat dimana kayu tersebut digunakan. Kayu dengan kandungan air yang sedikit akan menjamin kestabilan dimensi dan terhindar dari serangan agen perusak kayu khususnya jamur (Listyanto, 2011). Pengeringan kayu adalah suatu proses pemindahan air dari dalam kayu oleh penguapan (Vlasov dkk., 1968). Proses pengeringan ini akan berjalan sampai tercapai keseimbangan kadar air kayu dengan udara di sekitarnya (Rietz dan Page, 1971). Proses kunci di dalam pengeringan adalah bagaimana mengatur suhu dan kelembaban di dalam tanur sehingga prosesnya berjalan cepat dengan cacat yang minimal (Listyanto dkk., 2009). Oleh sebab itu, salah satu titik kritis dari proses pengeringan terutama di Indonesia adalah penyusunan skedul pengeringan. Kemungkinan digunakannya suhu dan kelembaban yang tepat menjadikan pengeringan dengan tanur ini berpeluang menghasilkan cacatcacat kayu yang rendah dan proses yang lebih cepat (Simpson, 1999). Oleh
3
karena itu dalam pengeringan dengan tanur ini dibutuhkan pengaturan suhu dan kelembaban yang sering disebut skedul pengeringan. Penyusunan skedul pengeringan dapat dilakukan dengan melakukan trial and error terhadap kayu yang akan dikeringkan. Namun metode ini tentu saja akan menyita banyak waktu dan biaya. Cara yang dianggap paling mudah dan mungkin bisa dengan menyesuaikan sifat dasar kayu dengan skedul suhu dan kelembaban kayu yang sudah ada yang memiliki sifat dasar yang hampir sama. Cara ini biasa dan murah, tetapi ketepatan dan efisiensinya rendah (Listyanto dkk., 2009). Metode Terazawa merupakan salah satu alternatif penentuan skedul pengeringan pada kayu yang lebih efektif karena proses yang dilakukan lebih mudah dengan hasil yang tidak jauh berbeda dengan aplikasinya (Terazawa, 1965). Metode ini menempatkan beberapa determinan seperti suhu awal, depresiasi bola basah awal, perbedaan suhu akhir, klasifikasi cacat seperti retak, honeycombing, dan kolap. Prinsip dari metode ini adalah mengeringkan dengan cepat sampel uji pada suhu 100oC selama 72 jam dan diamati setiap 2 jam sekali untuk melihat cacat-cacat yang terjadi (Terazawa, 1965). Penyusunan skedul pengeringan ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya pola penggergajian dan ketebalan sortimen. Industri dan penjual kayu gergajian sering menggunakan dua pola penggergajian yaitu pola menggergaji kayu tangensial (flat sawn) dan radial (quarter sawn). Menurut Denig dkk (2000), pada proses pengeringan setiap pola penggergajian akan menghasilkan kayu dengan laju pengeringan dan penyusutan yang berbeda.
4
Hal ini dipengaruhi oleh dimensi anisotropik yang berbeda pada ketiga penampang dan arah kayu. Penyusutan papan radial terjadi pelan sehingga cacat permukaanya lebih sedikit dan dimensinya lebih stabil. Sedangkan papan tangensial lebih cepat mengering yang mengakibatkan papan cenderung lebih banyak menghasilkan cacat (Wengert, 2006). Untuk mengetahui hubungan pola penggergajian terhadap proses pengeringan kayu jabon, pada penelitian ini akan disusun skedul pengeringan kayu dengan pola penggergajian tangensial dan radial. Selain pola penggergajian, ketebalan sortimen juga memberikan pengaruh pada penyusunan skedul pengeringan. Menurut Simpson (1991) kecepatan pengeringan semakin menurun seiring dengan peningkatan ketebalan sortimen, kayu yang lebih tebal mudah mengalami cacat dibandingkan kayu yang tipis. Brown dan Bethel (1958) menyatakan bahwa semakin tebal kayu maka lama waktu yang dibutuhkan air untuk bergerak dari dalam kayu sampai permukaan akan semakin lama sehingga proses pengeringan kayu akan berjalan lebih lama, pada keadaan atmosfer yang sama. Selanjutnya perlu diuji sejauh mana perbedaan ketebalan berhubungan dengan penyusunan skedul pengeringan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilaksanakan penelitian dengan judul ” Hubungan Pola Penggergajian dan Variasi Ketebalan Papan Terhadap Penyusunan Skedul Pengeringan Pada Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.). Hasil penelitian akan mengidentifikasi karakteristik pengeringan kayu jabon, menyusun skedul pengeringan dan mengevaluasi
5
hubungan pola penggergajian dan variasi ketebalan papan terhadap skedul pengeringan. Untuk melengkapi informasi. Selain itu juga dicari hubungan skedul pengeringan yang didapat dengan beberapa sifat dasar kayu seperti berat jenis. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: a. Mengetahui karakteristik cacat-cacat pengeringan pada kayu jabon. b. Mengetahui variasi skedul pengeringan pada kayu jabon. c. Mengetahui hubungan pola penggergajian dan variasi ketebalan papan terhadap penyusunan skedul pengeringan kayu jabon. d. Mengetahui hubungan berat jenis terhadap skedul yang terbentuk. C. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang memadai mengenai skedul pengeringan yang tepat untuk kayu jabon dan hubungan antara pola penggergajian dan ketebalan papan terhadap penyusunan skedul pengeringan serta mengetahui hubungan berat jenis terhadap penyusunan skedul pengeringan, sehingga diharapkan mampu memberikan nilai tambah dalam penggunaannya dan meningkatkan kualitas kayu tersebut.
6