BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Karya sastra dalam bentuk novel masih terus tumbuh dan berkembang pesat hingga sekarang. Banyak penulis-penulis baru yang bermunculan. Meskipun demikian, tidak sedikit karya-karya lama yang masih terus dibaca dan dikaji hingga kini, termasuk karya sastra yang berasal dari Prancis yang tersebar di seluruh dunia. Masuknya karya-karya sastra Prancis, khususnya novel, ke berbagai negara membuatnya dikategorikan ke dalam novel mancanegara atau novel asing. Pelabelan tersebut tidak hanya dikarenakan asal negaranya, tetapi juga bahasa asal novel yang berbeda dengan bahasa-bahasa di negara lain. Maka dari itu, dalam linguistik terdapat salah satu cabang ilmu terapan yang disebut terjemahan. Dalam bukunya yang berjudul A Linguistic Theory of Translation (1965:20), J.C. Catford mendefinisikan terjemahan sebagai proses penggantian suatu naskah dari bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa) secara sepadan. Ilmu terjemahan tersebut kemudian semakin berkembang dan diterapkan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya buku hasil terjemahan di toko-toko buku Indonesia yang berasal dari berbagai negara, termasuk Prancis. Novel yang tergolong dalam sastra Prancis klasik merupakan novel berbahasa Prancis yang banyak diterjemahkan karena sastra Prancis klasik memang sangat termasyhur dan diakui kebesarannya di
1
2
seluruh dunia. Selain sastra klasik, beberapa karya sastra Prancis modern juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sastra modern merupakan karya sastra yang lahir pada abad dua puluh, salah satunya adalah karya Antoine de Saint-Exupéry yang berjudul Le Petit Prince (Girard, 1968:11—15). Penulis yang juga berprofesi sebagai pilot ini memiliki nama lengkap Antoine-Marie-Roger de Saint-Exupéry. Ia lahir di Lyon, Prancis, pada 29 Juni 1900. Le Petit Prince merupakan karya keenamnya yang diterbitkan pada tahun 1943. Melalui novel tersebut, Saint-Exupéry bercerita tentang seorang pilot yang jatuh ketika sedang menerbangkan pesawatnya di tengah Gurun Sahara yang jauh dari pemukiman. Pilot tersebut kemudian bertemu dengan Pangeran Cilik yang berasal dari planet lain. Semenjak pertemuan itu, si pilot mendapat banyak pelajaran berharga dari Pangeran Cilik. Melalui tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel tersebut, Saint-Exupéry secara tidak langsung menggambarkan sekaligus mengkritik orang-orang dewasa dengan segala problematika yang tidak mereka sadari. Terdapat beberapa permasalahan yang sering dijumpai pada kegiatan penerjemahan, antara lain pergeseran bentuk, pergeseran kategori kata, dan pergeseran makna (Simatupang, 1999:88—96). Pada penelitian ini, akan dibahas secara khusus mengenai pergeseran makna yang terdapat pada penerjemahan novel Le Petit Prince yang berjudul Pangeran Cilik. Berikut ini merupakan salah satu contoh pergeseran makna yang dimaksud. (1) TSu : - Je fais là un métier terrible. (LPP.XIV.58) TSa : ‘”Pekerjaanku sangat menyiksa.”’ (PC.XIV.61)
3
Pada contoh di atas, terdapat pergeseran makna pada adjektiva terrible. Dalam bahasa Indonesia, adjektiva tersebut dapat diartikan secara literal menjadi ‘mengerikan’ (Arifin dan Soemargono, 1999:1026). Namun, pada TSa adjektiva terrible diterjemahkan menjadi ‘menyiksa’ supaya lebih berterima dalam BSa. Apabila dikategorikan, contoh di atas termasuk dalam pergeseran dari makna generik ke makna spesifik atau pergeseran dari makna umum ke makna khusus. Pergeseran makna dipilih menjadi objek formal pada penelitian ini karena makna merupakan aspek yang sangat penting dan berpengaruh dalam kegiatan penerjemahan yang mengedepankan kesepadanan makna antara BSu dan BSa. Di Indonesia, Le Petit Prince sudah diterjemahkan beberapa kali oleh sejumlah penerjemah, antara lain Pangeran Kecil oleh Wing Kardjo pada tahun 1979 (Penerbit Pustaka Jaya), Pangeran Kecil oleh Hendrik Muntu (Penerbit Jendela) pada tahun 2003, Pangeran Kecil oleh Listiana Srisanti pada tahun 2003 (Penerbit Gramedia Pustaka Utama), Pangeran Cilik oleh Henri Chambert-Loir pada tahun 2011 (Penerbit Gramedia Pustaka Utama), dan Si Pangeran Kecil oleh Kuncoro Wastuwibowo pada tahun 20141. Dari sekian banyak edisi terjemahan tersebut, novel hasil terjemahan Le Petit Prince yang berjudul Pangeran Cilik oleh Henri Chambert-Loir akan digunakan sebagai objek material. Edisi terjemahan yang berjudul Pangeran Cilik dipilih karena Henri Chambert-Loir merupakan penerjemah yang berpengalaman. Ia adalah seorang peneliti di École Française d'Extrême-Orient sejak 1971 yang telah lama
1
Kuncoro Wastuwibowo menerjemahkan Le Petit Prince ke dalam 2 versi bahasa, yaitu ‘Si Pangeran Kecil’ dalam bahasa Indonesia dan ‘Sang Pengeran Ketjil’ dalam bahasa Indonesia ejaan lama (sebelum tahun 1940).
4
mempelajari bahasa dan sastra Indonesia. Banyak buku berbahasa Indonesia yang sudah ia terjemahkan ke bahasa Prancis, dua di antaranya adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan Perjalanan Penganten karya Ajip Rosidi, serta salah satu karya ilmiah Prancis berjudul Le Candi Sewu karya Jacques Dumarsay yang telah ia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia2. Selain itu, tidak seperti beberapa penerjemah lain yang menerjemahkan Le Petit Prince dari versi bahasa Inggris, Henri Chambert-Loir menerjemahkan novel tersebut langsung dari BSu, yaitu bahasa Prancis. Chambert-Loir berusaha menggunakan kalimat-kalimat yang lebih natural dan lugas karena ia ingin menyampaikan maksud dari SaintExupéry dengan sebaik mungkin (Saint-Exupéry, 2011:117—118). Pemilihan novel Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupéry sebagai objek material acuan juga bukan tanpa alasan. Sejak kemunculannya, Le Petit Prince mendapatkan banyak pujian dan telah menginspirasi berbagai kalangan tanpa terbatas umur dan kebangsaan. Hal itu menyebabkan Le Petit Prince masuk ke dalam kategori buku yang paling banyak diterjemahkan. Sejauh ini, Le Petit Prince sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 230 bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia. Meskipun novel tersebut sangat sering dijadikan objek penelitian karena ketenaran dan keunikannya, penelitian mengenai Le Petit Prince dari segi linguistik belum banyak ditemukan, terutama dari segi penerjemahan ke bahasa Indonesia.
2
Sumber: http://www.penerbitkpg.com/penulis/detil/66/Henri-Chambert-Loir (diakses 1 Februari 2016 pukul 19.35)
5
1.2 Rumusan Masalah Dari ulasan latar belakang di atas, dapat diketahui bahwa pada penelitian ini akan menggunakan novel Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupéry dan terjemahannya yang berjudul Pangeran Cilik oleh Henri Chambert-Loir. Unsur yang akan diteliti dari novel tersebut adalah pergeseran makna yang terdapat pada teks terjemahannya. Dengan demikian, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: a) Apa saja jenis pergeseran makna yang terdapat pada penerjemahan novel Le Petit Prince yang berjudul Pangeran Cilik? b) Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pergeseran makna pada penerjemahan novel Le Petit Prince yang berjudul Pangeran Cilik?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memberikan tambahan wawasan di bidang linguistik mengenai pergeseran makna, semantik, dan terjemahan. Berdasarkan pada sumber data dan masalah yang telah dirumuskan, penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai tujuan sebagai berikut: a) Mengungkapkan berbagai jenis pergeseran makna yang terdapat pada penerjemahan novel Le Petit Prince yang berjudul Pangeran Cilik. b) Memaparkan berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran makna pada penerjemahan novel Le Petit Prince yang berjudul Pangeran Cilik.
6
1.4 Tinjauan Pustaka Pergeseran makna pada terjemahan sudah seringkali diteliti oleh berbagai khalayak dari berbagai kalangan. Bentuk laporan penelitian yang dihasilkan pun bermacam-macam, mulai dari skripsi hingga jurnal di media elektronik. Sampai sebelum penelitian ini dimulai, sudah ada beberapa penelitian mengenai pergeseran makna pada terjemahan (atau permasalahan serupa) yang berhasil ditemukan. Pada tahun 2013, Suta Wijaya, seorang mahasiswa Universitas Brawijaya menulis sebuah artikel ilmiah yang berjudul “Analisis Perbandingan Pola Makna Idiomatikal Bahasa Prancis dan Bahasa Indonesia dalam Novel Le Petit Prince dan Pangeran Kecil”. Dalam penelitiannya tersebut, Suta Wijaya menggunakan metode deskriptif komparatif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa idiom lebih banyak digunakan pada Pangeran Kecil daripada idiom pada Le Petit Prince. Perbedaan penelitian Suta Wijaya dengan penelitian ini terletak pada teori yang digunakan. Pada tahun 2013, Arrosy Nilasari menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pergeseran Makna dalam Penerjemahan Komik Ilmu Pengetahuan ChodeungHaksaeng Kkok Arayahal Yaejol 50 Gaji ke '50 Etiquettes'”. Dalam skrpsinya tersebut, Nilasari menganalisis bentuk-bentuk pergeseran makna beserta faktorfaktor yang menyebabkannya. Penelitian yang dilakukan oleh Nilasari tersebut menggunakan teori pergeseran makna terjemahan dan semantik. Hasil penelitiannya menunjukkan hanya ada tiga bentuk dan dua faktor penyebab pergeseran makna pada sumber data yang diambil. Perbedaan skripsi Nilasari
7
dengan penelitian ini adalah pada skripsi tersebut menggunakan sumber data berupa komik dan BSu dalam bahasa Korea. Pada tahun yang sama, Novika Sastriani menyelesaikan skripsi dengan judul “Pergeseran Makna dalam Komik L’Agent 212 dan dalam Terjemahannya Agen 212”. Teori dan permasalahan yang diangkat pun hampir sama dengan skripsi karya Arrosy Nilasari. Satu hal yang membedakan adalah, skripsi ini juga menganalisis tentang akibat yang ditimbulkan dari pergeseran makna pada terjemahan komik. Walaupun keduanya mengangkat topik dan teori yang sama, namun penelitian mereka tetap berbeda dengan penelitian ini karena objek material dan sumber bahasa acuan yang berbeda. Pada tahun 2012, Sanityas Suryobroto menulis skripsi berjudul “Humanisme dalam Novel Le Petit Prince Karya Antoine de Saint-Exupéry” yang mengupas tentang novel Le Petit Prince yang sarat akan nilai-nilai kemanusiaan. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui arti humanism versi Antoine de Saint-Exupéry yang dituangkan dalam karyanya tersebut. Hal yang membedakan dengan penelitian ini yaitu, Suryobroto melakukan penelitian pada bidang ilmu sastra dengan humanisme sebagai teori dasarnya. Selain keempat contoh penelitian mengenai terjemahan di atas, masih banyak penelitian lain yang mengulas hal serupa. Namun hinga kini belum ada yang membahas mengenai pergeseran makna pada penerjemahan novel Le Petit Prince ke dalam berbahasa Indonesia.
8
1.5 Landasan Teori 1.5.1
Terjemahan Pada subbab latar belakang telah dipaparkan definisi J.C. Catford
mengenai terjemahan, yaitu penggantian naskah berbahasa sumber dengan naskah berbahasa sasaran secara sepadan. Dalam bukunya yang berjudul Teori dan Seni Menerjemahkan, Nurachman Hanafi (1986:22) menyebutkan bahwa praktik menerjemahkan merupakan seni menyampaikan pesan. Dapat dikatakan demikian karena tugas seorang penerjemah adalah untuk memahami pesan dalam BSu untuk kemudian disampaikan ke dalam BSa. Butuh keahlian dan kesabaran khusus untuk dapat menerjemahkan dengan baik karena pesan yang dihasilkan harus sepadan dengan pesan dalam BSu, seperti yang diutarakan oleh Eugene A. Nida (1969:12): “Translating consists in producing in the receptor language the closest natural equivalent to the message of the source language, first in meaning and secondly in style.” ‘Menerjemahkan berarti menciptakan padanan yang paling dekat dalam bahasa sasaran terhadap pesan bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua dalam hal gaya bahasa.’ Beberapa pendapat di atas mengandung inti yang sama bahwa terjemahan adalah praktik pemindahan teks dari BSu ke BSa dengan memerhatikan pesan yang terkandung di dalam teks tersebut agar terjemahan yang dihasilkan bisa sepadan.
9
1.5.1.1 Pergeseran dalam Penerjemahan Perbedaan sistem pada setiap bahasa menyebabkan penerjemahan tidak bisa benar-benar utuh dari BSu ke BSa. Pada hasil terjemahan sering ditemui perbedaan susunan kata atau bahkan perbedaan makna dari BSu. Hal inilah yang sering disebut dengan pergeseran dalam penerjemahan. Dalam bukunya yang berjudul Pedoman bagi Penerjemah, Rochayah Machali (2000:63) mengatakan bahwa dalam prosedur penerjemahan terdapat dua jenis pergeseran, yaitu pergeseran bentuk dan pergeseran makna. Sependapat dengan Machali, Maurits Simatupang menyebutkan pada bukunya yang berjudul Pengantar Teori Terjemahan (2000:88—92) bahwa pergeseran dalam terjemahan terdiri dari tiga tataran, yaitu:
1) Pergeseran pada Tataran Bentuk Pada tataran ini, pergeseran penerjemahan terjadi pada bentuk suatu kata. Hal ini disebabkan karena setiap bahasa memiliki aturan masing-masing dalam pembentukan katanya. Pergeseran pada tataran bentuk dibagi menjadi dua, yaitu pergeseran pada tataran morfem dan pergeseran pada tataran sintaksis.
2) Pergeseran Kategori Kata Pergeseran penerjemahan pada tataran ini menekankan pada pergeseran kategori kata yang seringkali berubah sejalan dengan proses penerjemahan. Pergeseran yang dapat terjadi pada tataran ini meliputi pergeseran dari nomina ke adjektiva, pergeseran dari nomina ke verba, dan sebaliknya.
10
3) Pergeseran pada Tataran Semantik Selain pergeseran pada tataran bentuk dan kategori kata, pergeseran pada tataran semantik juga sangat rawan terjadi pada proses penerjemahan. Pergeseran pada tataran ini terjadi karena perbedaan sudut pandang budaya antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Selain itu, penerjemahan setiap kata maupun kalimat dari BSu seringkali tidak dapat diterjemahkan secara utuh dan harfiah ke dalam BSa. Perlu ada berbagai penyesuaian agar hasil terjemahan dapat berterima dalam BSa. Terdapat tiga spesifikasi dari pergeseran pada tataran ini, antara lain pergeseran dari makna generik ke makna spesifik, pergeseran dari makna spesifik ke makna generik, dan pergeseran makna karena perbedaan sudut pandang budaya.
1.5.1.2 Strategi Penerjemahan Strategi penerjemahan dapat juga disebut sebagai teknik penerjemahan. Hal inilah yang digunakan para penerjemah untuk menerjemahkan suatu kata, frasa, klausa, atau bahkan kalimat. Dalam bukunya yang berjudul Translation; Bahasan Teori & Penuntun Praktis Menerjemahkan, Hariyanto dan Suryawinata (200:67) mengategorikan strategi penerjemahan menjadi dua, yaitu strategi struktural dan strategi semantis.
11
1) Strategi Struktural Strategi struktural pada penerjemahan menekankan pada struktur kalimat. Strategi ini wajib dilakukan demi menghasilkan terjemahan yang berterima secara struktural dalam BSa. Tiga strategi dasar yang terkait dengan masalah struktur adalah penambahan, pengurangan, dan transposisi. Pada strategi penambahan, penerjemahan kata-kata dari BSu disesuaikan dengan struktur dalam BSa dengan cara menambahkan unsur-unsur dalam suatu kata atau kalimat. Sebaliknya, strategi pengurangan dilakukan dengan cara mengurangi unsur-unsur yang ada dalam suatu kata atau kalimat. Contohnya seperti frasa bahasa Indonesia ‘saya guru’ yang diterjemahkan menjadi I am a teacher pada bahasa Inggris. Unsur frasa yang bergaris bawah merupakan unsur yang ditambahkan supaya frasa tersebut sesuai dan berterima dalam struktur BSa (Hariyanto dan Suryawinata, 2007:68). Strategi penerjemahan selanjutnya yang terkait dengan struktur adalah transposisi. Strategi ini sedikit berbeda dengan dua strategi sebelumnya karena digunakan untuk menerjemahkan klausa atau kalimat. Transposisi seringkali diterapkan atas alasan gaya bahasa yang lebih sesuai dengan BSa. Strategi ini diaplikasikan dengan cara pemisahan dan penggabungan kalimat, atau mengubah susunan kalimat dalam teks.
2) Strategi Semantis Pada strategi ini, penerjemahan dilakukan dengan mempertimbangkan makna dalam BSu dan BSa. Selain itu, pemilihan strategi yang diaplikasikan pada
12
penerjemahan juga didasarkan pada konteks cerita atau teks pada BSu. Strategi semantis terdiri dari sembilan strategi turunan yang dapat diaplikasikan baik pada kata, frasa, klausa, maupun kalimat. Kesembilan strategi tersebut adalah sebagai berikut.
a) Pungutan Pada strategi ini, penerjemah membawa kata dari BSu ke dalam teks BSa. Strategi pungutan mencakup transliterasi, yaitu kata-kata BSu dipertahankan secara utuh baik bunyi maupun tulisan, dan naturalisasi atau adaptasi, yaitu katakata BSu yang ditulis dan diucapkan sesuai dengan aturan BSa. (2)
BSu : ambition BSa : ‘ambisi’ (Hariyanto dan Suryawinata, 2007:71)
b) Padanan Budaya Pada strategi ini digunakan kata yang khas dalam BSa untuk menerjemahkan kata khasa pada BSu. (3) BSu : ‘Minggu depan Jaksa Agung Andi Ghalib akan berkunjung ke Swiss. BSa : Next week the Attorney General Andi Ghalib will visit Switserland. (Hariyanto dan Suryawinata, 2007:72) c) Padanan Deskriptif dan Analisis Komponensial Pada strategi padanan deskriptif, penerjemah mendeskripsikan makna BSu secara lebih jelas pada BSa. Strategi ini seringkali ditempatkan pada daftar katakata atau glosarium.
13
(4) BSu : Samurai BSa : ‘aristrokrat Jepang pada abad XI sampai XIX yang menjadi pegawai pemerintahan’ (Hariyanto dan Suryawinata, 2007:73)
Sedikit berbeda dengan padanan deskriptif, pada strategi analisis komponensial kata dalam BSu diterjemahkan denngan cara merinci komponenkomponen makna dari kata tersebut. (5) BSu : ‘Gadis itu menari dengan luwesnya.’ BSa : The girl is dancing with great fluidity and grace. (Hariyanto dan Suryawinata, 2007:73) d) Sinonim Pada strategi ini, penerjemah menggunakan padanan kata dalam BSa yang kurang lebih sama dan bersifat umum untuk menerjemahkan BSu. (6) BSu : What a cute baby you’ve got! BSa : ‘Alangkah lucunya bayi Anda!’ (Hariyanto dan Suryawinata, 2007:73) e) Terjemahan Resmi Pada strategi ini digunakan padanan atau terjemahan resmi yang sudah dibakukan dalam buku Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing yang dikeluarkan oleh Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (7) BSu : read-only memory BSa : ‘memori simpan tetap’ (Hariyanto dan Suryawinata, 2007:74)
14
f) Penyusutan Pada prosesnya, strategi penerjemahan ini mengakibatkan adanya penyusutan komponen kata dari BSu. (8) BSu : automobile BSa : ‘mobil’ (Hariyanto dan Suryawinata, 2007:74) g) Perluasan Bertolak belakang dengan penyusutan, pada strategi ini dilakukan perluasan kata saat proses penerjemahannya. (9) BSu : whale BSa : ‘ikan paus’ (Hariyanto dan Suryawinata, 2007:74)
h) Penambahan Strategi penambahan dilakukan untuk memperjelas makna dengan cara mencantumkan informasi tambahan. (10) BSu : The skin, which is hard and scaly, is greyish in color, thus helping to camouflage it from predators when underwater. BSa : ‘Kulitnya, yang keras dan bersisik, berwarna abu-abu. Dengan demikian, kulit ini membantunya berkamuflase, menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan untuk menyelamatka diri dari predator, hewan pemangsa, jika berada di dalam air.’ (Hariyanto dan Suryawinata, 2007:75) i) Penghapusan Pada strategi ini dilakukan penghapusan bagian dari TSu, baik penghapusan kata, klausa, atau kalimat karena unsur tersebut dianggap tidak terlalu berpengaruh.
15
(11) BSu : ‘”Sama dengan raden ayu ibunya,” katanya lirih.’ BSa : “Just like her mother,” she wispered. (Hariyanto dan Suryawinata, 2007:75) j) Modulasi Strategi penerjemahan ini biasa digunakan untuk menerjemahkan frasa, klausa, atau kalimat. Modulasi terdiri dari modulasi wajib yang dilakukan karena pada BSa tidak ditemukan padanan
yang sesuai dan modulasi bebas yang
dilakukan untuk memperjelas makna sekaligus menghasilkan TSa yang luwes dan berterima (Machali, 2000:69—70). Berikut contoh modulasi bebas. (12) BSu : I broke my leg. BSa : ‘Kakiku patah.’ (Hariyanto dan Suryawinata, 2007:76) 1.5.2
Semantik Semantik adalah salah satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari
makna atau arti dari sebuah bahasa (Verhaar, 1996:385). Semantik dibagi menjadi dua, yaitu semantik gramatikal dan semantik leksikal. Semantik gramatikal adalah makna yang muncul akibat adanya proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Sedangkan semantik leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (Chaer, 2009:60—62). Mempelajari semantik berarti mempelajari makna kata yang telah disepakati oleh masyarakat pengguna bahasa. Makna memiliki tiga tingkatan keberadaan, yaitu (1) makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan, (2) makna menjadi isi dari suatu bahasa, dan (3) makna menjadi isi komunikasi yang mampu menghasilkan informasi tertentu (Djajasudarma, 1999:5).
16
Berdasarkan uraian teori yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini akan menggunakan teori semantik dan terjemahan sebagai induknya. Kemudian, teori yang akan diterapkan pada analisis data adalah teori pergeseran dalam penerjemahan yang akan digunakan untuk mengungkapkan jenis-jenis pergeseran makna yang ada di dalam novel terjemahan Le Petit Prince dan strategi penerjemahan yang akan digunakan untuk mengetahui faktor penyebab pergeseran makna yang terjadi. Teori-teori tersebut dipilih karena dapat menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini secara relevan.
1.6 Metode Penelitian dan Analisis Data Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Pada tahap pengumpulan data dilakukan metode simak dengan membaca dan memahami Le Petit Prince dan Pangeran Cilik. Setelah itu, data dalam bahasa Prancis dan bahasa Indonesia dicatat dan dikelompokkan dalam kartu data kemudian diklasifikasikan ke dalam setiap kategori pergeseran makna semantik. Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis untuk mengetahui bentukbentuk pergeseran makna yang terjadi serta faktor penyebabnya. Analisis data menggunakan gabungan metode agih dan padan. Metode agih adalah metode analisis data yang alat penentunya bagian dari bahasa itu sendiri, gunanya adalah untuk meneliti aspek kebahasaan yang terdapat pada data. Sedangkan metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya bukan merupakan bagian
17
dari bahasa tersebut (Sudaryanto, 1993:13—16). Salah satu contoh penerapan metode agih adalah penggunaan tabel komponen makna, sedangkan metode padan berhubungan dengan konteks cerita di dalam novel. Kemudian, tahap terakhir dari metode penelitian ini adalah pemaparan hasil penelitian dalam bentuk tugas akhir atau skripsi.
1.7 Sistematika Penyajian Penelitian ini tersaji dalam tiga bab yang terdiri dari: penyampaian latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian yang akan dipaparkan pada bab I. Selanjutnya pada bab II akan mengupas teori dan analisis pergeseran makna beserta faktor penyebabnya terhadap sumber data yang sudah dipilih. Bab III akan memaparkan hasil dan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan.