BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia di dalam perjalanan hidupnya pasti akan mengalami peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah kejadian, keadaan atau perbuatan orang yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum. Termasuk kejadian adalah kelahiran atau kematian, yang merupakan keadaan misalnya umur, menyebabkan seseorang memperoleh kedewasaan5. Perbuatan hukum adalah perbuatan subyek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subyek hukum. Perbuatan hukum digolongkan menjadi 2 (dua) macam yakni perbuatan hukum sepihak dan perbuatan hukum ganda. Suatu perbuatan hukum sepihak hanya memerlukan kehendak dan pernyataan kehendak untuk menimbulkan akibat hukum dari satu subyek hukum saja. Dalam perbuatan hukum sepihak yang murni tidak perlu ada pihak yang menerima kehendak dan pernyataan kehendak secara langsung, misalnya dalam hibah wasiat. Ada pula perbuatan hukum sepihak yang memerlukan persetujuan pihak yang menerima pernyataan kehendak, misalnya hibah. Perbuatan hukum ganda memerlukan kehendak dan pernyataan kehendak dari sekurang-kurangnya dua subyek
5
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty., hlm.50.
1
2
hukum yang ditujukan kepada akibat hukum yang sama, misalnya perjanjian dan pendirian perseroan terbatas6. Peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat membawa seseorang dapat melakukan perbuatan hukum, misalnya pada waktu seseorang dilahirkan merupakan peristiwa hukum, semenjak itu akan timbul sebuah tugas baru yaitu sebagai pengemban hak dan kewajiban. Setelah dewasa, ia dianggap cakap melakukan perbuatan hukum kemudian melakukan perkawinan yang menyebabkan perubahan status hukumnya dalam masyarakat. Mencapai batas usia tertentu, manusia akan mengalami peristiwa hukum yang sangat penting yaitu saat meninggalkan dunia sehingga berakhirlah segala perbuatan hukum yang dapat dilakukan. Meninggalnya seseorang tidak menyebabkan segala permasalahan selesai begitu saja namun merupakan awal persoalan baru diantara para ahli waris. Perbuatan hukum yang pernah dilakukan pewaris semasa hidupnya membawa dampak bagi para ahli waris yang ditinggalkan terhadap segala harta benda pewaris baik aktiva maupun pasiva. Menurut Mr. Pitlo sebagaimana yang dikutip oleh Ali Afandi menguraikan pandangannya tentang hukum waris adalah hukum kebendaan, yaitu: Karena ahli waris mempunyai suatu hak yang tidak dipunyai oleh pewaris yaitu hak waris. Jadi hak waris itu suatu hak yang berdiri sendiri dan karena harta warisan itu merupakan barang berdiri sendiri. Terhadap pandangannya diatas sebagaimana yang tercantum dalam pasal 833 KUHPerdata bahwa ahli waris dengan sendirinya memperoleh segala hak dan
6
Ibid.,hlm.51
3
segala piutang dari pewaris dan pada pasal 834 KUHPerdata disebutkan bahwa ahli waris dapat mengajukan tuntutan terhadap siapa saja yang melanggar hak warisnya7. Pelaksanaan pembagian harta benda pewaris akan menjadi mudah apabila sebelumnya telah ada kesepakatan pembagian diantara ahli waris, baik pembagian yang terjadi sebelum pewaris meninggal dunia maupun setelah pewaris meninggal dunia. Harta warisan yang ditinggalkan pewaris dapat dimiliki oleh ahli warisnya setelah dikurangi utang serta beban lain baru kemudian dilakukan peralihan atas haknya. Peralihan atas hak terhadap harta benda yang dimiliki oleh pewaris biasa terjadi setelah pewaris meninggal dunia namun peralihan ini dapat terjadi sebelum pewaris meninggal dunia yaitu dengan pelaksanaan hibah (schenking). Pengertian hibah sesuai dengan Pasal 1666 KUHPerdata adalah suatu persetujuan dengan mana si penghibah diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Peralihan hak dari pemberi ke penerima hibah berlangsung seketika itu juga di waktu hidupnya dan akan menjadi batal kalau penghibah telah meninggal dunia sebelum hibah diberikan kepada penerima. Berbeda dengan peralihan hak milik atas harta kekayaan lainnya, dalam hibah tidak ada unsur kontraprestasi. Pemberi hibah menyerahkan hak miliknya atas sebagian atau seluruh harta kekayaannya
7
Ali Afandi, 1997, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Rineka Cipta., hlm. 10.
4
kepada pihak lain tanpa ada imbalan apa apa dari penerima hibah8. Perbuatan hukum hibah harus dilakukan para pihak di hadapan Pejabat yang berwenang agar dipenuhi syarat terang dalam pembuatan aktanya. Peralihan hak hak atas tanah sangat erat kaitannya dengan profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), karena dalam pemindahan hak atas tanah melalui jual beli, hibah, pemisahan hak bersama dan yang lainnya untuk memperoleh kepastian hukum atas bidang tanah memerlukan perangkat hukum yang tertulis, lengkap, jelas dan dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Hal tersebut dapat tercapai melalui pendaftaran tanah9. Kewenangan pembuatan akta hibah oleh PPAT didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Perbuatan hukum sebagaiman dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 diatas adalah sebagai berikut:
8
a.
Jual beli;
b.
Tukar-menukar;
Anisitus Amanat, 2001, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal Pasal Hukum Perdata BW (Edisi Revisi), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.,hlm.70. 9 Sangsun, 2008, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Jakarta: Visimedia.,hlm.10.
5
c.
Hibah;
d.
Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e.
Pembagian hak bersama;
f.
Pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g.
Pemberian Hak Tanggungan;
h.
Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan Prinsip yang harus dilakukan dalam pembuatan akta PPAT dalam
rangka melaksanakan tugas pembuatan akta otentik atas 8 (delapan) jenis perbuatan-perbuatan hukum yang merupakan bagian daripada kegiatan pendaftaran tanah, di dalam ketentuan Pasal 54 Peraturan KBPN Nomor 1 Tahun 2006 ini menentukan kewajiban yang harus dilakukan PPAT pada saat pembuatan akta yang wajib harus dipenuhi oleh PPAT: 1.
Sebelum pembuatan akta atas 8 jenis perbuatan hukum, PPAT wajib melakukan pengecekan/ pemeriksaan keabsahan sertifikat dan catatan lain pada kantor pertanahan setempat dan menjelaskan maksud dan tujuannya.
2.
Dalam pembuatan akta tersebut tidak diperbolehkan memuat kata-kata “sesuai atau menurut keterangan para pihak” kecuali didukung oleh data formil.
3.
PPAT berwenang menolak pembuatan akta yang tidak didasari data formil.
4.
PPAT tidak diperbolehkan membuat akta atas 8 jenis perbuatan hukum dimaksud atas sebagian bidang tanah yang sudah terdaftar atau tanah milik adat, sebelum diukur oleh Kantor Pertanahan dan diberikan Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB)
6
5.
Dalam pembuatan akta, PPAT wajib mencantumkan NIB dan atau nomor hak atas tanah, nomor Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan keadaan lapangan. Kedudukan PPAT sebagai pejabat pembuat akta tanah hanya dapat
membuat 8 (delapan) jenis akta seperti yang telah disebut diatas dan dilakukan dalam ruang lingkup wilayah kerjanya. Akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik. Hal ini tercantum pada Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006. Pembuatan akta otentik ini bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang undangan tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan10. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut11. Akta otentik merupakan alat bukti mengikat yang berarti kebenaran dari hal hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya, sedangkan akta di bawah tangan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang orang yang
10
Abdul Ghofur Ansori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, Yogyakarta: UII Press., hlm.15. 11 Pasal 165 HIR (Pasal 285 Rbg dan Pasal 1870 KUHPerdata)
7
mendapatkan hak darinya hanya apabila tanda tangan dalam akta dibawah tangan tersebut diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai. Namun dalam kenyataannya di masyarakat terdapat akta otentik yang dibuat oleh PPAT dibatalkan dengan putusan pengadilan. Pada tingkat pertama pihak lawan yang berkedudukan sebagai penggugat dapat membuktikan kebenaran sebaliknya dari apa yang tercantum dalam akta otentik tersebut sehingga akta dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh hakim. Akta otentik yang dibuat oleh PPAT dianggap cacat hukum karena pihak lawan, Wagiyah yang mengaku sebagai ahli waris dari Almarhum Bapak Wongsodiharjo alias Suraji tidak mendapatkan bagian harta warisan sama sekali. Harta peninggalan pewaris itu malah dihibahkan seluruhnya kepada tetangganya, Sudi Harjono. Inilah yang membuat ahli waris tidak dapat menerima keputusan dari pewaris sehingga melakukan gugatan ke pengadilan. Gugatan tersebut akhirnya diterima hakim dengan menyatakan bahwa akta otentik yang dibuat oleh PPAT tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan penerima hibah, Sudi Harjono hanya menerima 1/3 bagian saja. Sebaliknya di tingkat banding, majelis hakim membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dengan alasan tidak dapat diterimanya gugatan Penggugat. Penggugat yang pada pengadilan tingkat pertama dapat membuktikan kebenarannya dan akhirnya memperoleh 2/3 bagian justru tidak mendapat bagian apapun. Inilah yang membuat penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih dalam terhadap dasar pertimbangan hakim memutuskan pembatalan akta hibah yang dibuat oleh PPAT di dalam penulisan tesis ini.
8
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan tersebut diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Apa yang menjadi dasar pertimbangan putusan hakim pengadilan tingkat pertama menyatakan bahwa akta otentik yang dibuat PPAT tidak mempunyai kekuatan mengikat dalam perkara No. 66/Pdt.G/2007/PN. Sleman?
2.
Apa yang menjadi dasar pertimbangan putusan hakim pengadilan tingkat banding menyatakan tidak dapat diterima seluruh gugatan pemohon dan membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dalam perkara No. 44/ Pdt.G/ 2008/ PT. Yogyakarta?
C. Keaslian Penelitan Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan fakultas hukum, di perpustakaan pasca sarjana UGM dan media lainnya diketahui bahwa terdapat penelitian yang membahas mengenai pembatalan akta otentik yang dibuat oleh Notaris/PPAT dengan judul sebagai berikut: 1.
Akibat Hukum Terhadap Pembatalan Akta Jual Beli Sebagai Akta Otentik Di Pengadilan Negeri Yogyakarta (Studi Kasus Perkara Perdata No.78/
9
Pdt.G/ 1995/ PN Yk). Tesis ini disusun oleh Sutini dengan pokok permasalahan12: a.
Dasar pertimbangan hakim pengadilan negeri mengabulkan seluruh gugatan dalam perkara perdata No. 78/Pdt.G/1995/ PN YK
b.
Bagaimana akibat hukum yang timbul adanya pembatalan akta jual beli?
Kesimpulan: a.
Dengan dibatalkannya akta jual beli tersebut tidak menyebabkan perbuatan hukum jual beli ikut dibatalkan dan Putusan hakim adalah membatalkan akta jual beli nomor : 44/-/1988 batal demi hukum yaitu dengan mengembalikan hak atas tanah kembali ke keadaan semula, karena berdasarkan surat kuasa yang tidak sah dan bertolak pada asas nemo plus juris yaitu memberi perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah.
b.
Akibat hukum bagi BPN dengan pembatalan akta adalah berupa saksi administrasi dengan memproses kembali tanah sengketa apabila telah mempunyai kekuatn hukum yang tetap. BPN seharusnya tidak hanya berkedudukan sebagai saksi tapi pihak yang ikut bertanggung jawab karena kurang teliti dalam penerimaan dokumen. PPAT harusnya menolak untuk membuat akta jika salah satu pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak tentang pemindahan hak.
12
Sutini, 2008, Akibat Hukum Terhadap Pembatalan Akta Jual Beli Sebagai Akta Otentik Di Pengadilan Negeri Yogyakarta (Studi Kasus Perkara Perdata No 78/Pdt.G/1995/PN Yk), Program Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
10
2.
Tinjauan Yuridis Putusan Hakim Terhadap Pembatalan Akta Jual Beli Atas Dasar Surat Perjanjian Hutang Di Pengadilan Negeri Sleman. Tesis ini disusun oleh Miryani dengan pokok permasalahan13: a. Apakah
alasan
sebagaimana
penolakan termuat
hakim
dalam
Pengadilan Putusan
Negeri Perkara
Sleman Perdata
No.118/Pdt.G/2007/PN.Sleman telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku? b. Bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan karena pembatalan akta jual beli terhadap pihak pihak yang berkepentingan? Kesimpulan: a. Hakim menolakan gugatan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan alasan surat perjanjian hutang sebagai dasar pembuatan akta jual beli yang diterima majelis hakim dianggap tidak sah dan batal demi hukum. Sertifikat otomatis lumpuh dan tidak mempunyai kekuatan hukum. b. Akibat hukum yang timbul terhadap BPN dan PPAT hanya yuridis administratif saja sedangkan para pihak yang terbukti bersalah dikenakan sanksi perdata berupa ganti rugi dan ancaman hukum pidana pemalsuan surat. 3.
Analisis Putusan Nomor 42/Pdt.G/2005/PN-YK Tentang Akta PPAT Yang Cacat Hukum Oleh Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta. Tesis ini
13
Miryani, 2010, Tinjauan Yuridis Putusan Hakim Terhadap Pembatalan Akta Jual Beli Atas Dasar Surat Perjanjian Hutang Di Pengadilan Negeri Sleman, Program Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
11
disusun oleh Tasrif. Dengan pokok permasalahan dalam penelitian tersebut14: a. Apakah dasar pertimbangan hakim membatalkan akta hibah Nomor 92 Tahun 1995 dalam perkara Nomor 42/PDT.G/2005/PN-YK? b. Apa akibat hukum yang ditimbulkan terhadap pembatalan akta hibah tersebut? Kesimpulan: a.
Pertimbangan hakim di dalam membatalkan akta hibah Nomor 92 Tahun 1995 dalam perkara Nomor 42/PDT.G/2005/PN-YK adalah berdasarkan pertimbangan faktor hukum tertulis dan hukum adat serta kepatutan dalam pergaulan masyarakat. Tergugat bukanlah ahli waris yang sah menurut garis keturunan kesamping dan hibah atas obyek sengketa dilakukan secara tidak wajar.
b.
Akibat hukum terhadap putusan hakim dinyatakan batal demi hukum dan dianggap hibah tidak pernah terjadi. Persamaan dalam penelitian ini adalah menganalisis pembatalan akta
PPAT oleh hakim pengadilan negeri. Sedangkan perbedaan dengan penelitian penelitian tersebut di atas, yaitu lokasinya di Pengadilan Negeri Sleman dan Pengadilan Tinggi Yogyakarta serta dalam jenis akta yang sama tetapi putusan dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.
14
Tasrif, 2010, Analisis Putusan No.42/pdt.G/2005/PN-YK Tentang Akta PPAT Yang Cacat Hukum Oleh Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta, Program Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
12
D. Manfaat Penelitian 1.
Diharapkan mampu menambah perbendaharaan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya.
2.
Diharapkan para pihak yang berkepentingan dalam pembuatan akta lebih berhati hati.
E. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini: 1.
Untuk mengetahui yang menjadi dasar pertimbangan putusan hakim pengadilan tingkat pertama menyatakan bahwa akta otentik yang dibuat PPAT tidak mempunyai kekuatan mengikat dalam perkara No. 66/ Pdt.G/ 2007/ PN. Sleman.
2.
Untuk mengetahui yang menjadi dasar pertimbangan putusan hakim pengadilan tingkat banding menyatakan tidak dapat diterima seluruh gugatan pemohon dan membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dalam perkara No. 44/ Pdt.G/ 2008/ PT. Yogyakarta.