1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perbuatan hukum pada prinsipnya dapat dilakukan bebas bentuk. Pada prinsipnya perjanjian terbentuk secara konsensuil, bukan formil. Bagi suatu perbuatan hukum satu-satunya yang dipersyaratkan ialah adanya kehendak yang tertuju pada suatu akibat hukum tertentu, yakni sebagaimana terejawantahkan dalam suatu pernyataan. Semakin penting suatu perbuatan hukum dan semakin banyak pihak ketiga yang terkait pada perbuatan hukum tersebut, semakin besar tuntutan sifat terbukanya bagi umum. Di sini bentuk akta, baik dalam bentuk akta Notaris maupun di bawah tangan merupakan syarat konstitutif untuk perbuatan hukum tersebut. Dengan demikian, akta tersebut merupakan syarat mutlak untuk adanya perbuatan hukum tersebut. Dasar pemikiran diwajibkannya perbuatan hukum dilakukan dalam bentuk tertentu adalah sebagai perlindungan pihak lemah terhadap dirinya sendiri dan terhadap pihak lawan (karena kedudukan tidak seimbang). Bagi perjanjian yang digolongkan pada perjanjian formil, seperti hibah, jual beli benda tetap, pembebanan jaminan fidusia, dan pendirian perseroan terbatas mensyaratkan adanya bentuk tertentu, yaitu akta Notaris atau akta otentik sehingga akta di sini berfungsi sebagai salah satu unsur perjanjian yaitu syarat mutlak untuk
1
Universitas Sumatera Utara
2
adanya perjanjian tersebut. Tanpa adanya akta yang disyaratkan menyebabkan tidak mempunyai akibat hukum yang dalam konteks juridis dogmatis adalah nonexistent.1 Lembaga Notaris timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia yang menghendaki adanya alat bukti tertulis baginya. Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada pihak yang membutuhkan akta jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain.2 Notaris selain merupakan pejabat umum yang ditunjuk oleh undang-undang dalam membuat akta otentik sekaligus juga merupakan perpanjangan tangan Pemerintah. Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang di buatnya, yakni tanggung jawab hukum dan tanggung jawab moral. 1
Dr. Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, Hal. 375. 2 Arinia Vitanti Achiral, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Yang Dibatalkan Oleh Pengadilan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 1440 K/Pdt/1996 tanggal 30 Juni 1996), Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, http : // lontar.cs.ui.ac.id/gateway/file?file=digital/85658-T 16344a.pdf, tanggal 24 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
3
Notaris merupakan salah satu profesi yang kepadanya dituntut suatu tanggung jawab untuk membuat akta otentik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Tanggung jawab melekat pada diri Notaris mulai dari Notaris diambil sumpahnya atau janjinya sampai dengan Notaris pensiun pada usia yang telah ditentukan oleh Peraturan Jabatan Notaris (Stb. 1860-3) sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004. Dalam melaksanakan tugasnya, Notaris tunduk serta terikat dengan aturanaturan yang ada yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan peraturan hukum lainnya yang berlaku umum. Keberadaan Notaris sebagai pejabat umum yang bertugas untuk membuat akta-akta dalam setiap hubungan hukum perdata dibutuhkan masyarakat. Akta yang dibuat Notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan agar tercapai sifat otentik dari akta itu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek, dan adanya kausa yang halal, misalnya mencantumkan identitas para pihak, membuat isi perjanjian yang dikehendaki para pihak, menandatangani akta dan segalanya. Sebelum ditandatangani, akta terlebih dahulu dibacakan kepada penghadap dan saksisaksi yang dilakukan oleh Notaris yang membuat akta tersebut. Pembacaan akta tidak dapat diwakili oleh orang lain atau didelegasikan pembacaan akta tersebut kepada pegawai kantor Notaris melainkan harus dilakukan oleh Notaris sendiri. Tujuan
Universitas Sumatera Utara
4
pembacaan akta ini adalah agar para pihak saling mengetahui isi dari akta tersebut yang mana isi dari akta itu merupakan kehendak para pihak yang membuat perjanjian, pembacaan akta ini juga dilakukan agar pihak yang satu tidak merasa dirugikan apabila terdapat keterangan serta bunyi akta yang memberatkan atau merugikan pihak lain.3 Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuatnya ternyata di belakang hari mengandung cacat hukum maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris atau kesalahan para pihak yang tidak memberikan dokumen atau keterangan yang sebenarnya dalam pembuatan akta tersebut. Semua kegiatan yang dilakukan oleh Notaris khususnya dalam membuat akta akan selalu dimintakan pertanggungjawaban. Pengenaan sanksi terhadap Notaris bergantung pada besarnya kesalahan yang dibuat Notaris. Sanksi yang dapat dikenakan kepada Notaris, misalnya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 39 dan Pasal 40 UUJN yang berakibat akta yang dibuat oleh Notaris tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan akibat lainnya adalah Notaris yang bersangkutan berkewajiban untuk membayar biaya ganti kerugian kepada yang berkepentingan.
3
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan ke-5, Erlangga, Jakarta, 1999,
hal. 201.
Universitas Sumatera Utara
5
Disadari atau tidak jika akta yang dibuat oleh Notaris dipersengketakan oleh para pihak, maka tidak menutup kemungkinan Notaris diposisikan pada posisi yang tidak menguntungkan. Apabila akibat kelalaian atau kesalahan Notaris dalam membuat akta dapat dibuktikan
maka
kepada
Notaris
yang
bersangkutan
dapat
dimintakan
pertanggungjawaban baik secara pidana (Pasal 66 UUJN) maupun perdata (Pasal 84 UUJN). Oleh karena itu guna melindungi dirinya, sikap kewaspadaan dan kehatihatian sangat dituntut dari seorang Notaris. Namun demikian, dalam prakteknya tidak sedikit Notaris yang mengalami masalah sehubungan dengan akta yang telah dibuatnya dinyatakan batal demi hukum oleh putusan pengadilan sebagai akibat ditemukannya cacat hukum dalam pembuatannya misalnya ternyata dokumen yang diberikan salah satu pihak tidak benar. Sebagai contoh seperti apa yang dialami oleh Notaris San Smith, SH yang terkait kasus pidana di Pengadilan Negeri Medan sebagaimana terdaftar dengan nomor perkara 3036/Pid.B/2009/PN.Mdn dan Notaris Djaidir, SH yang terkait kasus perdata di Pengadilan Negeri Medan sebagaimana terdaftar dengan nomor perkara 297/Pdt.G/2009/PN.Mdn. Kelalaian Notaris akibat ketidakhati-hatian Notaris bukanlah merupakan sebab utama pembatalan akta Notaris tersebut melalui putusan pengadilan. Selain kesalahan dan kelalaian Notaris, pembatalan akta Notaris juga dapat disebabkan kesalahan dan kelalaian kedua belah pihak maupun salah satu pihak mengakibatkan adanya atau timbulnya gugatan dari salah satu pihak dalam akta.
Universitas Sumatera Utara
6
Di dalam Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diatur secara khusus akibat pelanggaran yang dilakukan Notaris terhadap ketentuan-ketentuan tertentu. Akibat pelanggaran tersebut dapat menyebabkan akta Notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, tetapi dapat pula suatu akta menjadi batal demi hukum. Adalah sangat penting untuk mengetahui bahwa pelanggaranpelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris berkaitan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52. Istilah batal demi hukum (nietig) merupakan istilah yang biasa dipergunakan untuk menilai suatu perjanjian jika tidak memenuhi syarat objektif, yaitu suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp) dan sebab yang tidak dilarang (een geoorloofde oorzaak), dan istilah dapat dibatalkan jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toetsemming van degenen die zich verbinden) dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene verbindtenis aan te gaan).4 Pasal 1333 KUHPerdata menegaskan suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya yang di kemudian hari jumlah (barang) tersebut dapat ditentukan atau dihitung. Ketentuan Pasal 1333
4
Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
7
KUHPerdata ini sebagai bentuk perjanjian mempunyai hal yang ditentukan. Mengenai syarat suatu hal tertentu ini, dalam Pasal 1335 KUHPerdata ditegaskan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan. Tetapi menurut Pasal 1336 KUHPerdata, bahwa jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun jika ada sesuatu sebab lain daripada yang dinyatakan persetujuannya, namun demikian adalah sah. Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata).5
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana suatu akta Notaris dapat menjadi batal oleh suatu putusan Pengadilan? 2. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta yang menjadi batal demi hukum oleh suatu putusan Pengadilan ? 3. Bagaimana pandangan badan peradilan khususnya Pengadilan Negeri Medan dalam pertimbangannya dalam membatalkan akta Notaris ?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
5
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
8
1. Untuk mengetahui suatu akta Notaris dapat menjadi batal oleh suatu putusan Pengadilan. 2. Untuk mengetahui tanggung jawab Notaris terhadap akta yang menjadi batal demi hukum oleh suatu putusan Pengadilan. 3. Untuk mengetahui pandangan badan peradilan khususnya Pengadilan Negeri Medan dalam membatalkan akta Notaris.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu : 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan masukan untuk penambahan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum kenotariatan, yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu hukum bidang kenotariatan pada khususnya yaitu mengenai pembatalan akta Notaris pada Pengadilan Negeri Medan. 2. Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat, aparat pemerintah yang terkait dengan pembatalan akta Notaris, aparat penegak hukum yang berwenang secara hukum dalam menangani masalah pembatalan akta
Universitas Sumatera Utara
9
Notaris yang terjadi secara umum di seluruh Pengadilan Negeri di Indonesia maupun secara khusus di wilayah Pengadilan Negeri Medan.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di perpustakaan dan tata usaha Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, khususnya pada program studi Magister Kenotariatan bahwa penelitian dengan judul “ Analisis Yuridis terhadap Pembatalan Akta Notaris Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan ” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini adalah asli, dan secara akademis dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah akta Notaris yang dibatalkan, namun secara substansi pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan pembatalan akta Notaris yang pernah dilakukan adalah : 1.
Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat Dan Berindikasi Perbuatan Pidana, oleh : Agustining (087011001). Permasalahan : a) Faktor apakah yang menyebabkan Notaris diperlukan kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana ? b) Bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum terhadap akta otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana ?
Universitas Sumatera Utara
10
c) Bagaimana fungsi dan peranan Majelis Pengawas Daerah terhadap pemanggilan Notaris pada pemeriksaan perkara pidana ? 2.
Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan), oleh : Yusnani (057011100). Permasalahan : a) Bagaimana pertanggungjawaban Notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu ? b) Bagaimana sanksi yang diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik ? c) Bagaimana akibat hukumnya terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu ?
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Konsep teori menurut M. Solly Lubis ialah : “ Kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti ”.6
6
M. Solly Lubis (I), Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.80.
Universitas Sumatera Utara
11
Pengertian teori itu sendiri adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dengan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan atas suatu gejala. Jadi teori adalah seperangkat proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.7 Sedangkan fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 8 Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.9 Lalu lintas hukum dalam kehidupan bermasyarakat menimbulkan suatu tuntutan akan adanya kepastian hubungan-hubungan antar subjek hukum, terlebih pada masyarakat yang sedang membangun. Keberadaan Notaris senantiasa diperlukan 7 Maria S.W. Sumardjono, Pedoman, Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989, hal. 12-13 dan Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia, Jakarta, 1989, hal. 19. 8 M. Solly Lubis (I), Op Cit, hal. 17. 9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
12
masyarakat yang memerlukan jasanya di bidang hukum. Notaris sebagai pejabat umum harus dapat selalu mengikuti perkembangan hukum sehingga dalam memberikan jasanya kepada masyarakat, Notaris dapat membantu memberikan jalan keluar yang dibenarkan oleh hukum kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya. Teori hukum yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah teori tentang tanggung jawab hukum oleh Hans Kelsen. Satu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subjek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.10 Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara tanggung jawab Notaris yang berkaitan dengan kewenangan Notaris berdasarkan UUJN yang berada dalam bidang hukum perdata. Kewenangan ini salah satunya adalah menciptakan alat bukti yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak,
kemudian
menjadi
suatu
delik
atau
perbuatan
yang
harus
dipertanggungjawabkan secara pidana.11 Profesi Notaris merupakan suatu pekerjaan dengan keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan umum dan inti tugas Notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik 10
Hans Kelsen ( Alih Bahasa oleh Somardi), General Theory of Law & State ), Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Jakarta, BEE Media Indonesia, 2007, hal. 81, dikutip dari Agustining, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat Dan Berindikasi Perbuatan Pidana, Tesis, Fakultas Pascasarjana Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hal. 36. 11 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
13
hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa Notaris. Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1. Memiliki integritas moral yang mantap; 2. Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri; 3. Sadar akan batas-batas kewenangannya; 4. Tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.12 Jabatan yang dipangku Notaris adalah jabatan kepercayaan dan justru oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya. Sebagai seorang kepercayaan,
Notaris
berkewajiban
untuk
merahasiakan
semua
apa
yang
diberitahukan kepadanya selaku Notaris.13 Kewajiban merahasiakan dapat dilakukan dengan upaya penuntutan hak ingkar, yang merupakan pengecualian terhadap ketentuan dalam Pasal 1909 KUHPerdata bahwa setiap orang yang dipanggil sebagai saksi wajib memberikan kesaksian di muka pengadilan. Selain itu juga, Notaris dalam melaksanakan jabatannya dituntut untuk dapat memenuhi dan mentaati ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam UUJN. Akta otentik yang dibuat oleh / di hadapan Notaris diharapkan mampu menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Untuk mencapai tujuan tersebut
12
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2003, hal.
13
G.H.S. Lumban Tobing, Op Cit, hal. 117.
93.
Universitas Sumatera Utara
14
diperlukan suatu pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris, agar Notaris tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran yang ditentukan dalam UUJN. Pengawasan terhadap Notaris berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UUJN dilakukan oleh Menteri, untuk selanjutnya dibentuk suatu Majelis Pengawas. Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan
kewajiban untuk
melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.02.PR.08.10
Tahun
2004
tentang
Tata
Cara
Pengangkatan
Anggota,
Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawasan Notaris. Pengawasan meliputi perilaku dan pelaksanaan jabatan Notaris sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 67 ayat (3) UUJN. Menurut Herlien Budiono, dalam lalu lintas hubungan-hubungan hukum privat, Notaris menikmati kewenangan eksklusif untuk membuat akta-akta otentik.14 Terhadap akta otentik tersebut diberikan kekuatan bukti yang kuat dalam perkaraperkara perdata, sehingga Notaris yang secara khusus berwenang membuat akta-akta otentik demikian menempati kedudukan yang penting dalam kehidupan hukum. 15 Akta yang dibuat oleh Notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat akta yang menguraikan secara otentik sesuatu yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat oleh pembuat akta itu, yakni Notaris itu sendiri, di dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akan tetapi akta Notaris dapat juga berisikan suatu cerita 14
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 257. 15 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
15
dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di hadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam melaksanakan jabatannya dan untuk keperluan tersebut pihak lain itu sengaja datang di hadapan Notaris, agar keterangan atau perbuatannya itu dituangkan oleh Notaris ke dalam suatu akta otentik. Berdasarkan uraian di atas, akta Notaris dapat dibedakan atas 2 (dua) bentuk, yaitu: a. Akta yang dibuat oleh (door enn) notaris atau yang dinamakan “akta relaas” atau “akta pejabat” (ambtelijke akten). Akta jenis ini di antaranya akta berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan dan akta berita acara penarikan undian.16 b. Akta yang dibuat di hadapan Notaris atau yang dinamakan “akta partij” (partij aktan). Akta jenis ini di antaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian kredit dan sebagainya.17 Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian
16 17
G.H.S. Lumban Tobing, Op Cit, hal. 51-52. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
16
itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang.18 Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang berkepentingan. Pembatalan karena ada permintaan dari pihak yang berkepentingan, seperti orang tua, wali atau pengampu disebut pembatalan yang relative atau tidak mutlak. Pembatalan relatif ini dibagi 2 (dua) yaitu : 19 a. Pembatalan atas kekuatan sendiri, maka atas permintaan orang tertentu dengan mengajukan gugatan atau perlawanan, agar hakim menyatakan batal (nietig verklaard) suatu perjanjian. Contohnya jika tidak dipenuhi syarat subjektif (Pasal 1446 KUHPerdata). b. Pembatalan oleh hakim, dengan putusan membatalkan suatu perjanjian dengan mengajukan gugatan. Contohnya Pasal 1449 KUHPerdata. Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkan oleh para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar ancaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat para pihak. Jika syarat
18
Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka persetujuan tersebut tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata). Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336 KUHPerdata). 19 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Bale Bandung “Sumur Bandung”, Bandung, 1989, hal. 121.
Universitas Sumatera Utara
17
objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (nietig), tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun. Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika suatu perjanjian yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, karena perjanjian sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun.20 Misalnya jika suatu perjanjian wajib dibuat dengan akta (Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tapi ternyata tidak dilakukan, maka perbuatan hukum atau perjanjian tersebut batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak21 dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat
20 Jika perjanjian sudah tidak memenuhi syarat objektif, ternyata masih ada yang mengajukan gugatan atau tuntutan atas hal tersebut, maka hakim diwajibkan karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan, R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005, hal. 22. 21 Pasal 1337 KUHPerdata.
Universitas Sumatera Utara
18
dibatalkan.22 Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebut batal demi hukum.23 Oleh karena Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN telah menentukan bahwa syarat subjektif dan syarat objektif bagian dari badan akta, maka timbul kerancuan, antara akta yang dapat dibatalkan dengan akta yang batal demi hukum, sehingga jika diajukan untuk membatalkan akta Notaris karena tidak memenuhi syarat subjektif, maka dianggap membatalkan seluruh badan akta, termasuk membatalkan syarat objektif. Syarat subjektif ditempatkan sebagai bagian dari awal akta, dengan alasan meskipun pembatalan dengan cara gugatan dari orang-orang tertentu, maka isi akta yang berisi syarat objektif tetap mengikat para pihak, hal ini berbeda jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka akta dianggap tidak pernah ada.24 Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undangundang hal ini merupakan salah satu karakter akta Notaris. Meskipun ada ketidaktepatan dalam Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN yang telah menempatkan syarat subjektif dan syarat objektif sebagai bagian dari badan akta, maka kerangka akta Notaris harus menempatkan kembali syarat subjektif dan syarat objektif akta Notaris
22
Akta Notaris yang dapat dibatalkan berarti akta tersebut termasuk ex nunc, yang berarti perbuatan dan akibat dari akta tersebut dianggap ada sampai saat dilakukan pembatalan. Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hal. 39. 23 Akta Notaris yang batal demi hukum berarti akta tersebut termasuk ex tunc, yang berarti perbuatan dan akibat dari akta tersebut dianggap tidak pernah ada (inexistence). Ibid. 24 Meskipun pada dasarnya akibat dari perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif dianggap perjanjian tidak pernah ada, hal ini bisa berjalan jika objek perjanjian, berupa benda/barang (secara natura) masih ada pada mereka yang bersangkutan, sehingga keadaan bias dikembalikan seperti semula dan diterima oleh para pihak dan para pihak tidak mempermasalahkannya, tapi jika ternyata benda atau barang tersebut telah mengalami perubahan atau telah beralih kepada pihak lain, hal semacam itu sangat sulit untuk dilakukan atau untuk dikembalikan seperti semula. Jika terjadi seperti ini, maka atas permohonan para pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan, dan hakim dapat memutuskan dan menentukan keadaan seperti itu. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
19
yang sesuai dengan makna dari suatu perjanjian dapat dibatalkan dan batal demi hukum, oleh karena itu kerangka akta notaris harus terdiri dari : 1. Kepala atau awal akta, yang memuat : a.
judul akta;
b.
nomor akta;
c.
pukul, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan
d.
nama lengkap dan tempat kedudukan notaris, dan wilayah jabatan Notaris25;
e.
nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
f.
keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap;
g.
nama lengkap, tempat tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
2. Badan akta yang memuat kehendak dan keinginan dari para pihak yang berkepentingan yang diterangkan atau dinyatakan di hadapan Notaris atau keterangan-keterangan dari Notaris mengenai hal-hal yang disaksikannya atas permintaan yang bersangkutan. 3. Penutup atau akhir akta, yang memuat :
25
Notaris berkedudukan di daerah Kabupaten atau Kota (Pasal 18 ayat (1) UUJN), dan mempunyai wilayah jabatan provinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 18 ayat (2) UUJN).
Universitas Sumatera Utara
20
a.
uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7);
b.
uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta bila ada;
c.
nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta, dan
d.
uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.
Akta Notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada Hakim.
2. Landasan Konsepsional Konsepsi adalah satu tahapan terpenting dari teori. Peraturan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Dengan demikian konsepsi dapat diartikan pula sebagai sarana untuk mengetahui gambaran umum pokok penelitian yang akan dibahas sebelum memulai
Universitas Sumatera Utara
21
penelitian (obervasi) masalah yang akan diteliti. Konsep diartikan pula sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut definisi operasional.26 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.27 Pentingnya definisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran. Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.28 Dalam penelitian tesis ini ada beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi untuk dapat menjawab permasalahan penelitian, yaitu sebagai berikut : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
26
Sumadi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 28. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984, hal. 23. 28 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 21. 27
Universitas Sumatera Utara
22
perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta.29 Dari pengertian tersebut ada beberapa hal yang penting yang tersirat yaitu ketentuan dalam permulaan pasal tersebut, bahwa Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar), dikatakan demikian karena erat hubungannya dengan wewenangnya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta-akta otentik.30 Pasal 1 angka 7 UUJN menguraikan definisi dari akta Notaris sebagai akta otentik yang dibuat oleh / di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang. Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata diartikan sebagai suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh / di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud tersebut, dan di tempat dimana akta tersebut dibuat. Menurut R. Subekti : Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh Hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan ia memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Ia merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna.
29
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasa1 1 huruf (1) jo. Pasal 15
ayat (2). 30
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
23
Kekuatan pembuktian akta otentik, demikian juga akta Notaris, adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan bahwa ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu. Dalam pemberian tugas ini terletak kepercayaan kepada para pejabat tersebut dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang dibuat mereka.31 Dengan adanya otentitas akta tersebut akan secara otomatis memberikan perlindungan kepada Notaris, pihak yang bersangkutan, dan termasuk juga pihakpihak yang membutuhkan jasanya. Perlindungan hukum terhadap diri Notaris dan pihak-pihak yang membutuhkan jasanya, perlindungan hukum terhadap diri Notaris dan pihak-pihak yang membutuhkan jasanya sangat penting karena itu Notaris harus menguasai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jabatannya. Dengan Notaris menguasai peraturan perundang-undangan maka akta Notaris yang dibuat akan terhindar dari kecacatan hukum, yang dapat menimbulkan akta tersebut batal demi hukum.
31
G.H.S. Lumban Tobing, Op Cit.
Universitas Sumatera Utara
24
G. Metode Penelitian 1. Jenis, Sifat dan Pendekatan Penelitian ini bertitik tolak dari suatu pengertian bahwa penelitian pada hakekatnya mencakup kegiatan pengumpulan data, pengolahan data, analisa data dan konstruksi data yang semuanya dilaksanakan secara sistematis dan konsisten.32 Data adalah gejala yang akan dicari untuk diteliti, gejala yang diamati oleh peneliti dan hasil pencatatan terhadap gejala yang diamati oleh peneliti.33 Sesuai dengan pokok masalah, jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif atau penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh Hakim melalui proses pengadilan.34 Pendekatannya bersifat deskriptif analitis. Adapun maksud deskriptif disini yang bertujuan untuk mengambil data secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat atau faktor tertentu.35 Dalam
penelitian
normatif
digunakan
beberapa
pendekatan
berikut
Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dan Pendekatan Analitis. Penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundangundangan akan lebih akurat bila digunakan penelitian yang menggambarkan tentang
32
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peran Dan Penggunaan Perpustakaan Di Dalam Penelitian Hukum, Jakarta : PDHUI, 1979, hal. 2. 33 Ibid, hal. 1. 34 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Perbandingan Hukum, Makalah Fakultas Hukum USU tanggal 18 Februari 2003, hal. 1. 35 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1977, hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
25
bagaimana dikatakan pembatalan akta Notaris menurut ketentuan undang-undang ataupun peraturan-peraturan maupun realitas dalam praktek objek penelitian. Adapun tahap-tahap dari analisis yuridis normatif adalah :36 a)
Merumuskan asas-asas hukum, baik dari data sosial maupun dari data hukum positif tertulis ;
b) Merumuskan pengertian-pengertian hukum ; c)
Pembentukan standar-standar hukum ; dan
d) Perumusan kaidah-kaidah hukum.
2.
Sumber Data Dalam pelaksanaan penelitian ini, menggunakan 3 (tiga) sumber data yaitu:
a.
Bahan hukum primer, berupa perundang-undangan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan
dan
peraturan-peraturan
lainnya
seperti
KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. b.
Bahan hukum sekunder, baik yang bersumber dari buku-buku, dokumendokumen, hasil tulisan berupa tesis dan bahan-bahan yang terkait mengenai pembatalan akta Notaris yang dapat digunakan sebagai acuan dan membantu dalam penelitian.
c.
Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, 36
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 166-167.
Universitas Sumatera Utara
26
sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.
3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah penelitian kepustakaan
(library research) yaitu untuk mendapatkan data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku dan karya ilmiah lainnya maupun bahan hukum tersier yaitu berupa kamus, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal ilmiah.
4.
Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data dapat dilakukan dengan cara studi dokumen. Studi
dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif maupun sosiologis), karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Setiap bahan hukum ini harus diperiksa ulang validitas dan reliabilitasnya, sebab, hal ini sangat menentukan hasil suatu penelitian.37
37
Ibid, hal. 68.
Universitas Sumatera Utara
27
5.
Analisis Data Suatu analisis kualitatif pada hakikatnya menekankan pada metode deduktif
sebagai pegangan utama. Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan setiap saat pengumpulan data di lapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi data agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksiabstraksi teoretis terhadap informasi lapangan,
dengan
mempertimbangkan
menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sangat memungkinkan dianggap mendasar dan universal. 38
38
Bambang Sunggono, Op Cit, hal. 106-107.
Universitas Sumatera Utara