BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perbuatan pencucian uang pada umumnya diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mengubah hasil kejahatan seperti hasil korupsi, kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan dan kejahatan serius lainnya, sehingga hasil kejahatan tersebut menjadi nampak seperti hasil dari kegiatan yang sah karena asalusulnya telah disamarkan atau disembunyikan1. Secara sederhana, pencucian uang adalah suatu praktek pencucian uang panas atau kotor (dirty money), yaitu uang berasal dari praktek-praktek illegal seperti korupsi, perdagangan wanita dan anak-anak, terorisme, penyuapan, penyelundupan, penjualan obat-obat terlarang, judi, prostitusi, tindak pidana perbankan dan praktekpraktek tidak sehat lainnya. Untuk ‘membersihkannya’, uang tersebut ditempatkan (placement) pada suatu bank atau tempat tertentu untuk sementara waktu sebelum akhirnya dipindahkan ke tempat lain (layering), misalnya melalui pembelian saham di pasar modal, transfer valuta asing atau pembelian suatu asset. Setelah itu, si pelaku akan menerima uang yang sudah bersih dari ladang pencucian berupa pendapatan yang diperoleh dari pembelian saham, valuta asing atau asset tersebut (integration). Perbuatan pencucian uang tersebut sangat membahayakan baik dalam tataran nasional maupun internasional, karena pencucian uang merupakan sarana bagi pelaku 1
Hurd, Insider Trading and Foreign Bank Secrecy, Am.Bus.J. Vol 24, 1996, halaman 29.
Universitas Sumatera Utara
kejahatan untuk melegalkan uang hasil kejahatannya dalam rangka menghilangkan jejak. Selain itu, nominal uang yang dicuci biasanya luar biasa jumlahnya, sehingga dapat mempengaruhi neraca keuangan nasional bahkan global. Pencucian uang ini dapat menekan perekonomian dan menimbulkan bisnis yang tidak fair terutama kalau dilakukan oleh pelaku kejahatan yang terorganisir2. Pelaku kejahatan pencucian uang ini motifasinya hanya ingin menikmati akses yang ada untuk mendapatkan keuntungan dan mengubah uang mereka menjadi sah 3. Perbuatan seperti ini semakin meningkat manakala para pelaku menggunakan cara-cara yang lebih canggih (shopisticated crimes) dengan memanfaatkan sarana perbankan ataupun non perbankan yang juga menggunakan teknologi tinggi yang memunculkan fenomena cyber laundering. Di Indonesia pengaturan tentang pencucian uang pada awalnya diatur dalam Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian diubah melaui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Prinsip dasar UU TPPU ini adalah mensyaratkan tindak pidana pencucian uang telah dikategorikan sebagai salah satu kejahatan, baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun oleh krporasi, dengan modus operandi adalah
2
R. Bosworth Davies, Euro Finance : The Influence of Organized Crime : Paper on The Eight International Symposium on Economic Crime, England, 28 Agustus 1991, halaman 30. 3 David A Chaikin, Money Laundering : An Investigatory Perspective, Criminal Law Review, Vol 2 No 3, Spring, 1991, halaman 474.
Universitas Sumatera Utara
menyamarkan harta kekayaan hasil kejahatan yang dikategorikan sebagai predicate crime.4 Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan. Tahun 1980-an jutaan uang hasil tindak kejatan masuk dalam bisnis legal dan ekonomi. Money laundering sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime) yang dikenal sejak zaman perompak yang merampok kapal Portugis di Laut, kemudian dikenal dengan money laundering ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat pada tahun 1920-an memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis) yang modal usahanya jelas-jelas dari bisnis illegal 5. Perkembangan
masyarakat
modern
pun
berpengaruh
terhadap
perkembangan modus-modus kejahatan. Kejahatan pada saat ini telah menjadi sarana untuk mengambil keuntungan ekonomis sehingga kejahatan seperti ini disebut dengan jenis kejahatan dengan motif ekonomi. Nilai ekonomis dari suatu barang/aset hasil tindak pidana merupakan "darah segar" bagi kejahatan itu sendiri. Oleh karenanya, kini dikenal bahwa harta kekayaan hasil suatu tindak pidana adalah darah
4
Pasal 2 UU TPPU mensyaratkan 25 jenis tindak pidana (predicate crime) yang dikategorikan sebagai tindak pidana utama dalam tindak pidana pencucian uang berupa harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, yakni : korupsi, penyuapan, penyeludupan imigran,dibidang perbankan, di bidang pasar modal,di bidang asuransi,narkotika,psikotropika,perdagangan manusia,perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, dibidang perpajakan,dibidang kehutanan,di bidang lingkungan hidup,dibindang kelautan,atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang dilakukan diwilayah Negara Republik Indonesia atau diluar wilayah Indonesia, dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. 5 Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Launderinng), http:/www.jdih. bpk.go.id/ informasihukum/MoneyLaundring.pdf, diakses pada tanggal 15 Juli 2009.
Universitas Sumatera Utara
bagi berlangsungnya aktivitas kehidupan kejahatan, terutama kejahatan yang tergolong luar biasa. Kejahatan dengan motif ekonomi seperti yang dimaksud diatas terus berkembang tidak hanya sebagai jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) belaka yang banyak melibatkan orang-orang terpelajar, bahkan saat ini telah menjadi suatu kejahatan serius yang terorganisir (well-organized crimes), memanfaatkan kecanggihan teknologi (advanced technology means), serta telah bersifat lintas batas yurisdiksi suatu negara (international crimes). Khusus kejahatan yang termasuk jenis ini, selain menghasilkan banyak harta kekayaan sekaligus juga membutuhkan banyak uang atau dana untuk membiayai tindak kejahatannya dan peralatan-peralatannya, baik sarana maupun prasarana pendukung untuk melakukan kejahatan6. Pada bulan Juni tahun 2001, Indonesia ditempatkan dalam daftar noncooperative countries and territories (NCCTs) atau yang lebih dikenal dengan nama black list. Yang menempatkan Indonesia kedalam daftar tersebut adalah Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) 7 . Sampai Tahun 2004 penilaian terhadap Indonesia dalam masalah pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang masih buruk dikarenakan Indonesia dinyatakan belum koperatif dan 4 (empat) hal yang menyebabkan Indonesia masuk kategori tersebut adalah :
6
Sutedi, Adrian, Tindak Pidana Pencucian Uang, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008,hal
23 7
Threenov, Pencucian uang,http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2004/10/rbk,2004102007,id.html
Universitas Sumatera Utara
1. Banyaknya hambatan dalam pengaturan dibidang keuangan untuk mencegah dan menindak pelaku tindak pidana pencucian uang ; 2. Hambatan dibidang sektor ril, seperti tidak adanya keseragaman dalam sistem administrasi kependudukan Indonesia, sehingga setiap oang bisa memiliki lebih dari 1 (satu) identitas; 3. Kurangnya kerjasama internasional antara Indonesia dengan negara lain baik dalam bentuk ekstradisi, MLA atau MOU; 4. Kurangnya sumber daya untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang Dengan UU TPPU diharapkan bahwa atas tindak pidana pencucian uang yang merupakan bentuk tindak pidana independen, artinya terpisah dari tindak pidana asalnya (predicate crime), karena tindak pidana asal bisa terjadi dimana-mana dapat dituntut berdasarkan UU TTPU tersebut, maksudnya adalah selain dari tindak pidana asal yang dilakukan di Indonesia, tindak pidana asal juga bisa yang dilakukan diluar negeri, kemudian hasil uangnya dibawa ke Indonesia untuk dikaburkan asal-usulnya, sehingga seolah-olah uang yang sah. Ini dengan catatan di negara asal tempat kejadian predicte crime tersebut merupakan tindak pidana juga. Jadi dalam hal ini terjadi double crime.8 Perkembangan selanjutnya pada bulan September 2007 the United Nation Office on Drugs and Crime dan World Bank secara resmi meluncurkan Stolen Asset Recovery Initiative (selanjutnya disingkat StAR) yang bertujuan utama untuk 8
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
memberikan bantuan tekhnis dan finansial kepada negara-negara berkembang dalam memperkuat kapasitas institusional lembaga-lembaga nasionalnya untuk dapat mengambil kembali aset-asetnya yang telah dicuri.9 Salah satu perubahan yang layak untuk dipikirkan adalah mengubah fokus pemberantasan dengan mengejar aset para pelaku pencucian uang. Hal ini dapat dinilai lebih efektif karena merampas aset hasil suatu kejahatan seringkali memberikan dampak yang lebih besar daripada menghukum pelaku kejahatan itu sendiri. Keberhasilan metode ini dapat dilihat dari pengalaman Amerika Serikat dalam memberantas kejahatan kerah putih diawal tahun 1970-an.10 Civil forfeiture sering digunakan oleh pemerintah federal Amerika Serikat untuk menyita aset-aset yang berhubungan dengan organized crime untuk memutus jalur uang dan financial support dari kejahatan seperti drugs trafficking atau illegal gambling.11 Belajar dari pengalaman keberhasilan Amerika Serikat dalam menyita asetaset hasil kejahatan yang merupakan bagian dari tindak pidana pencucian uang, maka pemerintah berupaya untuk menempuh cara yang sama. Keberhasilan inilah yang dilihat oleh pemerintah Indonesia dalam memberantas kejahatan kerah putih seperti korupsi yang merupakan bagian dari tindak pidana pencucian uang yang selama ini menjadi permasalahan besar di Indonesia. Seperti yang diketahui, dalam prakteknya 9
Lihat United Nation, Launch of Asset Recovery Initiative, 17 September 2007 (http://go.worldbank.org/U2ZCWCDKRO,html), diakses pada tanggal 15 Nopember 2007. 10 Scott A. Hauert, An Examination of The Nature. Scope and extent of Statutory Civil Forfeiture, 20 University of Dayton Law Review, 1994, hal 171. 11 Ibid, hal 175
Universitas Sumatera Utara
selama ini sulit sekali untuk mengembalikan aset-aset yang dicuri oleh para koruptor kepada negara.
Kelemahan dari segi regulasi dan sumber daya manusia untuk
menginventarisir, mencari alat bukti dan menyita aset-aset yang banyak dilarikan oleh para koruptor ke luar negeri masih menjadi salah satu hambatan terbesar dari pemerintah Indonesia dalam memberantas korupsi12. Secara kuantitas, tindak pidana Korupsi di Indonesia telah merambah beberapa sektor. Korupsi tidak saja terjadi di lembaga eksekutif dan yudikatif. Korupsi sebagai kejahatan tidak saja merugikan ekonomi dan keuangan negara tetapi juga merugikan individual maupun kelompok masyarakat lainnya. Korupsi terjadi hampir di semua negara- negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, selain Nigeria, Peru dan Pilipina. Kini berkembang satu issue bahwa korupsi mempunyai kaitan juga dengan kejahatan-kejahatan lain yang terorganisir, khususnya dalam upaya koruptor menyembunyikan hasil kejahatannya melalui pencucian uang (money laundering) dengan pemanfaatan transaksi derivatif yakni melalui transfer internasional yang efektif.13 Bayangkan saja besarnya jumlah uang yang dikorupsi di Indonesia sebagaimana diuraiankan Revrisond Baswir sangat menyayat hati. Menurutnya bisnis korupsi hampir menyamai volume anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), dimana APBN tahun ini sebesar Rp.370,59 triliun. Ia mengasumsikan, penyimpangan 12
Mokhamad Najih, Ratifikasi UNCAC (Melalui UU No 7/2006) dan Konsekuensinya bagi Penanggulangan Korupsi di Indonesia.Kaitannya dengan Stolen Asset Recovery (Star)Initiative,disampaikan dalamSeminar Pengkajian Hukum Nasional 2007 di Hotel Millenium tanggal 28-29 November 2007. 13 Ariawan, I Gusti Ketut, Stolen Asset Recovery Initiatif, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Asset Negara, Kerta Patrika Vol.33 No1, Januari 2008.
Universitas Sumatera Utara
rata-rata 33%, atau sekitar sepertiga pendapatan negara tidak masuk ke kas negara dan sepertiga belanja negara melenceng dari sasaran. Selanjutnya, sepertiga volume bisnis korupsi berkaitan dengan pengeluaran tunai yang langsung dari masyarakat. 14 Sementara itu menurut data yang ditemukan oleh Asian Development Bank dalam Perceived Standard mengemukakan bahwa Indonesia menempati urutan pertama dalam cost competitiveness bila dibandingkan dengan negara-negara di Asia. Sedangkan pada bidang-bidang lain seperti quality of physical infrastructure,risk of disruptive political change, perception of judicial system, dan penerapan Corporate Governance, Indonesia memiliki nilai jelek dan menempati urutan terakhir dibandingkan negara-negara di Asia. Penilaian ini didukung oleh pengamatan dari para investor terhadap kualitas penerapan good corporate governance di Asia yang dilakukan oleh McKinsey & Co., dimana Indonesia menempati urutan keenam setelah Jepang, Taiwan, Korea, Thailand dan Malaysia. Persepsi negatif terhadap Indonesia di mata luar negeri juga terletak pada tingginya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme di kawasan Asia berdasarkan hasil survey political and economic risk consultancy. Di samping itu pada survey Corruption Persception Index 2001 oleh Transparancy International, Indonesia menduduki peringkat 88 dari 99 negara yang disurvey. Demikian pula berdasarkan data dari Kementerian Negara BUMN mengungkapkan hasil Survey of Institutional Investor Corporate Governance 1999 (PWC) bahwa Indonesia memiliki rangking 4,7 yang berkenaan dengan kualitas keterbukaan (disclosure and transparancy) diantara negara Asia Pasific. Dapat dibandingkan 14
Kompas, 17 Agustus 2008..
Universitas Sumatera Utara
dengan rangking Singapura 3,0; Malaysia dan Philipina 4,2; Thailand 4,3 diikuti dengan India dan China masing-masing dengan rangking 4,4 dan 4,7 (semakin kecil rangking berarti semakin baik dan semakin besar rangking berarti semakin buruk)15. Indonesia telah memiliki berbagai peraturan perundang-undangan berkenaan dengan isu korupsi. Paling tidak, terdapat 12 Undang-Undang, 2 PERPU, 3 KEPPRES, 6 Peraturan Pemerintah, 1 Instruksi Presiden dan yang baru UndangUndang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang disahkan 27 Desember 2002. Undang-Undang yang baru itu dimaksudkan untuk memperkuat inisiatif memberantas korupsi melalui sarana pembentukan KPTPK atau sering disebutkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana diamanatkan Pasal 43 Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.16 Di dalam terminologi yang luas korupsi adalah penyalahgunaan dari sektor publik untuk kepentingan pribadi. Penyalahgunaan ini dilakukan secara sepihak oleh pejabat publik seperti korupsi dan nepotisme, maupun penyalahgunaan yang menghubungkan antara pejabat publik dan para pelaku di sektor privat seperti penyuapan, pemerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan penipuan. Korupsi dapat timbul baik di sektor birokratis maupun politis dalam bentuk yang kecil maupun besar dan dilakukan secara terorganisir ataupun tidak untuk
15
http://bismarnasty.files.wordpress.com/2007/06/talkshow-korupsi-fh-usu.pdf, diakses tgl 2 February 2009. 16 Ibid
Universitas Sumatera Utara
memudahkan aktivitas kriminal seperti perdagangan obat bius, penyelundupan maupun pencucian uang (money laundering) dan bentuk kejahatan lainnya. Korupsi dapat menimbulkan kerugian yang besar di berbagai sektor. Dalam bidang politik, korupsi mengikis demokrasi dan good governance dengan menghancurkan proses formal. Korupsi dalam pemilihan badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan representasi sebuah pembuatan kebijakan. Korupsi di pengadilan menghambat kepastian hukum dan korupsi di dalam administrasi pemerintahan mengakibatkan timbulnya pelayanan yang berbeda dan cenderung tidak adil. Secara umum korupsi mengikis kapasitas institusi pemerintahan karena prosedur tidak dipedulikan, sumber daya yang ada dimanipulasi, dan pejabat diangkat atau dipromosikan tidak berdasarkan kemampuannya. Sehingga korupsi mengikis legitimasi pemerintahan, menghambat pembangunan infrastruktur, menimbulkan tekanan keuangan pemerintah dan menghancurkan nilai-nilai demokratis kepercayaan dan toleransi.17 Kurang efektifnya penanganan korupsi telah membuat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang berisikan beberapa intruksi Presiden, yaitu : Pertama, seluruh pejabat negara segera melaporkan kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
17
Phylis Dinino dan Sahr Jon Kpundeh, A Handbook of Fighting Corruption, Center for Democracy and Governance, Washington D.C, 1999, hlm 5 dalam http:// bismarnasty. files.wordpress.com/2007/06/menjaga-demokrasi-dengan-pemberantasan-korupsi.pdf diakses tgl 2 February 2009.
Universitas Sumatera Utara
Kedua,
bantu KPK dalam pelaporan, pendaftaran, pengumuman, dan pemeriksaan laporan kekayaan.
Ketiga,
Tingkatkan kualitas pelayanan publik melalui standarisasi pelayanan dan hapuskan pungutan liar.
Keempat, laksanakan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara konsisten untuk mencegah berbagai pemborosan. Kelima, terapkan hidup sederhana dalam kedinasan maupun dalam kehidupan pribadi serta penghematan pada penyelenggaraan kegiatan yang berdampak pada keuangan negara. Keenam, beri dukungan maksimal terhadap upaya penindakan korupsi yang dilakukan Polri, Kejaksaan, dan KPK dengan cara mempercepat pemberian informasi yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi dan mempercepat pemberian ijin terhadap saksi/tersangka. Ketujuh, tingkatkan upaya pengawasan dan pembinaan aparatur untuk meniadakan perilaku koruptif. Dalam mengatasi korupsi yang pertama sekali perlu dilakukan adalah pembenahan sistem hukum. Pembenahan harus dilakukan tidak hanya dalam substansi hukum, tetapi harus juga mengkaji aparatur hukum dan budaya hukum (legal culture). Setidak-tidaknya menurut studi yang dilakukan Burg’s ada dua unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
Pertama, “stabilitas” (“stability”), dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. “meramalkan” (“predictability”), berfungsi untuk meramalkan akibat dari
Kedua,
suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubunganhubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial dan tradisional. Namun, di antara kedua unsur itu penting diperhatikan aspek “keadilan” (“fairness”) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah, yang diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.18 Pembenahan sistem hukum tentu memerlukan waktu. Namun bukan berarti pemberantasan korupsi harus berjalan di tempat. Pemberantasan korupsi harus tetap dijalankan seiring dengan pembenahan sistem hukum dengan memakai perangkatperangkat hukum yang telah ada. Selain UU Nomor 31 tahun 1999 (selanjutnya disingkat menjadi UU TPK) yang selama ini digunakan untuk melawan tindak pidana korupsi, sebagaimana telah disebutkan diatas, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutanya disingkat menjadi UU TPPU). Kalau selama ini UU
18
http: // bismarnasty .files. wordpress .com. html / 2007 / 06 / menjaga–demokrasi-dengan pemberantasan - korupsi.pdf, diakses tgl 2 February 2009.
Universitas Sumatera Utara
TPK menekankan tindak pidana korupsi kepada pelakunya, UU TPPU menekankan tindak pidana korupsi pada hasilnya. Korupsi tidaklah selalu dalam bentuk uang tunai melainkan lebih banyak menggunakan transfer uang dari satu pihak ke pihak lainnya dengan melibatkan lembaga keuangan seperti bank. Pendekatan ini dapat jauh lebih efektif mengingat alur peredaran uang lebih mudah dideteksi. Pencantuman korupsi dan penyuapan sebagai predicate crimes dalam UU TPPU juga lebih memudahkan para aparat hukum untuk menjerat koruptor dan hasilnya. Kelebihan lain dari UU TPPU adalah adanya mutual legal assistance diantara Pusat Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dengan financial unit intelligence (FUI) negara lain dalam melacak arus peredaran uang maupun aset dari para koruptor.
Keberhasilan PPATK yang
berkerjasama dengan FUI negara Australia dalam membawa pulang aset Hendra Rahardja merupakan bukti awal ampuhnya penerapan UU TPPU.19 Keluarnya UU No. 25 tahun 2003 mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang (“TPPU”) dan UU No. 1 tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (“UU MLA”) memang telah banyak membantu aparat penegak hukum dalam mencari informasi, alat bukti atau menyita aset di luar negeri.20 Namun dalam hal pembuktian di dalam proses pengadilan sering kali pemerintah Indonesia mengalami kesulitan untuk membuktikan unsur yang didakwakan. Selain itu sering 19
Ibid Nasution, Bismar, Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia, disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, “Pengembalian Asset (Asset Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia”, Hotel Millenium Jakarta 28-29 Nopember 2007. 20
Universitas Sumatera Utara
juga pemerintah mengalami kesulitan dalam persidangan karena berbagai hambatan tekhnis persidangan seperti kurang lengkapnya alat bukti, terdakwa sakit, hilang atau meninggal dunia. MLA ini memang sangat dianjurkan dalam beberapa pertemuan internasional dan konvensi, misalnya dalam United Nations Convention Against Cooruption (UNCAC). Negara penandatangan dianjurkan untuk memiliki kerjasama internasional antara lain dalam bentuk MLA guna memberantas korupsi dan dalam hal ini Indonesia telah memiliki payung MLA tersebut. Ratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2006 oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Internasional. Hal ini penting, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik, sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara 21. UNCAC 2003 merupakan perjanjian internasional (treaty based crime) yang mengutamakan prinsip kesamaan kedaulatan, persamaan hak dan integritas teritorial serta prinsip non intervensi. Di dalam ketetentuan Pasal 4 UNCAC 2003 secara jelas ditentukan : “convention in a manner consistant with the principles of souverign equality and territorial integrity of state and that of non-intervention in the domestic affairs of other states”. Ketentuan ini mencerminkan bahwa implementasi konvensi
21
Ariawan, I Gusti Ketut, Stolen Asset Recovery Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara, Kertha Patrika, Vol 33 No.1, Januari 2008
Universitas Sumatera Utara
oleh setiap negara peserta tidak boleh melanggar prinsip-prinsip kesamaan kedaulatan, persamaan hak dan integritas teritorial serta prinsip non intervensi. Ketentuan Pasal 4 UNCAC 2003 ini berhubungan dengan Bab IV UNCAC 2003 yang mengatur tentang kerjasama internasional (Pasal 43 UNCAC 2003) serta ketentuan Bab V UNCAAC 2003 tentang pengembalian aset (Asset Recovery) dan juga ketentuan Pasal 31 UNCAC 2003 tentang pembekuan, perampasan dan penyitaan (freezing, seizure and confiscation). Suatu kemajuan yang dapat dicatat bahwa ketentuan mengenai ekstradisi, seperti prinsip “dual criminality” tidak lagi merupakan prinsip yang mengikat. Hal ni dapat dilihat dengan mencermati Pasal 44 section 2 UNCAC 2003 yang menentukan : ”state party whose law so permits my grant the extradition of a person for any of the offences covered by this convention that are not punishable under its own domestic law”. Terobosan lain terhadap prinsip umum ekstradisi juga dapat dilakukan terhadap negara yang masih mengadopsi prinsip nasionalitas. Pasal 44 section 11 dan section 12 UNCAC 2003 memberikan kelonggaran terhadap negara yang menganut prinsip nasionalitas untuk segera menyerahkan seorang warganya yang dimintakan ekstradisi ke negara pemohon dengan syarat tertentu. Dalam pasal 11 UNCAC 2003 ditentukan bahwa apabila suatu negara peserta yang di dalam wilayahnya ditemukan orang yang disangka sebagai pelaku kejahatan, tidak mengekstradisikan orang tersebut, dengan alasan orang tersebut adalah warga negaranya, maka negara tersebut, atas permintaan negara peserta yang
Universitas Sumatera Utara
memohon ekstradisi wajib untuk menyerahkan kasus tersebut pada badan yang berkompetensi untuk tujuan penuntutan 22. Badan yang berkompetentsi dimaksud, punya kewajiban untuk mengambil keputusan serta melaksanakan proses peradilannya dengan cara-cara yang sama dan berdasarkan hukum nasional negara peserta. Negara-negara peserta punya kewajiban untuk bekerjasama, khususnya dalam hal prosedur serta pembuktian guna efisiensi penuntutan. Selanjutnya dalam pasal 44 section 12 UNCAAC 2003 ditentukan bahwa : bilamana suatu negara peserta diijinkan oleh hukum nasionalnya untuk mengekstradisi atau sebaliknya menyerahkan seorang warga negaranya, hanya pada kondisi bahwa orang tersebut akan dipulangkan ke negara peserta itu untuk menjalani hukuman yang dijatuhkan karena putusan pengadilan untuk mana atau penyerahan orang yang dicari negara peserta itu dan negara peserta yang meminta ekstradisi orang itu setuju dengan opsi ini dan syarat-syarat lain yang menurut penilaiannya, layak, ekstradisi atau penyerahan dengan syarat akan cukup untuk membebaskan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam pasal 44 section 11 UNCAC 200323. Objek MLA antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti.
Ini
termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang. Pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan asset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang
22 23
Ibid, hal. 4 Ibid, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta bantuan MLA. Dalam MLA terdapat MoU tentang berbagai macam perjanjian dalam kerja sama internasional untuk mencegah dan memberantas tindak pidana dikenal beberapa perjanjian, antara lain, Memorandum of Understanding (MoU), Ekstradisi, dan Perjanjian Pemindahan Orang yang Sudah Dihukum (Transfer of Sentenced Person). Dalam MoU yang dikerjasamakan atau dipertukarkan adalah informasi dalam rangka penyelidikan atau penyidikan tindak pidana. Sedangkan dalam MLA ruang lingkup kerja samanya meliputi tahap penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, di pengadilan hingga pelaksanaan putusan pengadilan. Perjanjian ekstradisi lebih fokus kepada upaya menangkap seorang tersangka atau terdakwa yang berada pada yurisdiksi negara lain. Kemudian, perjanjian Transfer of Sentenced Person meliputi pemindahan orang yang sudah menjalani sebagian hukuman ke negara asalnya untuk menjalani sisa masa hukuman yang belum dijalaninya di negaranya. Kalau dilihat dari jumlah perjanjian MLA yang dimiliki Indonesia, yaitu hanya tiga perjanjian. Dari ketiga perjanjian tersebut, ada satu perjanjian MLA yang walaupun sudah ditandatangani beberapa tahun yang lalu, tetapi sampai hari ini belum diratifikasi, yaitu perjanjian MLA dengan Korea. Perjanjian MLA dengan Republik Rakyat China yang ditandatangani tahun 2000 baru saja diratifikasi DPR pada 2006. Sedangkan perjanjian MLA Multilateral dengan hampir seluruh negara anggota ASEAN sudah ditandatangani November 2004, tetapi sampai hari ini belum
Universitas Sumatera Utara
diratifikasi. Sementara itu, Singapura dan Malaysia sudah mencatatkan dokumen ratifikasinya masing-masing sejak April dan Juni 2005. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki perjanjian MLA dengan sekitar 50 negara, seperti dengan Filipina dan Thailand. Sementara itu, Republik Rakyat China memiliki 39 perjanjian MLA dengan negara lain. Baru-baru ini, Indonesia sudah sepakat dengan Hong Kong tentang substansi yang akan ditandatangani dalam perjanjian MLA24 Sebagaimana diketahui, globalisasi berjalan begitu cepat dan perkembangan teknologi dan pelayanan nasabah bank semakin meningkat dengan modus operandi lebih rumit dan canggih. Di samping itu, mengingat tindak pidana tertentu memiliki karakteristik lintas batas Negara (transnational organized crime), seperti korupsi dan TPPU, kerja sama dengan negara lain mutlak diperlukan untuk memperoieh alat bukti dan aset yang merupakan hasil tindak pidana. Indonesia harus lebih aktif mengupayakan peningkatan kerja sama MLA dengan negara lain. Kita jangan selalu terlambat seperti yang selama ini terjadi. Indonesia harus mengambil inisiatif untuk mengadakan kerja sama MLA dengan negara lain. Jangan sampai Indonesia memiliki UU MLA atau Perjanjian MLA justru karena dipengaruhi atau ditekan Negara lain atau lembaga internasional 25.
24
http://Yunushusein.files.wordpres.com/2007/07/35-mutual legalassistance-dan penegakan hukum-x.pdf.Mutual Legal Asistance : Suatu Keharusan Dalam Penegakan Hukum,diakses pada tanggal 17 Agustus 2010 25 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Salah satu aspek dari MLA ini adalah sharing forfeited asset yaitu asset yang disita sebahagian dibagikan kepada Negara yang membantu penyelesaian kasus tersebut baik untuk biaya operasional atau lainnya. Ini suatu permasalahan baru. Indonesia telah mempunyai ketentuan tentang masalah ini dalam pasal 57 UU No 1 tahun 2006 , namun beberapa Negara seperti Thailand, tidak memilikinya26. Di Amerika Serikat, masalah ini sudah berjalan sejak lama (1989). Sebagai contoh, pada tahun itu ada dana sebesar USD 188 juta dan dibagikan kepada negara lain yang membantu Amerika dalam MLA. Besarnya bagian ini tergantung dari peranan negara tersebut. Kalau negara yang membantu mempunyai peranan yang esensial maka dapat memperoleh 50-80% dari aset yang dirampas. Misalnya, negara tersebut mengembalikan aset yang disita dan membela di pengadilan. Kalau bantuan bersifat substansial seperti melaksanakan permintaan Amerika, dan membekukan aset, maka negara tersebut dapat bagian sebesar 40-50%. Sementara jika peranan negara asing tersebut hanya ''facilitating assistance" misalnya memberikan informasi, menyediakan dokumen maka bank akan memperoleh bagian sampai 40%. 27 Dengan adanya MLA ini diharapkan mampu untuk mengatasi permasalahan dan terdapat perubahan cara pandang terhadap multi aspek korupsi, antara lain : aspek hukum, HAM, pembangunan berkelanjutan, kemiskinan dan keamanan.
26
Ibid. http: // hukum oesoe 83. blogspot .com / 2008 / 12 / bantuan – hukum – timbal -balikdalam.html,Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Menyita dan Merampas Aset korupsi di Luar Negeri, diakses tanggal 23 Juli 2009. 27
Universitas Sumatera Utara
Dalam upaya pemberantasan korupsi, sistem pembuktian konvensional tidak selalu ampuh, sehingga beban pembuktian terbalik merupakan alternatif solusi yang potensial. Jika pada saat sebelumnya, instrument yang sering digunakan penyidik adalah penyitaan (pidana) atau sita in persona yang dalam hal ini unsurnya adalah adanya tindak pidana, maka dalam tindak Pidana khusus seperti korupsi, penyidik kesulitan untuk menemukan hubungan khusus antara perbuatan pidana dan pelaku. Dalam tindak pidana korupsi yang dikejar adalah pelaku, sehingga dalam prakteknya mengalami banyak kesulitan dan tidak banyak aset para pelaku yang dapat disita. KUHAP menetapkan seorang harus ditetapkan sebagai tersangka dulu baru asetnya dapat disita. Akhirnya akan banyak aset koruptor yang tidak terkejar dan banyak dilarikan keluar negeri dikarenakan prosedur hukum yang mengatur sulit mengejar pelakunya.28 Hal ini terlihat dalam persidangan Syamsul Nursalim yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi penyalahgunaan dana BLBI. Dengan alasan sakit, Syamsul Nursalim kabur ke Singapura yang menyebabkan proses persidangannya tertunda29 . Padahal Syamsul Nursalim diperkirakan telah mencuri aset negara senilai Rp. 10 trillyun.30 Pengembalian aset negara yang berhasil dapat dilihat pada kasus BLBI yang uang hasil korupsi dapat diambil kembali oleh pemerintah Indonesia. Uang itu 28
Sita Perdata,Terobosan Baru dalam RUU Tipikor, http://www.hukumonline. com/detail.asp?id= 18005&cl =berita.Diakses pada tanggal 30 Januari 2009. 29 Politik Indonesia, Lagi, Syamsul Nursalim Dikejar Interpol 18 Juli 2003 (http://www.politikindonesia.com/readhead.php?id=333), diakses pada tanggal 20 Nopember 2007. 30 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dikirim ke gabungan satuan kerja masalah Hendra Raharja di Jakarta dengan timnya adalah Departemen Kehakiman. Uang itu adalah harta Hendra yang masih tersisa di Australia. Sedangkan harta Hendra lainnya seperti rumah dan gedung sudah dijual. Disinyalir harta berupa barang bergerak tidak ada lagi.31 Hendra adalah terdakwa kasus korupsi dalam penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada PT BHS. Dalam kasus ini, negara dirugikan sebesar Rp 305 miliar plus US$ 2,3 juta. Disidang secara in absentia, Hendra dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 22 Maret 2002. Majelis hakim juga menghukum para terdakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang pengganti senilai Rp.1,95 triliun. Dalam rangka mengembalikan aset yang dicuri, pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan pemerintah Australia untuk memberantas kejahatan transnasional. Bentuknya berupa gabungan satuan kerja (joint task force) yang dipimpin Departemen Kehakiman dan HAM Indonesia dan Departemen Kehakiman dan Bea Cukai Australia. Harta Hendra lain yang berada di Hong Kong dan Cina serta dua tempat lain juga akan dilacak pihak Indonesia. Diharapkan dengan bekerja sama dengan Negara lain akan melacak harta Hendra Raharja di negara lain yang diduga telah ditransfer oleh Hendra, keluarga, maupun rekan-rekannya32. Dalam praktek, hanya sedikit aset pelaku korupsi yang bisa disita. Karena pemerintah kalah beberapa langkah dari koruptor. Diduga banyak aset koruptor yang tak terkejar karena keburu dilarikan ke luar negeri. 31
InfoAnda.com, Sebesar Rp 4 Miliar Milik Hendra Raharja Disita, Rabu, 21 April 2004 http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=BAdcU1YDBQEB 32 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Sita perdata atau sita in rem lebih mudah dibanding dengan penyitaan yang diatur KUHAP. Dalam sita perdata, aset seseorang bisa disita meski pemeriksaan masih dalam tahap penyelidikan. Bila berdasarkan penyitaan yang diatur KUHAP seseorang harus ditetapkan sebagai tersangka dulu, dalam sita perdata penetapan status semacam itu tidak perlu. Sita perdata bisa dilakukan tanpa adanya tersangka. Keuntungan sita perdata, penanganan aset relatif menjadi lebih cepat. Sebab dalam pidana, penentuan tersangka harus melalui proses yang panjang. Harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat, bukan sekadar bukti permulaan yang cukup. Secara teori, yang “dianggap jahat” adalah benda atau asetnya. Sedangkan pemilik benda “yang dianggap jahat” bukan menjadi fokus dalam sita perdata ini. Hambatan-hambatan inilah yang dapat menjadi tantangan bagi efektifnya pengambilan asset hasil kejahatan di Indonesia. Tanpa adanya putusan dari pengadilan akan sulit bagi Indonesia untuk meminta bantuan negara lain untuk mengambil aset para koruptor yang ada didaerahnya karena adanya asas double criminality yang dianut oleh sebagian negara-negara tersebut. Selain itu, mengingat mudahnya memindahkan transfer, tertundanya persidangan yang diakibatkan oleh kaburnya seorang yang diduga pelaku suatu tindak pidana dapat memberikan kesempatan bagi orang itu untuk memindahkan assetnya. Hal ini terlihat dari masih banyaknya asset para koruptor yang berhasil dilarikan ke luar negeri. Menurut data yang dikeluarkan oleh Merril Lynch, asset
Universitas Sumatera Utara
para koruptor Indonesia di Singapura mencapai US$ 87 millyar atau sekitar Rp. 870 trillyun.33 Dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan koruptor kakap, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menegaskan agar penegak hukum menyelesaikan kasus korupsi besar ini sekaligus membantah isu bahwa program pemberantasan korupsi dilakukan secara tebang pilih. Pemerintah tidak ada niat menjalankan pemberantasan korupsi secara tebang pilih, ”Itu dosa dan salah”. Urusan perkara korupsi harus lurus.Tidak ada kata damai atau pendekatan kabinet malam hari. Semua harus lurus, terang dan akuntable dan dalam hal ini telah meminta Kapolri dan Jaksa Agung agar memisahkan motif-motif politik dalam upaya pemberantasan korupsi karena korupsi itu adalah urusan hukum dan khususnya mengenai TPPU (money laundering ) beliau meminta agar PPATK34 untuk bekerja lebih keras dan disiplin guna mencegah dan memberantas masalah tersebut .35
33
Pikiran Rakyat, 80 % Koruptor Kakap Kabur, Jumat, 27 April 2007 (http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2007/042007/27/0101.htm), diakses pada tanggal 20 Nopember 2007. 34 PPATK digagas dalam Rapat Kerja (Raker) Panitia Adhoc (PAH) IV dengan Kepolisian RI (Polri) tentang pembahasan RUU Tindak Pidana Pencucian Uang (22/5), oleh Wakapolri Makbul Padmanegara dengan usulan perlunya dibentuk lembaga pengawas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Alasannya RUU Tindak Pidana Pencucian Uang yang dinilai Makbul telah memberi kewenangan relatif lebih besar dibandingkan ketentuan dalam UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003. RUU yang dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007 ini secara detil mendelegasikan wewenang kepada PPATK sesuai dengan tugas yang diberikan. Berdasarkan Pasal 38, tugas PPATK antara lain melakukan upaya pencegahan, melakukan pengelolaan data dan informasi, melakukan pengawasan terhadap kepatuhan pelapor, melakukan analisis laporan dan informasi serta menyampaikan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan atau tindak pidana lainnya kepada penyidik; dan melakukan penyelidikan tindak pidana pencucian uang. Untuk pelaksanaan tugas pencegahan, misalnya, PPATK berwenang untuk mengoordinasikan upaya-upaya pencegahan dengan instansi terkait, memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan, mewakili Pemerintah RI dalam organisasi dan forum internasional, menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan anti pencucian uang, dan menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
35
SBY Minta Kasus-kasus Korupsi Besar Dirampungkan Rabu, 28 Nopember 2007 JAKARTA (Suara Karya) http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=187515 . Diakses pada tanggal 31 Januari 2009.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu pemberantasan korupsi sebenarnya bukanlah hanya dalam lingkup penegakan hukum Pidana lewat penuntutan (conviction), lewat suatu proses peradilan pidana (criminal proceedings) semata mata, melainkan juga dapat dilaksanakan lewat upaya keperdataan (civil proceeding). Strategi pencegahan korupsi harus dilihat sebagai upaya strategis disamping upaya pemberantasan (represif). Dan yang lebih penting lagi adalah strategi pengembalian aset (asset recovery) hasil korupsi.36 Melihat permasalahan ini, perlu kiranya Indonesia memikirkan suatu cara baru untuk memerangi korupsi.
Salah satu cara yang dapat digunakan oleh
pemerintah Indonesia adalah dengan menyita dan mengambil alih asset para koruptor dengan jalur gugatan terhadap asset hasil kejahatan secara perdata atau yang di negara common law di kenal dengan istilah civil forfeiture. Secara psikologi, setiap orang yang melakukan tindak pidana pasti memiliki alasan. Pada dasarnya, pelaku kejahatan melakukan tindak pidana guna mendapatkan uang dan kekuasaan. Pihak yang dapat melakukan penuntutan adalah jaksa penuntut umum yang menuntut para pelaku serta merampas uang dan kekuasaan yang diperoleh pelaku dari kegiatan kejahatannya. Untuk itu maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut tentang civil forfeiture sehingga civil forfeiture sehingga perlu dipikirkan beberapa aspek pelaksanaan dari civil forfeiture sebelum diadopsi kedalam hukum di Indonesia. 36
Ibid, I Gusti Ketut Ariawan , hal 6
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah Urgensi Pengimplementasian Civil Forfeiture di Indonesia dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ? 2. Bagaimanakah praktek pelaksanaan Civil Forfeiture di Negara Common Law ? 3. Apakah Hambatan dari Pengimplementasian Civil Forfeiture di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah : a. Untuk dapat mengetahui dan memahami tujuan dan kegunaan pengimplementasian rejim civil forfeiture dalam permberantasan tindak pidana pencucian uang b. Untuk dapat mengetahui dan memahami praktek pelaksanaan rezim civil forfeiture di negara Common Law. c. Untuk dapat mengetahui dan memahami hambatan pengimplementasian rezim civil forfeiture dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia 2. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya hukum acara dan upaya pengembalian aset di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan masukan bagi
Universitas Sumatera Utara
penyempurnaan perangkat peraturan mengenai pemberantasan kejahatan kerah putih pada umumnya dan korupsi pada khsususnya. Secara praktis penelitian bermanfaat bagi aparat penegak hukum dan juga para praktisi hukum dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Bagi negara bermanfaat untuk dapat mengembalikan aset negara yang telah dicuri dan dibawa ke luar negeri.
D. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai pengimplementasian rejim civil forfeiture pemberantasan tindak pidana pencucian uang belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.
E. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Secara umum Civil Forfeiture dapat diartikan sebagai upaya hukum untuk melakukan penyitaan dan pengambilalihan suatu asset melalui gugatan in rem37 atau
37
Gugatan in rem adalah gugatan perdata terhadap aset bukan terhadap tindak pidananya.
Universitas Sumatera Utara
gugatan terhadap asset.38
Penggunaan civil forfeiture sebagai instrumen untuk
menyita dan mengambil aset yang berasal, berkaitan atau merupakan hasil dari kejahatan sudah lazim ditemui di negara-negara common law. Akar dari prinsip civil forfeiture pertama kali ditemukan pada abad pertengahan di Inggris ketika kerajaan Inggris menyita barang-barang yang dianggap sebagai instrument of death atau yang sering disebut sebagai Teori Deodand.39 Teori ini didasarkan pada legal fiksi dimana sebuah tindak pidana dianggap “taint” (menodai) sebuah asset yang dipakai atau merupakan hasil dari tindak pidana tersebut (taint doctrine).40 Munculnya era industrialisasi di Inggris kemudian memaksa parlemen untuk menghapuskan deodand setelah meningkatnya kecelakaan yang terjadi sehingga menyebabkan banyaknya aset yang disita.41 Namun demikian, walaupun deodand telah dihapuskan di Inggris, prinsip dari civil forfeiture ini kemudian berkembang di Amerika Serikat terutama dalam bidang hukum perkapalan (admiralty law).42 Colonial Admiralty Courts sering sekali mengadili persidangan terhadap sebuah kapal dari pada pemilik kapalnya.43 Kongres pertama dari Amerika Serikat mempertahankan penggunaan civil forfeiture di hukum perkapalan dengan mengeluarkan peraturan yang memberi
38
David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of Right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28 Suffolk University Law Review, 1994, hlm. 390. 39 Tood Barnet, “Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act:, 40 Duquesne Law Review Fall 2001, hlm. 89. 40 Ibid. 41 Ibid, hlm. 90. 42 Leonar W. Levy, A License to Steal : The Forfeiture of Property, 1996, hlm. 19. 43 Ibid, hlm. 39.
Universitas Sumatera Utara
kewenangan kepada pemerintah federal untuk menyita kapal.44
Supreme Court
kemudian juga mendukung penggunaan civil forfeiture di Amerika Serikat dalam kasus The Palymra yang terjadi di tahun 1827 dimana pengadilan menolak argument pengacara dari si pemilik kapal yang mengatakan bahwa penyitaan dan pengambil alihan kapalnya adalah illegal, karena tapa adanya sebuat putusan yang menyatakan pemiliknya bersalah.45
Kasus inilah yang menjadi dasar dari penggunaan civil
forfeiture di Amerika Serikat.46 Di Amerika untuk melakukan perampasan aset atau penggeledahan diperlukan Search Warrant (penggeledahan) yang dikeluarkan oleh pengadilan. Dengan Search Warrant ini, penegak hukum dapat mendapatkan banyak informasi mengenai individual yang bersangkutan seperti computer information, kekayaan, record bank, pajak, bisnis, buku cek dan banyak lagi. Elemen yang paling penting adalah harus mempunyai bukti bahwa penyitaan aset tersebut berhubungan dengan aktivitas illegal atau memberikan bukti dugaan bahwa aset tesebut berhubungan dengan aktivitas illegal. Terkadang informasi mengenai aset tesebut dapat diketahui sebelum search warrant dikeluarkan sehingga dapat lebih memudahkan para penegak hukum. Salah satu contoh, dari data pengembalian pajak (tax return) seseorang memperoleh pendapatan sebesar 10.000 US Dollar per tahun, tetapi orang tersebut memiliki harta kekayaan sekitar 500.000 US Dollar kemudian investigator harus mencari hubungan antara aset-aset tambahan dengan tindak pidana. Di Tampa, 44 45 46
Ibid, hlm. 46. Barner, Op.Cit, hlm. 91. Ibid, hlm. 92.
Universitas Sumatera Utara
Florida, terdapat seorang pengedar narkotika pada tahun 1990 dari Kolombia dan orang tersebut memiliki property yang disimpan dibeberapa negara misalnya negara Eropa. Hal yang penting bahwa pelaku kejahatan berupaya menyembunyikan aset kejahatannya dengan menyimpan di negara-negara lain. Elemen lain yang penting adalah kerja sama antar negara yang dapat membantu negara asal untuk melacak asset yang disembunyikan oleh pelaku kejahatan di luar negeri. Untuk perkara pidana di Amerika Serikat menggunakan burden of proof beyond the reasonable doubt. Di Amerika Serikat, setelah aset atau property disita, pihak ketiga dapat mengklaim aset tesebut dengan disertai bukti-bukti yang lengkap. Contoh, jika seorang anak daripada terdakwa ingin mengajukan gugatan atas aset-aset ayahnya yang merupakan terdakwa yang dirampas dengan mengklaim bahwa sebagian dari aset-aset tersebut diperoleh secara sah, maka anak tersebut memiliki hak untuk melakukan hal tersebut selama yang bersangkutan mengajukan bukti-bukti kuat. Criminal Asset Recovery/Asset Forfeiture adalah bagian dari hukuman yang dijatuhkan atas putusan pengadilan atas delik yang terjadi.
Artinya bahwa jika
terdakwa diputus bersalah oleh pengadilan melakukan tindak pidana, dan tunduk pada perampasan aset maka hukum acara perampasan aset dapat dilakukan. Hal ini sama halnya dengan perampasan aset secara perdata dimana jaksa penuntut umum berkewajiban menyampaikan bukti-bukti. Perbedaan antara perampasan aset secara perdata dan perampasan aset secara pidana adalah bahwa dalam perampasan aset secara perdata yang berlaku adalah Pemerintah melawan property, sementara dalam
Universitas Sumatera Utara
perampasan aset secara pidana, Pemerintah melawan terdakwa. Kemudian, pelaksanaan perampasan aset secara pidana tergantung pada putusan pengadilan atas delik yang terjadi, sementara perampasan aset secara perdata tidak, artinya terlepas dari adanya putusan pengadilan atas tindak pidana47. Surat penetapan pengadilan Indonesia terkait penyelamatan aset (dalam proses pembekuan, penyitaan aset, dan lain-lain) tidak memungkinkan adanya peluang perlawanan (verzet). Penetapan pengadilan tersebut dapat diterapkan di negara lain (USA). Bekerja sama dengan pemerintahan negara lain sangat penting dalam usaha penyelamatan aset. Selama diantara negara-negara tersebut mempunyai Mutual Legal Assistance Treaty atau Vienna Convention maka negara tersebut bisa bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam pengeluaran surat penetapan pengadilan. Di Amerika Serikat, penerapan hukum pidana dan perdata mendapat perlakuan yang sama. Office of International Affairs dari Department of Justice di Amerika Serikat bekerja sama dengan pemerintahan luar negeri dalam proses dan pengeluaran Court Orders yang diperlukan oleh negara tersebut dalam kasus penyitaan aset di Amerika Serikat. Secara umum, MLA Treaty harus terbuka, saling menghormati dan kooperatif. Jika terdapat MLA Treaty atau negara peminta telah meratifikasi Vienna Convention,
maka
permintaan
akan
perampasan
aset
secara
international
dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara kedua negara. Pada dasarnya, biasanya terdapat pembagian 50-50 persen atas bagian harta hasil rampasan yang berada di 47
Ario Wandatama, dam Detania Sukarja,Ibid
Universitas Sumatera Utara
negara lain untuk dapat dikembalikan kepada negara peminta. Misalnya, suatu kasus yang pernah ditangani tentang perdagangan obat terlarang, dimana pelaku menyembunyikan aset-asetnya di luar negeri termasuk di Swiss. Pemerintah Amerika Serikat mengirim permintaan kepada pemerintah Swiss untuk merampas aset-aset dan mengembalikannya ke Amerika. Hal ini berjalan dengan baik, tetapi pemerintah Amerika harus membagi 50 persen bagian kepada pemerintah Swiss. Indonesia menganut civil law system dimana peraturan perundang-undangan dibuat dengan kodifikasi dalam media tertentu (misalnya UU, keputusan, regulasi tertulis, dan lain lain ). Saat ini masih menjadi pertimbangan bagi Indonesia apakah Indonesia memerlukan UU Asset Recovery atau UU Asset Forfeiture yang juga mengatur di dalamnya prosedur pemblokiran, penyitaan dan perampasan aset, termasuk pembagian asset, secara tersendiri atau diintegrasikan dengan UU yang ada. Saat ini di Indonesia, keputusan pembagian aset berada di tangan Departemen Keuangan, berbeda dengan Amerika dimana pembagian aset dilakukan berdasarkan kebijakan masing-masing lembaga yang menangani (Department of Justice dan Department of Treasury). Dalam rangka mengembalikan harta kekayaan yang berasal dari korupsi pemerintah mengeluarkan UU Anti Money Laundering. Money Laundering sering kali merupakan upaya yang dipilih oleh para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil korupsinya yang dipermudah dengan ketidak beranian Bank48 untuk melaporkan
48
Lihat ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI Tahun 2001 yang disempurnakan menjadi Peraturan Nomor 5/21/PBI Tahun 2003 yang mewajibkan Bank untuk
Universitas Sumatera Utara
transaksi keuangan yang mencurigakan di perbankan terutama yang menyangkut pejabat-pejabat pemerintahan. Untuk hasil transaksi keuangan yang mencurigakan di perbankan lebih banyak diperoleh setelah dilakukan komplain audit di Bank tersebut.49 Pasal 3 UU TPPU menyatakan : (1) Setiap orang yang dengan sengaja; a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tidak pidana ke dalam Penyediaan Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; b. mentransfer Harta kekayaan yang diketahuinya pidana patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain. c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; d. menghibahkan atau meyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
meneliti kebenaran dokumen mengenai identitas calon nasabah, maksud, tujuan, hubungan yang akan dilakukan calon nasabah dengan bank, informasi lain yang memungkinkan bank untuk dapat mengetahui profil calon nasabah,serta identitas pihak lainnya. 49 Tempo Interaktif, 21 Maret 2007 ,Bank Takut laporkan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan Pejabat Negara, http://www.tempointeraktif .com/hg/ekbis/2007/03/21/brk.200732195966.id.html. diakses tanggal 30 Januari 2009.
Universitas Sumatera Utara
e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; g. menukarkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang surat berharga lainnya; atau h. menyembunyikan
atau
menyamarkan
asal-usul
Harta
Kekayaan
yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun yang paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00,- (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00,- ( lima belas milyar rupiah). (2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Adapun jenis-jenis tindak pidana yang dimaksud dalam UU TPPU adalah sebagai berikut : 1. Tindak Pidana Pencucian Uang : menempatkan, mentransfer, membayarkan/ membelanjakan, menghibahkan/menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
menukarkan
dengan
mata
uang/surat
berharga
lain,
atau
menyembunyikan/menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Universitas Sumatera Utara
2. Tindak Pidana Percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang 3. Tindak pidana menerima/menguasai : penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Ancaman pidana atas tindak pidana yang dimaksud dalam UU TPPU adalah penjara minimum 5 tahun dan maksimum 15 tahun, serta denda minimum Rp. 5 milyar dan maksimum Rp. 15 milyar. Sedangkan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang ; a. penyedia jasa keuangan : sengaja tidak menyampaikan laporan yang diwajibkan (ancaman pidana : denda minimum Rp. 250 juta dan maksimum Rp. 1 milyar) b. setiap orang yang tidak melaporkan pembawaan uang tunai dalam Rupiah sejumlah Rp. 100 Juta atau lebih ke dalam/ ke luar wilayah RI, diancam pidana denda minimum Rp. 100 juta dan maksimum Rp. 300 juta. c. PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum,hakim atau pihak lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar larangan menyebut identitas pelapor diancam dengan pidana penjara minimum 1 tahun dan maksimum 3 tahun. UUTPPU juga mengatur tindak pidana pencucian uang oleh korporasi, dimana disebutkan bahwa tanggung jawab pidana berada pada pengurus dan korporasi yang bersangkutan dan korporasi diancam pidana pokok serta denda sebesar maksimum denda ditambah 1/3 dan pidana tambahan (pencabutan izin usaha).
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan tindak pidana pencucian uang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat biasa, namun juga oleh anggota Polri. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Rekening yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia yang menemukan indikasi keterlibatan tujuh perwiranya dalam tindak pidana pencucian uang dalam penyidikan Devisi Profesi dan keamanan Polri terhadap 15 rekening polisi yang dicurigai dan untuk mana telah dilaporkan kepada PPATK.50 Hasil dari kegiatan money laundering diupayakan dengan gugatan perdata dapat diambil oleh pemerintah Indonesia. Tidak mudah untuk melakukan hal tersebut dikarenakan perlunya pembuktian yang sebelumnya dipakai hanya dengan KUHP sehingga menyulitkan.
Dengan penerapan civil forfeiture dalam UU TPPU
memberikan dasar hukum kepada aparat hukum untuk menyita dan merampas harta kekayaan milik terdakwa meskipun terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan. Modus yang kerap terjadi dalam kasus pencucian uang, menurut Direktur Ekonomi Khusus Polri Brigjen Andi Chaerudin, biasanya dilakukan dengan tiga tahap.51 Langkah pertama melakukan placement. Pelaku kejahatan menempatkan dana yang dihasilkan dari tindak kejahatan ke dalam sistem keuangan. Langkah kedua melakukan layering. Pelaku kejahatan mengubah bentuk dana melalui 50
Tempo Interaktif, 6 September 2005, Tujuh Perwira Polri Diduga Lakukan Pencucian Uang, http://www. tempointeraktif.com/hg/ nasional/2005/09/16/brk, 200509 16 -66692 ,id. html. diakses pada tanggal 29 Januari 2009. 51 bpkp.go.id, Rendah, Dukungan Perusahaan Keuangan Pemberantasan Pencucian Uang, 2005-08-16 http://bpkp.go.id/viewberita.php?aksi=view&start=1205&id=985. Diakses Tanggal 30 Januari 2009.
Universitas Sumatera Utara
transaksi keuangan yang kompleks, tujuannya untuk mempersulit pelacakan asal usul dana. Langkah ketiga melakukan integration. Dengan serangkaian transaksi yang rumit, dana itu dijadikan seolah-olah bukan merupakan hasil tindak kejahatan. Dalam Action Plan
yang dikeluarkan PBB dan Bank Dunia untuk
mendukung pelaksanaan StAR Initiative, negara berkembang diminta untuk menyiapkan dan memperkuat rezim anti money laundering melalui penguatan Finacial Intellegence unit (FIU) dan penerapan system Know Your Costumer (KYC).52
Secara umum, Indonesia telah melakukan hal ini. Keluarnya UU no 15
tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 tentang tindakan pidana pencucian uang (“TPPU”) dan pembentukan PPATK sebagai FIU adalah sebagai bukti keseriusan Indonesia untuk membentuk suatu rezim Anti Money Laundering yang kuat. Dalam konteks StAR Initiative, optimalisasi rejim anti money laundering merupakan sebuah keharusan mengingat institusi ini dapat membentu proses pengembalian aset baik dari segi penyelidikan, penyidikan maupun proses persidangan para koruptor. Setidak tidaknya ada beberapa hal kelebihan dari rejim anti money laundering dalam membantu StAR Inititive. Pertama, rejim anti money laundering telah mengintegrasikan berbagai sektor seperti lembaga penyedia jasa keuangan , bea cukai,aparat penegak hukum sehingga pemberantasan korupsi dan pengembalian asset dapat berjalan lebih terarah
52
M.Guadamillas and R.Keppler,”Securities Clearance an Settlement System.A Guide to Best Practies”, World Bank Policy Reseacrh Working Paper No 2581, April 2001,hal 9.
Universitas Sumatera Utara
dan terorganisir. Kedua, PPATK sebagai anggota Egmont Group yang merupakan FIU sedunia mempunyai akses untuk melacak jalir uang atau mencari alat bukti lainnya di Negara anggota Egmont Group tersebut. PPATK dapat menyediakan informasi mengenai aset tracking, jumlah, identitas pemilik dan linkage dari koruptor pemilik keuangan yang dilarikan keluar negeri melalui jasa keuangan. Hal ini sangat membantu aparat penegak hukum dalam proses pengumpulan alat bukti untuk kepentingan proses persidangan. Ketiga, UU TPPU memberikan dasar hukum kepada aparat hakim untuk menyita dan merampas harta kekayaan milik terdakwa walaupun terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan. Keempat, rezim anti money laundering membantu identifikasi terjadinya korupsi. UU TPPU mewajibkan penyedia jasa keuangan untuk melaksanakan prinsip KYC dan melaporkan transaksi yang tidak sesuai dengan profile KYC (transaksi yang mencurigakan) kepada PPATK Hal ini menjadi indikasi pertama dari terjadinya tindak pidana termasuk korupsi karena apabila si pengguna penyedia jasa keuangan yang dicurigai tersebut melakukan transaksi di luar profile nya maka PPATK dapat mulai melakukan penyidikan tentang asal usul dari pengguna tersebut53. Oleh karena itu diperlukan juga pengimplementasian KYC untuk mendukung proses pengembalian aset baik dalam tahap penyidikan maupun dalam proses pengambilan asset melalui identifikasi aset melalui profile nasabah. Pemerintah telah membuat rule of game dalam aspek teknis dari pelaksanaan StAR
53
Lihat Model Regulation Concerning Laundering Offense connected to illict Drug Trafficking and Related Offense,OEA/Ser-L/XIV.2/CICAD/INF58/92,May23,1992.
Universitas Sumatera Utara
dan pengembangan infrastruktur untuk pengembalian aset dengan metoda hukum pembuktian terbalik (personal quilty) dan dengan upaya hukum perdata.
2. Kerangka Konsepsi Dalam penelitian ini perlu diberikan pengertian dari beberapa istilah yang digunakan dengan tujuan agar tidak terdapat perbedaan penafsiran. Civil Forfeiture adalah upaya hukum untuk melakukan penyitaan dan pengambil alihan asset melalui gugatan perdata in rem atau gugatan asset yang berkaitan atau merupakan hasil pidana. 54 Mutual Legal Assistance Treaty adalah Perjanjian kerjasama timbal balik dengan
Negara
Pihak
ketiga
dalam
masalah
pidana
berkenaan
dengan
penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan Negara diminta.55 Money Laundering adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak kejahatan, dengan maksud menyembunyikan asal usul uang tersebut dari pemerintahan atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan dengan cara terutama memasukkan uang tersebut kedalam sistem keuangan
54
Davis Scott Romantz,Civil Forfeiture and The Constitution : A Legislative abrogation of Right and The Judicial Respons:The Quilt of The Res,28 Suffolk University , Law Review,1994,hlm.390 55 Bismar Nasution,Stolen Assets Recorvey Inititaif,Ibid,.hal 3.
Universitas Sumatera Utara
(Financial system) sehingga apabila uang tersebut kemudian dikeluarkan dari system keuangan itu, maka keuangan itu telah berubah menjadi uang yang sah. Stolen Aset Recovery adalah : pengambil alihan kembali aset aset yang telah dicuri.56 Transaksi Mencurigakan57 adalah : a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan; b. Transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan yang undang undang; atau c. Transaksi
keuangan
yang
dilakukan
atau
batal
dilakukan
dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga hasil dari tindak pidana. Know Your Customer adalah suatu prinsip pengenalan Nasabah untuk mengetahui
identitas
nasabah,
memantau
transaksi,dan
memelihara
nasabah,serta melaporkan adanya transaksi yang mencurigakan
profil
(suspicious
transaction) yang dilakukan oleh pihak yang menggunakan jasa Bank atau perusahaan keuangan lainnya.58
56
Bismar Nasution,Stolen Assets Recorvery Inititiaf, Ibid, hal.1 Pasal 1 ayat 7 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 58 Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 57
Universitas Sumatera Utara
F. Metode Penelitian 1. Sifat dan pendekatan Penelitian Penelitian mengenai pengimplementasian rejim civil forfeiture dalam kerangka hukum Indonesia ini adalah penelitian hukum normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan dan literatur, jurnal dan putusan pengadilan.
Penelitian juga dilakukan dengan
menganalisis hukum baik tertulis di dalam buku (law as it written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process) atau yang lebih sering disebut dengan penelitian doktrinal. Biasanya pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya data sekunder atau bahan pustaka. Penelitin ini lebih menitik beratkan pada data sekunder berupa literatur-literatur yang membahas tentang civil forfeiture. Selain itu dalam penelitian ini juga dipergunakan metode penelitian yang disebut dengan metode perbandingan hukum (comparative law) untuk mengetahui substansi hukum yang menyangkut masalah pengimplementasian rejim civil forfeiture dalam kerangka hukum Indonesia yang diatur dalam system hukum negara selain di Indonesia melalui peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilannnya. Dalam hal ini perbandingan yang dimaksud adalah antara hukum Indonesia yang menganut Civil Law System dengan Negara-negara lain yang menganut Common Law System. Pemilihan metode comparative law ini digunakan dengan alasan bahwa Civil Forfeiture merupakan sebuah instrumen hukum yang berkembang di Negara yang menganut system hukum common law.
Universitas Sumatera Utara
Bervariasinya putusan pengadilan (case law) dalam negara dengan system hukum common law sehingga dapat dipakai sebagai acuan guna mendekati masalahmasalah yang timbul dalam proses pengimplementasian rejim civil forfeiture dalam kerangka hukum Indonesia. Sifat dari penelitian tesis ini adalah bersifat deskriptif sebab penelitian ini akan menggambarkan dan melukiskan asas-asas atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini.
2. Sumber Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini dapat berupa peraturan perundangundangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya. Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi; Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, RUU Civil Forfeiture . Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah
Universitas Sumatera Utara
lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek telaah penelitian ini.59 Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum.
3. Alat Pengumpulan Data Oleh karena penelitian ini merupakan penelitin hukum normatif maka alat pengumpumpulan data yang dipergunakan yaitu ; studi dokumen, artinya data yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang disstematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian.
Keseluruhan data ini kemudian digunakan untuk mendapatkan
landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi.
4. Analisis Data Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisii kaedah-kaedah hukum yang mengatur masalah pengimplementasian rejim civil forfeiture dalam kerangka
59
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982) hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
hukum Indonesia yang kemudian disistemasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.60
60
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 195 – 196.
Universitas Sumatera Utara