BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Basis dari sebuah pemberdayaan adalah masyarakat bukan program. Program hanyalah sebuah media yang menjadi pelengkap pemberdayaan. Justru yang harus dikejar adalah pemberdayaan individu pada masyarakatnya. Memposisikan masyarakat menjadi subyek pemberdayaan adalah hal yang harus dilakukan jika ingin mewujudkan kesejahteraan. Tantangannya adalah karakteristik masyarakat Indonesia yang plural. Hal tersebut menuntut lembaga pemberdayaan untuk berfikir lebih keras agar mendapatkan pendekatan yang tepat. Sesuai dengan karakteristik lingkungan masyarakat masing-masing. Sudah marak program pemberdayaan baik dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga nonpemerintah. Akan tetapi banyak program dari pemerintah yang terkesan kurang mempertimbangkan pemberdayaan dengan tujuan menciptakan masyarakat yang mandiri. Berbagai program pemerintah yang memiliki titel pemberdayaan kenyataannya
belum mampu membuat
masyarakat menjadi mandiri. Program-program yang dilaksanakan terkesan tidak mementingkan substansi pemberdayaan itu sendiri. Padahal dalam konteks
pemberdayaan
masyarakat
merupakan
unsur
utama
dari
pemberdayaan. Tanpa mempertimbangkan hal tersebut niscaya pemerintah dapat mewujudkan pemberdayaan dengan baik.
1
Organisasi gerakan pramuka merupakan organisasi yang juga bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan atas dasar asas kepanduan yang dimiliki oleh gerakan pramuka. Salah satu asas kepanduan ialah membangun masyarakat agar lebih mandiri, tidak bergantung pada apapun, serta menjadikan masyarakat menjadi kreatif dan inovatif. Asas tersebut selaras dengan konsep pemberayaan yang bertujuan untuk mendorong masyarakat agar lebih mandiri, kreatif, dan inovatif. Dapat disimpulkan bahwa gerakan pramuka merupakan bagian dari organisasi yang melaksanakan pemberdayaan melalui asas kepanduan. Asas kepanduan gerakan pramuka diwujudkan melalui berbagai peran kegiatan dalam kepramukaan. Peran gerakan pramuka dijabarkan lebih lanjut melalui Tri Bina Pramuka. Salah satu peran yang dilaksanakan adalah berpartisipasi langsung dengan masyarakat. Peran tersebut adalah bentuk nyata pelaksanaan salah satu Tri Bina Pramuka yakni bina masyarakat. Atas dasar hal tersebut peneliti kemudian mencoba untuk mencari tahu bagaimana peran gerakan pramuka dalam melaksanakan bina masyarakat. Salah satu gerakan pramuka yang melakukan bina masyarakat adalah Pramuka Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pramuka UIN memiliki desa binaan di dusun Bungmanis, desa Pucanganom, kecamatan Rongkop, kabupaten Gunungkidul. Mereka memiliki peran sebagai fasilitator melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Sehingga peran Pramuka UIN dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat akan menjadi pembahasan yang diharapkan mampu memberikan gambaran baru bagi
2
pelaksanaan program pemberdayaan pihak nonpemerintah. Atas dasar itulah judul penelitian “Peran Pramuka UIN dalam kegiatan Pemberdayaan Masyarakat ” dipilih. A. 1. Orisinalitas Telah banyak penelitian yang membahas tentang Pramuka, namun kebanyakan mengarah pada dunia pendidikan. Memang tidak aneh karena Pramuka umumnya dikenal oleh masyarakat secara umum sebagai kegiatan ekstra kurikuler di setiap sekolah. Akhir-akhir ini pemerintah menetapkan sebuah undang-undang yang dikhususkan untuk kepramukaan yakni UU Nomor 12 Tahun 2010. Dasar tersebut seolah menjadi basis kurikulum
pelaksanaan
pendidikan
kepramukaan
atas
legitimasi
pemerintah. Hal tersebut sebenarnya bertentangan dengan asas kepanduan yang seharusnya tidak terikat oleh indonesia. Namun pada penelitian ini peneliti tidak membahas tentang hegemoni ataupun kooptasi pemerintah terhadap pramuka. Pada penelitian kali ini peneliti mencoba untuk mengangkat sisi lain pramuka yang berhubungan dengan masyarakat yakni tentang bina masyarakat. Adapun sudut pandang lain penelitian tentang Pramuka salah satunya ialah “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketertiban Pramuka Kotamadya Surabaya Dalam Pengelolaam Lingkungan Hidup” oleh Soegimin Gitoasmoro mahasiswa S2 Ilmu Lingkungan UGM (1987). Tujuan dari penelitian tersebut ialah mempelajari pelaksanaan keterlibatan pramuka dalam pengelolaan lingkungan hidup, mempelajari faktor-faktor
3
yang mempengaruhinya, dan mempelajari bobot sumbangan pengaruh faktor-faktor tersebut. Secara garis besar hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan pramuka dalam pengelolaan lingkungan hidup di Surabaya belum banyak memberikan kontribusi. Pramuka sebatas mengaplikasikan apa yang diajarkan oleh orangtua khususnya dari ibu. Sehingga menunjukkan bahwa label pramuka yang melekat pada anggota pramuka belum berjalan sesuai dengan tuntunan yang diajarkan baik oleh organisasi maupun harapan masyarakat pada umumnya. Penelitian lain terkait dengan pramuka ialah penelitian dari Kasim Sembiring, mahasiswa S2 Ketahanan Nasional UGM (2004) yang ingin mengetahui dan membuktikan hubungan antara kegiatan pramuka dengan tahap awal Pendidikan Pendahuluan Bela Negara untuk memperkuat ketahanan nasional melalui penelitiannya yang berjudul “Pendidikan Pendahuluan Bela Negara Melalui Gerakan Pramuka Dan Kaitannya Dengan Ketahanan Nasional”. Kesimpulan dari penelitian tersebut ialah semakin tinggi intensitas mengikuti pendidikan kepramukaan melalui kegiatan gerakan pramuka dan semakin tinggi intensitas mengikuti pendidikan kepramukaan melalui kegiatan gerakan pramuka serta semakin tinggi pencapaian hasil ujian syarat kecakapan umum maka semakin tinggi pula tumbuhnya kesadaran bela negara bagi anggota Pramuka Penegak untuk memperkuat netahanan nasional. Peneliti lain yang membahas tentang gerakan pramuka adalah penelitian yang berjudul “Hilangnya Kepanduan Gerakan Pramuka
4
sebagai bagian dari Civil Society di Indonesia” oleh Sri Mulyani mahasiswi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan/Sosiatri angkatan 1996. Pada penelitian tersebut, ia membahas tentang kondisi gerakan pramuka pada era orde baru. Lebih lanjut dijelaskan bahwa gerakan pramuka kala itu dijadikan sebagai alat untuk menarik masyarakat agar seolah-olah negara peduli pada masyarakat melalui pembangunan yang dilaksanakan. Seiring perubahan waktu, politik, dan sosial, dewasa ini model pendekatan kepada masyarakat untuk melaksanakan pembangunan ialah melalui sebuah pemberdayaan. Hal tersebut bertujuan untuk mengubah pola pengembangan masyarakat, dari top-down menjadi bottom-up. Pengembangan dengan model bottom-up kini dikenal dengan istilah pemberdayaan. Pada organisasi pramuka, dijelaskan bahwa organisasi tersebut memiliki asas Tri Bina Pramuka salah satunya bina masyarakat. Kegiatan bina masyarakat dapat diwujudkan dengan berbagai cara salah satunya ialah pemberdayaan masyarakat. Salah satu organisasi pramuka yang sudah melaksanakan bina masyarakat secara berkelanjutan dalam beberapa tahun terakhir ini adalah Pramuka UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sejauh ini peneliti belum menemukan riset tentang Pramuka yang memiliki fokus penelitian pada pemberdayaan, terkait dengan salah satu Tri Bina Pramuka yakni bina masyarakat.
5
A. 2. Aktualitas Pemberdayaan selalu menarik untuk diteliti karena bersifat dinamis, berkembang seiring dinamika yang terjadi di lingkungan masyarakat. Terutama jika melihat aktor dan peran yang dilaksanakan dalam kegiatan pemberdayaan tersebut. Organisasi pramuka merupakan sebuah organisasi yang memiliki fokus pada kegiatan pemberdayaan sebagai wujud pelaksanaan salah satu Tri Bina Pramuka yakni bina masyarakat. Bina masyarakat merupakan kegiatan yang bertujuan untuk membina masyarakat dalam proses menuju keberdayaan masyarakat. Pada implementasi di lapangan, peran pramuka tidak hanya sekedar pemberian program pemberdayaan namun juga bertujuan agar masyarakat yang dibina dapat memperoleh pengetahuan yang lebih. Artinya terciptalah pengembangan pengetahuan atau pola pikir pada masyarakat yang memiliki daya guna lebih dan tidak bergantung pada program-program pemberdayaan yang bersifat sementara. Pramuka UIN hadir di tengahtengah masyarakat untuk membantu masyarakat mencapai kemandirian dan
keberdayaan
tersebut
melalui
agenda-agenda
pemberdayaan
masyarakat yang diterapkannya. A. 3.
Relevansi
dengan
Departemen
Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteran (PSdK) merupakan departemen yang memiliki fokus kajian di bidang ilmu sosial terutama pada lingkungan masyarakat. Departemen PSdK sendiri
6
memiliki
tiga
konsentrasi
yaitu
Social
Policy,
Community
Empowerment, dan Corporate Social Responsibility (CSR). Penelitian ini memiliki relevansi dengan departemen PSdK yakni pemberdayaan masyarakat (community empowerment) yang memiliki fokus pada peran Pramuka UIN Yogyakarta dalam konteks kegiatan pemberdayaan. Pada penelitian ini pembahasan difokuskan kearah bagaimana peran Pramuka UIN dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan, termasuk pendekatan yang dibangun hingga sejauhmana peran Pramuka UIN membantu masyarakat untuk mencapai kemandirian dan keberdayaan. Dengan demikian, penelitian ini relevan dengan departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. B. Latar Belakang Pemberdayaan bukanlah hal yang asing lagi dalam wacana sosial. Berbagai pihak berbondong-bondong memublikasikan gerakan pemberdayaan menuju kesejahteraan ini. Meskipun demikian masih ada saja masalah yang dihadapi oleh aktor-aktor pelaksana pemberdayaan seperti visi dan misi pelaksanaan pemberdayaan yang belum jelas. Padahal pemberdayaan merupakan jembatan masyarakat untuk menjadi sejahtera. Kesejahteraan masyarakat belum akan tercapai jika pembuat keputusan belum memahami pemberdayaan dan belum memiliki visi dan misi yang jelas. Manfaat
dan
tujuan
dari
pelaksanaan
pemberdayaan
kepada
masyarakat adalah agar masyarakat tidak lagi terpuruk di bawah garis kemiskinan. Namun yang terjadi terkadang pendekatan pemberdayaan yang
7
diberikan kurang tepat. Tidak sedikit implementasi program pemberdayaan yang memposisikan masyarakat hanya menjadi penerima program. Dampak yang terjadi adalah masyarakat tidak dapat terbangun dan berkembang. Penempatan masyarakat sebagai penerima program dianggap sebagai perlakuan yang tidak manusiawi karena mengingkari kapasitas manusia sebagai makhluk yang bersifat aktif dan kreatif. Termasuk dalam menanggapi persoalan dirinya dan persoalan di sekitar kehidupannya. Sehubungan
dengan
proses
pemberdayaan,
Soetomo
(2006:7)
menyebutkan bahwa masyarakat dapat diposisikan sebagai subyek dan obyek. Tidak masalah jika dalam keadaan terdesak masyarakat diposisikan sebagai obyek karena kondisi masyarakat yang memang membutuhkan bantuan langsung. Seperti ketika masyarakat mengalami bencana alam atau musibah lain yang membutuhkan bantuan sebagai bentuk penanggulangan. Akan tetapi dalam kondisi normal masyarakat seharusnya tidak diposisikan sebagai obyek karena akan menyebabkan masyarakat menjadi manja. Masyarakat harus terus didorong untuk menjadi tonggak perubahan itu sendiri. Telah
banyak
lembaga-lembaga
yang
melaksanakan
program
pemberdayaan masyarakat diantaranya yakni lembaga pemerintah dan civil society seperti lembaga sosial masyarakat (LSM) ataupun organisasi kepemudaan. Namun sudah barang tentu berbeda jika membandingkan peranan pemerintah dengan organisasi kepemudaan pada tataran pelaksanaan pemberdayaan. Perbedaan mendasar dari kedua pihak tersebut adalah perbedaan metode pemberdayaan. Lembaga pemerintah yang memiliki alokasi
8
dana yang jelas terkadang justru melaksanakan program pemberdayaan yang bersifat charity. Padahal jika dikaji, masyarakat akan dapat berdaya jika masyarakat dilibatkan pada proses pemberdayaan dari penentuan program hingga evaluasi sehingga dapat melanjutkan program dengan mandiri. Akan tetapi yang terjadi dengan program pemerintah tentang pemberdayaan yang cenderung bersifat charity belum mencerminkan visi dan misi pemberdayaan yakni menjadikan masyarakat yang mandiri, bahkan justru sebaliknya. Dengan adanya program pemerintah bersifat charity tersebut membuat masyarakat menjadi berperilaku ketergantungan. Pasalnya program yang diberikan oleh pemerintah tidak sedikit yang berbentuk pemberian bantuan bersifat charity seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang sempat berubah istilah menjadi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) tersebut. Menurut Walikota Solo, Joko Widodo (2012), program pemberian BLT tidak akan menyelesaikan persoalan rakyat miskin dan hanya membuat mereka selalu mengalami ketergantungan. Selain itu, justru malah membuat rakyat terjebak dalam budaya konsumtif (surat kabar Harian Joglo Semar edisi 13 Maret 2012). Pada artikel lain juga disebutkan bahwasanya BLSM tidak membuat masyarakat mandiri. Dilansir dari Kompas.com (edisi 17 Maret 2012), Azam Sahroni, aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Lampung mengatakan bahwa kebijakan tersebut justru menjadikan rakyat terus terjejali dengan hal-hal instan dan semakin tidak mandiri.
9
Sebenarnya ada beberapa program dari pemerintah yang ditujukan untuk memandirikan masyarakat seperti program pemberdayaan berbasis kelompok seperti Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE) ataupun Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Akan tetapi dalam pelaksanaannya pendekatan yang digunakan juga lebih cenderung pada model charity. Dalam hal ini masyarakat hanya diposisikan sebagai pelaksana program, padahal program pemberdayaan yang baik adalah program yang juga mampu mengembangkan kapasitas masyarakat. Kendala lain yang dihadapi oleh lembaga pemerintah ialah aturan yang terlalu mengikat sehingga pada pelaksanaannya tidak dapat fleksibel sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Disisi lain, organisasi kepemudaan sebagai bagian dari civil society justru memberikan peranan ataupun pendekatan yang berbeda. Organisasi yang berbasis masyarakat tersebut lebih dapat bergerak secara bebas, fleksibel, tanpa adanya kekangan ataupun aturan yang mengekang yang membatasi pergerakan pemberdayaan. Salah satu organisasi kepemudaan yang adalah organisasi pramuka. Organisasi pramuka merupakan salah satu bagian dari civil society yang memiliki kepedulian terhadap masyarakat terutama pada pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kapasitas masyarakat. Pandangan yang berkembang di kalangan masyarakat tentang kegiatan kepramukaan pada umumnya merupakan kegiatan ekstrakulikuler wajib yang dilaksanakan di setiap sekolah. Tidak banyak masyarakat yang mengetahui bahwa kegiatan pramuka bukan hanya sebatas permainan semaphore, tongkat, tali-temali, dan kemah yang tentu dibalut oleh seragam coklat muda dan coklat
10
tua berkalungkan hasduk (dasi) merah putih pada leher. Kegiatan yang dilaksanakan oleh pramuka cukup banyak dan meluas mulai dari mendidik internal organisasi pramuka hingga ikut serta berbakti kepada masyarakat. Setiap kegiatan yang dilakukan atau diajarkan memiliki nilai-nilai sosial dan nasionalisme. Dua hal tersebut menjadi kunci ketika kegiatan kepramukaan dilaksanakan termasuk ke dalam lingkungan masyarakat. Pada konteks kepramukaan, pengembangan masyarakat merupakan bagian dari aspek bina masyarakat. Kegiatan bina masyarakat dimaksudkan untuk menjadi unsur interaksi antara organisasi dengan masyarakat. Dengan interaksi tersebut, diharapkan menghasilkan respon positif dari masyarakat terhadap organisasi yang sedang menyelenggarakan kegiatan bina masyarakat. Bina masyarakat diselenggarakan untuk memasyarakatkan program-program dan kegiatan pemberdayaan. Melalui penyelenggaraan tersebut diharapkan berbagai pihak di luar organisasi dapat mengambil pembelajaran terutama tentang pemberdayaan kepada masyarakat. Organisasi
pramuka
merupakan
organisasi
yang
sudah
lama
berkembang di Indonesia. Namun belum banyak yang mengetahui bahwa organisasi
pramuka
juga
memiliki
konsen
terhadap
pengembangan
masyarakat. Pengembangan masyarakat tersebut dilaksanakan oleh anggota pramuka tingkat Pandega (usia 21-25 tahun) melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di lingkungan universitas masing-masing. Secara mendasar organisasi pramuka di tingkat universitas tidak berbeda dengan di tingkat sekolah yang
11
memiliki istilah ekstra kulikuler. Perbedaan antara keduanya berada pada golongan usia dan fokus kegiatan yang dilaksanakan. Pada tingkatan Pandega, pramuka mengenal istilah Tri Bina Pramuka yang terdiri dari Bina Diri, Bina Satuan, dan Bina Masyarakat. Bina diri dimaksudkan untuk pengembangan internal keorganisasian. Bina satuan merupakan pembinaan terhadap sekolah-sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar hingga menengah atas. Sedangkan Bina Masyarakat bertujuan untuk membina dan mengembangkan masyarakat di lingkungan sekitar. Ketiga aspek tersebut dalam struktur organisasi pramuka diimplementasikan di organisasi kalangan mahasiswa. Provinsi DIY sendiri banyak tersebar universitas baik negeri maupun swasta yang memiliki UKM pramuka namun belum semua UKM pramuka dapat melaksanakan tiga asas dasar organisasi pramuka tingkat universitas dengan merata. Salah satu UKM pramuka yang sudah melaksanakan bina masyarakat melalui program pemberdayaan ialah Pramuka UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pramuka UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memiliki desa binaan di Padukuhan Bungmanis, Desa Pucanganom, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pelaksanaan program pemberdayaan di lokasi tersebut telah berjalan dari tahun 2013 hingga tahun 2015. Berbagai program pemberdayaan sudah dilaksanakan. Fokus cangkupan program yang dilaksanakan ialah bidang ekonomi dan pengetahuan umum.
12
Kegiatan pemberdayaan dalam pelaksanaannya tentu memiliki cara masing-masing, termasuk bagaimana pendekatan yang dibangun oleh lembaga pemberdaya tersebut. Begitu pula dengan yang dilaksanakan oleh Pramuka UIN. Sebagai organisasi yang menjunjung nilai-nilai nasionalisme dan sosial ini, mereka memiliki strategi tersendiri dalam mendekati masyarakat desa binaannya. Umumnya masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda-beda antar satu wilayah dengan wilayah lain, termasuk masyarakat dusun Bungmanis. Hal tersebut menuntut Pramuka UIN mencari pola pendekatan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat sekitar. Pramuka
UIN
muncul
untuk
berpartisipasi
dalam
rangkaian
pemberdayaan masyarakat. Bentuk partisipasi Pramuka UIN diwujudkan dengan peranan mereka menjadi fasilitator masyarakat. Melihat isu tersebut maka analisis peran pramuka sebagai fasilitator dalam konteks pemberdayaan masyarakat akan menjadi pembahasan yang menarik untuk dikaji. Diharapkan dengan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang berbeda dalam melakukan sebuah kegiatan pemberdayaan kepada masyarakat. Selain itu juga memberikan dampak positif bagi masyarakat lokal, menciptakan masyarakat yang mandiri, dan dapat menjadikan mereka sebagai subyek dalam proses sebuah pemberdayaan. C. Rumusan Masalah Mengacu pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang peneliti buat adalah, bagaimana peran Pramuka UIN sebagai fasilitator dalam kegiatan pemberdayaan di Padukuhan Bungmanis,
13
Desa Pucanganom, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. 1. Tujuan Penelitian a.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui peranan Pramuka UIN sebagai fasilitator dalam mengembangkan kapasitas masyarakat,
mendorong
keswadayaan
masyarakat,
dan
meningkatkan partisipasi masyarakat. b.
Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pola pendekatan yang dibangun oleh Pramuka UIN.
c.
Bertujuan pula untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan peran Pramuka UIN dalam mewujudkan kemandirian bagi masyarakat.
D. 2. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: a.
Dari penelitian ini, diharapkan mampu menjadi tambahan bahan informasi dan referensi untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam suatu disiplin ilmu, serta memberikan kontribusi bagi pengembangan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.
b.
Bagi kalangan mahasiswa khususnya yang aktif berkegiatan Pramuka, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran terhadap peran pramuka dalam pelaksanaan pemberdayaan di lingkungan masyarakat.
14
c.
Bagi pemerintah, diharapkan dari penelitian ini dapat mendorong peran
pemerintah
membangun
kerjasama
dengan
pihak
nonpemerintah guna mewujudkan pemberdayaan masyarakat yang optimal. E. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka ditujukan sebagai landasan untuk mengkerangkai penelitian. Peneliti menggunakan tinjauan pustaka yang berhubungan dengan konteks pemberdayaan. Beberapa konsep yang disajikan merupakan penjabaran dari konsep pemberdayaan. Konsep pemberdayaan oleh peneliti dibagi menjadi tiga fokus kajian yakni pembasahan mengenai peran organisasi pramuka sebagai fasilitator, pola pendekatan kepada masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat sebagai dasar konsep yang menjadi pisau analisa. Beberapa konsep tersebut akan menjadi dasar untuk melakukan penelitian ini. Sehingga peneliti dapat merangkum berbagai hal terkait peran Pramuka UIN sebagai fasilitator pada kegiatan pemberdayaan. E. 1. Peran pramuka sebagai Fasilitator Pengertian Peran Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peran berarti seperangkat tingkah laku yang diharapkan dapat dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam kehidupan bermasyarakat. Pengertian peran menurut Horton dan Hunt (1993:129-130) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai suatu status. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok. Dalam kehidupan berkelompok
15
tersebut, maka akan terjadi suatu interaksi antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lainnya. Interaksi tersebut muncul karena adanya sifat lahiriah manusia yang memiliki ketergantungan antara satu masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat tersebut, lahir suatu peran yang merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan seseorang. Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang tersebut telah menjalankan suatu peranan. Daniel Katz dan Robert L. Kahn (dalam Muhadjir:1994) berpendapat bahwa peran menggambarkan secara abstrak fungsi yang dimainkan individu dalam organisasi. Individu di organisasi berperilaku sesuai dengan peran yang diletakkan padanya, dalam artian bahwa individu tersebut melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Perilaku ini dibuat dalam ruang (space) tertentu dimana pola aktivitas keorganisasian berlangsung. Dari sinilah terbentuk pola peranan formal (the pattern of formal rules) dimana organisasi disusun ke dalam berbagai peranan yang saling berhubungan dan terikat oleh struktur otoritas. Disisi lain, Ndraha (1990:11) menyebutkan bahwa peran sebagai aspek dinamis suatu lembaga atau organisasi. Peran ditekankan kepada pandangan masyarakat, dalam konteks ini adalah peran organisasi. Suatu organisasi dikatakan berperan atau tidak, diukur dari pandangan masyarakat yang dilandasi oleh penilaian terhadap aktivitas organisasi tersebut di dalam masyarakat. Jika lembaga atau organisasi
16
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka lembaga atau organisasi tersebut melaksanakan perannya. Pramuka merupakan organisasi yang berorientasi pada pengembangan karakter, meskipun demikian organisasi ini memiliki peran dan tanggung jawab sosial yang tidak bisa di abaikan begitu saja, sebagaimana yang tertuang pada Tri Bina Pramuka. Salah satu bentuk peran dan tanggung jawab sosial yang dimainkan oleh pramuka adalah dengan pengabdian kepada masyarakat sebagai cerminan pelaksanaan dari salah satu Tri Bina Pramuka yakni Bina Masyarakat. Dalam hal ini Pramuka UIN memiliki kedudukan sebagai sebuah organisasi yang melaksanakan kegiatan pemberdayaan. Bagaimana Pramuka UIN berperan di masyarakat dapat di lihat pada pendapat yang muncul dari masyarakat terhadap keberadaan Pramuka UIN di lingkungan masyarakat tersebut. Dari pandangan masyarakat juga dapat tertangkap peran yang dilaksanakan oleh Pramuka UIN tersebut dirasakan penting dan optimal tidak oleh masyarakat pada pelaksanaaan pemberdayaan. Pengertian Fasilitator Menurut Barker (dalam Suharto, 2004:98) fasilitator memiliki tanggungjawab untuk membantu masyarakat menjadi mampu menangani tekanan situasional atau tradisional, termasuk melakukan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan aset-aset sosial. Pengertian ini didasari oleh visi fasilitator bahwa setiap perubahan terjadi pada dasarnya dikarenakan oleh adanya usaha-usaha masyarakat sendiri dan peranan fasilitator adalah memfasilitasi atau memungkinkan masyarakat mampu melakukan perubahan
17
yang telah ditetapkan dan disepakati bersama (Parsons, Jorgensen dan Hernandez dalam Suharto, 2004:98). Prinsip sebagai fasilitator sendiri adalah membantu orang agar mampu membantu dirinya sendiri. Pada konteks ini, peranan fasilitator seringkali diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau pemecah masalah secara langsung. Fasilitator bertugas sebagai pendamping masyarakat untuk menemukan solusi atas kebutuhan dan permasalahan yang dimiliki. Dari berbagai penjelasan di tersebut, peran fasilitator dapat dimaknai sebagai bagaimana peran mereka dalam memberikan stimulan kepada masyarakat. Bukan berarti menjadi pembantu masyarakat namun berperan menjadi pihak luar yang mendorong masyarakat agar menjadi lebih berdaya dan mandiri. Sesuai dengan hal tersebut, dalam penelitian peneliti mengkaji peran Pramuka UIN selaku fasilitator di lingkungan masyarakat dalam mengembangkan kapasitas masyarakat, mendorong keswadayaan masyarakat, dan meningkatkan partisipasi masyarakat. E.1.1. Pengembangan Kapasitas Masyarakat Pengembangan kapasitas masyarakat merupakan salah satu unsur utama proses pemberdayaan di samping kewenangan seperti yang telah dijelaskan
pada
bagian
sebelumnya.
Meskipun
muaranya
pada
kemandirian masyarakat, tidak menutup kemungkinan proses tersebut memerlukan pihak eskternal. Apabila stimuli eksternal dimaksudkan sebagai bentuk bantuan, maka prinsip yang seharusnya digunakan adalah : help the people to help themselves. Tentu harus betul-betul dijaga agar
18
bantuan dari pihak luar tersebut tidak menimbulkan ketergantungan. Pasalnya,
banyak
stimuli
eksternal
yang
justru
menimbulkan
ketergantungan, atau paling tidak kelihatannya efektif dalam mendorong dinamika masyarakat, akan tetapi hanya selama stimuli berjalan. Begitu stimuli dihentikan dinamika masyarakat kemudian secara perlahan menurun kembali. Oleh sebab itu maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa implementasi dari stimuli eksternal ini membutuhkan pendekatan dan metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Terdapat dua prinsip dasar dalam penyampaian stimuli eksternal agar hasilnya cukup efektif. Pertama, stimuli eksternal harus dapat berfungsi sebagai instrumen untuk menggali dan mengaktualisasikan potensi dan modal sosial dalam masyarakat. Semakin teraktualisasikannya modal sosial yang mampu menggerakkan tindakan bersama masyarakat. Apabila
semakin
besar
energi
sosial
yang
dapat
digali
dan
diaktualisasikan, maka masyarakat semakin memiliki energi internal untuk menggerakkan roda pembangunan. Kedua, pendekatan yang digunakan dalam
memberikan
stimuli
harus
disesuaikan
dengan
kapasitas
kelembagaan dan dalam hal ini kelembagaan terwujud dalam sekumpulan masyarakat.
Semakin
meningkat
kapasitas
kelembagaan
dalam
masyarakat, semakin berkurang proporsi stimuli eksternal yang diberikan. Uphoff (1986:189) menyebutnya secara berturut turut sebagai pendekatan assistance untuk lembaga yang kapasitasnya lemah, fascilitation untuk kapasitas sedang, dan promotion untuk lembaga yang memiliki kapasitas
19
kuat. Dengan proses seperti ini, pada kondisi tertentu kapasitas kelembagaan sudah betul-betul terasah. Sehingga keberlanjutan proses pembangunan oleh masyarakat dapat berjalan secara mandiri meskipun stimuli eksternal sudah dihentikan (Soetomo, 2011:105-106). Sumodiningrat (dalam Sulistiyani. 2004: 83) menyampaikan bahwa proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut adalah meliputi: 1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. 2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan-keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan. 3. Tahap
pengingkatan
kemampuan
intelektual,
kecakapan-
keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian. E.1.2. Keswadayaan Masyarakat Secara singkat unsur-unsur sistem keswadayaan masyarakat tergolong menjadi enam unsur yakni; (1) Kebutuhan bersama, (2) Potensi dan Sumber Daya Lokal, (3) Pengetahuan dan Kearifan Masyarakat, (4) Institusi Sosial, (5) Energi Sosial, dan (6) Proses dan Mekanisme. Keenam
20
unsur inilah yang akan menjadi tolak ukur sejauh mana keberlangsungan keswadayaan masyarakat terlaksana (Soetomo, 2012: 113-144). Kebutuhan bersama tumbuh berkembang secara bersamaan dengan kesadaran dari masyarakat. Kesadaran atau awareness masyarakat akan menentukan dinamika yang berlangsung. Kesadaran yang dimaksud meliputi kesadaran akan kondisi dinamika di lingkungan sekitar. Kuat tidaknya kesadaran dari masyarakat akan menentukan perkembangan pada suatu masyarakat tersebut. Pandangan dari keswadayaan masyarakat adalah melihat proses menuju semakin banyak pemenuhan kebutuhan tersebut berdasarkan dinamika internal; dari, oleh, dan untuk masyarakat. Sehingga lebih mengutamakan potensi sumber daya lokal yang tersedia di masyarakat. Sumber daya atau resources merupakan potensi dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Dengan semakin banyaknya resources potensial yang dapat diubah menjadi aktual, berbarti semakin besar kontribusi yang dapat diberikan dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Agar dapat menjembatani antara potensi, sumber daya, dan peluang peningkatan kesejahteraan diperlukan tiga hal yakni: pertama identifikasi kebutuhan masyarakat; kedua identifikasi potensi, sumber daya, dan peluang yang selalu berkembang; ketiga proses dan upaya untuk mencari cara yang lebih menguntungkan dalam memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada. Dalam upaya memelihara dan meningkatkan kesejahteraan, masyarakat akan mengalami proses belajar dari lingkungan sekitar. Seperti
21
pada proses belajar pada umumnya, dari proses tersebut masyarakat akan memperoleh kemampuan dan pengetahuan tertentu. Oleh sebab itu apa yang diperoleh tersebut sering diistilahkan sebagai pengetahuan lokal atau kearifan lokal. Pengetahuan lokal juga berguna untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan habitus yang ada di masyarakat termasuk dalam menjaga kebiasaan yang berkembang di lingkungan masyarakat tersebut. Dalam perspektif keswadayaan masyarakat, institusi sosial bukan diartikan sebagai wadah, asosiasi, atau organisasi yang memiliki kebijakan dengan orientasi penyeragaman namun justru memberi toleransi adanya variasi lokal. Salah satu bentuk keberadaan institusi lokal pada tingkat masyarakat bertujuan untuk memfasilitasi berbagai tindakan bersama. Dengan kata lain secara struktural institusi sosial yang dimaksudkan memang tidak memiliki legalitas yang kuat namun dari segi komitmen sangat kental akan keberagaman dengan tujuan untuk mewujudkan visi yang sama. Suatu gagasan agar teraktualisasi dalam bentuk tindakan bersama memerlukan energi. Oleh karena berfungsi sebagai pendorong tindakan bersama untuk memenuhi kepentingan bersama, maka kemudian sering disebut sebagai energi sosial. Energi sosial bukan hanya bermanfaat untuk mendorong tindakan bersama untuk perubahan, perkembangan, dan peningkatan
kondisi
kehidupan,
melainkan
juga
pemeliharaan
kesejahteraan, bahkan dalam mempertahankan eksistensi, sehingga dapat disebut sebagai bagian dari ketahanan sosial masyarakat. Kunci
22
terpeliharanya energi sosial dalam masyarakat adalah adanya komitmen bersama dan kesadaran akan tujuan bersama. Mengenai proses dan mekanisme, dalam perspektif keswadayaan masyarakat, peningkatan kesejahteraan mengutamakan pada dinamika internal masyarakat itu sendiri. Masyarakat mengontrol seluruh proses pembangunan, sejak munculnya gagasan, merencanakan, melaksanakan, hingga membuat evaluasi dari tindakan bersama. Walaupun demikian, energi eksternal yang masuk bukan berarti ditiadakan namun dipilih secara selektif. Pemanfaatan energi eksternal diposisikan sebagai suplemen dari energi internal, mengingat dalam banyak kesempatan ketersediaan energi internal saja kurang dapat mencukupi untuk dijadikan daya dorong sesuai kebutuhan perubahan. E.1.3. Partisipasi Masyarakat Partisipasi berasal dari bahasa inggris yakni; to participate yang berarti ikut serta, mengambil bagian atau terkadang juga sebagai berperan serta. Menurut Mahardika (dalam Mulyadi, merupakan
proses
pemberdayaan
kekuatan
2011:19) Partisipasi masyarakat
dalam
pembangunan dan menjadi salah satu sendi untuk mengukur demokratis tidaknya suatu negara. Sedangkan partisipasi masyarakat merupakan sumbangsih sukarela dari masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dalam menjalankan program, dimana mereka ikut menikmati manfaat dari program-program tersebut serta dilibatkan dalam evaluasi program agar dapat mengangkat
23
tingkat kesejahteraan mereka. Soetomo (2010:440) menerangkan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan secara keseluruhan proses pembangunan mulai dari pengambilan keputusan dalam identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan program, pelaksanaan program, serta dalam evaluasi dan menikmati hasil. Terkait partisipasi masyarakat, Cohen dan Uphoff (1977:99) memberikan sumbangsih yang lebih aplikatif yakni participation in decision making; participation in implementation; participation in benefit; participation in evaluation. 1. Participation in decision making Partisipasi dalam pengambilan keputusan adalah keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan keputusan melalui perencanaan. Masyarakat dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan dengan mengemukakan pendapat dalam menilai suatu program yang akan ditetapkan.
Keikutsertaan
masyarakat
dalam
pengambilan
keputusan tercermin dari: - keikutsertaan masyarakat dalam menghadiri rapat perencanaan pembangunan; - mengemukakan pendapat atau saran dalam setiap rapat; - memberikan informasi dalam setiap pertemuan pembangunan; - keikutsertaan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan.
24
2. Participation in implementation Partisipasi dalam pelaksanaan merupakan keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Partisipasi dalam pelaksanaan ini dapat berwujud kontribusi. Kontribusi ini dapat diuraikan sebagai berikut: - kontribusi dengan tenaga; - kontribusi dengan uang; - kontribusi dengan bahan (material). 3. Participation in Benefit Partisipasi dalam kemanfaatan merupakan wujud peran dimana dalam
keikutsertaan
terebut
dapat
memberikan
manfaat
lebih/positif bagi pemerintah dan masyarakat. Keikutsertaan yang dimaksud dapat berupa: - mengikuti kegiatan pemeliharaan kebersihan rumah dan lingkungan; - mengikuti kegiatan keagamaan; - mengikuti kegiatan pemeliharaan keamanan lingkungan; - mengikuti kegiatan kelompok usaha ekonomi. 4. Participation in Evaluation Keikutsertaan evaluasi merupakan keikutsertaan masyarakat dalam mengawasi dan menilai pelaksanaan hasil-hasil perencanaan. Keikutsertaan yang masyarakat dalam bentuk ini dapat dilihat ketika masyarakat:
25
- melakukan kritik/koreksi terhadap jalannya pembangunan; - memberikan saran terhadap jalannya pembangunan. E. 2. Pendekatan Masyarakat Secara Partisipatif Berbagai peran pramuka UIN tersebut tidak lepas dari pola pendekatan
Pramuka
UIN
secara
parsitipatif.
Sulistiyani
(2004:90)
menjelaskan bahwa dari pemahaman hakikat pemberdayaan yang berbedabeda, maka lahirlah dua sudut pandang yang bersifat kontradiktif. Kedua sudut pandang tersebut memberikan implikasi atas 4 pendekatan yang berbeda pula di dalam melakukan langkah pemberdayaan masyarakat. Pendekatan yang pertama memahami pemberdayaan sebagai sudut pandang konfliktual. Munculnya konflik tersebut didasarkan pada perspektif konflik antara pihak yang memiliki daya/kekuatan di satu sisi, yang berhadapan dengan pihak yang lemah di sisi lainnya. Pendapat ini diwarnai oleh pemahaman bahwa kedua pihak yang berhadapan tersebut sebagai suatu fenomena kompetisi untuk mendapatkan daya, yaitu pihak yang kuat berhadapan dengan kelompok lemah. Penuturan yang lebih simpel dapat disampaikan, bahwa proses pemberian daya kepada kelompok lemah berakibat pada berkurangnya daya pada kelompok lain. Sudut pandang ini lebih popular dengan istilah zero-sum. Jika diinterpretasikan pendekatan zero-sum tersebut, tampaknya lebih merupakan cerminan pemberdayaan model barat. Pendekatan ini lebih sesuai untuk menganalisis pemberdayaan dalam pengertian pengalihan kekuasaan. Dalam konteks pengalihan kekuasaan dari pihak yang sebelumnya memegang
26
kekuasaan, kepada pihak yang tidak memiliki kekuasaan, maka akan berkuranglah kekuasaan yang dimiliki oleh pihak pertama, karena sebagian telah beralih pada pihak kedua. Tetapi pendekatan zero-sum menjadi kurang relevan jika dipergunakan untuk menganalisis sebuah proses pemberdayaan dalam konteks pemberian kemampuan dari pihak yang memiliki kemampuan kepada pihak yang tidak memiliki kemampuan. Tidak berarti kemampuan seseorang atau suatu lembaga akan berkurang, ketika memberikan atau lebih tepatnya mentransfer kemampuan mereka kepada pihak yang belum memiliki kemampuan. Implikasi dari pendekatan zero-sum adalah orang/lembaga menjadi enggan untuk melakukan pemberdayaan terhadap orang atau lembaga lain. Logika ini dibenarkan mengingat jika proses pemberdayaan “yang dimaksud” pengalihan kekuasaan, maka akan berkuranglah kekuasaan mereka. Jika demikian maka penguasa tidak akan melakukan pemberdayaan kepada masyarakat. Pandangan kedua bertentangan dengan pandangan pertama. Jika pada pandangan pertama proses pemberdayaan mengakibatkan berkurangnya daya pada pihak yang berkuasa, maka sudut pandang kedua berpegang pada prinsip sebaliknya. Manakala terjadi proses pemberdayaan dari pihak yang berkuasa/berdaya kepada pihak yang lemah justru akan memperkuat daya pihak pertama. Dengan demikian kekhawatiran yang terjadi pada sudut pandang pertama tidak berlaku pada sudut pandang kedua. Pemberi daya akan memperoleh manfaat positif berupa peningkatan daya apabila melakukan
27
proses pemberdayaan terhadap pihak yang lemah. Di samping itu keyakinan yang dimiliki oleh sudut pandang ini adalah adanya penekanan aspek generatif. Sudut pandang demikian ini popular dengan nama positive-sum. Dalam perjalanan historis pembangunan bangsa Indonesia tampaknya sudut pandang pertama cukup dominan. Jika diamati dari hasil-hasil pembangunan yang sesungguhnya memiliki tujuan pemberdayaan masyarakat miskin/lemah telah memunculkan fakta dikotomis. Fenomena ketergantungan daerah-pusat, ketimpangan dan jurang pemisah antara kaya dan miskin, kesenjangan struktural, dominasi peran publik dan sosial antara laki-laki perempuan, merupakan pola-pola sub-ordinasi yang memberikan bukti bahwa adanya pandangan pemberdayaan dalam konteks pembangunan nasional selama ini berkiblat pada zero-sum. Itulah mengapa selama ini juga terjadi tarik ulur antara pusat dan daerah, penguasa dan pihak yang dikuasai. Seharusnya sudut pandang positive-sum yang dikembangkan. Sudut pandang ini dapat memfasilitasi terjadinya proses pemberdayaan yang hakiki. Dengan adanya iktikad baik untuk mengubah keadaan, yang tidak berdaya menjadi berdaya. Iktikad baik tesebut dilakukan tanpa ada rasa setengah hati, karena ketakutan apabila sebagian kekuasaannya berkurang. Pengalihan daya tidak melalui situasi konfliktual, akan tetapi bermodal suatu dorongan kesadaran akan kewajiban akan pentingnya aspek generatif yang perlu dilangsungkan. Kekuatan dan keberdayaan yang tumbuh dalam masyarakat akan memberikan kontribusi yang baik kepada pemerintah dan negara, bukan sebaliknya akan menumbangkan pemerintah dan negara. Keberdayaan
28
masyarakat akan menjadi penyeimbang bagi pemerintah dan sektor swasta yang menjilma dalam bentuk kemitraan yang lebih bermakna. Konsep pendekatan pemberdayaan yang kedua merupakan pendekatan yang dapat dikembangkan dengan luas. Dengan sudut pandang positive-sum kelompok masyarakat yang menjadi bagian eksternal pengembangan kapasitas tidak akan canggung dan ragu untuk memberikan ilmu yang dimiliki. Pramuka UIN selaku bagian dari fasilitator masyarakat juga memiliki tujuan selain memberikan pelatihan pada masyarakat, mereka juga belajar bagaimana menjadi fasilitator yang baik. Proses pengembangan kapasitas didapatkan ketika seorang/kelompok fasilitator mempersiapkan pelatihan atau berkomunikasi dengan obyek pemberdayaan. Komunikasi dengan obyek penelitian yang dimaksud adalah pada saat terdapat interaksi pembahasan yang didalamnya memiliki unsur-unsur pengetahuan guna memperluas wawasan. Dengan metode yang diterapkan ini, Pramuka UIN mendapatkan dua keuntungan secara langsung yakni selain mengembangkan kapasitas masyarakat, mereka sebagai fasilitator juga semakin memiliki pengetahuan dan wawasan sehingga kapasitas sumber daya baik masyarakat maupun Pramuka UIN sama-sama mengalami penambahan. Suharto memberikan penjelasan lebih rinci tentang bagaimana pendekatan kepada masyarakat secara partisipatif. Suharto (2014:67-68) menjelaskan bahwa pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan yang dapat disingkat
29
menjadi 5P, yakni: Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan, dan Pemeliharaan (Suharto, 1997:218-219): 1. Pemungkinan Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat. 2. Penguatan Memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan
harus
mampu
menumbuh-kembangkan
segenap
kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka. 3. Perlindungan Melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil. 4. Penyokongan Memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan
30
harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan. 5. Pemeliharaan Memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha. E. 3. Pemberdayaan Masyarakat Setelah memahami konsep peran, sesuai dengan pembahasan yang diangkat, peneliti melihat bagaimana peran Pramuka UIN dalam konteks kegiatan pemberdayaan. Maka dari itu perlu sebuah pemahaman konsep dari pemberdayaan itu sendiri. Berbagai pendapat terkait pemberdayaan sendiri akan dibahas pada paragraf berikutnya. Secara epistimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/ kekuatan/ kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya (Sulistiyani, 2004:77). Menurut
Prijono
dan
Pranaka
(dalam
Sulistiyani,
2004:78),
menyatakan pemberdayaan mengandung dua arti. Pengertian yang pertama adalah to give power or authority, yang maknanya memberikan kekuasaan, mengalihkan
kekuatan
atau
mendelegasikan
otoritas
kepada
pihak
31
kurang/belum berdaya. Pengertian kedua, to give ability to or enable, yang maknanya memberikan kemampuan atau keberdayaan serta memberikan peluang kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu. Tiga aras pendekatan pemberdayaan menurut Parsons Lebih lanjut, Parsons (dalam Suharto, 2014:66-67) menyatakan bahwa pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Dalam beberapa situasi, pemberdayaan dapat dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya akan tetap berkaitan dengan kolektivitas, dalam mengkaitkan klien dengan sumber atau sistem lain di luar dirinya. Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting): mikro, mezzo, dan makro. Aras Mikro: Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugastugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach). Aras
mezzo:
pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien.
Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
32
Aras Makro: Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat,manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi Sistem Besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak. Penyadar-tahuan menurut Ife Terkait dengan konsep pemberdayaan masyarakat, Ife (2008:130) membuat suatu definisi kerja sederhana terkait gagasan pemberdayaan. Dia menyebutkan bahwa pemberdayaan bertujuan meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan (the disadvantaged). Jika pemberdayaan adalah tentang meningkatkan kekuasaan kaum yang dirugikan, melihat bukan hanya kepada apa yang membentuk kekuasaan tetapi juga sifat dari keadaan yang merugikan merupakan satu hal yang perlu (Ife, 2008:145). Adapun beberapa strategi yang dapat diusulkan dalam rangka untuk mencapai pemberdayaan. secara luas strategi ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian; kebijakan dan perencanaan, aksi sosial dan politik, pendidikan dan penyadar-tahuan. Pemberdayaan melalui kebijakan dan perencanaan dicapai dengan mengembangkan atau mengubah struktur-struktur dan lembaga-lembaga untuk mewujudkan akses yang lebih adil kepada sumber daya atau berbagai layanan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
33
Pemberdayaan melalui aksi sosial dan politik menekankan pentingnya perjuangan dan perubahan politik dalam meningkatkan kekuasaan yang efektif. Bagaimana proses tersebut diterapkan tergantung pada pemahaman tentang kekuasaan dalam proses politik (pluralis, elite, struktural, atau post struktural).
Pemberdayaan
melalui
pendidikan
dan
penyadar-tahuan
menekankan pentingnya suatu proses edukatif (dalam pengertian luas) dalam melengkapi masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan mereka. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran atau dengan kata lain membantu masyarakat memahami karakteristik mereka sendiri serta memberikan masyarakat keterampilan untuk bekerja menuju perubahan yang efektif (Ife, 2008:148). Relasi antara kebutuhan dan sumber daya menurut Soetomo Jika memerhatikan aspek lain dari suatu perspektif keadilan sosial dan Hak Asasi Manusia yang penting dalam pengembangan masyarakat ialah memerhatikan kebutuhan (needs) masyarakat. Needs memiliki relasi dengan resources (sumber daya). Kebutuhan akan terpenuhi jika sumber daya juga tersedia. Pemenuhan kebutuhan sebagai cermin dari pengembangan masyarakat adalah bagian dari suatu proses pembangunan masyarakat. Pembangunan masyarakat merupakan proses perubahan yang bersifat multidimensi menuju kondisi semakin terwujudnya hubungan yang serasi antara needs dan resources melalui pengembangan kapasitas masyarakat untuk mengembangkan dirinya terutama dalam memanfaatkan peluang dan sumber daya, mengantisipasi tantangan dan menangani masalah sosial yang
34
muncul, sehingga terwujud kondisi kehidupan yang semakin sejahtera (Soetomo, 2011:35). Kemandirian Masyarakat sebagai tolak ukur Keberhasilan masyarakat untuk mandiri dapat dilihat dari segi sosial maupun ekonomi serta kompetisi teknis (Tulus, 1996:36). Tercapainya kemandirian didapatkan dalam pendampingan dan pelatihan yang kemudian dapat
diimplementasikan
dalam
pengembangan
usaha,
sehingga
ketergantungan masyarakat akan bantuan dapat berkurang. Peningkatan pendapatan
menjadi
indikator
kemandirian
secara
ekonomi,
bahwa
masyarakat mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Sulistiyani (2004:80) mengatakan bahwa keberdayaan masyarakat adalah kemampuan individu dan masyarakat untuk menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, dan afektif seta sumber daya lainnya yang bersifat fisik dan material. Kondisi kognitif pada hakekatnya merupakan kemampuan berfikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan
35
kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan.
36