BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota sebagai pusat pelayanan memberikan banyak dampak pada perkembangan kota, salah satunya adalah sebagai faktor penarik penduduk untuk melakukan urbanisasi. Menurut Rustiadi, dkk (2009:223) menyatakan bahwa “urbanisasi yang memperlemah perkembangan kota, dapat dilihat dari perkembangan kota-kota besar yang mengalami over-urbanization”. Hal ini dapat dilihat, berdasarkan proyeksi pada tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan mencapai 53,3% dan akan terus meningkat hingga mencapai 66,6% di tahun 2035 (Badan Pusat Statistik, 2013) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.1 berikut:
Gambar 1.1 Populasi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia Tahun 2005-2045 Sumber: Bappenas dalam Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional (KSPPN) 2015-2045 (2014)
1
Tingginya jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan ini menyebabkan berbagai masalah, salah satunya adalah ketidakseimbangan laju pertumbuhan penduduk dengan penyediaan ruang fisik yang ada di perkotaan. Meningkatnya angka pertumbuhan penduduk yang tinggal di perkotaan, juga akan meningkatkan kebutuhan
pendukung
lainnya
dan
kemudian
memunculkan
berbagai
permasalahan seperti keterbatasan lahan, kemacetan, tumbuhnya kawasan kumuh, kurangnya lapangan pekerjaan, dan masalah perkotaan lainnya. Oleh karena itu diperlukan adanya arah pembangunan yang berkelanjutan untuk menyelesaikan masalah-masalah
perkotaan
tersebut.
Pengembangan
kota
yang
tidak
direncanakan dan ditata berdasarkan prinsip-prinsip berkelanjutan berdampak pada tingginya biaya ekonomi, sosial, dan lingkungan yang tinggi. Brundtlant dalam Suweda (2011:117) mendefinisikan bahwa: “Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi keperluan hidup manusia kini dengan tanpa mengabaikan keperluan hidup manusia masa datang”. Minimal ada 3 (tiga) kata kunci untuk pembangunan berkelanjutan, yaitu keberlanjutan pertumbuhan ekonomi, sosial budaya, dan kehidupan lingkungan (ekologi) manusia dengan segala eksistensinya. Pencapaian kota berkelanjutan dapat dirangkum ke dalam lingkup yang lebih mikro dengan 4 (empat) parameter yaitu livability, competitiveness, bank ability, good governance and management (World Bank Institute, 2001). Salah satu parameter dari pencapaian kota berkelanjutan adalah daya hidup (livability). Saat ini beberapa kota di Indonesia mengeluhkan ketidaknyamanan dari berbagai masalah seperti ketidaknyamanan tempat tinggal, transportasi, fasilitas umum, penurunan kualitas lingkungan, menurunnya jumlah ruang terbuka hijau, dan permasalahan perkotaan lainnya, sehingga masyarakat menginginkan kotanya sebagai Livable City. Kota yang memiliki daya hidup (livability) tinggi mampu menjadi salah satu indikator untuk pembangunan
2
berkelanjutan
demi
mencapai
kesejahteraan
masyarakat.
Yunus
(2004)
mendefinisikan Livable City adalah sebagai berikut: “suatu kota yang sangat sarat akan daya tarik untuk bertempat tinggal dan berkegiatan karena kenyamanan atmosfirnya, termasuk lingkungan abiotik, biotik dan lingkungan sosio, ekonomi dan kultural yang secara bersamasama menciptakan lingkungan kekotaan yang nyaman”. Daya saing (competitiveness) antar kota juga dikatakan sebagai alat ukur konsep kota yang berkelanjutan, semakin tinggi daya saing (competitiveness) suatu wilayah, maka semakin tinggi pula kesejahteraan masyarakatnya. Kota-kota yang tidak berdaya saing (competitiveness) lambat laun akan mengalami penurunan petumbuhan daerahnya (Santoso dalam Millah, 2013). Daya saing (competitiveness) inilah yang juga menjadi salah satu parameter tercapainya kota yang berkelanjutan (World Bank Institute, 2001). Pada otonomi daerah saat ini, setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengelola daerahnya sendiri sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki, sehingga antar daerah bersaing untuk menarik investasi dan bersaing memerangi permasalahan-permasalahan yang ada di daerahnya, termasuk tingkat daya hidup di kotanya. Abdullah, dkk (2001:15) mendefinisikan bahwa daya saing (competitiveness) adalah “kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional”. Selain itu perwujudan kota yang berdaya hidup (livable city) dan kota yang berdaya saing (competitiveness) menjadi sasaran pembangunan perkotaaan yang diamanatkan dalam dokumen perencanaan Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional (KSPPN). Untuk mewujudkan kota yang berdaya hidup (livability) dan berdaya saing (competitiveness) perlu dilakukan pembinaan khusus untuk pelaku pembangunan perkotaan yang berupa peningkatan kapasitas aparatur pemerintah dalam penyamarataan konsep dan kriteria perwujudan kota yang berdaya hidup (livability) dan juga berdaya saing (competitiveness) melalui mekanisme tahapan pembangunan penyusunan kebijakan; perencanaan dan 3
penganggaran; pelaksanaan; pengendalian, monitoring dan evaluasi; serta pembinaan (Bappenas, 2014).
Dengan adanya mekanisme perwujudan daya
hidup (livability) dan daya saing (competitiveness) ini dapat disimpulkan bahwa kedua
aspek ini menjadi sangat penting untuk perkembangan suatu kota di
Indonesia, dikarenakan pada saat ini kedudukan Indonesia masih berada di peringkat bawah, baik itu tingkat daya hidup (livability) maupun tingkat daya saing (competitiveness) jika dibandingkan dengan negara-negara dunia lainnya. Dari jabaran di atas dapat diketahui bahwa tingkat daya hidup (livability) merupakan upaya defensif sebuah kota untuk mempertahankan kenyamanan kotanya agar masyarakat yang tinggal di dalamnya mampu merasa nyaman. Sementara tingkat daya saing (competitivess) merupakan upaya ofensif kota untuk mampu “menjual” kotanya sehingga mampu meningkatkan investasi dan bersaing dengan kota-kota lainnya. Dengan kedua konsep ini, sebuah kota seharusnya memiliki tingkat daya hidup (livability) dan tingkat daya saing (competitiveness) yang tinggi sebagai suatu hubungan timbal balik sehingga mampu mewujudkan kota yang berkelanjutan. Saat ini belum ada bukti bahwa kedua konsep ini, yaitu tingkat daya hidup (livability) dan tingkat daya saing (competitiveness) dapat digunakan
secara
bersamaan
untuk
mewujudkan
indikator
kota
yang
komplementer. Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menyumbang struktur perekonomian Indonesia melalui kontribusi terhadap PDRB sebesar 60% total ouput Indonesia yang disebabkan karena perkembangan infrastruktur Pulau Jawa lebih maju jika dibandingkan di luar Pulau Jawa (World Bank dalam Pamungkas, 2009). Oleh karena itu, Pulau Jawa menjadi sasaran fenomena urbanisasi terutama kota-kota di Pulau Jawa, mengingat
kota sebagai pusat pelayanan.
Namun tidak dapat dihindari bahwa fenomena urbanisasi ini menimbulkan berbagai masalah perkotaan. Untuk mencapai pembangunan kota yang berkelanjutan, diperlukan adanya tingkat daya hidup (livability) dan tingkat daya saing (competitiveness) yang sama-sama tinggi. Terlebih lagi saat ini fenomena 4
yang banyak terjadi di kota-kota yang sedang berkembang, justru performa tingkat daya hidup (livability)-nya menurun saat kotanya mulai meningkatkan daya saing (competitiveness)-nya seperti Kota Yogyakarta sebagai contoh, kota ini sedang menggiatkan pembangunan untuk meningkatkan daya saing (competitiveness) kotanya, namun justru melupakan aspek daya hidup (livability), sehingga yang terjadi saat ini Kota Yogyakarta memiliki tingkat daya saing (competitiveness) yang mulai tinggi, namun tingkat daya hidup (livability)-nya justru menurun. Dinamika naik turunnya performa kota tersebut adalah sesuatu yang normal dalam Urban-Life Cycle Theory. Dinamika perkotaan ini muncul akibat adanya perubahan perilaku aktor perkotaan dalam penggunaan ruang, sehingga mempengaruhi daya tarik dari kota itu sendiri. Van den Berg dalam Dijk, dkk (2013) mengatakan bahwa perilaku dari kebijakan pemerintahlah yang sering mengarahkan perilaku spasial pada aktor perkotaan sehingga menyebabkan rantai melingkar yang terjadi pada dinamika perkotaan. Hal tersebutlah yang akan menimbulkan urban dilemma bagi policy maker bagaimana suatu kota akan mengarah, apakah lebih menuju ke tingkat daya hidup (livability) ataukah ke tingkat daya saing (competitiveness). Dengan kedua konsep, tingkat daya hidup (livability) dan tingkat daya saing (competitiveness) diharapkan kota-kota di Pulau Jawa memiliki upaya defensif dan ofensif untuk mewujudkan kota yang komplementer melalui tingginya kedua aspek tersebut. Kota yang tidak hanya nyaman, tetapi juga atraktif dan kreatif akan mampu meningkatkan investasi karena tujuan dan hasil akhir dari peningkatan daya hidup dan daya saing (competitiveness) adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk. Selain itu, melalui penelitian ini dapat dilihat bagaimana kecenderungan hubungan antar keduanya di kota-kota Pulau Jawa. Oleh karena itu untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan juga mewujudkan indikator kota yang komplementer, penelitian hubungan tingkat
5
daya hidup (livability) dengan tingkat daya saing (competitiveness) kota di Pulau Jawa sangatlah penting untuk dilakukan.
Gambar 1.2 Diagram Latar Belakang Sumber: Konstruksi Penulis, 2015
6