BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu lembaga baru yang lahir melalui perubahan ketiga UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disingkat UUD NRI 1945 antara lain adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD), jika ketentuan mengenai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diatur dalam Pasal 20 UUD NRI 1945,1 maka hadirnya DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia diatur dalam BAB VIIA Pasal 22C dan Pasal 22D UUD NRI 1945.2 Berdasarkan perubahan ketiga UUD NRI 1945, ide pembentukan DPD adalah dalam rangka restrukturisasi parlemen menjadi dua kamar (bicameralism).3 Terdapat dua alasan yang memungkinkan mengapa para penyusun konstitusi memilih sistem bikameral. Pertama adalah untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) serta untuk membahas sekali lagi dalam bidang legislasi. Kedua adalah untuk membentuk perwakilan yang menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak cukup terwakili oleh majelis pertama. Secara khusus, bikameralisme telah digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai untuk daerah-daerah di dalam lembaga legislatif.4
1
Lihat UUD NRI 1945. Lihat UUD NRI 1945. 3 Jimly Asshiddiqie, 2007, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, hlm. 17. 4 Reni Dwi Purnomowati, 2005, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 16. 2
1
2
Begitu banyak gagasan-gagasan yang memprakarsai dibentuknya DPD, sebagaimana diungkapkan oleh Bagir Manan bahwa beberapa gagasan dibalik ide pembentukan DPD diantaranya adalah Pertama, dibentuknya DPD dan DPR digambarkan serupa dengan sistem perwakilan seperti di Amerika Serikat yang terdiri dari Senate sebagai perwalian negara bagian (DPD), dan House of Representatives sebagai perwalian seluruh rakyat (DPR). Di Amerika Serikat kedua unsur perwakilan tersebut dinamakan Kongres (The Congress).5 United States Constitution (1787), Article 1 Section (1) stated: “All legislative powers herein granted shall be vested in a Congress of United States,
which
shall
consist
of
a
Senate
and House
of
Representatives.”6 Kedua, untuk meningkatkan keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik dan pengelolaan negara. Dengan demikian, DPD dapat pula dipandang sebagai koreksi atau penyempurnaan sistem utusan daerah di MPR menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945 sebelum perubahan.7 Perbedaan mendasar DPD dan DPR terletak pada hakikat kepentingan yang diwakili masing-masing, DPR dimaksudkan untuk mewakili rakyat, sedangkan DPD dimaksudkan untuk mewakili daerah-daerah sebagai keseluruhan.8
5
Bagir Manan, 2003, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 BARU, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 59. 6 Lihat Konstitusi Amerika Serikat (1787) 7 Ibid., hlm. 57. 8 Jimly Asshidiqqie, 2007, Op. Cit., hlm. 50.
3
Pada dasarnya DPD merupakan lembaga yang memiliki kedudukan sama dengan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.9 DPD juga merupakan lembaga perwakilan yang berkedudukan sebagai lembaga negara yang terdiri dari wakilwakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum oleh rakyat tanpa melibatkan peranan partai politik. Pembentukan DPD sebagai salah satu institusi negara yang yang baru, bertujuan untuk mengakomodasi aspirasi daerah sekaligus memperbesar peran daerah dalam mengambil keputusan politik. Hal tersebut berangkat dari indikasi bahwa pengambilan keputusan yang sentralistik pada masa lalu yang mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan yang berimplikasi pada ancaman disintegritas bangsa. Keberadaan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pun tidak dilepaskan dari pelembagaan fungsi representasi. Dalam rangka pelembagaan fungsi representasi itu, dikenal adanya 3 (tiga) sistem perwakilan yang dipraktekkan di berbagai negara demokrasi yaitu: 1. Sistem perwakilan politik (political representative); 2. Sistem perwakilan teritorial (teritorial representative); dan 3. Sistem perwakilan fungsional (fungsional representative).10 Dari tiga sistem perwakilan di atas, penulis berpendapat bahwa sistem perwakilan yang diterapkan pada DPD adalah sistem perwakilan teritorial (teritorial representative), dengan jumlah yang telah ditentukan dalam Pasal 252 ayat (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan 9
Firmansyah Arifin, dkk, 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Jakarta, hlm. 75. 10 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, hlm. 39-44.
4
DPRD atau yang lebih dikenal dengan istilah UU MD3, bahwa anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) orang. Dalam perjalanannya sebagai lembaga perwakilan daerah, DPD mempunyai beberapa fungsi yaitu antara lain fungsi di bidang legislasi, fungsi pertimbangan, dan fungsi di bidang pengawasan. Lebih jelasnya, DPD yang merupakan lembaga perwakilan daerah dan berkedudukan sebagai lembaga negara mempunyai fungsi: Pertama, DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan rancangan undang-undang bidang legislasi tertentu;11 Kedua, pengawasan dan pelaksanaan undang-undang tertentu.12 Selain yang diatur dalam Pasal 22D, tugas dan wewenang DPD juga diatur dalam Pasal 23E ayat (2), dimana DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan selanjutnya disebut BPK, sesuai dengan kewenangannya. Kemudian dalam Pasal 23F ayat (1) disebutkan bahwa DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota komisioner BPK.13
11
Berdasarkan UUD NRI 1945 Pasal 22D ayat (1), Pengajuan usul bidang legislasi tertentu yang dimaksud adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ayat (2) Terkait ikut dalam membahas rancangan undang-undang, terjadi penambahan selain yang disebutkan di atas adalah rancangan undang-undang dalam bidang pajak, pendidikan, dan agama. 12 Berdasarkan UUD NRI 1945 Pasal 22D ayat (3), Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang yang dimaksud adalah perngawasan terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak pendidikan, dan agama. Adapun hasil pengawasannya disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti. 13 Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta, Hlm. 117.
5
Denny Indrayana dalam bukunya mengatakan, DPD bisa dianggap antara “ada” dan “tiada”. DPD “ada” salah satunya karena legitimasi yang kuat, anggota DPD dipilih langsung melalui sistem pemilu distrik berwakil banyak. Namun, DPD juga “tiada” karena kuatnya legitimasi hasil pemilu itu tidak berjalan seiring dengan kewenangannya dan fungsi yang cenderung minimalis, terlebih jika dikomparasikan dengan DPR.14 Oleh sebab itu, dari sisi institusional DPR adalah pemegang mandat legislasi bersama-sama dengan Presiden, sedangkan di sisi lain, DPD hanya merupakan “lembaga pemberi pertimbangan” kepada DPR. Lebih jauh berbeda dengan DPR yang diproteksi keberadaannya dengan kemungkinan dibubarkan Presiden.15 Maka, DPD tidak mempunyai proteksi konstitusional sehingga memungkinkan DPD dikemudian hari dapat dibubarkan. Terkait pendapat Denny Indrayana di atas, maka dapat dilihat secara seksama melalui fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPD sebagai salah satu contoh, antara DPD dengan DPR, persentuhan fungsi legislasi itu dapat dibaca dalam Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan, “DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah”. yang selanjutnya diperparah juga dengan pereduksian kewenangan DPD oleh undang-undang organiknya. Selain dibatasi dengan kata “dapat” mengajukan rancangan undang-undang, Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan 14
Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas Media Nusantara, Jakarta, hlm. 13. 15 Lihat Pasal 7C UUD NRI 1945.
6
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah. Di samping itu, DPD diberi wewenang untuk memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RUU APBN) dan yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Dengan frasa ‘ikut membahas’ dan ‘memberikan pertimbangan’ dalam Pasal 22D ayat (2) posisi DPD menjadi equal dengan wewenang Presiden dan DPR yang ikut ‘pembahasan dan persetujuan bersama’ dalam fungsi legislasi. Penguatan fungsi legislasi DPD kemudian mengalami penguatan setelah adanya putusan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 92/PUU-X/2012. Namun, Putusan MK ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap fungsi DPD yang lain. Putusan MK ini menyimpulkan lima pokok persoalan konstitusional DPD yaitu: Pertama, kewenangan DPD mengusulkan rancangan undang-undang yang diatur dalam pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945, yang menurut MK, rancangan undang-undang dari DPD harus diperlakukan sama dengan rancangan undang-undang dari DPR dan Presiden. Kedua, kewenangan DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 22D UUDNRI 1945 bersama DPR dan Presiden. Ketiga, kewenangan DPD dalam memberi persetujuan atas rancangan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 22D UUDNRI 1945. Keempat, keterlibatan DPD dalam penyusunan program
7
legislasi nasional (prolegnas) yang menurut DPD sama dengan keterlibatan DPR dan Presiden. Kelima, kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang disebut dalam Pasal 22D UUD NRI 1945.16 Dengan kewenangan yang begitu terbatas tersebut, Saldi Isra mengatakan bahwa DPD tidak dapat dikatakan mempunyai fungsi legislasi, bagaimanapun fungsi legislasi harus dilihat secara utuh, yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai dengan penyetujuan sebuah rancangan undang-undang.17 Selanjutnya terkait dengan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPD, dalam Pasal 22D ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: ”DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti”. Pengertian
kata
“dapat
melakukan
pengawasan”
di
atas
dapat
diinterpretasikan bahwa DPD ditempatkan pada posisi yang lemah di dalam mekanisme checks and balances, selanjutnya DPD dalam hal pengawasan tidak memiliki hak untuk menindaklanjuti hasil pengawasannya sendiri, hal ini jelas sebagaimana bunyi pasal di atas. Dengan kata lain DPD hanya dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu, yang selanjutnya hasil pengawasannya tidak dapat ditindaklanjuti sendiri oleh DPD, namun hasil pengawasan tersebut kemudian disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Selanjutnya, terkait kewenangan yang dimiliki oleh DPD dalam 16
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 92/PUU-X/2012. Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 257. 17
8
hal menerima hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK, DPD hanya mempunyai tugas membahas hasil pemeriksaan tersebut dan memberikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan DPR untuk ditindak lanjuti. Dengan kewenangan pengawasan yang terbatas tersebut maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa DPD terbentuk hanya untuk menjadi dewan pertimbangan DPR, dan sangat jauh dari konsep bikameral itu sendiri. Melihat kewenangan yang terdapat dalam Pasal 22D UUD NRI 1945 ditambah dengan sulitnya persyaratan untuk menjadi anggota DPD, Stephen Sherlock memberikan penilaian yang amat menarik. Menurut peneliti dari Australian National University ini, DPD merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan sistem bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas dan legitimasi tinggi (represents the odd combination of limited powers and high legitimacy).18 Di dalam konstitusi hasil perubahan memang sama sekali tidak disebut istilah parlemen sehingga tidak mudah menjadikan DPR dan DPD sebagai kamarkamar di parlemen dua kamar. Lebih dari itu, di dalam UUD NRI 1945 disebutkan secara tegas bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.19 Sedangkan DPD tidak memiliki fungsi-fungsi tersebut secara utuh. Dalam bidang legislasi misalnya, DPD hanya dapat mengajukan sebuah rancangan undang-undang sebagai inisiatifnya dan ikut membahasanya
18
Stephen Sherlock dalam Makalah Saldi Isra, Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah ,http://www.saldiisra.web.id/index.php/buku-jurnal/jurnal/19-jurnalnasional/361penguatan-fungsi-legislasi-dewan-perwakilan-daerah.html diakses tanggal 16-2-2016. 19 Lihat Pasal 20A ayat (1) UUD NRI 1945.
9
namun, DPD tidak dapat ikut menetapkan undang-undang sebagaimana layaknya lembaga DPR, sebab Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 secara tegas menyebutkan bahwa pemegang kekuasaan membentuk undang-undang adalah DPR.20 Selanjutnya dalam bidang pengawasan DPD hanya menjadi pendukung bagi DPR dalam melakukan pengawasan dengan hak untuk menindaklanjuti hasil pengawasan tersebut sepenuhnya melekat pada DPR. Kewenangan yang sangat terbatas itu dan dapat dikatakan menyebabkan DPD hanya sebagai formalitas konstitusional belaka disebabkan oleh kompromi yang melatarbelakangi pelaksanaan amandemen. Seperti diketahui, ketika gagasan amandemen ini muncul secara kuat, muncul pula penentangan dari kelompokkelompok tertentu sehingga ada dua arus ekstrem yang berhadapan ketika itu. Pertama, arus yang menghendaki perubahan UUD 1945 karena ia selalu menimbulkan sistem politik yang tidak demokratis. Kedua, arus yang menghendaki agar UUD 1945 dipertahankan sebagaimana adanya karena merupakan hasil karya para pendiri negara yang sudah sangat baik. Tolak talik antara kedua ekstrem itu akhirnya melahirkan kompromi berupa kesepakatan dasar yang menyebabkan amandemen tak dapat dilakukan secara leluasa untuk dapat disesuaikan dengan ilmu konstitusi.21 Oleh karena itu, keberadaan DPD di samping DPR tidak dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang lazim. Selama ini dipahami bahwa ketika kedudukan kedua kamar sama kuat, maka sifat bikameralismenya disebut strong bicameralism, tetapi jika kedua kamar tidak sama kuat, maka disebut soft 20
Moh. Mahfud MD, 2013, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 69-70. 21 Ibid, hlm. 70-71.
10
bicameralism. Dalam pengaturan UUD NRI 1945 pasca amandemen, bukan saja bahwa struktur yang dianut tidak dapat dikatakan sebagai strong bicameralism yang kedudukan keduanya tidak sama kuat, tetapi bahkan juga tidak dapat disebut sebagai soft bicameralism sekalipun.22 Dengan kata lain, DPD hanya memberi masukan sedangkan yang memutuskan adalah DPR sehingga DPD lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya memberikan pertimbangan kepada DPR. Menurut penulis, pada dasarnya salah satu ciri bikameralisme yaitu apabila kedua kamar parlemen menjalankan fungsi legislatifnya sebagaimana seharusnya (legislasi, anggaran, dan pengawasan). Praktek
pengambilan
keputusan
dalam
parlemen
dua
kamar
memang
meniscayakan keterlibatan keduanya, berlangsung melalui proses checks and balances di mana kamar kedua (DPD) memberikan second opinion dari perspektifnya sendiri. Prinsip checks and balances dalam konteks ini bukan hanya dilaksanakan antar cabang kekuasaan negara yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetapi juga dilaksanakan dalan internal cabang legislatif itu sendiri. Hal itu kemudian menjadi tidak berjalan sebagaimana gagasan dari konsep bikameral itusendiri, dikarenakan kewenangan yang diberikan oleh UUD NRI 1945 kepada lembaga perwakilan DPD begitu terbatas jika dibandingkan kewenangan yang diberikan kepada DPR oleh UUD NRI 1945,23 sehingga saya menduga hal tersebut berimplikasi pada ketimpangan kewenangan khususnya dalam penulisan ini terjadi pada fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR dan DPD. Ni’matul Huda, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen ulang, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 237-238. 23 DPR diatur dalam 7 (tujuh) Pasal yakni Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22A, Pasal 22B UUD NRI 1945, sedangkan DPD hanya diatur dalam 2 (dua) Pasal yakni Pasal 22C dan Pasal 22D UUD NRI 1945.
22
11
Berdasarkan hal tersebut di atas, terkait dengan konsep ide gagasan dibentuknya DPD dengan kewenangan yang diberikan melalui UUD NRI 1945 dan mencermati pembentukan undang-undang organik yang berkaitan dengan domain fungsi DPD khususnya di bidang pengawasan, maka penulis tertarik mengkaji lebih dalam terkait hal tersebut dengan mengangkat tesis dengan judul “Kajian Normatif terhadap Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah eksistensi DPD dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
2.
Mengapa fungsi pengawasan DPD tidak sebanding dengan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
C. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengetahuan dan penelusuran penulis dalam data kepustakaan pada perpustakaan Fakultsas Hukum Universitas Gadjah Mada, penulis menemukan beberapa karya tulis yang membahas tentang DPD akan tetapi belum ada karya tulis apapun yang meneliti tentang “Kajian Normatif terhadap Fungsi Pengawasan DPD dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Berkaitan dengan histori, teori, dan fungsi pengawasan yang dimiliki sebagai badan perwakilan legislatif. Sejauh pengamatan penulis, tulisan yang membahas khusus tentang DPD pada dasarnya cukup sedikit, penulis menemukan korelasi antara
12
penelitian terdahulu dengan penelitian ini, berupa karya tulis dalam bentuk tesis dan penulisan hukum (skripsi). Pertama, tesis yang ditulis oleh Ahmad Sukron Jazuli yang berjudul “Urgensi Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dalam Sistem Checks and Balances antara Dewan Perwakilan Rakyat” tahun 2011, pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM. Adapun fokus permasalahan dari tesis saudara Akhmad Sukron Jazuli adalah urgensi terhadap penguatan fungsi legislasi dan langkah-langkah ketatanegaraan
penguatan Indonesia,
kapasitas dengan
dan
fungsi
kesimpulan
DPD
bahwa
dalam
DPD
sistem
merupakan
representasi daerah yang mana negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menurut teori masuk dalam consensus model of democracy, dan memperkuat kedudukan DPD sekaligus merupakan upaya untuk penerapan checks and balances antara DPR dan DPD, dengan beberapa alternative baru terkait penguatan fungsi legislasi DPD yankni: judicial interpretation; konvensi; dll. Kedua, penulisan hukum yang ditulis oleh Sukendar yang berjudul “Kedudukan
dan
Peran
Dewan
Perwakilan
Daerah
dalam
Sistem
Ketatanegaraan Indonesia” tahun 2005, pada Program Sarjana Fakultas Hukum UGM. Adapun fokus permasalahan dari penulisan hukum di atas adalah kedudukan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan apakah peran DPD sudah sejalan dengan kedudukannya sebagai lembaga perwakilan rakyat yang mewakili kepentingan daerah. Ketiga, penulisan hukum yang ditulis oleh Raymon Donald Cibero yang berjudul “Implikasi Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah dalam Legislatif
13
terhadap Fungsi Legislasi Setelah Amandemen Ketiga UUD 1945” tahun 2010, pada Program Sarjana Fakultas Hukum UGM. Adapun fokus permasalahan dari penulisan hukum di atas adalah implikasi kehadiran DPD dalam lembaga legislatif terhadap fungsi legislasi dan hubungan DPD, DPR dan Presiden dalam menjalankan fungsi legislasi, dengan kesimpulan bahwa kehadiran DPD sebagai perwakilan teritorial diharapkan dapat melengkapi keterwakilan politik, secara ideal DPD mempunyai fungsi penting dan strategis dalam menyerap aspirasi dan permasalahan yang terjadi di daerah dan sekaligus memperjuangkannya dalam kebijakan nasional, selanjutnya, ditentukan juga pola hubungan checks and balances diantara kedua kamar parlemen, termasuk juga dengan presiden, yaitu dengan mengatur adanya hak veto diantara mereka. Keempat, penulisan hukum yang ditulis oleh Fatkur Mai Rahman yang berjudul “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 92/PUU-X/2012 terhadap Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah” tahun 2014, pada Program Sarjana Fakultas Hukum UGM. Adapun fokus permasalahan dari penulisan hukum di atas adalah implikasi putusam Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012 terhadap fungsi legislasi DPD dengan kesimpulan bahwa putusan tersebut telah berimplikasi terhadap penguatan fungsi legislasi DPD sesuai dengan amanat Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUDNRI 1945. Namun demikian, bila dikaitkan dengan sistem bikameral, maka fungsi legislasi DPD pasca putusan MK masih menunjukkan karakteristik bikameral lemah (weak bicameralism) karena DPD tidak mempunyai kewenangan untuk menyutujui rancangan undang-undang.
14
Adapun karya tulis dalam ruang lingkup tema terkait yang telah dipublikasikan dan penting untuk dicantumkan, sepanjang pengetahuan dan penelusuran penulis atas bahan hukum sekunder, terdapat beberapa karya tulis yang telah dibukukan dalam bentuk buku antara lain yang berjudul Bikameral bukan Federal yang ditulis oleh Bivitri Susanti, Saldi Isra dkk. Kemudian buku yang ditulis oleh Ni’matul Huda yang berjudul Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi dan buku yang ditulis oleh Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penulisan tesis ini adalah: 1. Tujuan Objektif Adapun tujuan objektif dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan mengkaji eksistensi dalam pelaksanaan fungsi pengawasan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. b. Untuk mengetahui alasan tidak sebandingnya fungsi pengawasan DPD dengan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. 2. Tujuan Subjektif Penelitian ini secara subjektif bertujuan sebagai salah satu syarat kelulusan dan syarat akademis untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Klaster Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
15
E. Manfaat Penelitian Terdapat beberapa manfaat yang ingin penulis capai melalui penelitian ini. Manfaat-manfaat tersebut diantaranya adalah: 1. Manfaat Teotitis Dalam lingkup teoritis atau akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, sumbangan pemikiran bagi pengembangan dan pengkajian ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum kenegaraan, hukum tata negara. Penelitian ini diharapkan mampu mengumpulkan berbagai informasi dan data yang lengkap guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas sehingga diharapkan, informasi yang ada dapat dianalisis dengan metode yang tepat sampai pada penarikan kesimpulan yang sesuai dengan hukum yang menjadi dasar dalam menjawab rumusan permasalahan di atas. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu hukum, membantu dan memberikan acuan referensi terkait penulisan hukum dalam bidang ketatanegaraan yang berhubungan dengan lembaga perwakilan yang merupakan bagian penting dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dalam rangka menjalankan kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang).