1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang mana
hal ini termaktub dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Oeh sebab itu setiap warga negara wajib mentaati peraturanperaturan yang berlaku di Indonesia. Salah satu tujuan negara Indonesia secara konstitusional adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materil dan sprituil berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Oleh karena itu kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk derajat kesehatannya. Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu juga dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang menarik perhatian adalah tindak pidana narkotika. Karena permasalahan penyalahgunaan narkotika sudah menjadi masalah yang luar biasa, maka diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula, tidak cukup penanganan permasalahan narkotika ini hanya diperankan oleh para penegak hukum saja, tetapi juga harus didukung peran serta dari seluruh elemen masyarakat.
2
Didalam UUD NRI 1945 yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Pengertian negara hukum sesungguhnya mengandung makna bahwa suatu negara menganut ajaran dan prinsip-prinsip tentang supremasi hukum dimana hukum dijunjung tinggi sebagai pedoman dan penentu arah kebijakan dalam menjalankan prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep negara hukum yang dianut dalam UUD NRI 1945 dalam implementasinya mengalami pergeseran oleh pengaruh dinamika politik dan social yang berkembang. Frase itulah yang termaktub1 dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 sebagai salah satu ciri konstitutif bangsa Indonesia. Oleh karena itu, setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan warga negara harus selalu berdasar pada hukum. Sehingga pemerintah dan warga negara menjadikan hukum tersebut sebagai dasar pijakan dalam bertindak, maka seluruh tindakan dari warga negara dan pemerintah. Indonesia adalah negara hukum harus dimaknai sebagai kesadaran bangsa Indonesia untuk tunduk dan patuh pada hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mengantisipasi semakin luasnya penyalahgunaan narkotika dan untuk melaksanakan pemberantasan peredaran gelap narkotika, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai hal-hal yang berkenaan dengan narkotika, dimana saat ini Undang-undang yang berlaku adalah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan hasil pembaharuan dari Undangundang yang lama yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997.
1
Departemen Pendidikan Nasional, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, hlm 549
3
Narkotika pada dasarnya adalah obat atau bahan yang bermanfaat dibidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini dinyatakan pada bagian pertimbangan Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Jadi sebenarnya narkotika dalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat, sedangkan yang dilarang adalah penyalahgunaannya. Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan UU tersebut dan disisi lain narkotika pula dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan ketat dan seksama. Di Indonesia, penyalahgunaan narkotika sudah sampai pada taraf memprihatinkan, bukan hanya kuantitas penyalahgunaannya yang semakin banyak dan meluas akan tetapi penggunaanya juga telah menjalar hampir kesemua lapisan masyarakat mulai dari pelajar dari segala tingkat, hingga pejabat-pejabat negara pun terlibat
dalam tindak
pidana narkotika. Kabar
paling
baru menganai
penyalahgunaan narkotika datang dari Anggota DPR dari Fraksi PPP, FS alias I H, dilaporkan ditangkap karena diduga positif menggunakan narkoba. Putra mantan wakil presiden HZ itu ditangkap bersama 14 orang lainnya oleh Tim Yonintel Kostrad dan Pom Kostrad, di Perumahan Kostrad, Tanah Kusir, Jakarta Selatan, hari minggu tanggal 21 Februari 2016. Sebanyak 14 orang diamankan dalam razia di Kompleks Kostrad, lantaran positif menggunakan narkoba. Dari 14 orang yang diamankan adalah tiga anggota Kostrad, lima anggota Polri, satu anggota DPR, dan lima warga sipil.2
2
Portal Koran Warta Kota, “Anak Hamzah Haz Ditangkap Beli Shabu Di Kompleks Kostrad” http://wartakota.tribunnews.com/2016/02/24/anak-hamzah-haz-ditangkap-beli-sabu-dikompleks-kostrad diakses tanggal 25 Maret 2016
4
Tingginya angka penyalahguna narkotika3 dapat dilihat dari tingginya jumlah pengguna narkoba di Indonesia, bahkan saat ini sudah menyentuh berbagai lapisan masyarakat. Berdasarkan data BNN pada tahun 2015, Tingginya jumlah pengguna narkoba di Indonesia mengalami peningkatan dari waktu kewaktu. Menurut data penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) memperkirakan jumlah pengguna narkoba di Indonesia akan terus meningkat. Tahun 2015, angka prevalensi pengguna narkoba mencapai 5,1 juta orang. Menurut Deputi Pencegahan BNN Yapi Manate menyebutkan jumlah angka kematian akibat penyalahgunaan narkoba cukup mengkhwatirkan. “Angka kematian akibat penyalahgunaan narkoba diperkirakan mencapai 104.000 orang yang berumur 15 tahun dan 263.000 orang yang berumur 64 tahun. Mereka meninggal akibat mengalami overdosis. Ini disebabkan adanya salah kaprah mengenai gaya hidup masyarakat Indonesia khususnya kalangan remaja“, jelas Manate.4 Hal ini membuat pemerintah Indonesia geram dan menyatakan perang terhadap narkoba. Tidak main-main pemerintah telah mengeksekusi mati beberapa gembong narkoba. BNN juga menyebutkan sebanyak 53% penduduk Indonesia berusia 30 tahun terjerat kasus narkoba. Data ini jelas memperlihatkan bahwa narkotika tersebar merata ke semua usia terutama usia produktif. Padahal generasi usia produktif inilah yang diharapkan menjadi penerus dalam pembangunan. Bahkan Badan Narkotika Nasional (BNN) memperkirakan jumlah pengguna narkotika di Indonesia akan terus meningkat, 3
Pasal 1 angka 15 UU Nomor 35 tahun 2009, Penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum, 4 Portal Indonesia News.com, “ Tahun 2015 Jumlah Pengguna Narkotika di Indoensia Mencapai 5 Juta Orang”, http://www.portalindonesianews.com/posts/view/1626/tahun_2015_jumlah_pengguna_narkob a_di_indonesia_capai_5_juta_orang, diakses pada tanggal 2 Mei 2015
5
tahun 2018 diprediksi angka prevelensi pengguna narkotika mencapai 5,1 juta orang.5 Penyalahgunaan narkotika serta peredaran dan perdagangan gelap dapat digolongkan kedalam kejahatan internasional. Kejahatan internasional ini membuktikan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke arah organisasi kejahatan transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukkan kerjasama yang bersifat regional maupun internasional.6 Berkaitan dengan hal tersebut diatas penegakkan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh para penegak hukum dan telah pula mendapat putusan hakim di sidang pengadilan. Demikian halnya sejak diberlakukannya Undang-Undang tentang Narkotika, termasuk didalamnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, sudah cukup banyak pelaku pidana yang terjerat oleh ketentuan pidana dalam Undang-Undang ini. Penegakkan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Sanksi pidana di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap pelaku tindak pidana sebenarnya cukup berat, di samping dikenakan pidana penjara dan pidana denda, juga yang paling utama adalah dikenakannya batasan minimum ancaman pidana, baik penjara maupun denda serta adanya ancaman pidana mati menunjukkan beratnya sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika ini. 6
Siswanto Sunarso,2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 2
6
Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, selanjutnya disebut dengan Undang-undang Narkotika tentunya hanya akan menjadi suatu Undangundang yang diam ketika tidak ada aparat pelaksana yang menjalankannya dan dalam sistem hukum di Indonesia suatu hukum yang baik akan dapat berjalan apabila ada suatu substansi yang dapat bermanfaat sebagai sarana penegak keadilan dan didukung oleh aparat penegak hukum yang konsisten mengikuti substansi tersebut maupun konsisten menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kewenangan negara untuk memberikan sanksi pidana kemudian di delegasikan kepada para penegak hukum yang bekerja dalam suatu system yang dikenal dengan nama Sistem Peradilan Pidana. Mardjono Reksodiputro berpendapat Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah sistem dari masyarakat untuk meanggulangi masalah kejahatan.7 Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistem peradilan pidana adalah terutama instansi atau badan yang kita kenal dengan nama Kepolisian – Kejaksaan – Pengadilan dan (Lembaga) Pemasyarakatan.8 Mengkaji masalah hakikat pidana dan pemidanaan, maka pembicaraan tertuju kepada masalah tujuan dari dijatuhkannya sanksi pidana. Dalam KUHP sendiri sesungguhnya tidak menyatakan secara tegas apa tujuan dari penjatuhan pidana tersebut. Tujuan pidana hanya dapat kita temukan dari teori-teori yang dikemukakan para ahli. Oleh karena itu maka teori-teori tujuan pidana erat sekali hubungannya dengan perkembangan dari hukum pidana itu sendiri.
Mardjono Reksodiputro, 2007, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Buku Karangan Ketiga, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, hlm 84 8 Siswanto Gunarso, Op.cit hlm. 85 7
7
Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, keempat konsep tujuan pidana dan pemidanaan tersebut dijadikan sebagai landasan. Hal tersebut nampak dalam rumusan-rumusan yang tertuang dalam Rancangan Konsep KUHP ( RKUHP ). Menurut Pasal 51 RKUHP Pemidanaan dimaksudkan untuk: Ayat (1) a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demim pengayoman masyarakat; b. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; c. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna; dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Ayat (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.9 Pada umumnya didalam membuat uraian tentang tujuan hukum pidana, sebagian besar para penulis hukum pidana tidak mengadakan pemisahan antara tujuan hukum pidana itu sendiri dengan tujuan diadakannya hukuman atau pidana. Memang tidak disangkal adanya kaitan antara tujuan hukum pidana dengan tujuan hukuman atau pidana, yang biasanya diuraikan bersama-sama dalam satu bab tentang strafrechtstheorieen.10
9
Departemen Kehakiman RI. Konsep Rancangan KUHP, 1997/1998. Bambang Poernomo, 1983, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia, Jakarta, hlm.23
10
8
Tujuan hukum pidana (strafrechtstheorieen) mengenal dua aliran untuk maksud dan tujuan dibentuknya peraturan hukum pidana yaitu aliran klassik dan aliran modern. Menutut aliran klassik (de klassieke school/de klassieke richting) tujuan susunan hukum pidana untuk melindungi individu dan kekuasaan penguasa atau negara. Peletak dasarnya adalah Markies Van Beccaria yang menulis tentang “De delitte edelle pene’ (1764). Didalam tulisan itu menuntut agar hukum pidana harus diatur dengan undang-undang, yang harus tertullis, maka karangan itu sangat berpengaruh sehingga timbullah aliran masyarakat yang menuntut agar hukum pidana itu diadakan dengan tertulis.11 Hukum pidana yang tertulis yang harus mengikat dalam suatu sistem tertentu itu, sehingga setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (individu) yang oleh undang-undang hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana harus dijatuhkan pidana. Penjatuhan pidana tanpa memperhatikan keadaan pribadi pembuat pelanggaran hukum, mengenai sebabsebab yang mendorong dilakukan kejahatan (etimologi kriminil) serta pidana yang bermanfaat baik bagi orang yang melakukan kejahatan maupun bagi masyarakat sendiri (politik kriminil).12 Aliran ini membatasi kebebasan hakim dalam menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan. Hakim hanya merupakan alat undang-undang yang hanya menentukan salah atau tidaknya seseorang dan kemudian menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku dan terstruktur. Dikenal the definite setence yang
11 12
Ibid, hlm. 24 Ibid, hlm. 25
9
sangat kaku (rigid) seperti dalam Code Perancis 1791. Pidana yang ditetapkan UU tidak mengenal sistem peringanan atau pemberatan. Dalam hal pidana dan pemidanaan, aliran ini pada awalnya sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis dan ukuran pemidanaannya (definite sentence). Pada hakikatnya Aliran Klasik menghendaki adanya suatu kepastian hukum, sehingga segala sesuatunya harus dirumuskan dengan jelas dan pasti dalam suatu Undang-undang. Pada prinsipnya aliran ini didasari oleh pemikiran bahwa manusia mempunyai kebebasan kehendak (free will). Aliran Positif atau Modern, muncul pada abad ke 19 yang lebih memusatkan perhatiannya kepada si pembuat/pelaku tindak pidana.13 Aliran klasik berpijak pada tiga tiang : a. Asas legalitas -
Tiada pidana tanpa undang-undang
-
Tiada tindak pidana tanpa undang-undang
-
Tiada penuntutan tanpa undang-undang
b. Asas kesalahan : Tiada pidana tanpa kesalahan(kesengajaan atau kealpaan) c. Asas pengimbalasan : pembalasan Sebaliknya aliran modern (de modern scholl/de modern richting) mengajarkan tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Aliran modern ini dapt dikatakan mendapat pengaruh dari perkembangan kriminologi. Disamping itu apa yang dimaksud dengan melidungi individu dari kekuasaan negara, pada akhirnya berkaitan dengan bentuk
13
Hakikat Pidana dan Pemidanaan dalam Hukum Positif http://nandangsambas.blogspot.co.id/2012/03/hakikat-pidana-dan-pemidanaan-dalam.html diakses tanggal 13 Februari 2015
10
pemerintahan kedaulatan rakyat dengan kekuasaan yang diatur dalam undangundang (Undang-undang Dasar) dan peraturan hukum pidananya juga tertulis dalam undang-undang sehingga lambat laun yang dianggap sebagai tujuan melindungi individu didalam pemerintahan kedaulatan rakyat telah beralih pada tujuan melindungi masyarakat terhadap kejahatan.14 Dalam perkembangannya, sistem yang kaku ini dipengaruhi oleh aliran modern, maka timbullah aliran Neoklasik yang menitikberatkan pada pengimbalan dari kesalahan si pembuat. Sistem yang dianut adalah the indefinite sentence. Secara garis besar, konsep pemikiran tentang hukum pidana yang beraliran Neo Klasik/ Neo Modern (Daad-Daader Strafrecht) memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:15 a. Titik setral perhatian hukum pidana dan penegakannya dalam aliran ini adalah aspek perbuatan pidana dan pelaku dari perbutan pidana secara seimbang (Daad-Daader artinya perbuatan dan pelakunya). Jadi suatu pemidanaan adalah haruslah didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan secara matang dan seimbang antara fakta berupa telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan seseorang maupun kondisi subyektif dari pelaku tindak pidana khususnya saat ia berbuat. Gabungan antara keduanya harus bisa melahirkan keyakinan bahwa orang tersebut memang pelaku sebenarnya dari tindak pidana yang terjadi dan untuk itu ia memang patut
14 15
Bambang Poernomo, Op. cit, hlm 25 M.Abdul Kholiq, 2002, Buku Pedoman kuliah hukum pidana, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hlm.15-20
11
dicela, yang dalam hal ini ialah dengan cara dikenakan sanksi pidana terhadap dirinya. b. Apabila aliran ini dikaitkan dengan salah satu konsep tentang tujuan diadakannnya hukum pidana, maka bisa dikatakan bahwa aliran ini sesunggguhnya adalah cermin atau malah penjabaran dari konsep mengenai tujuan diadakannya hukum pidana yang ketiga yaitu untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat kemasyarakatan dan sekaligus juga kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan. Hal ini menunjukkan bahwa keharusan perhatian terhadap realitas tentang telah terjadinya perbuatan pidana, kiranya dapat disamakan dengan orientasi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan yang bersifat publik. Sedangkan keharusan perhatian terhadap kondisi subjektif pelaku perbuatan pidana, kiranya dapat disamakan dengan orientasi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan yang bersifat perseorangan (c.q individu pelaku tindak pidana sebagai warga Negara). Apabila ketiga aliran tersebut diatas dikaitkan dengan konteks bangunan hukum pidana Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa KUHP Indonesia yang sekarang adalah mencerminkan sosok hukum pidana yang mencerminkan sosok hukum pidana yang beraliran klasik (daad strafrecht). Kesimpulan demikian misalnya terlihat dari rumusan pasal-pasal KUHP yang selalu diawali dengan katakata: “Barang siapa melakukan…………..dst”, hal ini menunjukkan arti bahwa siapa yang berbuat tindak pidana akan dikenai pidana tertentu (tanpa harus memperhatikan kondisi subyektif pelaku saat berbuat). Ini adalah ciri khas aliran
12
pemikiran hukum pidana klasik yang sangat menekankan aspek perbuatan daripada pelakunya. Namun, apabila dikaitkan dengan hukum pidana Indonesia mendatang (RUU KUHP Indonesia) maka dapat dikatakan bahwa bangunan RUU KUHP adalah mencerminkan sosok hukum pidana yang beraliran neo klasik/ neo modern atau daad-daader strafrecht.16 Kesimpulan ini karena dilihat dari beberapa konsepnya yaitu:17 a. Pasal 51 tentang tujuan pemidanaan. Yaitu: Ayat (1): 1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demi pengayoman masyarakat 2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. 3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dam mendatangkan rasa damai dalam masyarakat 4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Ayat (2): Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. a. Pasal 52-94 tentang pedoman pemidanaan yang baik bersifat umum maupun pedoman pemidanaan bagi setiap jenis sanksi pidana.
16 17
M. Abdul Kholiq, Op.cit, hlm. 20-21 Direktorat Jenderal Peraturan perundang-undangan, Departement Hukum dan HAM, Rancangan Undang-undang KUHP, 2005.
13
b. Pasal 125-129 tentang hal-hal yang meringankan dan memperberat pidana. c. Adanya konsep tentang individualisasi pidana yang dimasukkan dalam beberapa ketentuan pasal seperti mengenai modifikasi pidana, Rechterlijk pardon dan sebagainya. Adanya ketentuan tentang pedoman pemidanaan, pertimbangan mengenai hal-hal yang meringankan dan yang memberatkan pemidanaan serta individualisasi pidana diatas, secara eksplisit jelas menunjukkan bahwa RUU KUHP tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia Indonesia merupakan sosok hukum pidana Indonesia mendatang yang menganut aliran klasik (daad Strafrecht) sekaligus aliran modern (daader strafrecht) karena konsep tujuan pemidanaan diatas yang nomor 1 dan 2 cermin dari aliran pemikiran klasik sedangkan nomor 3 dan 4 cerminan dari aliran pemikiran modern. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum pidana Indonesia mendatang (RUU KUHP) adalah hukum pidana yang menganut aliran pemikiran neo klasik/ neo modern. Berkenaan dengan penjatuhan putusan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana narkotika maka seorang hakim akan menjatuhkan putusannya diantara batas-batas yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Narkotika. UndangUndang Narkotika ini terdapat batasan minimum dan maksimum pada ancaman pidananya, hal ini akan menjadi patokan dalam penjatuhan putusan oleh hakim dan dengan adanya patokan tersebut, seorang hakim dapat saja menjatuhkan putusan dalam batas yang minimal dan bisa juga dalam batas yang maksimal, tetapi di dalam praktek di persidangan ternyata masih muncul putusan dari Hakim yang
14
menjatuhkan putusan berupa pidana di bawah ketentuan pidana minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika. Dari segi hukum, putusan pengadilan merupakan tempat terakhir bagi pencari kebenaran dan merupakan suatu landasan terakhir dalam suatu peneggakan hukum materiil. Maka dari itulah hakim merupakan penegak hukum yang dapat mengadili suatu perkara sesuai dengan yang termuat dalam undang-undang ataupun sesuai hati nurani diluar dari undang-undang yang mengaturnya hingga mencapai tahap akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Badan peradilan merupakan salah satu yang memegang peranan penting dalam negara hukum yang menganut pembagian/pemisahan kekuasaan. Kekuasaan inilah yang pada akhirnya akan menentukan hukumnya. Menurut Barda Nawawi Arief, kekuasaan kehakiman identik dengan kekuasaan untuk menegakkan hukum atau kekuasaan penegakan hukum.18 Sedangkan Prof. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa : “Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, bebas dari campur tangan masyarakat, eksekutif maupun legislatif. Dengan kebebasan yang dimilikinya itu diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinan yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat”. 19 Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang didalamnya terdapat ketentuan pidana mulai dari Pasal 111 sampai Pasal 148. Penjatuhan pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Barda Nawawi Arif, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 27 19 Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, Bina Cipta,Bandung, hlm. 319-320 18
15
Tahun 2009 tentang Narkotika memiliki ancaman pidana minimum dan maksimum. Berkenaan dengan penjatuhan putusan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana narkotika maka seorang hakim akan menjatuhkan putusannya diantara batas-batas yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Narkotika. Undang-Undang Narkotika ini terdapat batasan minimum dan maksimum pada ancaman pidananya. Undang-undang ini memiliki batasan ancaman pidana minimum khusus dan berdasarkan asas legalitas (Nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali) yang didalamnya mengandung unsur kepastian hukum bagi masyarakat. Namun demikian, berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa putusan hakim yang menjatuhkan putusan lebih rendah dari pidana minimum khusus yang diatur dalam undang-undang narkotika, antara lain seperti yang termuat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 1. Perkara Narkotika yang diputus dibawah minimum khusus yang diatur dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. No.
1.
Nomor dan Tgl. Putusan
Pasal Yang Di langgar No. Pasal 103/Pid.B/ 112 2011/PN.P ayat (1) WK tanggal 30 Juni 2011
Ancaman Pidana
Putusan Hakim
Pidana penjara 1. Menyatakan Terdakwa paling singkat 4 Dedi Malik Hutagalung (empat) tahun dan tersebut diatas terbukti paling lama 12 (dua secara sah dan belas) tahun dan meyakinkan bersalah pidana denda paling melakukan tindak pidana sedikit “Memiliki dan Rp800.000.000,00 menguasai narkotika (delapan ratus juta golongan I bukan rupiah) dan paling tanaman namun untuk banyak dipergunakan sendiri” Rp8.000.000.000,0 sebagaimana diatur
16
0 (delapan miliar rupiah). 2.
3.
4. 5.
dalam pasal 127 ayat (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda Rp.800.000.000,(delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan Menetapkan barang bukti berupa : 3 (tiga) bungkus plastik bening berisikan kristal warna putih dengan berat netto 0,3796 gram dengan sisa contoh 0,2736 gram Dirampas untuk negara 1 (satu) buah bong berisikan cairan bening ± 43 ml dengan sisa hasil pengujian menjadi ± 23 ml 5 (lima) buah sedotan plastik yang masih terdapat sisasisa/residu
17
2.
No. 275/Pid.B/ 2012/PN.P WK tanggal 19 Februari 2013
Kesatu Pasal 114 ayat (1) Undang Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkoti ka Kedua Pasal 112 ayat (1) Undang Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkoti ka
Pasal 114 ayat (1) : dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,(satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,0 0 (delapan miliar rupiah). Pasal 127 ayat (1) huruf a : Setiap penyalahguna narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
1 (satu) buah korek api gas 1 (satu) buah alat timbangan digital Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1000,(seribu rupiah) Dirampas untuk dimusnahkan 1. Menyatakan terdakwa Gumelar Adi Nugraha Bin Mas Hermawan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman” 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda Rp.800.000.000,(delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar sebagai gantinya terdakwa menjalani pidana kurungan selama 1 (satu) bulan 3. Menetapkan Barang Bukti berupa : 1 (satu) bungkus kecil kertas koran dan 1 (satu) bungkus kertas alumunium foil berisikan ganja dengan berat akhir
18
netto 7,2102 , dirampas untuk dimusnahkan 1 (satu) buah handphone blackberry warna putih, dirampas untuk dimusnahkan 4. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebanyak Rp.1000,- (seribu rupiah) Sumber : Pengadilan Negeri Purwakarta
Berdasarkan tabel tersebut diatas, dengan diperhatikan putusan yang dijatuhkan hakim dalam Putusan Nomor : 103/Pid.B/2011/PN.PWK tanggal 30 Juni 2011 dan Putusan No. 275/Pid.B/2012/PN.PWK tanggal 19 Februari 2013 ini memperlihatkan bahwa hakim tidak mengindahkan asas kepastian hukum. Hal ini tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan serta tidak mengacu pada asas kepastian hukum. Tampak bahwa asas tersebut sangat menentukan eksistensi hukum sebagai pedoman tingkah laku dalam masyarakat. Hukum harus memberikan jaminan kepastian akan hak dan kewajiban seseorang, dan juga hukum menjamin kepastian tidak adanya kesewenang-wenangan dalam masyarakat. Meskipun seorang hakim mempunyai kekuasaan yang bebas atau merdeka untuk menjatuhkan putusannya, tetap saja putusan berupa pidana dibawah minimum dibawah dari ancaman pidana yang diatur dalam Undang-undang Narkotika yang tidak menimbulkan efek jera terhadap terdakwa dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang sesuai dengan latar belakang dibentuknya Undang-undang Narkotika itu sendiri dengan melihat ketentuan-ketentuan yang ada
19
mengenai ancaman minimum dan maksimum yang terdapat dalam ketentuan pidana dalam Undang-undang Narkotika tersebut. Putusan pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan kepada surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum yang berisi fakta-fakta yang terjadi dalam suatu tindak pidana (delik) beserta aturan-aturan hukum yang dilanggar oleh terdakwa. Oleh karena itu Penuntut Umum harus teliti dan cermat dalam membuat surat dakwaan, dimana harus memenuhi baik syarat formil maupun materil surat dakwaan tersebut seperti yang disebutkan di dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP. 20 Proses penjatuhan pidana oleh hakim jika di tinjau dari kekuasaan kehakiman, memang tidak dapat dipungkiri bahwasanya hakim sebagai salah satu penegak hukum yang mempunyai peranan sangat penting didalam pelaksanaan sistem peradilan pidana, mempunyai kebebasan ataupun kekuasaan yang merdeka atau bebas di dalam menjatuhkan putusan di pengadilan. Hal ini tercermin dari ketentuan yang terdapat di dalam Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.21 Di lain pihak, juga terdapat kemungkinan bahwa surat dakwaan yang sudah dibuat oleh Penuntut Umum secara cermat dan teliti tersebut memberikan hasil yang diharapkan. Pemeriksaan Pengadilan mungkin saja tidak dapat meyakinkan
20
21
Pasal 184 ayat (1) KUHAP :Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal (1) adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negera Hukum Republik Indonesia.
20
hakim bahwa dakwaan atas tindak pidana terhadap terdakwa memang benar adanya. Hal tersebut dapat lebih jelas dilihat secara tersirat pada Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, "Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas." Secara formal ketentuan ini sebenarnya membatasi ruang gerak Hakim dalam memberikan putusan. Jika dalam putusannya, Hakim Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan terhadap terdakwa dengan mendasarkan pada rasa keadilan dan mengabaikan kepastian hukum dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus bisa saja dapat dibenarkan, sebab apabila terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum maka sudah sewajarnya keadilan lebih diutamakan dibanding kepastian hukum. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Roeslan Saleh yang dikutip oleh Mardjono Reksodiputro yang mengatakan bahwa: Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum dan apabila dalam penerapannya dalam kejadian konkrit, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin harus mengutamakan keadilan diatas kepastian hukum.22 Meskipun sudah ada ketentuan larangan bagi Hakim untuk tidak boleh menjatuhkan hukuman kepada terdakwa apabila perbuatan tersebut tidak terbukti atau tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, namun 22 Reksodiputro Mardjono, 2009, Menyelesaikan Pembaharuan Hukum, cet 1, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, hlm. 321
21
ternyata dalam praktek peradilan pidana khususnya dalam menangani perkara narkotika hal tersebut dapat menjadi dilema tersendiri bagi hakim, karena perbuatan yang termasuk tindak pidana narkotika pada umumnya adalah merupakan serangkain perbuatan yang saling berhubungan. Untuk dapat mengedarkan, menjual, mengekpor narkotik tentu harus ada perbuatan memiliki atau setidaknya menguasai narkotika. Demikian pula untuk adanya tindak pidana secara tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika tentu didahului pula oleh adanya perbuatan mengusai atau memiliki, karena sesorang tidak mungkin menggunakan sesuatu yang tidak berada dalam kekuasaan atau kepemilikannya. Sementara kedua tindak pidana tersebut diancam dengan pidana yang jauh berbeda. Bahkan jika dikategorikan sebagai pecandu tidak dikategorikan sebagai pelaku, tetapi sebagai korban yang tentu akan mendapatkan perlakuan yang berbeda termasuk pula oleh sistem peradilan pidana. Sehingga dalam praktek dapat terjadi hakim berangapan bahwa terdakwa adalah seorang pengguna narkotika sedangkan jaksa penununtut umum yakin terdakwa adalah orang yang menguasai atau memiliki narkotika. Putusan atas kasus narkotika pada perkara ini, hakim yang memutus dengan hukuman yang lebih rendah dari tuntutan penuntut umum bahkan dibawah ancaman minimal khusus.23 Namun ada pula hakim memutus dengan menggunakan pasal yang terbukti dipersidangan meskipun tidak didakwakan oleh Penuntut Umum 23
Didalam KUHP sendiri tidak dikenal adanya ancaman pidana minimum khusus yang ada hanya ancaman pidana minimum umum sehingga aturan umum berorientasi pada sistem maksimum. Hal ini bereda dengan aturan/undang-undang khusus yang dibuat untuk suatu tindak pidana tertentu yang pengaturnnya berada diluar KUHP. Terhadap undang-undang khusus tersebut dikenal adanya ancaman pidana minimum khusus terhadap sanksi pidananya baik berupa pidana penjara maupun pidana denda. Undang-undang yang menggunakan pidana minimum khusus antara lain, UU Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, UU Tindak Pidana Pencucuian Uang termasuk pula UU Narkotika.
22
( Hakim mengabaikan ketentuan pasal 182 ayat 3 dan ayat 4 ). Hal ini menimbulkan perbedaan putusan antara hakim di Pengadilan Negeri yang satu dengan Pengadilan Negeri lainnya Ini sudah tentu akan menimbulkan akibat hukum dalam penegakkan hukum pidana khususnya narkotika di Indonesia. Berkaitan dengan pengajuan tuntutan yang berkaitan dengan ancaman pidana minimum khusus, menurut Muladi dikembangkannya sanksi minimum khusus untuk pidana tertentu ditujukan dalam rangka menunjukkan beratnya tindak pidana yang bersangkutan.24 Pendapat Muladi ini sama halnya dengan yang disampaikan oleh Barda Nawawi Arief bahwa : Perlunya minimal khusus ini dapat dirasakan dari keresahan masyarakat terhadap pidana penjara yang selama ini dijatuhkan dalam praktek, terutama pidana yang tidak jauh berbeda antara pelaku tindak pidana kelas kakap dengan pelaku tundak pidana kelas teri. Apabila menggunakan pengertian, dikembangkannya sanksi minimum khusus untuk pidana tertentu ditujukan dalam rangka untuk menunjukkan beratnya tindak pidana yang bersangkutan, sebagaimana pendapat dari Muladi diatas, maka dapat dikatakan bahwa tindak pidana narkotika merupakan salah satu tindak pidana yang berat, sebab itu ia juga mempunyai sanksi minimum khusus. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.25 24
Muladi, 2002, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana Cet.2, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 155 25 Dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Karena itu untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap
23
Berdasarkan uraian tersebut diatas, tindak pidana narkotika adalah tindak pidana yang memiliki peraturan tersendiri atau khusus diluar KUHP dan KUHAP yaitu Undang-Undang Narkotika karena tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana luar biasa dalam hal penanganannya dan pencegahan serta pemberantasan pelaku tindak pidana tersebut, maka pemerintah membuat peraturan yang khusus yaitu Undang-undang narkotika. Undang-undang narkotika sebagai salah satu tindak pidana yang khusus, maka terhadap tindak pidana narkotika sudah seharusnya penanganannya dilakukan secara serius, dimana salah satunya adalah dengan menerapkan ancaman pidana minimum khusus terhadap pelakunya dengan maksud untuk menimbulkan efek jera. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa tujuan diberlakukannya ancaman pidana minimum khusus dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu dapat disimpulkan dari pernyataan pernyataan pembuat undangundang itu sendiri dimana dalam penjelasan atas undang-undang tersebut menyatakan, Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalagunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus pidana penjara 20 ( dua puluh ) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.26 Dalam membuat putusan yang tepat maka idealnya putusan tersebut harus memuat ketiga unsur yang ada, yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan,
26
Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 ( dua puluh ) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Ibid
24
secara bersama-sama dan bukan sebaliknya hanya memuat salah satu unsur sedangkan yang lain diabaikan. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Bambang Sutiyoso yang mengatakan bahwa ketiga unsur tersebut, yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, semestinya oleh hakim harus dipertimbangkan dan diterapkan secara proposional, sehingga pada gilirannya dapat menghasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan.27 Setiap putusan hakim harus dapat menunjukkan secara tegas ketentuan hukum yang diterapkan dalam suatu perkara kongkret. Hal ini sejalan dengan asas legalitas bahwa suatu tindakan haruslah berdasarkan aturan hukum. Asas yang menuntut suatu kepastian hukum bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu perbuatan yang didakwakan kepadanya, memang telah ada sebelumnya suatu ketentuan perundang-undangan yang mengatur perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang. Walaupun hingga saat ini masih menjadi persoalan, namun salah satu yang dapat dijadikan indikator dalam penjatuhan pidana adalah masalah disparitas pidana (disparity of sentencing).28 Masa yang akan datang setelah norma-normanya diatur secara tegas dalam KUHP, diharapkan putusan hakim paling tidak mendekati rasa keadilan baik bagi pelaku, korban, negara maupun masyarakat. Rumusan pasal-pasal tindak pidana dalam Undang-undang Narkotika membeda-bedakan ancaman pidana berdasarkan tingkat keseriusan dan tindak pidana yang dilakukan. Ada hakim yang memutus menerobos 27 28
Sutiyoso Bambang, 2007, Metode Penemuan Hukum; Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, hlm. 6 Disparitas pidana diartikan sebagai penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap tindak pidana yang sama (the same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar yang jelas. Muladi. Kapitatas Selekta Sistem Peradilan Pidana, 1995, Badan Penerbit Universitas Diponegoro
25
pidana minimal dengan tetap menggunakan pasal yang didakwakan, ada juga hakim yang memutus membebaskan terdakwa dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan dilanjutkan dengan memutus terbukti bersalah seorang terdakwa dengan pasal yang tidak didakwakan. Dari perbedaan-perbedaan putusan tersebut, Penulis melihat adanya kesulitan dari hakim untuk melepaskan diri dari adanya perbenturan antara upaya untuk mencapai keadilan substantif dengan masalah keadilan prosedural dalam memutuskan suatu perkara dalam mencapai suatu nilai keadilan. Oleh sebab itu, peneliti mengambil tema penelitian tentang putusan dibawah minimum khusus dan merumuskan secara lebih rinci dalam judul tesis berikut ini : Analisis Hukum Terhadap Putusan Hakim Atas Penjatuhkan Pidana Dibawah Minimum Khusus Pada Tindak Pidana Narkotika
B.
Rumusan Masalah 1) Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dibawah minimum khusus terhadap perkara tindak pidana narkotika? 2) Apakah dapat dibenarkan penyimpangan terhadap ketentuan penjatuhan putusan pidana dibawah minimum khusus?
C.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dibawah minimum khusus terhadap perkara tindak pidana narkotika
26
2. Untuk mengetahui apakah Hakim diperbolehkan menjatuhkan putusan dibawah minimum khusus
D.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1.
Manfaat teoritis yang diharapkan dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang putusan dibawah minimum khusus.
2.
Manfaat praktis penelitian ini adalah dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat umum dan para penegak hukum tentang apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dibawah minimum khusus dalam perkara narkotika sehingga dapat memberi kepastian dalam penegakan hukum di Indonesia.
E.
Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan pada Electronic Theses dan
Dissertations (ETD) perpustakaan UGM, belum ada tesis maupun disertasi yang berkaitan dengan penelitian yang membahas mengenai dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana dibawah minimum khusus pada tindak pidana narkotika dalam putusan Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor : 103/Pid.B/2011/PPN. PWK tanggal 30 Juni 2011 An. Dedi Malik Hutagalung belum pernah ada dan belum pernah dilakukan penelitian Namun sejauh pengamatan penulis, belum ada penulisan baik itu buku maupun tesis yang meneliti dan mengkaji secara khusus tentang penjatuhan pidana
27
dibawah minimum khusus pada tindak pidana narkotika. Namun, sebagai bahan perbandingan, penulis menampilkan beberapa tesis yang memiliki kemiripan substansi dengan tesis yang dikaji penulis. 1) Penjatuhan pidana oleh Hakim dibawah minimum khusus dari ketentuan Undangn-undang dalam perkara tindak pidana narkotika ( Studi kasus : Putusan
No.
2597/PID.B/2009/PN.TNG,
Putusan
No.
297/PID.B/2009/PN.TNG dan Putusan No. 904/PID.B/2010/PN.TNG pada Pengadilan Negeri Tangerang ). Penelitian ini dilakukan oleh Tendik Wicaksono ( NPM. 0906581800 )29 pada tahun 2011. Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini,
yaitu :
1. Apakah putusan hakim yang menjatuhkan pidana dibawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika dapat dibenarkan berdasarkan asas nulla poena sine lege? 2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim di Pengadilan Negeri Tangerang dalam menjatuhkan pidana dibawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika? 3. Apakah putusan hakim di Pengadilan Negeri Tangerang yang menjatuhkan pidana dibawah batas minimum khusus dari ketentuan
29
Tendik Wicaksono, 2011, Penjatuhan pidana oleh Hakim dibawah minimum khusus dari ketentuan Undangn-undang dalam perkara tindak pidana narkotika, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
28
undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika hanya diterapkan terhadap pelaku yang masih berusia anak? Adapun kesimpulannya, yaitu : -
Adanya penjatuhan pidana dibawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh hakim, termasuk hakim Pengadilan Negeri Tangerang tidak dapat dibenarkan berdasarkan asas legalitas ( nulla poena sine lege ) yang didalamnya mengandung unsur kepastian hukum, dengan demikian seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain yang telah ditentukan oleh undang-undang.
-
Pertimbangan yang diambil oleh hakim Pengadilan Negeri Tangerang dalam menjatuhkan pidana dibawah batas minimum dari ketentuan undang-undang narkotika diantaranya adalah : a. Pertimbangan yang bersifat yuridis b. Pertimbangan yang bersifat non yuridis, meliputi : penjelasan mengenai kondisi diri terdakwa atau kedudukan terdakwa didalam terjadinya tindak pidana c. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa d. Rasa keadilan dan kemanusiaan bagi kepentingan masa depan terdakwa.
2) Analisa yuridis penjatuhan pidana dibawah minimum khusus dalam tindak pidana narkotika ( Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor : 545/PID.B/2012/PN.JBR ).
29
Penelitian ini dilakukan oleh Bagus Setiawan Pramudianto, Multazaam Muntahaa, Samuel Saunt Martua Simosir tahun 2013.30 Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu : 1. Apakah Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dijatuhi pidana dibawah minimum khusus sudah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku ( Perkara Nomor:545/Pid.B/2012/PN.Jr. ) 2. Apakah dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana di bawah minimum khusus sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Perkara Nomor: 545/Pid.B/2012/PN.Jr.). Adapun kesimpulannya sebagai berikut : -
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pidana Putusan Nomor : 545/Pid.B/2012/PN.Jr yang menuntut terdakwa dengan ancaman pidana di bawah batas minimum tidak sesuai atau tidak tepat dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 114 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 tentang Narkotika dan seharusnya Jaksa Penuntut Umum lebih mengacu pada arti pidana minimum khusus pada UndangUndang Narkotika tersebut
-
Putusan
Hakim
dalam
perkara
pidana
Putusan
Nomor
:
545/Pid.B/2012/PN.Jr tidak sesuai atau tidak tepat dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 114 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 tentang Narkotika yang memiliki batasan ancaman
30
Bagus Setiawan Pramudianto, Multazaam Muntahaa, Samuel Saunt Martua Simosir, 2013, Analisa yuridis penjatuhan pidana dibawah minimum khusus dalam tindak pidana narkotika, Skripsi, Universitas Jember
30
pidana minimum khusus dan dapat dikatakan tidak dibenarkan berdasarkan asas legalitas ( Nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali ) yang didalamnya mengandung unsur kepastian hukum bagi masyarakat. -
Jaksa Penuntut Umum harus lebih mengerti dan lebih mendalami lagi tentang aturan atau pedoman dalam menuntut suatu perkara baik perkara pidana umum ataupun perkara pidana khusus dan dalam hal ini perkara pidana tersebut merupakan perkara pidana khusus yaitu tindak pidana Narkotika, dimana di dalam Undang-Undang Narkotika terdapat batasan minimum khusus dan maksimum khusus dalam ancaman pidananya.
-
Seorang hakim seharusnya lebih mendalami, lebih mengerti lagi dan lebih memahami bahwa tindak pidana narkotika itu merupakan tindak pidana yang tidak biasa atau bersifat luar biasa, dengan jumlah korban yang meluas, terutama dikalangan anak-anak, remaja dan generasi muda pada umumnya. Oleh karena itulah dimunculkan ancaman pidana minimum bagi para pelakunya.
Berdasarkan kedua penelitian tersebut diatas, peneliti menemukan beberapa perbedaan penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu : a. Peneliti akan menggambarkan dan menjelaskan hal-hal apa yang menjadi pertimbangan hakim pada Pengadilan Negeri Purwakarta sehingga menjatuhkan putusan dibawah minimum khusus pada tindak pidana narkotika dan bagaimana pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan
31
hakim dalam memutus suatu perkara yang dalam ketentuan undangundangnya mengatur adanya pidana minimum khusus. b. Lokasi penelitian yang peneliti pilih di Purwakarta berbeda dengan kedua penelitian diatas, sehingga dimungkinkan ada perbedaan pertimbangan dan putusan yang diambil karena perbedaan pengadilan negeri, hakim, faktorfaktor sosiologis dan kondisi masyarakat