BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu hak azasi manusia sebagaimana yang diatur di dalam pasal 31 UUD 45. Dalam pembukaan (preambule) UUD 1945 perubahan, khususnya pada alinea keempat dinyatakan: ”….kemudian dari pada itu untuk membentuk Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…” Demikian pula dalam amandemen IV UUD 1945 tersebut lebih diperjelas mengenai penyelenggaraan pendidikan yang merupakan salah satu hak azasi manusia yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan Negara. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, di Negara ini telah mengenal tiga sistem Pendidikan Nasional yaitu UU No 4 tahun 1950, tentang Pendidikan dan Pengajaran di sekolah, UU No 2 tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU RI No 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada ketentuan umum Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dalam pasal 1 disebutkan: “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” 1
2
Secara lebih khusus UU Sistem Pendidikan tahun 2003 pasal 3 menyebutkan pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal tersebut di atas sesuai dengan UUD 45 yang memberikan amanat kepada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah mempunyai kekuasaan dalam menyelenggarakan Sistem Pendidikan Nasional. Pemerintah telah berupaya untuk menaikkan mutu pendidikan nasional dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan mengadakan Ujian Nasional (UN). Pertanyaan yang timbul mengenai UN tersebut ialah apakah hal tersebut merupakan jawaban terhadap upaya meningkatkan kualitas mutu pendidikan nasional? Tidak diketahui pelaksanaan UN yang menghabiskan dana milyaran rupiah dari tahun ke tahun membawa manfaat terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Ternyata pelaksanaan UN hanya bertujuan sebagai pemuasan nafsu birokrat untuk menunjukkan bahwa mereka sibuk dengan pekerjaannya meskipun pekerjaan tersebut sia-sia belaka (Tilaar H.A.R, 2006:78) Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Oleh karena itu pendidikan merupakan usaha sadar agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran. Reformasi di Indonesia secara umum menuntut
3
diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak azasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan prinsip-prinsip tersebut memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan managemen sistem pendidikan. Selain itu pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum. Sejarah mencatat terjadinya beberapa kali perubahan kurikulum yang besar, walaupun tidak dapat dikatakan mendasar. Sejak lahirnya kurikulum 1968, kemudian disusul kurikulum 1984 (K 84), diganti lagi kurikulum 1994 (K94), hingga kurikulum 2004 (K 04) sebetulnya dimaksudkan untuk mencari bentuk yang tepat dalam proses pembelajaran di sekolah sehingga tujuan pendidikan yaitu meningkatkan kualitas produk pendidikan bisa dicapai. Namun kenyataannya rangkaian perubahan kurikulum yang diterapkan dalam sistem pendidikan secara umum tidak pernah berdampak secara signifikan, tidak begitu signifikan dalam proses pengelolaan pendidikan dan pembelajaran yang lebih bermutu, termasuk dalam peningkatan kualitas kelulusan (out put). Perubahan kurikulum merupakan kebijakan pemerintah, untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan mengevaluasi proses belajar siswa secara khusus melalui penerapan Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan pada akhir tahun ajaran. Kebijakan pemerintah ini diikuti dengan upaya penyeragaman standar kelulusan di seluruh sekolah di Indonesia. Standar kelulusan yang ditetapkan oleh pemerintah pada
4
akhirnya membawa banyak permasalahan. Kesenjangan dalam sejumlah aspek, anak didik, jumlah dan mutu guru, ketersediaan fasilitas, kondisi objektif input (siswa) antara desa-kota, Jawa dan luar jawa, Indonesia bagian barat dan timur, menyebabkan sulitnya penerapan stand out mutu karena sekolah di daerah yang satu dengan daerah lain kondisi siswa tidak sama baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik, demikian juga kompetensi guru serta keadaan sekolah itu sendiri. Pembelajaran yang ideal menekankan / menitik beratkan proses bukan pada hasil. Penekanan yang berlebihan pada hasil dan bukan pada proses belajar mengakibatkan hasil menjadi tujuan utama. Ketika hasil dianggap lebih penting dari pada proses, maka segala cara pun dihalalkan demi memperoleh nilai yang tinggi, paling tidak
memperoleh nilai
standar minimal yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Pementingan hasil bukan proses ini, tampak nyata kesibukan di sekolah dan juga di luar sekolah. Di sekolah para guru lebih mengejar target ketuntasan bahan untuk di ujikan. Sementara itu di luar sekolah para siswa yang akan mengikuti ujian sangat sibuk dengan bimbingan ujian dan les privat. Pembelajaran seharusnya ditempuh melalui proses pengajaran yang benar, melalui tanya jawab dan diskusi yang mendalam, serta kegiatan yang merangsang siswa untuk berpikir. Akan tetapi pada kenyataannya hal tersebut jauh dari yang diharapkan, kebanyakan guru memberikan latihan-latihan soal pilihan ganda yang mengacu pada kisi-kisi yang telah ditetapkan oleh pemerintah,.bahkan sekolah hanya mementingkan nilai yang diperoleh demi memenuhi standar kelulusan minimal.
5
Namun, tidak dipungkiri pula bahwa segala upaya itu juga untuk memperoleh nilai yang setinggi-tingginya demi mendongkrak popularitas sekolah. Sebenarnya pemerintah sendirilah yang mengajarkan cara pandang seperti itu melalui ujian nasional dengan nilai kelulusan yang telah dipatok. Standar kelulusan minimal yang setiap tahun ditingkatkan oleh pemerintah, dari standar kelulusan minimal 3.00 di tahun 2003/2004 hingga 5.25 di tahun 2008/2009, dan sekarang ini menjadi 5.50 (tahun 2010/2011). Selain
itu, pemerintah menentukan jenis mata
pelajaran yang dujikan secara nasional dari tiga mata pelajaran di tahun-tahun pertama hingga enam mata pelajaran saat ini. Adapun mata pelajaran yang diujikan secara nasional adalah sebagai berikut: Untuk kelompok program Ilmu Pengetahuan Alam yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Kimia, Biologi dan Fisika. Untuk kelompok program Ilmu Pengetahuan Sosial yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ekonomi, Sosiologi dan Geografi. Sedangkan untuk kelompok program Ilmu Pengetahuan Bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa asing lainnya, Antropologi dan sastra. Untuk model soal diberikan soal pilihan ganda dengan system paket, yaitu paket A untuk siswa yang bernomor ganjil dan paket B untuk siswa yang bernomor genap, namun saat ini pemerintah menentukan lima paket soal yaitu paket A,B,C,D,E (dan F untuk cadangan) biasanya kode paket menggunakan angka misalnya paket A kode 15, paket B kode 34 dan seterusnya setiap tahun kode paket soal diganti. Jika disimak sebenarnya kondisi itu merupakan upaya pemerintah untuk menjaga agar peserta ujian tidak bisa bekerja sama dan mau belajar dengan sunguh-sungguh
6
sehingga melalui ujian nasional ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun upaya pemerintah ini justru menimbulkan permasalahan-permasalahan baru di dunia pendidikan formal baik ditingkat pusat maupun daerah, seperti yang kita jumpai di daerah-daerah. Praktek tak jujur yang dilakukan enam belas guru SMA Negeri Lubuk Pakam II di hari kedua Ujian Nasional 2008 yang lalu merupakan satu dari sekian dampak buruk penerapan ujian yang distandarkan dan tersentralisasi secara nasional dalam arti ujian nasional menjadi segala-galanya, menjadi tujuan yang tunggal. Perilaku keenam belas guru itu tertangkap basah sedang membetulkan jawaban siswa untuk bidang studi bahasa Inggris yang hari itu diujikan ( Kompas, 24 April 2008 ). Kecurangan yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang itu bukan satu-satunya yang terjadi sejak ujian nasional dengan standar kelulusan minimal yang diseragamkan dan diberlakukan sebagai penentu kelulusan di Indonesia. Tahun 2007 lalu kecurangan serupa terjadi di Medan, Sumatera Utara. Demikian juga dengan apa yang terjadi di Garut Jawa Barat di tahun yang sama. Kecurangan terjadi lagi di beberapa daerah pada ujian nasional baru-baru ini (2009/2010) dengan adanya kebocoran soal dan jual beli jawaban dari soal-soal yang diujikan. Hari pertama pelaksanaan UN di Karangasem dan Buleleng diwarnai kericuhan. Soal bahasa Indonesia tertukar dengan soal bahasa Inggris. Selain itu seorang siswa di Singaraja, didapati tertidur karena stress ( Nusa Bali,23 Maret 2010) Sementara itu seorang siswi SMA di Denpasar mengatakan, siswa sepertinya hanya menjadi kelinci percobaan dari kebijakan pemerintah dalam penerapan sistem
7
UN, dahulu diberlakukan dua paket soal sedangkan sekarang UN 2010/2011 ini tibatiba lima paket soal berbeda. Berapapun diberlakukan paket soal, siswa tentu akan lebih tertantang agar bisa lulus, tidak menutup kemungkinan berbagai cara dilakukan agar bisa mendapat nilai tinggi. Menurut Ketua Dewan Pendidikan Kota Denpasar, Putu Rumawan, pelaksanaan UN menjadi semacam momok bagi anak-anak. Jika sistem pendidikan nasional betul-betul baik, sesungguhnya UN itu tidak diperlukan (Denpost, 15 April 2011) Kementerian Pendidikan Nasional bekerjasama dengan Polda setempat mengenakan prosedur pengamanan yang ketat sepanjang proses pencetakan, karena ditengarai ada kebocoran soal. Aparat menelusuri adanya dugaan kebocoran soal yang disengaja. Mendikbud menyebutkan faktor utama yang menyebabkan berulangnya peristiwa kebocoran ini yakni alasan ekonomi, karena bocoran soal selalu dibayar mahal (Nusa Bali, 25 Maret 2010). Isu-isu kebocoran soal di beberapa daerahpun santer diberitakan di media massa cetak dan elektronik, baik lokal maupun lingkup nasional. Adalah kenyataan yang sangat memprihatinkan banyak sekolah yang mengejar Ujian Nasional meskipun hanya dengan standar kelulusan minimal. Akibatnya terjadi bermacam-macam penyelewengan dalam penyelenggaraannya hingga ujian di berbagai sekolah diulang. Hal ini menyebabkan sekolah-sekolah berusaha mati-matian dengan segala cara dan jalan yang ditempuh hanya untuk anak didiknya dapat lulus walaupun dengan nilai minimal. Seolah-olah Ujian Nasional
8
adalah satu-satunya tujuan pendidikan formal dan satu-satunya penentu masa depan seorang siswa. Sekolah negeri maupun swasta di Kota Denpasar, yang penulis teliti menunjukkan
respon
yang
cukup
tinggi
terhadap
sistem
penilaian
yang
diselenggarakan oleh pemerintah tahun 2010/2011. Proses belajar mengajar yang dilaksanakan oleh guru-guru khususnya guru yang mata pelajarannya di ujikan secara nasinal berorientasi pada kisi-kisi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Upaya untuk meluluskan siswa seratus persen menjadi hal mutlak yang harus dilakukan oleh SMA di Kota Denpasar baik negeri maupun swasta, berbagai upaya seperti memberikan pembinaan sore hari, menambah jam untuk mata pelajaran yang di ujikan secara nasional, mengatur strategi duduk siswa pada saat ujian untuk memudahkan distribusi jawaban, hingga meminta guru-guru yang mata pelajarannya diujikan untuk menjawab soal-soal ujian yang nantinya akan diberikan kepada siswa secara sembunyi-sembunyi. Semuanya demi membantu siswa agar lulus seratus persen dan menjadikan sekolah populer di masyarakat. Kontroversi Ujian Nasional (UN) yang muncul sejak tahun 2003 belum terselesaikan secara tuntas. Pelaksanaan UN selalu menimbulkan permasalahan seperti kebocoran soal, kecurangan oleh oknum guru, soal tertukar, siswa menjadi stress, berusaha mencari jawaban dengan berbagai cara, hingga pada kelonggaran pengawasan walaupun di setiap sekolah ditempatkan team independen yang diambil dari kalangan kampus. Kecurangan yang senantiasa terulang dari tahun ke tahun menujukkan lemahnya sistem pendidikan di Indonesia.
9
Realitas di atas menjadi keprihatinan masyarakat dan keprihatinan banyak pakar pendidikan di Indonesia, temasuk penulis yang berkecimpung di dunia pendidikan. Rasa ketertarikan untuk mengangkat topik ini bermula dari rasa keprihatinan dan kegundahan melihat proses pembelajaran yang selama ini dipakai sebagai ajang uji coba oleh pemerintah. Selain itu keprihatinan juga terpicu setelah melihat motivasi siswa dalam belajar semakin rendah, juga terhadap kompetensi guru yang kurang professional dalam mengelola proses pengajaran di kelas, termasuk sistem yang berlaku dimasing-masing sekolah. Berbagai usaha atau cara yang terasa tidak wajar dilakukan baik oleh siswa maupun guru-guru itu sendiri . Ujian Nasional yang menerapkan standar kelulusan minimal yang berlaku di seluruh Indonesia, membawa dampak yang negatif bagi perkembangan dunia pendidikan itu layak diteliti dan dikaji secara kritis. Dari permasalahan diatas, maka penulis menganggap perlu untuk mengangkat masalah resistensi guru terhadap pelaksanaan UN tahun 2010/2011 di Sekolah Menengah Atas di Kota Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1.Bagaimanakah bentuk resistensi guru terhadap pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMA di Kota Denpasar? 2. Mengapa terjadi resistensi guru terhadap tingkat SMA di Kota Denpasar?
pelaksanaan Ujian Nasional
10
3. Apa dampak dan makna
resistensi guru terhadap
pelaksanaan Ujian
Nasional tingkat SMA di Kota Denpasar ?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dibedakan menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan umum Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara umum tujuan penelitian ini mengkaji masalah perlawanan guru terhadap pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMA di Kota Denpasar dan pengaruhnya terhadap perkembangan dunia pendidikan pada umumnya.
1.3.2 Tujuan khusus Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara khusus tujuan penelitian ini dirinci sebagai berikut . a. Untuk mengetahui bentuk-bentuk resistensi guru
berkaitan dengan
pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMA di Kota Denpasar. b. Untuk mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya resistensi guru terhadap pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMA di kota Denpasar. c. Untuk memahami dampak dan menginterpretasi makna
resistensi guru
terhadap pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMA di Kota Denpasar.
11
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis hasil penelitian ini bermanfaat bagi dunia pendidikan, yaitu untuk
menambah
khasanah
ilmu
pengetahuan
tentang
pendidikan
dan
permasalahannya, serta dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian yang semacam dengan penelitian ini untuk mengkritisi kebijakan pemerintah tentang pendidikan.
1.4.2 Manfaat praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. a. Digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan tentang pendidikan khususnya kebijakan penyeragaman evaluasi untuk sekolah menengah atas. b. Dapat menjadi sumbangan khususnya bagi guru di sekolah-sekolah agar lebih mengedepankan proses pembelajaran yang berkualitas daripada hasil. c. Dapat memberikan motivasi bagi peserta didik sebagai subyek pendidikan untuk mengikuti proses belajar yang baik demi menambah wawasan dan menjadi pribadi yang berkualitas.