BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam laporan International Crisis Group tertanggal 6 September 2010 yang berjudul Illicit Arms in Indonesia, perampokan bersenjata yang terjadi di beberapa daerah seperti Medan pada tahun 2010 memiliki keterkaitan dengan jaringan kelompok teroris. Senjata-senjata yang digunakan dalam aksi perampokan adalah hasil selundupan dari Filipina bagian selatan maupun Thailand Selatan.1 Tertangkapnya terduga pelaku teror di solo pada 31 Agustus 2012 serta ditemukannya barang bukti berupa pistol Baretta milik Filipina dengan kode PNP memberi isyarat bahwa penyelundupan senjata api terjadi begitu mudah di Indonesia. Kasus yang sama sebelumnya juga terjadi di Depok, bahkan perampokan Bank di Medan pada 2003 oleh International Crisis Group (ICG) diduga dilakukan oleh kelompok yang sama. Menurut ICG sirkulasi senjata illegal juga banyak ditemukan di daerah-daerah bekas konflik seperti Maluku dan Poso. Di dalam era yang semakin mengglobal dan tanpa batas ini, penyelundupan dan perdagangan senjata ilegal tentu semakin mudah. Kegiatan
1
ICG Policy Briefing, Illicit Arms in Indonesia, Jakarta 6 September 2010. Dapat diakses di www.crisigroup.org
1
ekonomi dan sosial tampak sudah meninggalkan batas-batas konvensional negara. Teknologi menjawab tantangan menembus batas-batas konvensional tersebut. Konsep ruang dan waktu tradisional yang sebelumnya selalu dapat diperhitungkan menjadi kian tidak relevan. Dalam kondisi yang hampir tidak mengenal batas-batas ruang dan waktu ini, pergerakan sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya yang terjadi di satu belahan dunia akan mempengaruhi belahan dunia lainnya. Gejolak ekonomi di Indonesia pada tahun 1998, serangkaian serangan teror dimulai dari Bom Bali memberi dampak pada paling tidak terhadap negara-negara tetangga. Di sisi lain, pergerakan barang, jasa, uang dan orang yang semakin tinggi tingkat frekuensinya membawa serta tantangan lain yang dapat merugikan masyarakat. Pergerakan lintas batas ini dapat saja dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk melakukan tindakan-tindakan kriminal dan terror seperti dalam kasus penyelundupan senjata oleh kelompok teroris di Solo dan Depok. Seperti yang diungkapkan oleh Rahmanto, kejahatan lintas negara, yang salah satunya adalah peredaran dan perdagangan senjata ilegal menjadi konsekuensi dari betapa mudahnya lalu lintas barang dan orang melewati batasbatas negara.2 Hal tersebut, bagi Rahmanto, menjadikan tindak kejahatan lintas negara seperti penyelundupan manusia, perdagangan obat terlarang hingga
2
Rahmanto, Anggi Setio, Pola Penyelundupan dan Peredaran Senjata Api Ilegal di Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia vol. V, no. 2 Agustus 2009, hal. 31-46.
2
eksploitasi kekayaan laut yang tidak bertanggung jawab, menjadi semakin mudah.3 Dengan kondisi yang semakin tanpa batas ini, justru kejahatan lintasbatas menjadi momok dan tantangan bagi negara. Terlepas dari dampak yang ditimbulkan serta kerugian yang ditanggung oleh masyarakat dari aktifitas perdagangan dan peredaran senjata kecil dan kaliber kecil ini, sesungguhnya dalam tingkatan tertentu, hal tersebut mengancam kewibawaan negara serta kedaulatannya. Dalam rumusan konseptual, kepentingan serta keamanan nasional suatu negara, dalam hal ini Indonesia, menjadi terancam oleh sebab terjadinya perdagangan senjata ilegal. Dari sekian banyak tindak kejahatan, penyelundupan dan perdagangan senjata ringan dan kaliber kecil (Small Arms and Light Weapon/SWAL) menjadi sorotan tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Hal ini dapat diartikan bahwa penyelundupan dan perdagangan senjata ringan dan kaliber kecil menjadi awal mula lahirnya kejahatan-kejahatan lainnya seperti perampokan bersenjata seperti di Medan tahun 2003 dan 2010 serta tindakan teror dengan berbagai motif dan latar belakang. Harus diakui bahwa terorisme sendiri, seperti yang tertuang dalam laporan ICG Agustus 2010, berkaitan erat dengan aktifitas penyelundupan dan perdagangan senjata ilegal. Dalam hal karakteristik, seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden no 46 2010 tentang pembentukan 3
Rachmanto, Ibid.
3
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tindak kejahatan terorisme dikategorikan sebagai kejahatan lintas negara.4 Seperti yang dipaparkan oleh Kemenlu dalam laman resminya, secara umum, small arms (senjata kecil) meliputi beragam jenis alat pembunuh dari senjata genggam sampai laras panjang. Meskipun belum ada kesepakatan definisi, istilah small arms dipahami sebagai senjata api portable (dapat dibawabawa) dan amunisinya yang didesain untuk penggunaan individual oleh militer. Termasuk dalam hal ini adalah pistol; rifle dan carbine; senjata serbu; dan senjata mesin ringan. Definisi mengenai small arms terus menjadi diskusi guna mendapatkan pemahaman yang seragam. Sedangkan light weapons (kaliber ringan) lebih berat dan lebih besar dari small arms dan dirancang untuk digunakan oleh sebuah tim kecil atau crew infantry. Termasuk dalam hal ini adalah man-portable firearms dan amunisinya; light artillery guns; roket; serta guided missile yang digunakan terhadap tank, pesawat atau fortification. Light weapons juga dapat meliputi senjata mesin berat (heavy machine-guns), pelontar granat (hand-held under-barrel and mounted grenade launcher), portable anti-tank dan rocket launcher systems, serta mortir di bawah kaliber 100 mm. Light weapons sangat banyak
4
Lihat, Peraturan Presiden No 46 2010 tentang Pembentukan Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT)
4
diproduksi, mudah disembunyikan, dan membutuhkan sedikit perawatan, atau pelatihan penggunaan. Satu dekade proyek global “perang terhadap terror” di sisi lain masyarakat ineternasioal telah juga merambah permasalahan peredaran dan perdagangan ilegal senjata ringan dan kaliber kecil. Hal ini tampak dari upaya PBB pada tahun 2001 dalam pertemuan tahunannya menggagas instrumen internasional dalam mencegah dan mengendalikan perdagangan dan peredaran senjata ilegal dalam hal ini adalah senjata ringan dan kaliber kecil atau SALW. Instrumen yang akhirnya menjadi suatu program aksi mengenai upaya untuk memerangi perdagangan gelap senjata ringan dan kaliber kecil (Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All Its Aspects/POA), menjadi payung dan pedoman bagi negara-negara di dunia dalam tataran praktis. Seperti yang diutarakan oleh Kementrian Luar Negeri Indonesia dalam situs resminya, Indonesia berkepentingan akan suatu pengaturan yang dapat mencegah perdagangan gelap SALW. Panjangnya garis pantai, letak geografis, dan situasi potensi konflik lokal di beberapa tempat di tanah air menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap kegiatan penyelundupan dan menjadi salah satu tempat tujuan dari perdagangan gelap SALW. Hal ini dapat dilihat dari
5
contoh kasus di mana kelompok separatis dan teroris sering menggunakan senjata selundupan dalam aksi-aksi mereka.5 Jika melihat catatan laporan dari ICG pada Agustus 2010 tentang senjata ilegal di Indonesia, sumber dari peredaran senjata secara umum dapat dilacak dari dua sumber yaitu luar dan dalam negeri.6 Dari segi sumber dalam negeri, senjata-senjata tersebut berasal dari kepemilikan Polri dan TNI yang peredarannya disebabkan oleh penjualan oleh oknum dalam institusi tersebut maupun dirampas oleh pelaku kejahatan. Namun, yang menjadi sorotan dari ICG terutama adalah maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam tubuh institusi tersebut sehingga menyebabkan maraknya penjualan senjata secara ilegal. Sumber lain juga bisa berasal dari kelompok sipil, khususnya pembuatan senjata ilegal yang sering digunakan dalam tindak kejahatan serta separatisme seperti di Aceh dan Papua.7 Dari segi sumber luar negeri, senjata-senjata tersebut diselundupkan dari wilayah-wilayah konflik seperti di Mindanao, Filipina Selatan dan Pattani Thailand Selatan. Senjata-senjata tersebut membanjiri daerah-daerah konflik di Indonesia seperti Aceh, Maluku, Poso bahkan ke daerah-daerah yang tidak terkena konflik komunal di Pulau Jawa seperti yang terungkap pada 5
Kemenlu (07/07/10), Small Arms And Light Weapons, diakses dari >http://www.deplu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=17&l=id< pada 27/09/12. 6
ICG Policy Briefing, Illicit Arms in Indonesia, Jakarta 6 September 2010. Dapat diakses di www.crisigroup.org 7 Ibid.
6
penangkapan teroris di Solo dan Depok. Ancaman yang ditimbulkan dari peredaran senjata ini adalah gerakan disintergarasi dan separatisme serta terorisme. Indonesia pantas meresponnya dengan segala upaya agar tetap terjaganya keutuhan bangsa dan negara. Hal ini sejalan dengan yang dipaparkan oleh Kemenlu di atas di mana Indonesia sangat berkepenting dalam meredam laju peredaran senjata kecil dan kaliber ringan ilegal. Terlepas dari belum adanya undang-undang yang mengatur secara komprehensif mengenai aspek-aspek registrasi, marking and tracing, transfer, maupun brokering dalam pengadaan SALW yang komprehensif di Indonesia, seperti diutarakan Kemenlu, namun sudah terlihat usaha paling tidak dalam kebijakan luar negeri untuk merespon fenomena tersebut. Terlebih lagi PBB melalui UN PoA 2001 telah menyediakan suatu manual dari tindakan strategis suatu negara dalam meresepon peredaran dan perdagangan senjata ringan dan kaliber kecil ilegal. Dalam laporan tiap negara mengenai kemajuan dalam implementasi UN PoA tersebut, Indonesia terhitung 2009 hingga sekarang telah mengeluarkan laporan tentang pencapain dalam implementasinya. Dengan melihat permasalahan di atas, hal ini menjadi relevan untuk melihat kebijakan Indonesia dalam mencegah peredaran dan perdagangan senjata kecil dan kaliber ringan (SALW).
7
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diungkapkan di awal, maka penelitian ini akan menjawab pertanyaan sebagai berikut: “Kebijakan apa yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam rangka mengatasi peredaran senjata kecil dan ringan ilegal di Indonesia”?
C. Kerangka Pemikiran Dalam hal ini teori dan konsep akan membantu menjelaskan masalahmasalah di atas. Konsep adalah abstraksi yang merepresentasikan sebuah objek, karakter sebuah objek, atau fenomena tertentu.8 Salah satu fungsi dari konsep adalah mensistematisasikan ide-ide, persepsi-persepsi, dan simbol-simbol dalam bentuk klasifikasi dan generalisasi.9 Sedangkan teori membantu menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena tertentu. Menurut McCain dan Sagal, teori adalah sekumpulan pernyataan-pernyataan yang terhubung yang mengandung hal-hal berikut: (1) kalimat-kalimat yang memperkenalkan pemaknaan serta mengacu pada konsep-konsep dasar, (2) kalimat-kalimat yang terhubung pada konsep-konsep dasar, (3) kalimat-kalimat yang terhubung pada pernyataanpernyataan teoritis dengan sekumpulan analisis empiris atas objek (hipotesa).10
8
Mochtar Mas’oed, Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi (Jakarta: LP3ES, 1990), p.p. 93-94 9 Ibid., p. 95 10 Ibid., p. 187
8
Teori juga merupakan uraian yang menjelaskan variabel-veriabel dan hubungan antar variabel berdasarkan konsep dan definisi tertentu. Dalam hal ini teori akan membantu dalam menerangkan fenomena yang difokuskan pada artikulasi kebijakan Indonesia dalam hal penanggulangan peredaran dan perdagangan senjata kecil dan kaliber ringan ilegal. Dalam hal ini, penulis akan menggunakan konsep kebijakan publik dalam menerangkan upaya pemerintah Indonesia dalam menanggulangi peredaran senjata kecil dan ringan ilegal.
1. Konsep
Senjata
Kecil
Kaliber
Ringan
(Small
Arm Light
Weapon/SALW) Seperti yang dipaparkan oleh Kemenlu dalam laman resminya, secara umum, small arms (senjata kecil) meliputi beragam jenis alat pembunuh dari senjata genggam sampai laras panjang. Meskipun belum ada kesepakatan definisi, istilah small arms dipahami sebagai senjata api portable (dapat dibawabawa) dan amunisinya yang didesain untuk penggunaan individual oleh militer. Termasuk dalam hal ini adalah pistol; rifle dan carbine; senjata serbu; dan senjata mesin ringan. Definisi mengenai small arms terus menjadi diskusi guna mendapatkan pemahaman yang seragam. Sedangkan light weapons (kaliber ringan) lebih berat dan lebih besar dari small arms dan dirancang untuk digunakan oleh sebuah tim kecil atau crew infantry. Termasuk dalam hal ini adalah man-portable firearms dan amunisinya;
9
light artillery guns; roket; serta guided missile yang digunakan terhadap tank, pesawat atau fortification. Light weapons juga dapat meliputi senjata mesin berat (heavy machine-guns), pelontar granat (hand-held under-barrel and mounted grenade launcher), portable anti-tank dan rocket launcher systems, serta mortir di bawah kaliber 100 mm. Light weapons sangat banyak diproduksi, mudah disembunyikan, dan membutuhkan sedikit perawatan, atau pelatihan penggunaan. Menurut United Nations’s Group of Goverment Expert pada tahun 1997, small arms dirancang untuk penggunaan satu orang termasuk: Revolvers, selfloading, pistols, rifles (senapan) dan carbine, sub-machine-guns, assault rifles and light-machine guns. Sementara itu, light weapon dirancang untuk penggunaan satu kru (yang terdiri dari dua atau lebih orang) atau pasukan kecil termasuk: Heavy machine-guns, grenade launchers, small mortars, mobile antiaircraft dan anti-tank guns, mobile rocket launchers, shoulder-fired antiaircraft missile launcher, dan mortars dengan kaliber di bawah 100 mm. Amunisi termasuk: Cartridges untuk small arms, shells dan missiles untuk light weapons, anti-personnel, dan anti-tank grenades, landmines, bahan peledak, dan shells untuk single-actions anti-aircraft dan anti-tank system11.
11
United Nations’s Group of Goverment Expert, 2007, Consequences of The Proliferation and Misuse of Small Arms and Light Weapon. Diakses dari >http://www.fas.org/asmp/campaigns/smallarms/sawg/2006factsheets/SAWG_Small_ Arms_Fact_S heet_2006.pdf<. Diakses pada 01/10/2012.
10
Sementara itu, menurut dokumen yang oleh Majelis Umum PBB (United Nations Assembly Document) No. A/52/298 yang dikeluarkan pada tanggal 27 Agustus 1997, small arms adalah “senjata-senjata yang khusus dibuat dengan spesifikasi militer yang didesain untuk digunakan secara perorangan dan berbeda dari senjata berat yang membutuhkan beberapa orang untuk mengoperasikan
dan
memeliharanya12.
Sedangkan,
menurut
Amnesty
Internasional, SALW ialah senjata yang dapat dibawa dan digunakan oleh satu atau dua orang, termasuk senapan gengam, assault rifles (jenis senjata), senapan mesin, peluncur granat, anti-tank atau senjata anti-pesawat udara dan motar cahaya. Senjata ringan, amunisi, granat, ranjau darat dan peledak juga merupakan bagian dari kategori ini13. Karena sifatnya yang sangat mudah dibawa dan dioperasikan, SKKR menjadi ancaman laten bagi kedaulatan negara. Kelompok separatis dan teroris sering memanfaatkan SKKR dalam setiap tindakan ofensif mereka, maka tidak heran jika kemudian peneyelundupan serta peredaran SKKR illegal yang sangat mengancam keamanan lintas negara ini digolongkan sebagai kejahatan lintas negara (transnational crime).
12
Philips Jusario Vermonte, Problematikan Peredaran Small Arms di Kawasan Asia Tenggara: Thailand, Filipina dan Indonesia, dalam jurnal “Analisis CSIS Terorisme dan Keamanan Manusia” Tahun XXXII/2003 No. 1. CSIS Indonesia 2003. Hal 61 13 Amnesty Internasional, Small Arms and International Humanitarian Law, >http://www.amnestyinternationalusa.org<, diakses pada 01/10/12
11
Mengenai kejahatan lintas negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi 55/25 mengenai United Nations Convention against Transnational Organized Crime. Dalam Konvensi ini ditentukan bahwa suatu kejahatan bersifat transnasional, jika dalam kejahatan tersebut melibatkan lebih dari satu negara. Misalnya dilakukan di dua negara atau lebih, dilakukan di suatu negara namun dipersiapkan, diawasi atau dikontrol dari negara lain, dilakukan di suatu negara tetapi melibatkan organisasi kriminal yang beraktifitas di lebih dari satu negara dan dilakukan di suatu negara tetapi berdampak di negara lain14.
2. Kebijakan Pemerintah/Publik Kebijakan publik adalah keputusan atau peraturan yang dibuat oleh yang berwenang untuk mengatasi masalah publik, sehingga diharapkan tujuan organisasi dapat dicapai dengan baik. Ciri utama kebijakan publik adalah suatu peraturan atau ketentuan yang diharapkan dapat mengatasi masalah publik. Cohran dan Malone mengemukakan: “public policy is the study of
14
United Nations Convention against Transnational Organized Crime Resolution No. 55/25 Chapter 3/2. Disebutkan bahwa kejahatan lintas negara adalah jika: First, it is committed in more than one State; second, it is committed in one State but a substantial part of its preparation, direction or control takes place in another State; third, it is committed in one State but involves an organized criminal group that engages in criminal activities in more than one State; or fourth, it is committed in one State but has substantial effects in another State.
12
government’s decision and actions designed to deal with matter of public concern”15. Dari pengertian di atas, maka keputusan Presiden, Menteri, Direktorat Jendral, Direktur Departemen terkait pada dasarnya merupakan Kebijakan Publik. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai apa yang dilakukan pemerintah, bagaimana mengerjakannya, mengapa perlu dikerjakan dan perbedaan apa yang dibuat. Dye seperti yang dikutip Winarno berpandangan lebih luas dalam merumuskan pengertian kebijakan, yaitu sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.16 Dengan mengacu pada pandangan Dye, maka keputusan-keputusan pemerintah adalah kebijakan, namun membiarkan sesuatu tanpa ada keputusan juga merupakan kebijakan. Kebijakan public pada dasarnya tidak permanen, tapi harus selalu disesuaikan, karena adanya perubahan keadaan, baik masalah politik, sosial, ekonomi maupun adanya informasi yang berubah. perubahan kebijakan publik dilakukan setelah adanya evaluasi. perubahan dalam kebijakan dalam kebijakan publik dengan demikian adalah dinamis mengikuti perubahan yang didorong oleh perubahan lingkungan di luar maupun di dalam organisasi
15
Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik,Yogyakarta: Media Pressindo 16 Winarno, Budi. Ibid.
13
publik tersebut. Ciri utama kebijakan publik seperti diutarakan oleh Plester dan Stewart adalah “formulated, implemented and evaluated”.17 Munculnya permasalahn publik adalah titik awal dari perlunya keputusan pemerintah untuk membuat kebijakan. Masalah itu sendiri timbul karena adanya faktor ketidakseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan sarana. Dalam menyusun suatu kebijakan, urut-urutan perlu dilalui, dari mulai perumusan masalah, dan diakhiri dengan penghentian kebijakan. Lester dan Stewart menyusun tahapan dalam enam langkah18: 1. Agenda Setting (penyusunan agenda) 2. Policy Formulation (penyusunan kebijakan) 3. Policy Implementation (penerapan kebijakan) 4. Policy Evaluation (evaluasi kebijakan) 5. Policy Change (pergantian/penyesuaiam kebijakan) 6. Policy Termination (penghapusan kebijakan) Pada tahap penyusunan agenda, pembuat kebijakan akan mengumpulkan masalah-masalah publik. Dari masalah-masalah yang dikumpulkan, kemudian dianalisa dan diikuti dengan penyusunan pembuatan kebijakan. siklus berikutnya ialah menerapkan kebijakan tersebut dalam masyarakat, dan diikuti degan
mengevaluasi.
Dengan
menganalisis
hasil
evaluasi,
dibuatlah
17
James P. Lester and Joseph Stewart, 2000, Public Policy: an Evolutionary Approach. The University of California: Wadsworth Thomson Learning. 18 James P. Lester and Joseph Stewart, Ibid.
14
penyesuaian atau perubahan bagi penyempurnaan Kebijakan. Langkah terakhir dari siklus pembuatan kebijakan ialah mengakhiri kebijakan karena tujuan sudah tercapai. Dalam hal merespon maraknya peredaran senjata kecil kaliber ringan ilegal serta penyalahgunaannya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polri, BIN, Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Perdagangan membentuk satu institusi payung yang disebut Interdepartmental Working Group (IWG)19. Institusi ini bertugas mengawal setiap kebijakan yang menyangkut regulasi, sirkulasi serta produksi senjata kecil dan kaliber ringan. Dalam hal regulasi misalnya pembuatan serta produksi senjata hanya boleh dilakukan oleh PT. Pindad. Segala aktifitas produksi senjata di luar PT. Pindad, kecuali impor atas ijin pemerintah, bisa dikategorikan sebagai tindakan ilegal dan dikenai sangsi hukum. Dalam perkembangannya, setiap institusi pemerintah yang tersebut di atas mengeluarkan
kebijakannya
masing-masing dalam menanggulangi
peredaran senjata ilegal. Polri misalnya melalui surat keputusan Kapolri no. Skep/82/II/2004 menegaskan bahwa Polri memiliki kewenangan mengawasi peredaran senjata di masyarakat dengan koordinasi dengan TNI serta Badan 19
Indonesia National Report 2007-2008 on Impelentation of the United Nations Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Smalls Arm and Light Weapons in All Its Aspects.
15
Intelijen. Segala aktifitas penggunaan serta kepemilikan senjata di masyarakat harus sepengetahuan dari Polri berkoordinasi dengan TNI dan Intelejen20. Dalam perspekti kebijakan publik, keputusan Kapolri dapat dilihat dalam rangka merespon masalah yang dihadapi oleh masyarakat akibat dari peredatan dan penyalahgunaan senjata kecil dan kaliber ringan. Dengan melihat dampak yang dapat ditimbulkan oleh peredaran senjata kecil kaliber ringan ini seperti diuraikan dalam latar belakang masalah, maka pemerintah perlu menindaklanjutkan setiap uapaya pencegahan dan penannggulangan dari keberadan senjata kecil kaliber ringan ilegal. Namun, sifat dari pola peredaran dan penyelundupan SKKR ilegal yang melampaui batas-batas negara, sehingga digolongkan sebagai kejahatan lintas negara, maka kebijakan pemerintah yang melingkupi dalam negeri saja tidak cukup. Hal ini, selain juga SKKR menjadi perhatian setiap negara di dunia terlebih melalui PBB, permasalahan yang sama juga dihadapi negara-negara lain khususnya negara-negara ASEAN. Maka kebijakan yang komprehensif sangat diperlukan guna menanggulangi peredaran dan perdagangan SKKR ilegal. Dalam hal ini, kerjasama pemerintah Indonesia dengan negara-negara lain juga merupakan bagian integral dari kebijakan pemerintah di dalam negeri. Kerjasama tersebut bisa dilihat dari kesepakatan-kesepakatan yang tertuang 20
Ibid.
16
dalam perjanjian dan kerjasama keamanan sesam negara anggota ASEAN. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh William D. Coplin, pemecahan permasalahan bersama antar negara hanya mungkin jika mereka memiliki kesepakatan bersama tentang potensi ancaman serta bentuk permasalahan tersebut21. Menurut Coplin, setidaknya ada dua motivasi dalam kerjasama antar-negara yang dalam hal ini juga mengacu pada uapaya penanggulangan peredaran dan perdagangan SKKR ilegal. Pertama, permasalahan yang bersifat lintas batas mendorong pemerintah negara-negara untuk bekerjasama. Hal ini bisa dikaitkan sebagai kesamaan pandangan terhadap satu permasalahan bersaman. Kedua, efisiensi serta efektifitas yang lebih yang didapat jika kerjasama dilakukan antar-negara dalam merespon suatu permasalahan bersama yang bersifat lintas batas22.
D. Hipotesa Kebijakan Indonesia dalam memerangi peredaran senjata ringan dan kaliber kecil dapat dilihat 1) pemerintah mengambil kebijakan law enforcement di level nasioanl, 2) pemerintah mengambil kebijakan menjalin kerjasama luar negeri khususnya dengan negara-negara di ASEAN. Hal tersebut dilakukan karena dari akibat yang ditimbulkan dari peredaran dan perdagangan senjata 21
Coplin, William D, 2003, Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis, Edisi Kedua, Bandung: Percetakan Sinar Baru Algensindo, hal. 284. Penerjemah: Marsedes Marbun. 22 Coplin, William D, Ibid. hal. 284
17
ilegal tersebut yaitu disintegrasi, separatisme, terorisme serta kejahatan yang melibatkan penggunaan senjata.
E. Jangkaun Penelitian Penelitian ini akan fokus pada kebijakan Indonesia dalam hal penanggulangan peredaran dan perdagangan senjata kecil dan kaliber ringan (SKKR) dari tahun 2009 hingga 2011. Hal ini diambil karena pada tahun 2009 hingga sekarang Indonesia mulai melaporkan sejauh mana usaha Indonesia dalam menanggulangi peredaran dan perdaganagn SKKR. Dalam hal ini, laporan 2009 menunjukkan kinerja tahun 2007 dan 2008 dalam hal hal penanggulangan peredaran dan perdagangan senjata kecil dan kaliber ringan (SALW). Ini menunjukkan bahwa mulai tahun 2007, Indonesia tampak lebih siap secara infrastruktur maupun legislasi dalam menanggulangi peredaran dan perdagangan SKKR. Namun, demi membatasi lingkup jangkauan periode, maka penelitian ini mengambil studi kasus 2009 hingga 2011, agar mampu melihat data yang paling kontemporer dari usaha Indonesia dalam penanggulangan SKKR ilegal. . F. Maksud dan Tujuan 1. Mengetahui prosedur yang benar dalam penelitian
18
2. Mengetahui bagaimana menggunakan perspektif dan konsep tertentu dalam suatu penelitian yang melibatkan operasionalisai konsep. 3. Mendalami kebijakan Indonesia dalam menangani peredaran dan perdagangan senjata kecil dan kaliber ringan ilegal. 4. Menyelesaikan
studi
Strata
1
di
Universeitas
Muhammadiyah
Yogyakarta.
G. Metode Penelitian Metodologi penelitian yang dipakai untuk meneliti dalam tulisan ini dibedakan menjadi 2 yaitu, Metode Pengumpulan Data dan Metode Analisa Data.
1. Metode Pengumpulan Data Teknik yang dipergunakan dalam pengumpulan data adalah studi pustaka. Penulis akan mengumpulkan informasi tentang kebijakan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi peredaran dan perdagangan senjata kecil ringan (SKKR) ilegal, maupun data tentang perkembangannya secara umum dari jurnal, majalah, surat kabar, ensiklopedia dan media-media informasi lainnya seperti Internet.
2. Metode Analisa Data
19
Dalam melakukan analisa data, penulis akan menggunakan metode deskriptif, analitis dan prediktif. Segala aspek dalam hal kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal penanggulangan peredaran dan perdagangan senjata kecil dan kaliber ringan (SALW) akan menjadi sorotan utama dalam penulisan ini. Sedangkan konsep kebijakan publik akan dijadikan alat untuk menganalisis fakta dan data yang diperoleh.
H. Sistematika Penulisan Bab I merupakan bab pendahuluan yang akan membicarakan alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan teoritik (konsep politik dan kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional), hipotesa, metodologi penelitian, jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Menjelaskan tentang masalah peredaran senjata kecil dan kaliber ringan ilegal secara umum dan Indonesia secara spesifik Bab III mendiskusikan tentang penegakan hukum dalam penanggulangan peredaran dan perdagangan senjata ilegal di Indonesia Bab IV membahas tentang kebijakan Indonesia dalam hal kerjasama dengan negara lain di ASEAN dalam penanggulngan peredaran dan perdagangan senjata kecil dan kaliber ringan ilegal. Bab V Kesimpulan
20
21