BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama
dengan
pemerintah,
yang
berlangsung
terus
menerus
dan
berkesinambungan, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk merealisasikannya diperlukan biaya yang besar yang harus digali terutama dari dalam negeri berupa pajak. Hal ini menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam kegotongroyongan nasional sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan. 1 Beberapa fungsi penting pajak, antara lain adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
negara,
pembiayaan
kepentingan
umum,
seperti
pembangunan gedung-gedung sekolah, jembatan, jalan umum dan berbagai fasilitas lainnya yang sering kali digunakan oleh masyarakat. Pada dasarnya pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. 2 Peningkatan pendapatan negara terutama dalam sektor pajak, memberikan sumbangan positif dalam keuangan negara. 3 Di sisi lain pajak bukan hanya berfungsi
1
Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis: Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm.7. 2 Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Edisi 3, (Jakarta: Granit, 2005), hlm.21. 3 Budi Rahardjo dan Djaka Saranta S. Edhy, Dasar-dasar Perpajakan Bagi Bendaharawan sebagai Pedoman Pelaksanaan Pemungutan/Pemotongan dan Penyetoran/Pelaporan, (Jakarta: CV. Eko Jaya, 2003), hlm.1.
Universitas Sumatera Utara
untuk memasukkan uang ke kas negara, tetapi juga merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan memenuhi kewajiban kenegaraan dalam upaya peningkatan kemandirian bangsa dalam pelaksanaan pembangunan nasional. 4 Pajak merupakan bagian penting dan tidak dapat dipisahkan dengan hukum. Dengan demikian dalam pembangunan nasional khususnya pembangunan hukum di bidang administrasi negara, hukum pajak merupakan sarana yang penting dalam kerangka menunjang pemasukan pajak ke kas negara dan menunjang peningkatan pertumbuhan pembangunan ekonomi dan sosial. 5 Sejalan dengan otonomi daerah, kebijakan desentralisasi telah memberikan wewenang yang lebih banyak kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya secara otonom, dengan cara mendelegasikan tanggung jawab yang besar kepada pejabat tingkat lokal untuk merancang proyek pembangunan agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. 6 Salah satu komponen utama pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerah adalah desentralisasi fiskal (pembiayaan otonomi daerah). 7 Untuk itu semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan daerah khususnya. 8
4
Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm.21. 5 Marihot Pahala Siahaan (a), Hukum Pajak Elementer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm.8. 6 Joko Widodo, Good Governanve: Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Surabaya: Penerbit Insan Cendekia, 2001), hlm.43. 7 Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah Indonesia, (Jakarta: Yellow Printing, 2007), hlm.12. 8 Dedy Supriady Bratakusumah, dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.206.
Universitas Sumatera Utara
Menurut lembaga pemungutnya, pajak dikelompokkan menjadi dua yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. 9 Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yang terdiri dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai. Sedangkan Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas Pajak Propinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Pajak Propinsi, seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. Sedangkan Pajak Kabupaten/Kota, seperti Pajak Hotel, Pajak restoran, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, 10 sedangkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belakangan masuk menjadi pajak daerah. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dilimpahkan pemungutannya dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah sehingga dinamakan Pajak Daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 85 sampai dengan pasal 93 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Undang-Undang Pajak Daerah). Pelaksanaan pelimpahan BPHTB menjadi Pajak Daerah lebih cepat dibandingkan pelimpahan PBB Perdesaan dan Perkotaan, dimana peraturan tentang tahapan persiapan pengalihan dilakukan oleh Menteri Keuangan 9
Tony Marsyahrul, Pengantar Perpajakan, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006), hlm.5. Supramono, dan Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia-Mekanisme dan Perhitungan, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010), hlm.6. 10
Universitas Sumatera Utara
bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dalam waktu paling lama 1(satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tertanggal 1 Januari 2010, sehingga paling lambat tanggal 31 Desember 2010 merupakan batas akhir persiapan pengalihan BPHTB sebagai pajak daerah. Maka sejak tanggal 1 Januari 2011 pemungutan BPHTB sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota. 11 Dalam pengalihan tanah dan bangunan ada beberapa pajak yang dikenakan antara lain BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPh F PHTB). BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan di Indonesia sehingga segala pungutan yang ada kaitannya dengan perolehan hak (kecuali biaya resmi yang berkaitan dengan pembuatan akta dan pendaftaran hak atas tanah dan bangunan yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku) tidak boleh dilakukan oleh pihak manapun di luar ketentuan Undang-undang BPHTB. 12 BPHTB merupakan pajak yang dikenakan/dipungut oleh Pemerintah terhadap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. 13 Secara umum, penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut maka wajib dibayar
11
Eddy Wahyudi, http://eddiwahyudi.com/2010/12/31/mulai-1-januari-2011-bphtb-telahresmi-menjadi-pajak-daerah/, terakhir diakses tanggal 04 Mei 2014 12 Muhammad Rusjdi, PBB, BPHTB dan Bea Materai, (Jakarta: PT indeks Kelompok Gramedia, 2005), hlm.127. 13 Marihot Pahala Siahaan (b), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Teori danPraktek, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hlm.7.
Universitas Sumatera Utara
pajak penghasilan (PPh). 14 Cara pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang objek pajak dilakukan dengan dua cara. Pertama, dikenakan PPh secara umum dengan menggunakan tarif umum (tarif Pasal 17 UU PPh) dan pengenaannya melalui mekanisme SPT Tahunan. Kedua, dikenakan PPh secara final, seperti Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah/Bangunan (PPh PHTB). Objek PPh adalah penghasilan yang diperoleh dari pengalihan harta berupa hak atas tanah dan bangunan, ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), berbunyi: (1)
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak 5. ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan 14
Erly Suandy, Perencanaan Pajak, Edisi 4, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), hlm.117.
Universitas Sumatera Utara
6. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; Sedangkan objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan (Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah suatu perbuatan hukum yang dikuatkan dengan akta otentik yang mengakibatkan beralihnya pemegang hak atas tanah kepada pihak lain. 15 Seluruh transaksi pengalihan hak atas tanah pada dasarnya dikenakan PPh F PHTB kecuali bila memenuhi persyaratan yang dapat dibebaskan PPh seperti yang diatur dalam Peraturan Dirjen Nomor 30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemberian Pengecualian Pembayaran Kewajiban atau Pemungutan PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan. BOT hanya sebuah skema atau konsep yang umum sifatnya, maka konsep BOT tidak hanya dapat digunakan untuk proyek pemerintah saja, tetapi juga dapat digunakan untuk proyek swasta, artinya pihak yang terlibat antara individu dengan individu atau swasta dengan swasta. Misalnya penduduk asli memiliki tanah, tetapi tidak memiliki cukup dana untuk mendirikan bangunan komersial, maka dapat melakukan pola kerja sama pendirian bangunan hotel/penginapan di atas tanah penduduk melalui perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer/BOT), yaitu bentuk kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan
15
Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2010), hlm.276.
Universitas Sumatera Utara
investor, di mana pihak investor diberikan hak untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer/BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa Bangun Guna Serah berakhir. 16 Merujuk pada definisi perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer/BOT), maka BOT memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 17 1. Adanya para pihak, yaitu pihak investor yang menyediakan dana untuk membangun fisik proyek tersebut, dan pihak pemilik tanah/lahan yaitu masyarakat/swasta yang memiliki lahan strategis. Demikian juga pemerintah sebagai pemilik hak eksklusif atau pemegang hak pengelolaan atau juga hak ulayat; 2. Adanya objek yang diperjanjikan dalam perjanjian BOT, yaitu lahan atau beserta bangunannya; 3. Investor dalam jangka waktu tertentu diberi hak kelola atas bangunan yang dibangun untuk mengambil manfaat ekonominya dengan pola bagi hasil, royalty, atau kompensasi dengan harapan modal yang telah diinvestasikan dapat kembali atau bahkan menguntungkan; 4. Setelah waktu kelola tersebut berakhir, investor mengembalikan bangunan beserta fasilitas-fasilitas yang melekat pada bangunan tersebut kepada pemilik lahan atau pemerintah sebagai pemilik hak eksklusif atau pemegang hak pengelolaan. Dalam transaksi BOT, pihak yang satu menyerahkan penggunaan tanah miliknya untuk di atasnya didirikan suatu bangunan komersial oleh pihak kedua (investor), dan pihak kedua tersebut berhak mengoperasikan atau mengelola bangunan komersial untuk jangka waktu tertentu dengan memberikan fee (atau tanpa fee) kepada pemilik tanah (owner), dan pihak kedua wajib mengembalikan tanah
16
Anita Kamilah, Bangun Guna Serah (Build Operate And Transfer/BOT) Membangun Tanpa Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian Dan Hukum Publik), (Bandung: Keni Media, 2012), hlm.6. 17 Ibid., hlm.7.
Universitas Sumatera Utara
beserta
bangunan
komersial
di
atasnya
dalam
keadaan
dapat
dan
siap
dioperasionalkan kepada pemilik tanah (owner) setelah jangka waktu operasional tersebut berakhir. 18 Metode pembiayaan suatu proyek dalam transaksi BOT termasuk segala sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan proyek tersebut yaitu studi kelayakan, pengadaan barang dan peralatan, pembiayaan, pembangunan, pemasaran, pengoperasian dan pemeliharaan proyek yang diserahkan kepada pihak kontraktor untuk melakukannya. Pihak investor akan mendapatkan pengembalian investasi yang ditanamkannya melalui pengoperasian proyek tersebut untuk jangka waktu tertentu. Aset proyek tersebut setelah jangka waktu pengoperasian berakhir akan dialihkan kepada pihak owner sebagai pemegang hak atas aset tersebut. 19 Keuntungan terbesar dari BOT bagi owner adalah memindahkan risiko kepada investor, dalam pembangunan fasilitas infrastruktur tersebut. Pada akhir masa konsesi, owner akan mewarisi hasil dari proyek yang telah terbukti dapat dioperasionalkan dengan baik. Di Kota Medan ada beberapa pembangunan proyek dengan menggunakan kerjasama BOT ini, misalnya pembangunan Plaza Medan Fair di Jalan Gatot Subroto, Ramayana Teladan di Jalan Sisingamangaraja Eks Terminal Taksi Teladan, The City
18
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademis Peraturan perundang-undangan tentang Perjanjian BOT, (Jakarta: BHPN, 1997), hlm.9. 19 Siti Ummu Adillah, Kontruksi Hukum Perjanjian Build Operate Tranfers (BOT) Sebagai Alternate Pembiayaan Proyek, Jurnal Hukum, Vol. XIV No. I, April 2004, hlm.125.
Universitas Sumatera Utara
Hall di Jalan Balaikota, gedung Trade Centre Medan di Jalan Gatot Subroto, dan Pasar Petisah. 20 Dalam transaksi BOT, antara owner/pemilik tanah (swasta) dengan investor (swasta) atas pengalihan bangunan dari investor kepada owner, owner dikenakan PPh Final Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPh F PHTB). Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tanggal 2 Juni 1995 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995 tanggal 14 Juli 1995, bahwa: ”Pembayaran pajak penghasilan (PPh) sebesar 5% yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah atas penyerahan bangunan yang dilakukan oleh investor bagi orang pribadi bersifat final dan bagi wajib pajak badan adalah merupakan pembayaran pajak penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan pajak penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan. Hanya saja dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan sebesar 5% tersebut diatas apabila pemegang hak atas tanah adalah badan pemerintah”. Berdasarkan
ketentuan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
248/KMK.04/1995 Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (”Built Operate And Transfer”) jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna Serah (Seri PPh Umum Nomor 17) tersebut maka kewajiban pajak penghasilan bagi investor berlaku ketika proyek BOT tersebut telah selesai dilaksanakan dan beroperasi serta pendapatan yang diperoleh investor apabila masa
20
Pemko Medan Bakal Tinjau Kembali Royalti BOT, http://www.pemkomedan.go.id/news_ detail.php?id=11674, terakhir diakses tanggal 28 April 2014
Universitas Sumatera Utara
perjanjian BOT diperpendek dari masa yang telah ditentukan, sedangkan kewajiban pajak penghasilan bagi pemilik tanah (owner) berlaku ketika masa perjanjian BOT berakhir dan bangunan diserahkan pihak investor kepada pemegang hak atas tanah (owner). Mengenai kewajiban pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam perjanjian kerjasama BOT tidak diatur secara jelas dan tegas sebagai objek pajak dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Tidak jelasnya pengaturan objek BPHTB ini menimbulkan perbedaan persepsi antara wajib pajak maupun instansi pemerintah misalnya Dispenda mengenai pengenaan BPHTB terkait perubahan status tanah akibat adanya transaksi BOT. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai pengenaan BPHTB dan PPh dalam kegiatan BOT yang akan dituangkan ke dalam judul tesis “Kajian Hukum Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer)”. B. Permasalahan Adapun permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah: 1. Bagaimana pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT (Built Operate And Transfer)? 2. Bagaimana kepastian saat terhutang mengenai BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT?
Universitas Sumatera Utara
3. Apa kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT (Built Operate And Transfer). 2. Untuk mengetahui dan menganalisis kepastian saat terhutang mengenai BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT. D. Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah bahan pustaka/ literatur mengenai masalah pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT, selain itu penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi dasar bagi penelitian pada bidang yang sama.
Universitas Sumatera Utara
2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Kajian Hukum Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer)”. Akan tetapi ada beberapa penelitian yang menyangkut masalah kegiatan BOT (Built Operate And Transfer), antara lain penelitian yang dilakukan oleh : 1. Soleh (NIM. B4B008237), Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, 2010, dengan judul penelitian “Pelaksanaan Pembangunan Fasilitas Umum Dengan Kontrak Bangun Serah Guna/ Build Operate Transfer (BOT) di Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan”, dengan permasalahan yang diteliti adalah: a. Bagaimana pelaksanaan perjanjian Bangun Serah Guna/ Build Operate and Transfer (BOT) di Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan sebelum dan sesudah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Universitas Sumatera Utara
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah? b. Hambatan apa yang timbul dalam pelaksanaan pembangunan fasilitas umum dengan Kotrak Bangun Serah Guna/ Build Operate and Transfer (BOT) di Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan? 2. Saudara Amir Faisal Shabuddin Lubis, (NIM. 037011005), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2006, dengan judul penelitian “Penerapan Build Operate Transfer (BOT) Dalam Investasi Oleh Pemerintah Kota Medan”, dengan permasalahan yang diteliti adalah: a. Bagaimana pengaturan BOT di Indonesia? b. Apakah pada setiap jenis hak atas tanah dapat didirikan bangunan dan investasi pranata BOT? c. Bagaimana penerapan kontrak BOT oleh pemerintah kota Medan dalam rangka investasi? Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik keasliannya.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi. 21 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum oleh Roscoe Pound, yang mengatakan bahwa dengan adanya kepastian hukum memungkinkan adanya “Predictability”. 22 Sedangkan Van Kant mengatakan bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia agar kepentingan-kepentingan itu tidak diganggu. Bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. 23 Dengan demikian kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yang pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.
21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 122 22 Pieter Mahmud Marzuki (a), Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal.158 23 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 44
Universitas Sumatera Utara
Kepastian hukum hak atas tanah pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tercakup dalam pengenaan pajak atas adanya peralihan hak atas tanah objek BOT : a. Substansi hukum, yang terdiri dari tujuan, sistem dan tata laksana pendaftaran tanah; b. Struktur hukum, yang terdiri dari aparat pertanahan dan lembaga penguji kepastian hukum, juga lembaga pemerintahan terkait; c. Kultur hukum, yang terdiri dari kesadaran hukum masyarakat dan realitas sosial. 24 Sistem bangun guna serah atau biasa disebut BOT Agreement adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak, dimana pihak yang satu menyerahkan penggunaan tanah miliknya untuk di atasnya didirikan suatu bangunan komersial oleh pihak kedua (investor), dan pihak kedua tersebut berhak mengoperasikan atau mengelola bangunan komersial untuk jangka waktu tertentu dengan memberikan fee (atau tanpa fee) kepada pemilik tanah, dan pihak kedua wajib mengembalikan tanah beserta bangunan komersial di atasnya dalam keadaan dapat dan siap dioperasionalkan kepada pemilik tanah setelah jangka waktu operasional tersebut berakhir. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, unsur-unsur perjanjian sistem bangun guna serah (built, operate, and transfer/BOT) atau BOT Agreement, adalah : a. Owner dan Investor (penyandang dana) 24
Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah : Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis, Cet. 1, (Jakarta: Republika, 2008), hlm.115.
Universitas Sumatera Utara
b. Tanah c. Bangunan komersial d. Jangka waktu operasional e. Penyerahan (transfer) Dengan demikian BOT merupakan suatu konsep pembangunan gedung atau bangunan dengan biaya sepenuhnya dari perusahaan swasta, beberapa perusahaan swasta atau kerjasama dengan BUMN yang setelah selesai dibangun akan dioperasikan oleh investor sampai jangka waktu tertentu dan setelah tahapan pengoperasian selesai sebagaimana ditentukan dalam perjanjian BOT, kemudian dilakukan pengalihan proyek tersebut pada pemerintah selaku pemilik proyek. 25 Pada dasarnya BOT adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana investor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut juga kontraktor harus menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya investor diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang telah dikeluarkan untuk selama waktu tertentu. 26 2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang 25 26
Budi Santoso, Op.Cit., hlm.7. Ibid., hlm.8-9.
Universitas Sumatera Utara
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional. 27 Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu. 28 Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah: a. Kajian hukum adalah mempelajari dan menganalisis dari sudut pandang hukum. b. Pengenaan pajak adalah pembebanan kewajiban pembayaran pajak kepada wajib pajak. c. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. 29 d. Bangunan adalah adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. 30 e. Tanah adalah permukaan bumi. 31 f. Kegiatan Built Operate and Transfer adalah bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah, dan
27
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.31. Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta 1996), hlm.19. 29 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pasal 1 angka 1. 30 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Pasal 1 angka 2. 31 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA), Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 4 ayat (1) 28
Universitas Sumatera Utara
mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa bangun guna serah berakhir. 32 g. Owner adalah pemilik tanah dalam transaksi BOT. h. Investor adalah pemilik modal dalam transaksi BOT. i. Built Operate and Transfer (BOT) Agreement adalah perjanjian antara dua pihak, dimana pihak owner menyerahkan penggunaan tanahnya untuk didirikan suatu bangunan di atasnya oleh pihak investor, dan pihak investor berhak mengoperasikan atau mengelola bangunan tersebut dalam jangka waktu tertentu, dengan memberikan fee atau tanpa fee kepada pihak owner, dan pihak investor wajib mengembalikan tanah beserta bangunan di atasnya dalam keadaan dapat dan siap dioperasikan kepada pihak owner setelah jangka waktu operasional berakhir. j. BOT Term adalah jangka waktu perjanjian/ agreement yang dibuat secara Notariil. k. Masa Konsesi adalah jangka waktu masa operasional. l. NJOP Tanah adalah nilai jual objek pajak atas tanah yang digunakan dalam transaksi BOT. m. Harga Pasar adalah harga yang disepakati oleh penjual dan pembeli pada saat terjadinya transaksi. n. NJOP Bangunan adalah nilai jual objek pajak atas bangunan yang dioperasikan dan dikelola oleh pelaksana pembangunan dalam transaksi BOT. Nilai NJOP 32
Budi Santoso, Op.Cit., hlm.7.
Universitas Sumatera Utara
Bangunan ini setelah masa konsesi berakhir akan mengalami penyusutan nilai aset. o. PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan (PPh). 33 G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Sifat dari penelitian ini adalah bersifat preskriptif, sesuai dengan sifat ilmu hukum yang preskriptif yaitu mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum, maka penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 34 Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum dengan pendekatan yuridis normatif, yang disebabkan karena penelitian ini merupakan penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. 35 Meliputi penelitian terhadap sinkronisasi peraturan perundangundangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisis permasalahan yang 33
Pengertian PPh PHTB, http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-ataspengalihan-hak-atas-tanah-danatau-bangunan, terakhir diakses tanggal 29 April 2014. 34 Peter Mahmud Marzuki (b), Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.35. 35 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang: PT. Ghalia Indonesia, 1996), hlm.13
Universitas Sumatera Utara
dibahas, 36 serta menjawab pertanyaan sesuai permasalahan-permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu permasalahan pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT. 2. Sumber Data/ Bahan Hukum Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a). Bahan hukum primer. 37 Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) beserta peraturan pelaksanaannya, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh PHTB sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah 36
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.13. 37 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm.53.
Universitas Sumatera Utara
Nomor
71
Tahun
2008
jo.
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
635/KMK.04/1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/Kmk.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan. b). Bahan hukum sekunder. 38 Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasilhasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari para ahli hukum, serta dokumendokumen lain yang berkaitan dengan masalah pengenaan BPHTB dan PPh dalam kegiatan BOT. c). Bahan hukum tertier. 39 Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, surat kabar, makalah yang berkaitan dengan objek penelitian. Selain data sekunder sebagai sumber data utama, dalam penelitian ini juga digunakan data pendukung yang diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak yang telah ditentukan sebagai informan yaitu Pejabat Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota Medan. 38 39
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan melalui tahap-tahap penelitian antara lain sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan (Library Research). Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsikonsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder. Untuk menghimpun data sekunder tersebut, maka dibutuhkan bahan kepustakaan yang merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. b. Wawancara. Hasil wawancara yang diperoleh akan digunakan sebagai data pendukung dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari pihak-pihak yang telah ditentukan sebagai informan yaitu Pejabat Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota Medan yang dianggap mengetahui permasalahan mengenai BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT. Alat yang digunakan dalam wawancara yaitu menggunakan pedoman wawancara dengan pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang diperlukan sebagai data pendukung dalam penelitian tesis ini.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman). 40 Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT. Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus, 41 guna menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.
40
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.53. 41 Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.109.
Universitas Sumatera Utara