1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut, maka pemerintah perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak, kemudian hasil dari pemungutan pajak akan digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan dan kesejahteraan bersama.1 Sebagaimana diketahui bahwa pajak merupakan iuran wajib dari rakyat kepada negara. Dari pajak ini, nantinya akan digunakan negara untuk membiayai kegiatan pemerintahan, dan dengan pajak ini pula, pemerintah menggunakannya sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan negara dalam bidang ekonomi dan sosial. Pembagian
pajak
menurut
wewenang
pemungutan
pajak
dipisahkan
menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah, sedangkan Pajak Daerah terbagi dalam Pajak Propinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah
1
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Jakarta : Salemba Empat, Cet. II, 2000,
hal . 2
1
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2
yang
berlaku
di
Indonesia
memberikan
perubahan
mendasar
terhadap
penyelenggaraan pemerintahan, ditandai melalui suatu proses penyerahan sejumlah kekuasaan dan kewenangan, baik secara rinci maupun secara umum, dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk selanjutnya dijalankan oleh Pemerintah Daerah secara mandiri. Dalam era otonomi sekarang ini daerah memang mempunyai kewenangan penuh untuk memanfaatkan dana yang dimilikinya sesuai kebutuhan dan prioritas daerah, sejauh tetap sejalan dengan Undang-Undang yang berlaku. Sumber
dana
yang
diharapkan
mampu
menunjang
daerah
untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mandiri adalah PAD. Dalam rangka untuk menjalankan fungsi dan kewenangan pemerintah daerah dalam bentuk kewenangan fiskal maka daerah harus mengenali kapasitas fiskalnya atau sumber-sumber yang dimiliki serta mampunyai kemampuan untuk menyerap penghasilan daerah baik dalam bentuk pajak maupun dalam bentuk lainnya dari sumber yang ada.2 Salah satu sumber pemasukan bagi kas daerah adalah berasal dari pajak daerah, yang merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaran otonomi daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, menyebutkan bahwa pengertian dari Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung
2
Wahyu Tumaka, Upaya Daerah Meningkatkan Pajak, Retribusi dan Dampaknya, (Volume II/Nomor 03 Tahun 2005), dalam Majalah Indonesia Tax Review, hal 29
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
3
yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perUndangUndangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah. Salah satu pajak yang tergolong baru, yang ikut menyumbang cukup lumayan kepada PAD adalah Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan (P3ABTAP) yang dipungut oleh pemerintah propinsi Riau. Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan merupakan pajak yang sangat prospektif di masa mendatang. Sumber air bersih yang tersedia di alam di antaranya adalah air tanah, dimana ketergantungan pasokan lain seperti air permukaan memerlukan biaya pengolahan yang mahal sedangkan untuk memperoleh air dari sumber air tanah yang operasionalnya relatif murah. Selain itu pengambilan air tanah dapat dilakukan secara tertutup sehingga cenderung membuka peluang bagi masyarakat untuk melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku dalam pemanfaatan air tanah. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan pada hakikatnya dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan konservasi air bawah tanah dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengambilan oleh orang pribadi atau badan, kecuali untuk keperluan rumah tangga dan pertanian rakyat. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan adalah instrumen ekonomik yang relatif masih baru, yang pada awalnya berupa pungutan (charge) pencemaran air. Instrumen ekonomik ini tidak berbeda dengan pajak karena pajak pada hakikatnya adalah pungutan. Konsep instrumen ekonomik bersumber dari
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
4
kajian ilmu ekonomi yang berpangkal tolak pada pemikiran bahwa eksploitasi air bawah tanah secara berlebihan seyogyanya dapat dihindari, di antaranya dengan menetapkan beban pungutan terhadap pemanfaatan dan pengambilan air. Instrumen ini kemudian dituangkan dalam bentuk norma atau kaidah hukum, sehingga substansinya berubah menjadi hukum pajak.3 Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan telah ditetapkan untuk menjadi Pajak Daerah berdasarkan dengan Pasal 2 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah yang membagi jenis-jenis Pajak Propinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Propinsi Riau yang beribukota di Pekanbaru sudah berkembang dengan jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, memberikan peranan yang sangat besar bagi perkembangan industri-industri dan perusahaan. Perkembangan ini menuntut adanya usaha yang proaktif dari Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Provinsi Riau dalam mengelola, memonitor, dan mengevaluasi sistem pemungutan
Pajak Air Bawah Tanah. Untuk itu diperlukan sistem
pemungutan pajak yang transparan dan efisien, agar memudahkan fiskus untuk melakukan check and balance. Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan sebagai salah satu objek pajak
daerah
di
Propinsi
Riau,
tidak
lepas
dari
permasalahan
dalam
penyelenggaraannya. Permasalahan tersebut baik di kalangan instansi yang memiliki 3
Dyah Ayu Widowati dan Irine Handika Ikasari, Peranan pajak Pemanfaatan dan Pengambilan Air Bawah tanah Terhadap Konservasi Air Tanah, Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 2, Juni 2011, Halaman 237 – 429
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
5
kewenangan sesuai dengan tugas dan fungsinya maupun di kalangan masyarakat sebagai pihak yang memiliki hak dan kewajiban dalam pembayaran Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, sehingga tidak jarang timbul ketidaktahuan di antara masing-masing instansi dan masyarakat serta muncul sikap pro dan kontra masyarakat
terhadap
pelaksanaannya. Oleh karena itu perlu ada aturan atau
ketentuan yang jelas yang mengatur hubungan kerja antara instansi yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Demikian pula terhadap masyarakat perlu diberikan penjelasan tentang hak dan kewajiban melalui pemahaman terhadap ketentuan yang mengatur pajak daerah khususnya pajak air bawah tanah, sehingga pada akhirnya Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan akan dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PAD. Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan merupakan pencerminan dari implementasi suatu kebijaksanaan publik yang mengakibatkan timbulnya konflik antar berbagai kepentingan masyarakat yang sangat kompleks dan harus ditangani secara bijaksana agar supaya tidak ada pihak-pihak yang dirugikan, terutama yang menyangkut kepentingan industri dan masyarakat. Pengawasan dan pengendalian dalam pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan oleh pemerintah harus dilaksanakan dengan bijaksana, karena menyakut tanggung jawab banyak instansi pusat dan daerah maka penyelenggaraannya harus dikoordinasikan. Dalam pengelolaan sumber daya Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, kebijaksanaan pemerintah pusat lebih menekankan bahwa sumber air bawah tanah
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
6
merupakan kekayaan alam yang harus dilestarikan guna kepentingan seluruh masyarakat. Sedangkan pemerintah daerah lebih menekankan kepada kekayaan daerah yang perlu digali guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Pemberlakuan pajak daerah sebagai sumber penerimaan atau pendapatan daerah pada dasarnya tidak hanya menjadi urusan pemerintah daerah sebagai pihak yang menetapkan dan memungut pajak tetapi juga berkaitan dengan masyarakat pada umumnya karena air bawah tanah dan air permukaan merupakan air yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-hari. Pada sisi lain justru air bawah tanah dan air permukaan tersebut dikenakan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan proses pemungutan pajak daerah akan memberikan beban kepada masyarakat. Oleh karena itu masyarakat perlu memahami ketentuan pajak daerah secara jelas sehingga mau memenuhi kewajibannya dengan penuh rasa tanggung jawab termasuk pembayaran terhadap Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, disusunlah tesis ini dengan bertitik tolak pembahasan kepada kewenangan dan kontribusi Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Oleh karena itu, maka dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Hukum Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Di Propinsi Riau” B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan tersebut, maka permasalahan yang akan diteliti adalah :
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
7
1. Bagaimana kewenangan pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan setelah Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 di Provinsi Riau? 2. Bagaimana kontribusi pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan terhadap Pendapatan Asli Daerah Provinsi Riau? 3. Bagaimana kendala dan upaya mengatasi kendala yang ada terkait dengan pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan pada Pemerintah Propinsi Riau? C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui wewenang pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 di Provinsi Riau.
2.
Untuk mengetahui sejauh mana kontribusi pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan terhadap Pendapatan Asli Daerah di Provinsi Riau.
3.
Untuk mengetahui apa yang menjadi kendala dan bagaimana upayanya dalam mengatasi kendala yang ada terkait dengan pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan pada Pemerintah Propinsi Riau.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1.
Secara Teoritis
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
8
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum pajak pada khususnya, terutama mengenai pengenaan pajak air bawah tanah dan air permukaan. 2.
Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat, khususnya para wajib pajak mengenai perpajakan khususnya dalam pengenaan pajak air bawah tanah dan air permukaan.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU), menunjukkan bahwa tesis dengan judul “Analisis Hukum Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Di Propinsi Riau” belum ada yang membahasnya sehingga tesis ini dijamin keasliannya sepanjang mengenai judul dan permasalahan yang diuraikan di atas sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis
mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.4
4
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,Cetakan I, Bandung : Mandar Maju, 1994, hal.
80.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
9
Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.5 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.6 Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.7 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.8 Teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka pikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul dalam bidang tersebut.9 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.10 Teori negara kesatuan digunakan untuk membedakan pembagian kekuasaan secara vetikal dengan negara berbentuk federasi. Dalam hal ini dikemukakan 5
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press, 1986, hal. 6 J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, Jakarta : UI Press, 1996 , Hal. 203 Ibid, hal.122 8 Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Yogyakarta: Andi,2006, hal. 6. 9 Bintoro Tjokroamidjojo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1988, hal. 12 6
7
10
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 35
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
10
pemikiran dari CF Strong mengenai Negara kesatuan. Dikatakan bahwa negara kesatuan adalah negara yang diorganisasi di bawah satu pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki berbagai distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu.11 Sementara itu menurut Apeldoorn, suatu negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari pemerintah pusat, dan provinsi-provinsi tersebut tidak mempunyai hak mandiri.12 Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary state), ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua kewenangan/urusan pemerintah yakni
yang
tersentralisasi
dan
kewenangan/urusan
pemerintah
yang
didesentralisasikan. Ni’matul
Huda
mengatakan
bahwa
desentralisasi
adalah
strategi
mendemokratisasi sistem politik dan menyelaraskan pencapaian pembangunan berkelanjutan yang merupakan isu yang selalu ada dalam praktik administrasi publik.13 Menurut Undang-undang nomor 32 tahun 2004, desentralisasi dimaknai sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Ada batasan mengenai konsep desentralisasi yaitu terdapat
proses penyerahan (transfer) kekuasaan dari pemerintah pusat (the national capital) dengan dua variasi yaitu (1) melalui dekonsentrasi (delegasi) kepada pejabat instansi 11 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi di Dunia, Nusamedia, Bandung, Cetakan Kedua, 2008, hlm. 87. 12 Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, Dampaknya Terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000, hlm. 14. 13 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2009, hlm. 66.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
11
vertikal di daerah atau (2) melalui devolusi (pengalihan tanggung jawab) kekuasaan pada pemeritahan yang memiliki otoritas pada daerah tertentu atau lembaga-lembaga otonom di daerah. Hakekat otonomi daerah adalah adanya kewenangan yang lebih besar dalam pengurusan maupun pengelolaan daerah termasuk di dalamnya pengelolaan keuangan. Dalam konteks otonomi daerah, desentralisasi dimaksudkan agar daerah lebih mampu mengembangkan inisiatif dan kreativitas daerah dan sumberdayanya untuk
mendorong
pertumbuhan
ekonomi,
meningkatkan
pelayanan
kepada
masyarakat dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam penjelasan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa “Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilia dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa kepastian tersedianya pembiayaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan, kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan restribusi daerah dan hak untuk mendapatkan hasil bagi sumber-sumber daya nasional
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
12
yang berada didaerah, hak untuk mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.14 Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiscal) menurut Abdul Halim15 menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah dapat diwujudkan dengan meletakan dasardasar pembiayaan daerah di atas kekuatan sendiri. Keuangan daerah merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri secara
mandiri.
Kemandirian tersebut dapat dicapai antara lain dengan mengurangi ketergantungan keuangan pada pemerintah pusat. Pajak pada dasarnya merupakan iuran yang berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma hukum. Pajak ditetapkan oleh pemerintah, dapat dipaksakan tapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung. Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu pajak negara dan pajak daerah. Pajak negara adalah pajak yang dipungut untuk kepentingan negara atau pemerintah pusat. Termasuk dalam pajak negara ini adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang
14
Soepomo Prodjoharjono, http://pomphy.blogspot.com/2008/11/konsep-keuangan-daerah.html, dikases tanggal 18 Februari 2011 15 Abdul Halim, Bunga Rampai : Manajemen Keuangan Daerah, Edisi Pertama, Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2001, hal. 128
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
13
Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Materai. Sedangkan pajak daerah adalah pajak yang dipungut daerah berdasarkan peraturan pajak ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga daerah. Undang-Undang pajak sebagai bagian dari hukum yang mengikat warga negara merupakan elemen penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di segala bidang. Untuk itu agar dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan ekonomi yaitu dengan cara menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan tersebut, bahkan pajak dalam suatu pemerintahan dianggap sebagai satu-satunya sumber pendapatan negara untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan. Jika tidak ada pemasukan dari sisi pajak maka tidak ada kegiatan pemerintahan.
16
Adapun definisi atau pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro :
pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal atau kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.17 Sehingga hukum pajak merupakan suatu aturan yang ditetapkan oleh pemerintah guna mencukupi pengeluaran dalam anggaran belanja negara.
16 17
Boediono. Ekonomi Makro, Yogyakarta, BPFE,Cetakan ke-20, 2001, hal.110 Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta: ANDI, Edisi Revisi XII, 2004, hal.1
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
14
Menurut Adam Smith sebagaimana dikutip oleh Mansury, terdapat empat asas dalam perpajakan yang dikenal dengan Adam Smith’s four cannons of taxation, yaitu sebagai berikut :18 1. Keadilan (equity), yang berarti bahwa pajak yang dikenakan kepada orangorang pribadi harus adil dan merata, sesuai dengan kemampuannya untuk membayar dan besarnya manfaat yang diterima. Maknanya, distribusi beban pajak harus adil, dimana setiap wajib pajak harus membayar sesuai dengan bebannya
yang
wajar.
Pemerintah
lewat
kebijaksanaan
fiskal
dapat
mempengaruhi pilihan-pilihan mengenai distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar dapat tercapai (equitable distribution of income and wealth). 2. Kepastian (certainty), bahwa pajak harus mengandung kepastian hukum, dan tidak ditentukan secara sewenang-wenang. 3. Tepat waktu dan memudahkan (convenience), dimana penagihan dilakukan tepat waktu sehingga tidak memberatkan wajib pajak dan bila perlu diperbolehkan membayar secara cicilan. 4. Ekonomis dan efisien (economy and efficient), dimana biaya pemungutan oleh petugas pajak serta biaya untuk memenuhi kewajiban bagi wajib pajak hendaknya sekecil mungkin. Kemudahan administrasi perpajakan. Struktur pajak yang efisien berkaitan dengan apa yang disebut biaya administrasi pajak
18
R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Jakarta: Ind-Hill-Co, hal. 4
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
15
(administration cost) dan biaya kepatuhan (compliance cost). Semakin kecil biaya administrasi pajak dan biaya kepatuhan, semakin efisien struktur pajak. Air merupakan sumber kehidupan. Semua makhluk membutuhkan air. Untuk kepentingan manusia, makhluk hidup dan kepentingan lainnya, ketersediaan air dari segi kualitas maupun kuantitas mutlak diperlukan. Air bawah tanah merupakan barang milik bersama (common goods). Manfaat dari barang tersebut tidak hanya dirasakan oleh 1(satu) individu saja, melainkan oleh seluruh anggota masyarakat, dan setiap orang akan mengkonsumsi barang tersebut secara berlebihan (over use) jika tidak ada yang mengatur atau membatasinya, sehingga dalam jangka panjang cadangan air bawah tanah atau potensi air bawah tanah tidak dapat seluruhnya dipulihkan dengan serapan air hujan. Ini disebabkan karena air hujan yang tidak dapat terserap semua oleh permukaaan tanah, akibat tertutup oleh bangunan dan gedung-gedung. Air bawah tanah masuk dalam kategori kekayaan bersama (common property). Peranan pemerintah dalam hal ini adalah mengendalikan penggunaan barang bersama tersebut agar tercapai kepuasan bersama yang optimal (pareto optimal) dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan adalah pajak yang dikenakan kepada orang/badan yang mengambil air bawah tanah atau air permukaan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
16
Pajak PPABT dipungut di wilayah tempat air berada. Pungutan pajak PPABT bertujuan selain untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga untuk mengendalikan pengambilan air bawah tanah. Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tidak semata-mata dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah, akan tetapi lebih diutamakan lagi untuk kepentingan pengendalian lingkungan dan mempertahankan ekosistem akibat pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Pajak PPABT adalah pajak langsung ditinjau dari segi administratif yaitu pajak yang dikenakan atas Surat Ketetapan Pajak (Kohir) dan Pengenaannya dilakukan secara berkala (periodik). 2. Konsepsi Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,19 yang disebut dengan definisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan kepada proses penelitian ini. Oleh
19
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 3.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
17
karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut : a. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah dan Air permukaan adalah pajak yang dikenakan kepada orang/badan yang mengambil air bawah tanah atau air permukaan. b. Air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di tas permukaan tanah. c. Air permukaan adalah air yang berada dipermukaan bumi, tidak termasuk air laut, misalnya air sungai, air danau. d. Pajak Daerah merupakan pajak yang dikelolah oleh pemerintah daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/ Kota yang berguna untuk menunjang pendapatan asli daerah dan hasil penerimaan tersebut masuk dalam APBD. e. Kontribusi adalah sumbangan yang
diberikan pajak daerah terhadap
peningkatan anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perUndangUndangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
18
menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis). Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perUndang-Undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif.20 2.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perUndang-Undangan, dan karya ilmiah lainnya. 3.
Bahan Data (1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari : a. norma atau kaidah dasar. b. peraturan
perUndang-Undangan
yang
terkait
dengan
perpajakan
khususnya mengenai Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. (2) Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
20
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, hal. 13
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
19
(3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) diluar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini. 4.
Alat Pengumpul Data
(1). Study Dokumen Dokumen adalah data mengenai hal-hal yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Metode dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data-data tentang pajak, khususnya mengenai Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, sebagai sumber data yang bermanfaat untuk menguji, menafsirkan, dan meramalkan. (2). Pedoman Wawancara (Interview Guide) Untuk mendukung data sekunder maka diperlukan wawancara terhadap informan. Informan dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pendapatan Daerah dan atau yang mewakili dari Kantor Pendapatan Daerah di Propinsi Riau. Sebelum dilakukan wawancara dengan informan tersebut maka terlebih dahulu dipersiapkan pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini mengacu pada substansi masalah dalam penelitian. Sehingga ketika dilakukan wawancara
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
20
bisa dapat mengetahui jawaban atas permasalahan yang diajukan kepada para informan tersebut. 5.
Analisis Data Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian
dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti, untuk kebutuhan analisis data dalam penelitian ini. Analisis data terhadap data sekunder yang diperoleh dikumpulkan dan selanjutnya evaluasi data secara kualitatif. Untuk selanjutnya data yang terkumpul dipilah-pilah dan di olah, kemudian di analisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode deduktif. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat ditarik kesimpulan yang dapat digunakan dalam menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA