BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum.Negara hukum merupakan sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku dan berkeadilan serta tersusun dalam suatu konstitusi di mana semua orang dalam negara tersebut baik yang diperintah maupun yang memerintah harus tunduk pada hukum yang sama. Bentuk negara hukum menimbulkan konsekuensi bahwa pemerintah tidak dapat bertindak sewenang-wenang dan harus berlandaskan pada konstitusi dalam menjalankan pemerintahannya demi menimbulkan suatu kepastian hukum. Dalam negara hukum yang demokratis, hukum berperan sebagai sarana untuk mewujudkan kebijakan pemerintah dan memberikan legitimasi terhadap kebijakan publik. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu negara kesatuan menggambarkan bahwa hubungan antar level pemerintahan (pusat dan daerah) berlangsung secara inklusif (inclusive authority model) dimana otoritas pemerintah daerah tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan.1 Namun demikian, dalam suatu negara kesatuan, pelimpahan atau penyerahan kewenangan bukanlah suatu pemberian yang lepas dari campur tangan dan kontrol dari pemerintah pusat.
1
Bambang Yudhoyono, 2005, Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 5.
2
Kedudukan daerah dalam hal ini adalah bersifat subordinat terhadap pemerintah pusat. Pembentukan peraturan daerah di tingkat provinsi atau kabupaten/kota merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahan di tingkat daerah sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (6) Undang– Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, dimana otonomi daerah dianggap sebagai solusi permasalahan terhadap perbaikan pelayanan kepada masyarakat (public services) berdasarkan prinsip subsidiarity. Perubahan sistem ketatanegaraan yang sebelumnya bersifat sentralistik kini berubah menuju desentralistik ditandai dengan lahirnya otonomi daerah. Gagasan otonomi daerah diartikan
sebagai
hak
untuk
mengatur
sendiri
kepentingan
intern
daerah/organisasinya menurut peraturan sendiri.2 Dampak langsung dari adanya otonomi daerah ditandai dengan munculnya regulasi peraturan yang dikeluarkan oleh masing-masing daerah sesuai dengan potensi–potensi yang mereka miliki demi terwujudnya tujuan bersama yaitu pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Meskipun begitu, pemerintah daerah tidak dapat mengeluarkan aturan-aturan hukum secara leluasa. Hal ini dikarenakan meningkatnya kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat yang mulai sadar bahwa mereka harus mendapatkan pelayanan terbaik dari aparatur pemerintahan berupa perlindungan hak asasi melalui adanya peraturan di daerah. Peraturan yang berlaku di daerah diharapkan dapat menjadi suatu produk hukum yang
2
B. N. Marbun, 2007, Kamus Politik,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,hlm. 350.
3
mengakomodasi kepentingan masyarakat dan menimbulkan kepastian hukum bagi masyarakat. Agar hal tersebut dapat tercapai,maka setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah harus dapat berlaku secara efektif. Untuk menjamin keefektifitasan pemberlakuan peraturan tersebut diperlukan adanya suatu reformasi tata pemerintahan dalam pembangunan hukum Indonesia. Adapun wujud dari reformasi tata pemerintahan dalam pembangunan hukum Indonesia tersebut meliputi beberapa aspek antara lain:3 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Penataan sistem hukum; Penataan kelembagaan hukum; Pembentukan dan pembaharuan hukum; Penegakan hukum dan hak asasi manusia; Pemasyarakatan dan pembudayaan hukum; Peningkatan kapasitas profesional hukum; Infrastruktur kode etika profesi hukum.
Dari ketujuh agenda pembangunan hukum tersebut, peningkatan kapasitas profesional hukum merupakan salah satu aspek yang penting untuk diperhatikan. Peningkatan kapasitas profesional hukum ditujukan bagi penyandang profesi di bidang hukum yang memiliki keterlibatan secara langsung dalam proses pembentukan peraturan, terutama perancang hukum (legal drafter). Profesi perancang hukum atau yang lebih dikenal dengan sebutan perancang peraturan perundang-undangan merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan hukum Indonesia mengingat perannya yang cukup penting yaitu sebagai salah satu faktor penentu terjaganya kualitas produk hukum yang berlaku efektif di masyarakat.
3
Jimly Asshiddiqie, 2005, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 27.
4
Dalam pembangunan hukum Indonesia, efektifitas suatu produk hukum merupakan salah satu parameter yang mutlak harus terpenuhi. Suatu produk hukum yang baik ditentukan sejak tahapan awal perancangan, melalui proses pembuatan hingga mencapai tahapan pelaksanaan atau implementasi. Dari seluruh tahapan tersebut, suatu produk hukum harus konsisten dengan asas–asas yang telah ditetapkan sejak awal. Tentunya sebagai negara hukum, Republik Indonesia harus kembali berpedoman pada ketentuan konstitusinya yaitu dalam Pasal 22 A Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa “Ketentuan lebih lanjut tentang cara pembentukan undang–undang diatur dengan undang–undang”. Adanya ketentuan konstitusi inilah yang menjadi dasar diundangkannya Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan yang ruang lingkup materi muatannya berisi mengenai tata cara, metode pasti, baku dan standar bagi pembentukan undang– undang, maupun peraturan Perundang–undangan lainnya di luar Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Salah satu faktor penentu terjaganya kualitas produk hukum sejak awal hingga akhir juga ditentukan oleh kemampuan perancang peraturan perundang– undangan didalam menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan perundang–undangan serta instrumen hukum lainnya. Keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang–undangan dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang–undangan (termasuk didalamnya pembentukan Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota) merupakan suatu keharusan
5
yang wajib dipenuhi berdasarkan ketentuan dari Pasal 98 ayat (1) dan Pasal 99 Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 98 Undang–Undang Negara Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundangundangan bahwa setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mengikutsertakan perancang peraturan perundang-undangan atau biasa disebut perancang. Perancang berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional yang memiliki tugas pokok untuk menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan perundang–undangan serta instrumen hukum lainnya.4 Adapun kemudian tugas lain yang harus diemban oleh seorang perancang dalam suatu pembentukan peraturan perundang–undangan antara lain sebagai berikut:5 1. 2. 3. 4.
5.
Mengumpulkan data dalam rangka melakukan studi kelayakan persiapan penyusunan peraturan perundang-undangan; Mengumpulkan bahan dalam rangka menyusun konsep usul prakarsa penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Merumuskan kerangka dasar peraturan perundang-undangan; Mengumpulkan data, merekam hasil perundingan, mengumpulkan bahan penyusunan, mengolah bahan rancangan konsep, menyusun tanggapan akta rancangan peraturan perundang–undangan; Menyusun konsep legal opinion; dan lain sebagainya. Mengingat begitu pentingnya peran perancang peraturan perundang–
undangan dalam pembuatan suatu peraturan perundang–undangan, maka seorang perancang peraturan perundang–undangan wajib diikutsertakan dalam setiap tahapan pembentukan produk hukum baik itu dalam skala nasional hingga 4
Lihat Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2015 tentang Keikutsertaan Perancang Peraturan perundang–undangan Dalam pembentukan Peraturan Perundang–undangan Dan Pembinaannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 186, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5729). 5 Jimly Asshiddiqie, Loc.cit.
6
pembentukan produk hukum di daerah termasuk pembentukan peraturan daerah provinsi atau peraturan daerah kabupaten/kota. Undang–Undang menjelaskan bahwa peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada tingkatan peraturan daerah tersebut dibuat, dengan persetujuan bersama kepala daerah yang kepala daerah. Adapun materi muatan peraturan daerah berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih dari peraturan perundang–undangan yang lebih tinggi. Perencanaan penyusunan suatu peraturan daerah harus dilakukan dalam program pembentukan peraturan daerah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Propemperda (sebelumnya disebut program legislasi daerah atau Prolegda). Penyusunan Propemperda dilaksanakan oleh DPRD dan pemerintah daerah setempat yang ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan rancangan peraturan daerah. Penyusunan Propemperda di lingkungan pemerintah daerah dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait, disesuaikan dengan tingkatan dimana suatu peraturan daerah tersebut dibentuk. Kemudian setelah Propemperda terbentuk, rancangan peraturan daerah tersebut diharmonisasi, dibulatkan, dan dimantapkan untuk kemudian diundangkan dan disebarluaskan. Dari tiap–tiap tahapan sejak dimulai disusunnya Propemperda hingga akhirnya suatu peraturan daerah diundangkan dan disebarluaskan harus mengikutsertakan perancang perundang–undangan disamping juga diikutsertakannya peneliti dan tenaga ahli.
7
Hal ini sesuai sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang–undangan. Sejak diundangkannya Undang–Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan pada tanggal 22 Juli Tahun 2011, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah berhasil menuangkan peraturan daerah provinsi sebanyak 4 buah peraturan daerah istimewa dan 58 buah peraturan daerah provinsi.6 Permasalahan yang kemudian terjadi adalah bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hanya memiliki dua orang pejabat struktural pada Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah mengikuti pendidikan latihan (diklat) perancang peraturan perundang–undangan tingkat pertama. Namun,keduanya belum memiliki kompetensi untuk dapat ikut serta secara langsung sebagai perancang perundang–undangan dikarenakan status keduanya yang belum mendapat surat keputusan sebagai perancang dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai dengan ketentuan yang seharusnya.7 Padahal tenaga perancang peraturan perundang–undangan di lingkup Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki peranan yang penting terhadap proses pembentukan peraturan daerah di tingkat daerah. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, penulis tertarik untuk
membuat
KEIKUTSERTAAN
penulisan
hukum
PERANCANG
dengan
judul
PERATURAN
“URGENSI PERUNDANG
UNDANGAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA 6
7
Biro Hukum Setda DIY, “Update Produk Hukum Terbaru”, http://birohukum.jogjaprov.go.id, diakses 20 Juli 2016. Hasil wawancara dengan Perancang Muda pada Kanwil Kemenkumham Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Pejabat Fungsional Tertentu Non Struktural, Ibu Nova Asmirawati, S.H., LL.M.; Senin 29 Februari 2016 15.00 WIB.
8
YOGYAKARTA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA”. B.
Rumusan Masalah
1.
Apa urgensi keikutsertaan perancang peraturan perundang–undangan Pemerintah
Daerah
Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
dalam
pembentukan peraturan daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta? 2.
Bagaimana upaya Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk meningkatkan kemampuan perancang peraturan perundang–undangan dalam pembentukan peraturan daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Subyektif Tujuan subyektif adalah tujuan yang berasal dari penulis sendiri. Penulisan hukum ini ditujukan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan hukum dalam rangka memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
2.
Tujuan Obyektif a.
Untuk mengetahui dan menganalisis apa urgensi keikutsertaan perancang
peraturan
perundang–undangan
Pemerintah
Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pembentukan peraturan daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. b.
Untuk mengetahui dan menganalisis upaya Pemerintah Daerah Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
dalam
meningkatkan
9
kemampuan
perancang
peraturan
perundang–undangan
dalam
pembentukan peraturan daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. D.
Keaslian Penelitian Penulis merasa penelitian mengenai keikutsertaan perancang peraturan
perundang-undangan bukanlah yang pertama kali dilakukan. Oleh sebab itu, penulis melakukan penelusuran untuk melihat keaslian penulisan hukum di Perpusatakaan Fakultas Hukum UGM dan Perpustakaan Pusat UGM. Penulisan hukum yang mengangkat judul “Urgensi Keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” belum pernah dilakukan. Akan tetapi, penulis menemukan jurnal di internet yang mengangkat tema mengenai perancang peraturan perundang-undangan. Pertama, penulisan artikel oleh Suhariyono dengan judul “Peningkatan Kualitas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia” memiliki fokus bahasan yang berbeda dengan rumusan masalah dan pembahasan yang penulis lakukan.8 Obyek perancang peraturan perundang-undangan dalam artikel Suhariyono membahas perancang peraturan perundang-undangan secara umum dalam skala nasional sedangkan obyek bahasan penulis terbatas pada perancang peraturan perundang-undangan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kaitannya terhadap pembentukan peraturan daerah. Selain itu, artikel tersebut dibuat sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang 8
Suhariyono, “Peningkatan Kualitas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/97-peningkatan-kualitas-pembentukanperaturan-perundang-undangan-di-indonesia.html, diakses 7 Oktober 2016.
10
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga dasar hukum yang digunakan pada artikel tersebut sudah tidak relevan lagi dengan keadaan yang terjadi saat ini. Kedua, penulisan artikel oleh Ekawestri Prajwalita Widiati dengan judul “Local Legislative Drafting in the Unitary States: A Comparison Between Indonesia and Philippines” memiliki fokus bahasan yang berbeda dengan rumusan masalah dan pembahasan yang penulis lakukan.9 Obyek dalam jurnal Ekawestri
Prajwalita
Widiati membahas
mengenai
perbandingan
antara
pembentukan peraturan daerah di Indonesia dan Filipina dengan titik berat permasalahan pada hubungan koordinasi antara pembentuk peraturan perundangundangan yang berada pada pemerintahan pusat dengan pembentuk peraturan pada pemerintahan daerah di masing-masing negara tersebut. Hal itulah yang menjadi pembeda dari fokus pembahasan penulis karena penulis tidak membahas mengenai hubungan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dengan kaitannya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, melainkan membahas mengenai urgensi pemenuhan tenaga perancang peraturan perundangundangan di Pemerintahan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, dalam artikel tersebut kurang ada perbedaan atau pemisahan yang jelas mengenai kedudukan perancang peraturan perundang-undangan sebagai PNS yang memiliki kedudukan sebagai pemegang jabatan fungsional pada lembaga, kementerian, atau pemerintahan daerah tertentu; dengan “perancang” yang
9
Ekawestri Prajwalita Widiati, “Local Legislative Drafting in the Unitary States: A Comparison Between Indonesia and Philippines”, Yuridika, Vol. 28, No.3, 2013, hlm. 304-312.
11
diikutsertakan dari kalangan peneliti, akademisi ataupun tenaga ahli. Sedangkan penulisan hukum ini memberi batasan yang jelas mengenai perbedaan keduanya. E.
Manfaat Penelitian
1.
Kegunaan Akademis a.
Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberi sumbangan pikiran terhadap persoalan hukum yang terjadi di lingkup Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang hukum tata negara.
b.
Penulisan ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur di dalam dunia kepustakaan mengenai arti penting keikutsertaan Perancang Perundang-undangan Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pembentukan peraturan daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
2.
Kegunaan Praktis a.
Penulisan ini merupakan sarana untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh dalam bangku perkuliahan.
b.
Penulisan hukum ini diharapkan dapat menjadi gambaran, masukan, dan saran mengenai peran serta keikutsertaan perancang perundang– undangan
di
Pemerintah
Daerah
Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta, baik bagi masyarakat dan bagi para perancang perundang–undangan itu sendiri.