1
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Penelitian Di dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, disebutkan bahwa terdapat lima kategori Cagar Budaya, yaitu Benda, Bangunan, Struktur, Situs, dan Kawasan Cagar Budaya. Benda Cagar Budaya ialah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan dari manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan atau tidak berdinding, dan beratap. Struktur Cagar Budaya merupakan susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Sedangkan Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya saling berdekatan atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas (UU No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya). Salah satu contoh yang dapat dikategorikan budaya ialah bendungan.
ke dalam struktur cagar
2
Secara umum, bendungan yang biasa disebut dam, didefinisikan sebagai "hydraulic structure of fairly impervious material built across a river to create a reservoir on its upstream side for impounding water for various purposes (Maatooq, 2015)". Pendapat lain mengatakan bahwa bendungan ialah bangunan penahan buatan, yang dibuat dari berbagai jenis material. Material yang digunakan dapat berupa urugan batu atau jenis lainnya. Bendungan pada umumnya digunakan untuk menampung air, baik menampung air secara alamiah maupun buatan. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa termasuk di dalam katagori bendungan ialah pondasi, bukit atau tebing tumpuan beserta bangunan lain sebagai pelengkap dan peralatannya yang ditujukan untuk menampung dan mengelola air
(Andrijanto,
2002:22)
Dalam prasasti Jawa Kuna, misalnya Prasasti Kamalagyan (OJO XCII), dikenal istilah dawuhan, yang kurang lebih memiliki arti yang sama dengan bendungan. Zoetmulder (2006: 205) lebih lanjut menjelaskan bahwa dawuhan yang disebut dalam sejumlah sumber tertulis masa Jawa Kuna ialah tanggul, tebat, tambak atau bendungan. Prasasti Kamalagyan (1037 M) menyebut pembangunan dawuhan di Waringin Sapto atas perintah Raja Airlangga. Adapun alasan pembangunan dawuhan tersebut ialah karena dawuhan yang lama sudah tidak dapat lagi mengatasi banjir yang sering terjadi karena meluapnya Sungai Brantas. Banjir Sungai Brantas yang sering terjadi menenggelamkan sawah penduduk, sehingga tidak dapat panen. Akibatnya, masyarakat di Desa Kamalagyan dan sekitarnya tidak mampu membayar pajak yang sudah ditetapkan.
3
Dari uraian isi Prasasti Kamalagyan, dapat diketahui bahwa keberadaan bendungan sudah dikenal sejak masa Jawa Kuna. Deskripsi yang diberikan Zoetmulder (2006: 205) tentang dawuhan dan fungsi yang digambarkan dalam Prasasti Kamalagyan pun tidak jauh berbeda dengan fungsi bendungan yang ada pada masa yang kemudian, misalnya bendungan pada abad ke-20 an. Telah lebih lanjut menunjukkan bahwa dawuhan yang disebut dalam Prasasti Kamalagyan merupakan bendungan yang sengaja dibangun untuk suatu tujuan tertentu. Sebagaimana disebutkan bahwa Raja Airlangga menyuruh membangun sebuah dawuhan untuk mengatasi banjir yang disebabkan oleh Sungai Brantas dan anakanak sungainya, yaitu Sungai Mas dan Sungai Porong (Dian Sulistyowati, 2004:34). Sayangnya, keterangan di dalam Prasasti Kamalagyan tidak menyebut bentuk dan konstruksi bendungan yang dimaksud.
Dari segi konstruksi, secara umum bendungan dapat berupa urugan dan dapat pula dibangun dari beton. Bendungan urugan terdiri atas bendungan yang dibuat dari material yang homogen, misalnya bendungan yang berupa urugan batu dengan lapisan kedap air di dalam tubuh bendungan (claycore rockfill dam, zone dam) dan bendungan urugan batu dengan lapisan kedap air di muka (concrete face rockfill dam). Bendungan beton terdiri atas bendungan beton berdasar berat sendiri (concrete gravity), bendungan beton dengan penyangga (buttress dam), bendungan beton berbentuk lengkung (concrete arch dam), dan bendungan beton berbentuk lebih dari satu lengkung (multiple arch dam) (sumber: www.knibb-inacold.com).
4
Selain kriteria bendungan berdasarkan konstruksinya sebagaimana tersebut di atas, ternyata masih banyak lagi pengelompokan bendungan yang didasarkan sejumlah kriteria. Salah satunya ialah berdasarkan ukurannya.
Berdasarkan
ukurannya, bendungan dapat dibedakan menjadi bendungan besar dan bendungan kecil. Bendungan dapat disebut besar apabila memilki dimensi tinggi lebih dari 15 m. dan panjangnya dapat mencapai 500 m. Kapasitas bendungan tidak kuran dari 1.000.000. m³ dan debit airnya tidak kurang dari 2.000 m³/detik.
Beberapa ahli
menambahkan bentuk bendungan yang tidak biasa ke dalam katagori bendungan besar. Sebaliknya, jenis bendungan yang tidak memeliliki kriteria yang sudah disebutkan, maka bendungan tersebut dapat digolongkan ke dalam bendungan kecil (sumber: www.knibb-inacold.com).
Sepanjang sejarah peradaban manusia, keberadaan bendungan selalu dikaitkan dengan pengelolaan air. Oleh karena air sangat diperlukan dalam kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup pada umumnya, maka keberadaan bendungan mempunyai arti yang sangat penting dan tidak dapat diabaikan. Keberadaan bendungan juga dapat dikaitkan dengan pencapaian teknologi yang terkait dengan banyak hal, misalnya irigasi, pengendalian banjir, dan pengelolaan sumberdaya energi listrik. Atas dasar penjelasan tersebut, maka bendungan merupakan objek yang menarik untuk dikaji, baik secara bentuk fisiknya, konstruksinya, maupun nilai penting keberadaannya. Dalam bidang arkeologi, kajian tentang bendungan belum banyak dilakukan. Padahal, secara historis keberadaan bendungan tersebut tidak dapat diabaikan. Salah satu bendungan yang menarik untuk dikaji dalam perspektif arkeologi ialah Bendungan Kamijoro.
5
Bendungan Kecamatan
tersebut
terletak
Pajangan,
di
Pedukuhan
Kabupaten
Bantul.
Kamijoro, terletak
Desa pada
Sendangsari, koordinat:
7°52'49"S 110°16'3"E.
Bendungan Kamijoro merupakan sebuah bendungan yang dibangun pada masa Kolonial Belanda.
Menurut inskripsi yang tertera pada struktur bendungan,
Bendungan Kamijoro dibangun pada 1924. Bendungan tersebut mengalirkan air dari Sungai Progo ke berbagai tempat di Kabupaten Bantul, melalui sebuah pipa raksasa yang hingga kini masih dapat disaksikan di sepanjang jalan utama Kecamatan Pajangan. Bendungan Kamijoro merupakan salah satu dari tiga bangunan peninggalan Belanda. Bangunan yang lain ialah Jembatan Pleret dan Jmbatan Kamijoro. Oleh warga di sekitar Bendungan Kamijoro, kedua jembatan tersebu dikenal dengan sebutan ”Ngantru”, yang merupakan tempat favorit bagi warga untuk menikmati pemandangan di sore hari saat matahari tenggelam.
6
Foto 1.1.Pipa yang mengalirkan air dari Sungai Progo ke berbagai tempat di Kabupaten Bantul, ( Dokumentasi Penulis, 2016)
Tujuan
dibangunnya
Bendungan
Kamijoro
ialah
untuk
memenuhi
kebutuhan irigasi, pasokan air baku untuk air minum, industri, perikanan serta pembangkitan listrik di area Bantul. Jangkaun Bendungan Kamijro meliputi empat kecamatan, yakni kecamatan Sanden, Srandakan, Kretek, dan Pandak. Manfaat lain Bendungan Kamijoro ialah untuk pengendalian banjir dan kini bendungan tersebut menjadi objek tujuan wisata. Di samping untuk menampung air, Bendungan Kamijoro juga digunakan untuk menampung material buangan, misalnya lahar dingin dari letusan Gunung Merapi.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini ialah: 1. Termasuk katagori bendungan apakah Bendungan Kamijoro ?
7
2. Arti khusus apa sajakah yang dimiliki Bendungan Kamijoro? 3. Apakah Bendungan Kamijoro layak ditetapkan sebagai Cagar Budaya?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk mendokumentasikan dan mendeskripsikan tingggalan Kolonial Belanda yang berupa Bendungan Kamijoro. Tujuan lainnya ialah untuk mengidentifikasikan peran pentingnya bendungan tersebut di masa lalu dan manfaatnya di masa sekarang. Dengan mengetahui deskripsi, baik secara fisik maupun latar historis keberadaannya serta manfaatnya, maka target akhir dari kajian ini ialah untuk memberikan rekomendasi agar Bendungan Kamijoro ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Penetapan Bendungan Kamijoro sebagai Cagar Budaya memberikan ketetapan hukum untuk kepentingan pelestariannya.
D. Lingkup Penelitian Ruang lingkup kajian terhadap Bendungan Kamijoro ialah deskripsi fisik bendungan beserta perangkat dan kelengapan jaringan tata air yang menyertainya. Termasuk di dalamnya ialah jaringan tata air yang dirancang serta jangkauan wilayahnya. Setidaknya, terdapat empat kecamatan di Kabupaten Bantul yang menjadi jangkauan tata air dari Bendungan Kamijoro. Keempat kecamatan yang dimaksud ialah: Sanden, Srandakan, Kretek dan Pandak.
8
Peta.1.1. Peta topografi Kabupaten Bantul Tahun 2011. Sumber: NIKY, 2009 dengan modifikasi penulis
Selain lingkup kajian fisik, jangkauan juga pada lingkup kajian historis. Lingkup kajian ini dipilih untuk mengungkapkan latar belakang pembangunan Bendungan Kamijoro.
E. Tinjauan Pustaka Pada tahun 2007 penelitian Bendungan Kamijoro pernah di lakukan oleh Forum Teknik Sipil antara lain Fauzan Umar, Djoko Legono, Fatchan Nurrochmad, Kasi Perencanaan Teknis Bidang Pengairan, Dinas Kimpraswil DIY, Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan FT UGM. Tujuan pada penelitian tersebut adalah: 1. Mencari dampak pengelolaan air di Bendungan Kamijoro menuju saluransaluran air di wilayah Bantul
9
2. Menyajikan tentang luas tanam optimum untuk padi sangat sensitif terhadap alokasi pemberian air irigasi dibandingkan dengan luas tanam optimum untuk palawija di wilayah Bantul melalui saluran dari Bendungan Kamijoro 3. Memperoleh data tentang debit air yang dapat dimaksimalkan dalam pertanian di kabupaten Bantul. Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam publikasi yang berjudul “Kajian Pengelolaan Air Irigasi Bendung Kamijoro” yang diterbitkan dalam Jurnal Forum Teknik Sipil No. XVII/2-Mei 2007. Penelitian di atas berbeda dengan penelitian ini; penelitian ini membahas Bendungan Kamijoro dalam bidang arkeologi, sehingga yang menjadi fokus adalah nilai penting Bendungan Kamijoro bagi kehidupan manusia di masa lalu hingga masa kini. Dalam hal ini ialah irigasi dan kelangsungan hidup masyarakat di sekitar bendungan. Dengan kata lain, Bendungan Kamijoro mempunyai manfaat bagi kehidupan di wilayah Bantul. Kajian lain dalam peneitian ini adalah tentang struktur Bendungan Kamijoro yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pembangunan Bendungan Kamijoro dipimpin langsung oleh orang Belanda, yang bernama Ir. Julius Schmutzer. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII didampingi oleh Residen Yogyakarta P.W Jonquiere. Arsitektur yang digunakan menggunakan bahan dari inggris di buktikan dengan adanya tempat untuk mengontrol pembuangan tanah liat serta pasir yang ada di Kamijoro buatan dari Inggris yang disebut Ruston. Mesin penyedot lumpur bermerk Ruston buatan Inggris. Pada mesin tersebut tertera angka tahun 1878, kemungkinan besar menunjukkan tentang tahun pembuatannya (Sartono, 2004: 87)
10
Saat ini Bendungan Kamijoro telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Kabupaten Bantul. Dalam Peraturan Daerah Provinsi D.I.Y nomor 6 tahun 2012 disebutkan bahwa Warisan Budaya ialah tinggalan Budaya bendawi yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, agama, yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, agama, pendidikan, kebudayaan, dan penguatan jati diri bangsa. Tak hanya itu, penghargaan Pelestari Warisan Budaya dari Provinsi DIY telah diberikan kepada Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A) Pijenan Kabupaten Bantul pada tahun 2008 karena telah mengelola dan meletarikan dam (Intake) Pajangan (Bendungan Kamijoro). Penghargaan diberikan untuk kategori non gedung. Penyerahan penghargaan dilakukan pada 12 November 2008 oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwana X. Bendungan Kamijoro penting untuk ditetapkan sebagai Warisan Budaya, karena merupakan benda buatan manusia yang dapat memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam. Alasan lain ialah merupakan sarana dan prasarana yang mampu memenuhi kebutuhan manusia, dalam hal ini untuk memenuhi kebutuhan irigasi yang berdampak pada pemenuhan kebutuhan pangan di wilayah Bantul. Hal yang paling penting ialah bahwa Bendungan Kamijoro masih dilestarikan dan saat ini masih berfungsi dengan baik.
F. Metode Penelitian Hassan dan Koentjaraningrat (dalam Tanudirdjo, 1989:34) menyebutkan, pengetahuan tentang rangkaian tatacara kerja dalam bidang ilmu tertentu disebut sebagai metode (Fuad Hassan dan Koentjaraningrat dalam Tanudirjo, 1989:34).
11
Tatacara kerja yang dimaksud juga diterapkan dalam bidang arkeologi dan dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian (research question) yang dikemukanan dalam sub bab sebelumnya. Oleh karena itu, metode dan tahapan penelitian penting untuk dirumuskan sebagai pedoman dalam melaksanakan penelitian. Dalam penelitian ini, model penalaran yang digunakan ialah model penalaran induktif, yaitu cara berfikir yang bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus untuk kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang memberikan gambaran data, baik dalam kerangka waktu, bentuk, keruangan serta mengungkapkan hubungan di antara variabel penelitian. (Tanudirjo, 1989:34). Berdasarkan model penalaran dan sifat penelitian sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka penelitian ini memiliki tahap-tahap sebagai berikut: 1. Tahap Pengumpulan Data Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan ialah data primer dan data sekumder. Data primer ialah data yang diakses secara langsung oleh peneliliti. Termasuk di dalam kategori data primer ialah data tentang struktur Bendungan Kamijoro beserta kelengkapannya, yaitu jaringan tata air. Kemudian, data tentang jangkauan distribusi air yang dilakukan oleh bendungan tersebut.
Data primer
diakses melalui pengamatan langsung pada objek Bendungan Kamijoro yang berlokasi di Kamijoro, Sendangsari, Pajangan, Bantul, Yogyakarta, dan lingkungan sekitar bendungan (lihat peta 1.1).
12
a. Data Primer Selain, diakses melalui observasi, data primer juga diakses melalui wawancara. Wawancara dilakukan untuk mengakses informasi yang tidak dapat diperoleh melalui observasi. Jenis wawancara yang dilakukan ialah indepth interview.Wawancara merupakan pertemuan antara dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksi makna dalam suatu topik tertentu (Esterberg, 2002: 112). Wawancara yang dilakukan secara medalam atau indepth interview merupakan proses memperoleh keterangan untuk memperoleh tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan
pedoman.
Keunggulannya
ialah
memungkinkan peneliti
untuk
mendapatkan jumlah informasi dan data yang banyak. Walaupun adakalanya wawancara berlangsung tidak terstruktur sehingga dapat berkembang menjadi sebuah diskusi yang lebih bebas. Dalam kasus ini, tujuan peneliti ialah untuk memfasilitasi narasumber untuk berbicara (Hariwijaya 2007, 73:74). Dengan topik yang telah ditentukan atau diarahkan oleh peneliti, kriteria untuk
memilih
narasumber ialah warga sekitar Bendungan Kamijoro serta narasumber yang menghadiri acara pengesahan Bendungan Kamijoro sebagai Warisan Cagar Budaya. b. Data Sekunder Data sekunder diposisikan sebagai data pendukung yang akan dilakukan melalui studi pustaka untuk mencari berbagai sumber informasi yang berkaitan dengan Bendungan Kamijoro dalam perskpektif ilmu lmu arsitektur, arkeologi,
13
sejarah, dan ilmu lain melalui berbagai macam referensi, termasuk tentang bendungan kuno dan berbagai macam refrensi tentang bendungan kuno. Data sekunder ini dibutuhkan sebagai alat bantu untuk menganalisis data utama, yaitu tentang Bendungan Kamijoro. Sumber yang digunakan sebagai data sekunder dalam penelitian ini adalah berbagai referensi yang diakses di Perpustakaan Arkeologi UGM, Perpustakaan FIB UGM, Balai Arkeologi Yogyakarta, dan berbagai perpustakaan digital yang menyediakan refrensi dengan format PDF.
2. Pengolahan Data Pada tahap ini, pertama yang dilakukan ialah mengolah data primer yang telah dideskripsikan berdasarkan keadaan bangunan saat ini, keletakan, elevasi, orientasi dan sekilas mengenai keadaan lingkungan. Tahap selanjutnya adalah analisis
artefaktual,
yaitu
pengelompokan
data
terkait
dengan
Bendungan
Kamijoro. Dalam hal ini melakukan analisis terhadap tipe bendungan atau jenis bendungan dalam berbagai perspektif, yaitu perspektif ilmu arsitektur dan arkeologi yang ada di Indonesia. Selain itu dijabarkan pula temuan-temuan pendukung yang berada di sekitar atau dapat dikaitkan dengan Bendungan Kamijoro. Selanjutnya, data yang masih kasar tersebut dianalis dengan cara membandingkan dengan situs arkeologi di sekitar daerah Yogyakarta atau situs bendungan yang lain untuk menentukan nilai penting Bendungan Kamijoro. Analisis nilai penting dilakukan dengan acuan UU No. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. Hasil analisis ini ialah kebutuhan akan penetapan Bendungan Kamijoro sebagai cagar budaya. Penetapan tersebut selanjutnya digunakan untuk tindak lanjut pelestariannya.
14
3. Tahap Kesimpulan Tahap akhir dari penelitian ini adalah penarikan kesimpulan. Dalam penelitian induktif, penarikan kesimpulan bersifat generalisasi empiris. Artinya apa yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat diterapkan untuk kasus yang serupa di tempat lain. Tahapan ini diharapkan dapat merumuskan jawaban atas pertanyaan penelitian, yaitu apa saja nilai penting dan bagaimana tindak lanjut pelestarian Bendungan Kamijoro.
Diharapkan pula,
hasil penelitian ini dapat menjadi
rekomendasi bagi pengelolaan Bendungan Kamijoro.