BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang terletak di wilayah yang cukup strategis baik dari letak astronomis maupun geografis. Secara astronomis, Indonesia berada pada 6°LU – 11°LS dan 95°BT – 114°BT. Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki dua musim dan tergolong ke dalam negara yang memiliki iklim tropis. Hal tersebut mempengaruhi kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia. Indonesia kaya akan sumber daya alamnya (SDA). Baik itu sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui melimpah ruah di negeri ini. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui merupakan sumber daya alam yang dapat dipergunakan secara terusmenerus dan dapat dilestarikan. Contohnya: tumbuh-tumbuhan, hewan, air, dll. Sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dipergunakan secara terus-menerus dengan kata lain apabila telah habis tidak dapat dilestarikan baik oleh manusia maupun secara alamiah. Bahan galian (tambang) merupakan salah satu dari banyaknya sumber daya alam di Indonesia dan merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Bahan galian itu meliputi emas, perak, tembaga, batu-batuan, minyak dan gas bumi. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu: “Indonesia adalah negara hukum, semua kegiatan
1
yang berhubungan dengan tindakan negara haruslah didasarkan melalui hukum yang berlaku”. Agar pemanfaatan bahan-bahan galian tambang dapat lebih dikendalikan, maka bahan-bahan galian tersebut berada di bawah penguasaan negara seperti diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mana bunyi pasal tersebut adalah bahwa: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Frase “dikuasai oleh negara” berada dalam konsep hak penguasaan negara. Diperlukan kajian yang cukup mendalam mengenai hak penguasaan negara dan apa yang sebenarnya menjadi objek penguasaan negara. Pengajian tersebut penting guna mengetahui dan memahami pokok-pokok pikiran, pandangan yang mempengaruhi, serta maksud para pembuatnya, dan semangat yang terkandung di dalamnya.1 Hak penguasaan negara sebagai konsep sampai saat ini belum mempunyai pengertian serta makna yang jelas dan tegas yang dapat diterima oleh semua pihak dalam hubungannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional sehingga mengundang banyak penafsiran yang berimplikasi kepada implementasinya.2 Oleh karena itu, diperlukan kajian khusus mengenai konsep tersebut. Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 telah diberikan pengertian secara otentik mengenai hak penguasaan negara 1 Sjafroedin Bahar (penyunting), 1992, Risalah Sidang Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Tanggal 29 Mei-19 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 210211 2 H. Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Jakarta, 2004, hlm. 2
2
yaitu yang menyatakan bahwa konsep penguasaan oleh negara adalah bukan memiliki, melainkan hanya sebatas menguasai. Artinya, negara memiliki suatu kewenangan untuk mengurus mengenai kekayaan alam, udara, air, dan tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menguasai berarti konsep negara untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pengelolaan atas pengusahaan bahan-bahan galian, serta berisi kewajiban untuk mempergunakannya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, rakyat harus mempergunakannya secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang sesuai dengan kebutuhan hidup dengan tetap menjaga keseimbangan alam agar tidak rusak dan lestari dalam rangka mewujudkan
masyarakat
adil
dan
makmur.
Dalam
hal
ini,
untuk
pengeksploitasian bahan-bahan tambang rakyat tetap memperhatikan prosedur yang berlaku dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Pada Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa “Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum”. Pengelolaan pertambangan di Indonesia saat ini termasuk ke dalam urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah untuk menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
3
Urusan pemerintahan konkuren terbagi lagi sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yaitu “Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan”. Secara khusus, urusan pemerintahan mengenai energi dan sumber daya mineral termasuk ke dalam urusan pemerintahan pilihan yang mana wajib diselenggarakan oleh daerah sesuai dengan potensi daerah yang dimiliki dan tidak berkaitan dengan pelayanan dasar untuk warga negara. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pengertian pertambangan adalah sebagai berikut: “Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang”. Untuk dapat mengeksploitasi tambang, perlu adanya usaha pertambangan, pengertian usaha pertambangan diatur pada Pasal 1 angka 6 adalah: “Kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang”. Dewasa ini, kegiatan usaha pertambangan yang mengeksploitasi sumber daya alam banyak terjadi di setiap daerah dan saling berlomba-lomba untuk memanfaatkan kekayaan alamnya masing-masing. Selain itu, perkembangan
4
teknologi yang pesat juga memiliki pengaruh yang besar dalam pengeksploitasian sumber daya alam. Rakyat adalah kunci utama dari kelestarian maupun kerusakan lingkungan sekitarnya. Rakyat banyak yang mengacuhkan aturan-aturan yang ada terkait dengan eksploitasi bahan-bahan tambang. Menyebarnya tambang-tambang rakyat di suatu daerah sudah bukan merupakan fenomena yang langka akan tetapi, kegiatan tambang tersebut tidak selalu diiringi dengan ketaatan prosedur dalam pelaksanaannya.
Pemerintah
dan
instansi
terkait
pun
menyadari
akan
permasalahan tersebut. Akibat ulah rakyat yang salah dalam pengelolaan lingkungan apabila dibiarkan dapat menimbulkan dampak besar bagi kehidupan masyarakat yang akan dirasakan kemudian atau bahkan sudah mulai dirasakan pada saat sekarang ini. Tambang-tambang rakyat hampir menjamur di setiap daerah-daerah di Indonesia. Untuk wilayah Sumatera Barat bahan-bahan galian tambang rakyat seperti bahan galian golongan batubara banyak terdapat di Kota Sawahlunto, bahan galian golongan mineral logam seperti emas terdapat di Solok Selatan, dan bahan galian golongan batuan seperti tanah urug, pasir di sungai, sirtu, dll banyak terdapat di Kabupaten Padang Pariaman. Menurut Pasal 2 ayat (2) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan BatuBara bahan galian golongan batuan disebut sebagai komoditas tambang batuan yang meliputi: “pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit, 5
gabro, peridotit, basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon, chert, kristalkuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkersikan, gamet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batu gamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan”. Bahan galian jenis sirtukil ini memiliki peran yang penting dalam memberikan dukungan material untuk pembangunan infrastruktur antara lain pendirian sarana infrastruktur jalan, pembangunan perumahan, dan gedunggedung perkantoran. Kegiatan penambangan komoditas tambang batuan mulai dari eksplorasi sampai eksploitasi dan pemanfaatannya mempunyai dampak terhadap lingkungan baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif yang ditimbulkan dari penambangan bahan galian golongan batuan dalam pembangunan nasional yaitu:3 1. Meningkatkan devisa negara; 2. Terserapnya tenaga kerja sehingga mengurangi angka pengangguran di Indonesia; 3. Menambah pendapatan asli daerah (PAD) melalui pajak, iuran-iuran dan retribusi dari kegiatan penambangan; 4. Meningkatnya kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Dampak negatifnya adalah berupa resiko akibat penambangan bahan galian komoditas tambang batuan tersebut. Pada umumnya pengusaha 3 Salim HS, Hukum Pertambangan Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 7
6
penambangan bahan galian jenis sirtukil menggunakan alat-alat berat untuk mengeruk bahan galian tersebut sehingga menyebabkan lingkungan sekitarnya menjadi rusak dan menimbulkan kebisingan akibat aktivitas mesin. Di samping itu, menggunakan truk-truk besar untuk pendistribusian bahan galian tersebut sehingga menebang vegetasi penutup akibatnya akan meningkatkan erosi di daerah tersebut. Lahan yang sebelumnya kebun tanaman budidaya masyarakat sekitar di pinggiran sungai akibat penambangan terjadi pelebaran alur sungai, apabila sungai meluap akan merendam tanaman budidaya tersebut. Selain itu, pelebaran alur sungai yang disebabkan oleh erosi lateral mengakibatkan pendangkalan sungai dan mengurangi debit air sungai. Akibatnya, pada musim kemarau daerah tersebut akan kesulitan mencari air di sungai dan muka air sungai akan menurun sejalan dengan menyusutnya debit air sungai. Demikian
halnya
dengan
Kabupaten
Padang
Pariaman
tepatnya
Kecamatan Lubuk Alung terdapat penambangan bahan galian jenis pasir, batu, dan kerikil yang terletak pada sepanjang alur Sungai Batang Anai. Sungai Batang Anai merupakan sungai yang padat dengan aktivitas pertambangan sebagai mata pencaharian terutama penambangan komoditas pasir, batu, kerikil, dan tanah urug adalah kelas 1 di Sumatera Barat dan peminatnya sangat tinggi. Aktivitas tambang ini awalnya hanya berskala tambang rakyat yang sudah berlangsung selama puluhan tahun dengan cara yang manual seperti melakukan kerukan dan meletakkannya di perahu. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 2 7
Tahun
2013
tentang
Pengelolaan
Pertambangan
Mineral
Dan
Batuan,
pertambangan batuan menurut Pasal 1 angka (12) adalah: “Pertambangan Batuan adalah pertambangan berbagai mineralmineral yang membentuk satu senyawa yang meliputi: tras, obsidian, marmet, perlit, tanah serap, andesit, granit, trakhit, tanah liat, tanah urug, batu apung, batu gunung, quarry besar, krikil, batu kali, krikil berpasir (sirtu), bahan timbungan pilihan (tanah), urukan tanah setempat, pasir laut dan pasir tidak mengandung unsur mineral logam”. Lima belas (15) tahun terakhir ini, di Kabupaten Padang Pariaman terjadi eksploitasi secara besar-besaran terutama dengan menggunakan alat berat seperti eskavator dan karena adanya intensifikasi di dalam penambangan pasir, maka pengambilan pasir dan kerikil dapat saja dilakukan 5-6 hari dalam seminggu hal ini semakin memperparah kondisi lingkungan. Kenyataan yang telah terjadi saat ini di sekitar area tambang di Sungai Batang Anai adalah sebagai berikut: 1. Telah terjadi perubahan terhadap sungai seperti lebar sungai semakin melebar dibandingkan sebelum aktivitas menggunakan alat berat dilakukan. Tingkat kedalaman sungai semakin dalam dan dapat mengakibatkan bencana banjir bandang serta longsor yang mengancam sekitar 12 ribu jiwa.4 2. Berdampak terhadap sumur warga jika musim kemarau menjadi kering dan saat musim hujan menjadi keruh sehingga tidak layak untuk diminum termasuk juga keringnya ribuan hektar lahan persawahan rakyat karena 4 Http://m.antarasumbar.com/berita/79225/warga-lubuk-alung-minta-aktivitas-galian-cdihentikan.html diakses pada Hari Senin 28 Desember 2015, pukul 13.21 WIB
8
sistem irigasi tidak berfungsi.5 3. Hilangnya daya dukung dalam sungai seperti batu besar yang berfungsi untuk menahan derasnya air juga sebagai tempat berlindungnya makhluk hidup berukuran kecil seperti ikan dan jenis udang air tawar yang sekarang tidak ditemukan lagi.6 4. Terjadi perubahan pada kontur dan struktur tanah hingga pada akhirnya tanah di sekitar lokasi tambang tidak dapat dimanfaatkan lagi karena sudah lebih 100 m daratan sungai jadi aliran sungai dan lahan bercocok tanam amblas.7 5. Pencemaran air sungai yang disebabkan pengerukan dan pengurangan material pasir dari dalam air, sehingga terjadi degradasi dasar sungai yang mengganggu stabilitas tebing sungai dan air menjadi keruh serta bercampur minyak sedangkan sungai digunakan untuk saluran MC (Mandi dan Cuci).8 6. Banyak infrastruktur umum seperti jalan yang rusak akibat dilewati kendaraan yang membawa material dengan over capacity atau tonase tidak sesuai dengan kondisi jalan yang masih dilapisi dengan aspal kasar.9
5 Ibid., diakses pada Hari Senin 28 Desember 2015, pukul 13.25 WIB 6 Ibid., diakses pada Hari Selasa 28 Desember 2015, pukul 13.32 WIB 7 http://horasnews.com/penambang-pasir-ilegal-menjamur-di-pariaman/ diakses pada Hari Selasa 29 Desember 2015, pukul 11. 06 WIB 8 http://m.kompasiana.com/serguningbae/pengelolaan-tambang-galianc_550eafb3a33311ac2dba83bf diakses pada Hari Selasa 29 Desember 2015, pukul 11.18 WIB 9 Ibid., diakses pada Hari Selasa 29 Desember 2015, pukul 11.24 WIB
9
7. Sejumlah tiang penyangga jembatan sudah banyak yang terkikis, jika terus berlanjut maka dapat membuat jembatan roboh dan juga bendungan anai tempat pembagian air untuk lahan pertanian dan perikanan.10 Gambar 1.1 Truk Pengangkut Material Tambang Dan Dampak Tambang Batuan
Dari dampak-dampak positif dan negatif yang dipaparkan, perlu adanya pengawasan oleh dinas terkait terhadap kegiatan pertambangan batuan di Kabupaten Padang Pariaman. Di Kabupaten Padang Pariaman, masih terdapat penambang yang tidak memiliki izin dan melakukan usaha pertambangan tidak sesuai dengan wilayahnya. Permasalahannya adalah penambang melakukan pertambangan di area-area yang dilarang seperti di bawah jembatan, daratan sehingga mengambil lahan bercocok tanam milik warga, dan di sekitar vegetasi penutup yang tidak sesuai dengan izin usaha serta para pelaku tidak
10 http://m.padek.co/detail.php?news=42521 diakses pada Hari Selasa 29 Desember 2015, pukul 20.29 WIB
10
memperhatikan kelestarian lingkungan sekitar sehingga sangat merugikan pemerintah karena akan timbul ketidakjelasan tanggung jawab pelaksanaan reklamasi terhadap lahan bekas pertambangan tersebut. Pengawasan ditujukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran sekaligus untuk menghentikan lebih dini adanya pelanggaran agar terhindar dari akibat yang lebih buruk. Pengawasan dimaknai sebagai proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan.11 Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Padang Pariaman dalam hal pengawasan disebutkan di dalam Pasal 79 Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Dan Batuan yaitu “bupati sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR dan IUPK”. Banyaknya kasus mengenai tambang galian jenis pasir, batu dan kerikil ini, maka menurut Pasal 11 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Dan Batuan adalah “Setiap kegiatan usaha pertambangan dan pengelolaan kawasan pertambangan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan IUP beserta lampiran peta wilayah usaha pertambangan”. Oleh karena itu, jelaslah bahwa masih adanya penambang yang tidak memiliki IUP dan yang menambang tidak sesuai dengan peta wilayah menunjukkan bahwa ada kecenderungan lemahnya 11 Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 56
11
intensitas pelaksanaan pengawasan dan hal ini berdampak pada belum terwujudnya pelaksanaan penegakan hukum. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka di dalam penegakan hukum terhadap pertambangan mineral batuan tersebut ada dua sarana penegakan hukum yang dapat dilakukan oleh pemerintah, yaitu langkah preventif (pengawasan) dan langkah represif (penerapan sanksi). Langkah preventif ditujukan kepada penambang yang sudah memiliki izin tambang agar kegiatan tambangnya dapat sesuai dengan kaidah-kaidah pertambangan yang baik. Langkah represif ditujukan tidak hanya kepada penambang yang tidak menerapkan kaidah-kaidah pertambangan yang baik namun, juga kepada penambang yang tidak memiliki izin guna menekan aktivitas tambang yang tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dan prosedur-prosedur yang berlaku. Akan tetapi, setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah di dalam lampirannya disebutkan bahwa urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral yang berkaitan dengan pengelolaan mineral dan batubara menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota hanya mengurusi yang berkaitan langsung dengan pemanfaatan panas bumi. Sedangkan menurut Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan BatuBara yang lebih khusus mengatur tentang pertambangan disebutkan bahwa penguasaan mineral dan batubara oleh
12
negara diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang mana setelah adanya undang-undang ini untuk urusan usaha pertambangan di kabupaten/kota maka diurus oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota itu sendiri. Oleh karena hal itu, berarti saat ini terjadi ketimpangan kewenangan antara Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Daerah Provinsi. Berdasarkan asas “lex spesialis derogat lex generali”, maka undangundang yang berlaku secara khusus mengenyampingkan undang-undang yang berlaku secara umum. Akan tetapi, asas “lex posteriori derogat lex priori” menyatakan undang-undang yang baru dapat mengenyampingkan undang-undang yang lama. Di sinilah ketimpangan kewenangan terjadi, yang mana UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara belum direvisi oleh DPR, namun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah menyatakan adanya perpindahan kewenangan dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ke Pemerintah Daerah Provinsi. Dengan adanya kenyataan seperti yang diuraikan di atas, penulis telah melakukan penelitian yang berjudul “PENGAWASAN TAMBANG MINERAL KOMODITAS BATUAN BAHAN GALIAN JENIS PASIR, BATU, DAN KERIKIL (SIRTUKIL) DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN”.
13
B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Daerah Provinsi di dalam menguasai tambang mineral komoditas batuan bahan bahan galian jenis pasir, batu, dan kerikil di Kabupaten Padang Pariaman setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Bentuk pengawasan yang dilakukan terhadap tambang mineral komoditas batuan bahan galian jenis pasir, batu dan kerikil di Kabupaten Padang Pariaman.
14