1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak antara benua Asia dan benua Australia serta antara samudera Pasifik dan samudera Hindia. Indonesia memiliki jumlah pulau lebih dari 17.800 pulau, panjang garis pantai lebih dari 81.000 kilometer yang 2/3 (dua per tiga) dari seluruh wilayahnya merupakan perairan. Berdasarkan kondisi geografis tersebut, peranan transportasi laut bagi Indonesia sangat strategis sebagai pemicu perkembangan ekonomi. Transportasi laut menjadi sangat strategis karena berperan dalam menghubungkan satu pulau dengan pulau yang lain sehingga aktivitas perekonomian dapat berjalan lancar. Presiden Republik Indonesia I, Soekarno pada tahun 1963 di acara peringatan hari maritim, mengatakan, “Bangsa Indonesia akan maju dan dapat bersaing dengan negara-negara lain, jika bangsa ini dapat menguasai lautan”. Kata-kata Bung Karno tersebut tentunya bukanlah sebuah slogan belaka, sebagai negara kepulauan tentunya bangsa ini harus mampu menguasai lautan, karena tidak mungkin bangsa ini dapat bersatu jika penghubung antara pulau tidak dilakukan dengan menguasai lautannya. Keterpurukan pelayaran ini terjadi ketika ada kebijakan dari pemerintah pada tahun 1984 yang mengharuskan semua kapal yang telah berusia 20 tahun harus dimusnahkan dan diganti dengan yang baru. Kebijakan ini pada awalnya memang membawa angin segar bagi pelayaran nasional dimana pemerintah menjanjikan akan 1
Universitas Sumatera Utara
2
membantu pengadaan kapal-kapal baru sebagai pengganti kapal yang telah dimusnahkan. Namun kenyataannya pemerintah tidak dapat menepati janjinya. Melihat kondisi yang semakin terpuruk, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran Nasional, yang salah satu butirnya mengatakan pelayaran dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Dengan pernyataan tersebut maka pelayaran Indonesia menggunakan asas cabotage atau pemberdayaan pelayaran nasional, dimana untuk pelayaran dalam wilayah pabean Indonesia haruslah menggunakan kapal milik nasional. Namun demikian lagi-lagi undang-undang ini tidak menghasilkan perubahan yang signifikan kepada industri pelayaran nasional. Pada tahun 1994 Menteri Perindustrian dan Perdagangan, yang kala itu dijabat oleh Rini S Suwandi, mengatakan pelayaran nasional tidak mengalami perkembangan yang signifikan karena pelayaran asing menguasai sekitar 95 persen arus pergerakan barang dari Indonesia ke luar negeri.1 Industri pelayaran nasional seakan bangkit dengan dikeluarkannya kebijakan Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Dalam Inpres tersebut diinstruksikan kepada tiga belas kementerian dan seluruh gubernur, bupati, walikota di seluruh Indonesia, untuk menerapkan asas cabotage secara konsekuen dan merumuskan kebijakan serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang masing-masing guna memberdayakan industri pelayaran nasional. Dibidang perdagangan, salah satunya
1
Warta Bea Cukai, Tahun XXXVIII, Edisi 377, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Jakarta, 2006, hal. 5-6.
2
Universitas Sumatera Utara
3
diinstruksikan agar muatan pelayaran antar pelabuhan di dalam negeri dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya setelah instruksi Presiden ini berlaku, wajib diangkut dengan kapal berbendera Indonesia dan dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional. Dibidang keuangan, salah satunya diinstruksikan agar menyempurnakan kebijakan perpajakan yang lebih mendukung tumbuh dan berkembangnya industri pelayaran nasional dan industri perkapal, termasuk pemberian insentif kepada pemilik muatan ekspor yang diangkut dengan kapal berbendera Indonesia dan dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional. Dibidang lembaga keuangan, salah satunya diinstruksikan agar mengembangkan proses pendanaan yang lebih mendorong terciptanya pengembangan proses pendanaan yang lebih mendorong terciptanya pengembangan armada nasional.2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (selanjutnya disebutkan Undang-Undang Pelayaran) dengan jelas asas cabotage dipertahankan dan dipertegas, dibandingkan dengan Undang-Undang Pelayaran tahun 1992. Yang dimaksud dengan asas cabotage adalah hak untuk melakukan pengangkutan penumpang, barang dan pos secara komersial dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain di dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Asas cabotage merupakan hak prerogratif Republik Indonesia sebagai Negara berdaulat. Hak tersebut diberikan kepada perusahaan angkutan laut nasional, dan tidak akan diberikan kepada
2
Ibid, hal. 16.
3
Universitas Sumatera Utara
4
perusahaan angkutan asing manapun, kecuali atas pertimbangan untuk kepentingan nasional negara yang bersangkutan.3 Dalam melaksanakan asas cabotage tersebut sudah tentu membutuhkan modal yang besar. Pemberian modal dilakukan oleh lembaga keuangan, dan sudah tentu disertai dengan jaminan. Rachmadi Usman dalam bukunya menyimpulkan pengertian hukum jaminan menurut J. Satrio dan Salim HS setelah dihubungkan dengan kesimpulan Seminar Hukum Jaminan tahun 1978, inti dari hukum jaminan adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditur) sebagai akibat pembebanan suatu utang tertentu (kredit) dengan suatu jaminan (benda atau orang tertentu). Dalam hukum jaminan tidak hanya mengatur perlindungan hukum terhadap kreditur sebagai pihak pemberi utang saja, melainkan juga mengatur perlindungan hukum terhadap debitur sebagai pihak penerima utang. Dengan kata lain, hukum jaminan tidak hanya mengatur hakhak kreditur berkaitan dengan pelunasan utang, juga mengatur hak-hak debitur berkaitan dengan jaminan pelunasan utang tersebut.4 Menurut Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya akan disebut KUH Perdata), semua milik debitur, bergerak atau tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi tanggungan hutang yang dibuatnya. Ketentuan ini sudah merupakan suatu jaminan terhadap pembayaran hutang-hutang
3
H.K. Martono dan Eka Budi Tjahjono, Transportasi di Perairan Berdasarkan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2008, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hal. 14-16. 4 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 1-2.
4
Universitas Sumatera Utara
5
debitur, tanpa diperjanjikan dan tanpa menunjuk benda khusus dari si debitur.5 Disamping jaminan umum berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata dalam ilmu hukum jaminan dikenal pula jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan kebendaan yang khusus menentukan/menunjuk atas benda tertentu milik debitur atau milik pihak ketiga. Benda yang dimaksud sebagai jaminan hutang kepada kreditur apabila debitur wanprestasi atas pembayaran hutangnya. Hasil dari penjualan objek jaminan tersebut harus terlebih dahulu (preferens) dibayar kepada kreditur yang bersangkutan untuk melunasi pembayaran hutangnya, sedangkan jika ada sisanya baru dibagi-bagikan kepada kreditur yang lain (kreditur kongkuren).6 Jaminan yang bertujuan untuk pengaman kredit, sehingga realisasi perjanjian kredit terlaksana sesuai dengan kesepakatan. Pemberian jaminan ini akan memberikan kepastian hukum kepada pihak kreditur. Jaminan yang diberikan kepada pihak kreditur dalam hal ini adalah kapal laut. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya akan disebut KUH Dagang), maka kapal Indonesia adalah setiap kapal laut yang telah memenuhi syarat menjadi kapal Indonesia, sehingga menjadi kapal berkebangsaan Indonesia. Syarat-syarat untuk menjadi kapal Indonesia adalah yang berkenaan dengan surat laut dan pas kapal. Kapal yang berukuran minimal 20 m3 (dua puluh meter kubik) isi
5 6
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 137. Ibid.
5
Universitas Sumatera Utara
6
kotor dapat dibukukan dalam suatu register kapal dan atas kapal yang demikian dapat diikatkan dengan hipotik.7 KUH Dagang membedakan kapal laut dalam dua golongan, yaitu kapal laut sebagai kebendaan yang bergerak dan kapal laut sebagai benda yang tidak bergerak. Kapal laut sebagai kebendaan yang bergerak yaitu kapal-kapal yang tidak terdaftar (Pasal 314 KUH Dagang). Kapal laut sebagai kebendaan yang tidak bergerak yaitu kapal laut yang memiliki ukuran sekurang-kurangnya dua puluh meter kubik isi kotor dan didaftarkan di Syahbandar Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan, dan dengan pendaftaran tersebut memiliki kebangsaan sebagai Kapal Indonesia. Kapal laut sebagai kebendaan yang tidak bergerak ini penjaminan yang dapat diletakan diatasnya dalam hanya bentuk hipotek.8 Hipotik diatur dalam Buku II KUH Perdata Bab XXI Pasal 1162 sampai dengan 1232. Jaminan hipotik ini harus dibebani dan didaftarkan. Undang-Undang Pelayaran pada Pasal 60 ayat (2) dinyatakan sebagai berikut: “ Pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta hipotek oleh Pejabat Pendaftaran dan Pencatat Balik Nama Kapal ditempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.” Dan hipotik ini didaftarkan pada Kantor Syahbandar.
7
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 261. 8 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 95.
6
Universitas Sumatera Utara
7
Sepanjang tahun 2010 pendaftaran hipotik kapal laut pada Kantor Syahbandar Utama Belawan Medan tercatat 10 hipotik.9 Selain berupa jaminan hipotik kapal laut sebagai kebendaan yang bergerak dapat juga digadaikan atau dapat dijadikan jaminan fidusia. Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara debitor (pemberi fidusia) dan kreditor (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya.10 Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sering disebut sebagai jaminan hak milik secara kepercayaan, yang keberadaannya didasarkan pada yurisprudensi. Secara kepercayaan artinya tidak untuk dimiliki. Dalam hal ini ada selisih pendapat diantara para sarjana. Disatu pihak ada yang berpendapat, bahwa kreditor pemegang jaminan fidusia yang dinamakan fiduciairus dengan penyerahan tersebut benar-benar telah menjadi pemilik dari benda jaminan dengan hak-hak sebagai yang dipunyai seorang pemilik, tetapi dilain pihak ada yang berpendapat, bahwa fiduciairus terhadap pihak ketiga berkedudukan sebagai seorang pemilik sedang terhadap pemberi jaminan hanya berkedudukan sebagai seorang pemegang gadai yang tak memegang benda jaminan (bezitloos pandrecht), karena para pihak memang tidak benar-benar bermaksud untuk mengalihkan hak milik atas benda jaminan dan 9
Wawancara dengan Bapak Marnala Simanungkalit, Pegawai Pembantu Untuk Pendaftaran dan Baliknama Kapal, Kantor Syahbandar Utama Belawan Medan, pada tanggal 6 Mei 2011. 10 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op Cit, hal. 119.
7
Universitas Sumatera Utara
8
dalam prakteknya para pihak mengadakan kesepakatan yang membatasi hak-hak kreditur sampai sejauh hak seorang pemegang hak jaminan saja.11 Jaminan fidusia ini harus dilakukan pembebanan dan pendaftaran. Sesuai dengan Undang-Undang Fidusia, pembebanan suatu benda atas jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris, sebagaimana yang dinyatakan dalam padal 5 ayat (1): “Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia.” Untuk pendaftarannya dilakukan kepada Dinas Perhubungan.12 Jaminan kapal laut yang telah dibebani dan didaftarkan baik dalam bentuk jaminan fidusia maupun dalam bentuk jaminan hipotik tidak secara pasti telah memberikan jaminan kepada kreditur, mengingat adanya resiko kecelakaan atau halhal lain diluar kendali manusia yang mungkin terjadi terhadap kapal yang dijadikan jaminan. Untuk menanggulangi hal tersebut diperlukan asuransi yang diharapkan meminimalisir kerugian yang timbul. Selain hal-hal diluar kendali manusia tersebut ada hal lain yang mungkin dapat menimbulkan kerugian terhadap kreditur. Mengingat sifat kapal laut yang bergerak dan ada kemungkinan berlayar hingga diluar wilayah hukum perairan Indonesia. Maka pengaturan hipotek kapal laut di dalam KUH Dagang dilengkapi dengan diratifikasi Konvensi International tentang Piutang Maritim dan Mortgage
11
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 176. 12 Wawancara dengan Bapak Marnala Simanungkalit, Pegawai Pembantu Untuk Pendaftaran dan Baliknama Kapal, Kantor Syahbandar Utama Belawan Medan, pada tanggal 6 Mei 2011.
8
Universitas Sumatera Utara
9
1993, khususnya pengaturan tentang perubahan pemilik dan pendaftaran, penyerahan dan subrogasi, pemberitahuan penjualan paksa, dan perubahan bendera sementara. Pengaturan tersebut dibuat untuk melindungi pemegang hak hipotek atas kapal, khususnya yang berlayar antar negara.13 Menurut KUH Perdata musnahya kapal yang menjadi objek hipotik tidak termasuk dalam hal yang menyebabkan hapusnya hipotik. Kemungkinan resiko yang terjadi terhadap kapal yang dijadikan jaminan sangat besar, mengingat sifat dan fungsi dari kapal tersebut. Maka diperlukan pencegahan dan penanggulangan pengurangan resiko kerugian debitor dan kreditur. Jaminan tidak hanya dalam bentuk pelunasan hutang saja, tetapi perlindungan terhadap barang yang dijadikan jaminan juga merupakan hal terpenting. Perlindungan terhadap objek yang dijaminkan sangat penting karena ada kemungkinan debitur tidak melunasi hutangnya, dan kreditur dapat memintakan eksekusi terhadap barang yang dijaminkan. Debitur yang tidak melaksanakan perjanjian kredit atau wanprestasi terhadap perjanjian kredit dapat dimintakan eksekusi terhadap kapal laut yang dijadikan jaminan. Berdasarkan peraturan yang berlaku saat ini, eksekusi atas kapal yang menjadi objek hipotik dapat dimintakan bantuan pengadilan karena kekuatan hukum grosse akta adalah sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Permasalahan yang dapat timbul dalam hal kapal yang menjadi objek
13
Ramlan Ginting, Tinjauan Terhadap RUU tentang Hipotek Kapal, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, volume 6, Nomor 2, Agustus 2008, hal. 25.
9
Universitas Sumatera Utara
10
hipotek yang akan dieksekusi tersebut tidak berada didalam wilayah Indonesia. Dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia tidak ada pengaturan mengenai penyitaan benda yang berada di luar wilayah Indonesia, sehingga terhadap pengeksekusian benda yang berada di luar Indonesia belum ada dasar hukumnya.14 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latarbelakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan tentang kapal laut yang dijadikan objek jaminan? 2. Bagaimana pelaksanaan pengikatan dan pendaftaran jaminan kapal laut? 3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap debitur dan kreditur dalam kaitannya dengan jaminan kapal laut? C. Tujuan Penelitian Tujuan penulisan adalah untuk mendapatkan atau mengetahui jawaban dari rumusan masalah, sehingga dapat memberikan penjelasan terhadap rumusan permasalahan. Mengacu pada judul dan rumusan masalah, maka dapat dikemukan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaturan tentang kapal laut yang dijadikan objek jaminan. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan pengikatan dan pendaftaran jaminan kapal laut. 3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap debitor dan kreditor dalam kaitannya dengan jaminan kapal laut.
14
Ibid, hal. 28.
10
Universitas Sumatera Utara
11
D. Manfaat Penelitian Manfaat penulisan yang diharapkan dari penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa sumbang saran dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep kajian yang pada gilirannya dapat memberikan masukan pada perkembangan ilmu hukum. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan masukan kepada masyarakat dan bagi para praktisi hukum. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penulusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul: “Tinjauan Yuridis Pengikatan dan Pendaftaran Jaminan Kapal Laut (Studi Di Kota Medan-Belawan)”, belum pernah ada dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dinyatakan asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini. Bahwa tercatat pernah diteliti yang hampir sama dengan judul penelitian tesis ini ada dua, yakni: 1. Judul pertama “PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP BARANG JAMINAN HIPOTIK KAPAL LAUT (Studi Kasus Di Jakarta)”, oleh Dewi
11
Universitas Sumatera Utara
12
Handayani/017011013/MKn Universitas Sumater Utara. Permasalahan yang diteliti antara lain: a. Bagaimana proses pemberian jaminan hipotik kapal dalam praktek? b. Mengapa terjadi wanprestasi dalam pemberian jaminan hipotik kapal? c. Bagaimana pelaksanaan eksekusi atas jaminan hipotik kapal? 2. Judul kedua “JAMINAN FIDUSIA ATAS BENDA BERGERAK DAN TIDAK BERGERAK SETELAH BERLAKUNYA UNGANG-UNDANG NOMOR
42
TAHUN
1999”,
oleh
Novans
Hanafie
Rumngangun/002111033/MKn Universitas Sumatera Utara. Permasalahan yang diteliti antara lain: a. Bagaimanakah karakter hukum yang sebenarnya dari perjanjian fidusia sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia? b. Benda-benda apa sajakah yang dapat dijadikan obyek jaminan fidusia dan mengapa terjadinya perubahan obyek fidusia tersebut? c. Dilihat dari segi sistem hukum jaminan, mengapa pengaturan jaminan fidusia belum sinkron dengan prinsip-prinsip hukum jaminan kebendaan lainnya yang berlaku dalam hukum positif? F. Kerangka Teori dan Konsep 1.
Kerangka Teori Kelangsungan perkembangan ilmu hukum senantiasa bergantung pada unsur-
unsur berikut antara lain metodologi, aktivitas penelitian, imajinasi sosial dan juga
12
Universitas Sumatera Utara
13
sangat ditentukan oleh teori.15 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butirbutir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.16 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.17 Penelitian ini menggunakan teori kepastian hukum MR. J. Van Kan, teori sebagai dasar perbandingan atau pegangan teoritis. Agar tercapainya ketertiban dalam masyarakat, maka diusahakanlah kepastian. Kepastian disini diartikan sebagai kepastian hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi pertama adalah ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang konkret, segi kedua adalah bahwa adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan.18 Menurut ajaran Yuridis-Dogmatis, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya membuat suatu aturan hukum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian. Menurut aliran ini meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat
15
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 6. M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 17 Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,
16
hal. 35. 18
Soerjono Soekamto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1983, hal. 42.
13
Universitas Sumatera Utara
14
yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal asalkan kepastian hukum dapat terwujud. Hukum identik dengan kepastian.19 Kepastian hukum tersebut diharapkan dapat terpenuhi dengan adanya pengaturan dalam KUH Perdata, Undang-Undang Fidusia, Undang-Undang Pelayaran dan hal-hal yang mengikat lainnya sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pasal 1131 KUH Perdata diletakkan asas umum hak seorang kreditur terhadap debiturnya, dalam mana ditentukan bahwa: ”Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”20 Jaminan seperti itu diberikan kepada setiap kreditur dan karenanya disebut jaminan umum. Setiap kreditur menikmati hak jaminan umum seperti itu. Pasal 1132 KUH Perdata memberikan pengecualian, yaitu dalam hal seorang kreditur kedudukan yang lebih baik dibanding kreditur lain dalam pelunasan hutangnya. Hak jaminan khusus dan jaminan umum ini tidak memberikan jaminan bahwa tagihannya pasti akan dilunasi, tetapi hanya memberikan kepada kreditur kedudukan yang lebih baik dalam penagihannya, atau lebih terjamin dalam pemenuhan tagihannya.21 Pada dasarnya jenis jaminan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
19
Achmad Ali, Menguak Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal. 83. 20 J.satrio, Op Cit, hal. 4. 21 Ibid, hal. 10.
14
Universitas Sumatera Utara
15
1. Jaminan materiil (kebendaaan), dan 2. Jaminan inmaterial (perorangan)22 Jaminan materiil (kebendaan) adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan.23 Jaminan inmaterial (perorangan) adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu, terhadap harta kekayaan debitor umumnya.24 Jaminan kebendaan dapat dilakukan pembebanan dengan: 1. Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II KUH Perdata; 2. Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUH Perdata; 3. Credietverband, yang diatur dalam Stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana telah diubah dengan Stb. 1937 Nomor 190; 4. Hak tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996; 5. Jaminan Fiducia, sebagaimana yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.25 Jaminan perorangan adalah:
22
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, 2008, hal. 112. Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid. 23
15
Universitas Sumatera Utara
16
1. Penanggung (brog) adalah orang lain yang dapat ditagih; 2. Tangung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; 3. Perjanjian garansi.26 Berdasarkan pasal-pasal 1162, 1168, 1171, 1175 dan 1176 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari jaminan hipotik adalah sebagai berikut: 1. Harus ada benda yang dijaminkan. 2. Bendanya adalah benda tidak bergerak. 3. Dilakukan oleh orang yang memang berhak memindahtangankan jaminan. 4. Ada sejumlah uang tertentu dalam perjanjian pokok dan yang ditetapkan dalam suatu akta. 5. Diberikan dengan suatu akta otentik. 6. Bukan untuk dinikmati atau dimiliki, namun hanya sebagai jaminan pelunasan hutang saja.27 Hipotik mempunyai sifat dari hak kebendaan pada umumnya antara lain: 1. Absolute, yaitu hak yang dapat dipertahankan terhadap tuntutan siapapun. 2. Droit de suite atau zaaksgevolg, artinya hak itu senantiasa mengikuti bendanya ditangan siapapun benda tersebut berada. 3. Droit de preference yaitu seseorang mempunyai hak untuk didahulukan pemenuhan piutang diantara orang yang berpiutang.28
26
Ibid. Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaaan Perdata Hak-Hak yang Memberi Jaminan, Jilid 2, Indo Hill-Co, Jakarta, 2009, hal. 94-95. 28 Ibid, hal. 95-96. 27
16
Universitas Sumatera Utara
17
Disamping itu hipotik mempunyai ciri-ciri khas tersendiri, yaitu: 1. Accessoir,
artinya
hipotik
merupakan
perjanjian
tambahan
yang
keberadaannya tergantung pada perjanjian pokoknya yaitu hutang-piutang. 2. Ondeelbaar,yaitu hipotik tidak dapt dibagi-bagi karena hipotik terletak diatas seluruh benda yang menjadi objeknya artinya sebagian hak hipotik tidak menjadi hapus dengan dibayarnya tagihan sebagian dari hutang. 3. Mengandung hak untuk pelunasan hutang (verhaalsrecht) saja. Jadi tidak mengandung hak untuk memiliki bendanya. Namun jika diperjanjikan, kreditur berhak menjual benda jaminan yang bersangkutan atas kekuasaan sendiri (eigenmachtig everkoop/parateexecusi) jika debitur lalai atau wanprestasi.29 Asas yang terkandung didalam hipotik adalah sebagai berikut: 1. Asas Publiciteit (Openbaarheid) Berarti bahwa pengikatan hipotik harus didaftarkan dalam registerasi umum agar masyarakat khususnya pihak ketiga dapat mengetahuinya. 2. Asas Specialiteit Pengikatan hipotik hanya dilakukan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus, misalnya: bendanya berwujud apa, dimana letaknya, berapa besarnya atau luasnya, berbatasan dengan apa dan sebagainya.30 Menurut Pasal 1164 KUH Perdata yang dapat dibebani Hipotik adalah: 1. Benda-benda tidak bergerak yang dapat dipindahtangankan, beserta segala perlengkapannya yang dianggap sebagai benda tidak bergerak. 2. Hak pakai hasil (vruchtgebruik) atas benda-benda tersebut beserta segala perlengkapannya.
29 30
Ibid, hal. 96. Ibid, hal. 96-97.
17
Universitas Sumatera Utara
18
3. Hak numpang karang (opstal, identik dengan hak guna bangunan) dan hak usaha (erfpacht, identik dengan hak guna usaha). 4. Bunga tanah, baik yang harus dibayar dengan uang maupun yang harus dibayar dengan hasil tanah. 5. Bunga sepersepuluh. 6. Pasar-pasar yang diakui oleh Pemerintah, beserta hak-hak istimewa yang melekat padanya. Diluar Pasal 1164 KUH Perdata yang dapat dibebani Hipotik antara lain adalah: 1. Bagian yang tak dapat dibagi-bagi dalam benda tak bergerak yang merupakan Hak Milik bersama bebas (Vrije Mede Eigendom) 2. Kapal-kapal yang didaftar menurut Pasal 314 ayat 1 KUH Dagang. 3. Hak konsesi Pertambangan menurut Pasal 18 Indische Mijnwet. 4. Hak Konsesi menurut S. 1918 No. 21 jo. No. 20 yang juga dapat dijadikan jaminan hipotik. Selain pengaturan yang terdapat dalam KUH Perdata dan KUH Dagang, hipotik kapal laut juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pada Pasal 60 Undang-Undang Pelayaran tersebut dinyatakan sebagai berikut: “ (1) Kapal yang telah didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan hipotek atas kapal. (2) Pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal. (3) Setiap akta hipotek diterbitkan 1 (satu) Grosse Akta Hipotek yang diberikan kepada penerima hipotek. (4) Grosse Akta Hipotek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. (5) Dalam hal Grosse Akta Hipotek hilang dapat diterbitkan grosse akta pengganti berdasarkan penetapan pengadilan.”
18
Universitas Sumatera Utara
19
Selanjutnya pada Pasal 61 Undang-Undang Pelayaran tersebut mengatur tentang pembebanan hipotek yang lebih dari 1 (satu), sebagaimana yang dinyatakan: “(1) (2)
Kapal dapat dibebani lebih dari 1 (satu) hipotek. Peringkat masing-masing hipotek ditentukan sesuai dengan tanggal dan nomor urut akta hipotek.”
Pasal 62 Undang-Undang Pelayaran mengatur tentang pengalihan hipotek kapal, yakni sebagai berikut: “Pengalihan hipotek dari penerima hipotek kepada penerima hipotek yang lain dilakukan dengan membuat akta pengalihan hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicacat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.” Kemudian pada Pasal 63 Undang-Undang Pelayaran diatur tentang pencoretan hipotek (roya), dinyatakan sebagai berikut: (1) Pencoretan hipotek (roya) dilakukan oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal atas permintaan tertulis dari penerima hipotek. (2) Dalam hal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pemberi hipotek, permintaan tersebut dilampiri dengan surat persetujuan pencoretan dari penerima bipotek. Sebagaimana yang telah disinggung jaminan atas kapal laut dapat juga dalam bentuk jaminan fudusia. Jaminan fidusia adalah salah satu sarana perlindungan hukum bagi keamanan bank yakni sebagai suatu kepastian bahwa nasabah debitor akan melunasi pinjaman kredit. Perjanjian jaminan fidusia bukan suatu hak jaminan yang lahir karena undang-undang melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu antara bank dengan nasabah debitur. Oleh karena itu, fungsi yuridis pengikatan
19
Universitas Sumatera Utara
20
jaminan fidusia lebih bersifat khusus jika dibandingkan jaminan yang lahir berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata. Fungsi yuridis pengikatan benda jaminan fidusia dalam akta jaminan fidusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit. Dengan fungsi yuridis jaminan fidusia yang dinyatakan dalam akta jaminan fidusia semakin meneguhkan kedudukan bank sebagai kreditor preferen. Selain itu, kreditor penerima fidusia akan memperoleh kepastian terhadap pengembalian hutang debitor. Fungsi yuridis itu juga akan mengurangi tingkat resiko bank dalam menjalankan usahanya sebagaimana yang dimaksud dalam Undangundang Perbankan.31 Pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia memberikan batas ruang lingkup berlakunya UUJF yaitu berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia, yang dipertegas kembali oleh rumusan yang dimuat dalam Pasal 3 UUJF dengan tegas menyatakan bahwa UUJF ini tidak berlaku terhadap: a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas bendabenda tersebut wajib didaftar. Namun demikian bangunan di atas milik orang lain yang tidak dapat dibebani hak tanggunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek jaminan fidusia. b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 M3 atau lebih; 31
Adreas Albertus Andi Prajitno, Hukum Fidusia, Selaras, Malang, 2010, hal. 188-189.
20
Universitas Sumatera Utara
21
c. Hipotek atas pesawat terbang; dan d. Gadai.32 Secara garis besar dapat ditemukan norma-norma umum dalam UUJF memaparkan tentang jaminan fidusia yang membentuk seperangkat bangunan norma yang ditujukan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak yang berkepentingan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Norma yang Fasilitatif, menegaskan sebagai berikut:” UUJF ini berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia.” Dikatakan norma fasilitatif karena norma itu membuka pintu selebar-lebarnya terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda jaminan dalam bentuk apapun dengan jaminan fidusia. Dengan kata lain, norma pengaturan ini memberikan kebebasan seluas-luasnya guna memfasilitasi para pihak yang terkait membuat perjanjian dengan tujuan untuk membebani benda jaminan dengan jaminan fidusia. b. Norma yang Regulatif, merupakan norma yang mempunyai sifat mengatur. Norma-norma ini dapat dilihat pada semua atau sebagian besar pasal-pasal UUJF. Regulasi yang diamanatkan dalam norma yang ada harus dipatuhi karena kepastian hukum (legal certainty) diperoleh dari dipatuhinya normanorma yang telah ditetapkan dalam bentuk undang-undang. c. Norma-norma larangan, yakni memalsukan, mengubah, menghilangkan, atau memberikan keterangan palsu yang jika diketahui lebih awal oleh salah satu 32
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op Cit, hal. 138-139.
21
Universitas Sumatera Utara
22
pihak yang dapat membatalkan kehendak untuk membuat perjanjian jaminan fidusia diancam dengan pidana kurungan dan denda (Pasal 35 UUJF). Larangan mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis dari penerima fidusia. Diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 36 UUJF). Jaminan ideal yang secara maksimal dapat menjamin bahwa kreditor dapat menerima kembali uang yang dipinjamkannya harus memenuhi semua syarat sebagai berikut: a. Tidak menyusahkan debitur dalam melakukan usahanya, sehingga memungkinkan debitur membayar kembali utangnya; b. Mudah diidentifikasikan; c. Setiap waktu tersedia untuk dieksekusi; d. Nilai yang tidak mudah merosot; e. Mudah direalisasikan sehingga kreditor dapat menerima dananya untuk melunasi utang; f. Mudah diketahui oleh pihak lain supaya tidak ada jaminan kedua dipasang atas agunan yang sama kecuali dengan sepengetahuan atau persetujuan pemegang jaminan; g. Tidak mahal untuk membuatnya dan untuk merealisasikan.33 2.
Konsepsi Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan relitas.34
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi
33 34
Rachmadi Usman, Op cit, hal. xi. Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989, hal. 34.
22
Universitas Sumatera Utara
23
operasional.35 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan, pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat karya ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud dengan konsepsi adalah suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau defenisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.36 Agar tidak terjadi penafsiran yang salah, maka diberikan konsepsi pengertian dari penelitian yang akan dilakukan: 1. Pengikatan adalah pengikatan objek jaminan kepada masing-masing lembaga jaminan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. 2. Pendaftaran adalah proses dan cara untuk mendaftarkan objek jaminan yang diperjanjikan. 3. Jaminan adalah hak (een recht) yang memberikan kepada kreditur kedudukan yang lebih baik daripada kreditur-kreditur lain.37 4. Kapal laut adalah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran dilaut atau yang diperuntukan untuk itu (Pasal 310 KUH Dagang). menurut Undang-Undang Pelayaran, kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang 35
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo, Jakarta, 1998, hal. 3. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 5. 37 J. Satrio, Op cit, hal. 3.
36
23
Universitas Sumatera Utara
24
digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan dibawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah (Pasal 1 butir (36)). Kapal laut dalam hal ini dapat dibagi dua, yakni: a. Kapal laut sebagai benda tak bergerak yang dapat dijadikan jaminan hipotik yakni kapal laut yang berukuran diatas 7 GT; b. Kapal laut sebagai benda bergerak yang dapat dijadikan jaminan fidusia yakni kapal laut yang berukuran dibawah 7 GT. 5. Asas cabotage adalah hak untuk melakukan pengangkutan penumpang, barang dan pos secara komersial dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain di dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Asas cabotage merupakan hak prerogratif Republik Indonesia sebagai Negara berdaulat. Hak tersebut diberikan kepada perusahaan angkutan laut nasional, dan tidak akan diberikan kepada perusahaan angkutan asing manapun, kecuali atas pertimbangan untuk kepentingan nasional negara yang bersangkutan.38 Pada asasnya menurut Pasal 510 KUH Perdata, kapal-kapal, perahu-perahu, perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang
38
H.K. Martono dan Eka Budi Tjahjono, Opcit, hal. 14-16.
24
Universitas Sumatera Utara
25
diperahu atau yang berdiri, terlepas dari benda sejenis itu adalah benda bergerak. Akan tetapi jika kapal-kapal itu didaftar, ia tidak mempunyai status benda bergerak.39 Pasal 309 ayat 1 KUH Dagang mengatakan bahwa kapal adalah semua alat pelayaran dengan nama atau sifat apapun juga. Ayat (2) menentukan bahwa apabila tidak ditentukan lain atau tidak dijanjikan lain, maka kapal itu dianggap meliputi segala alat perlengkapannya. Ayat (3) mengatakan pula bahwa yang dimaksud dengan alat perlengkapan kapal ialah segala benda yang bukan suatu bagian dari kapal itu sendiri, namun diperuntukkan untuk selamanya dipakai tetap dengan kapal itu. Hal ini berarti bahwa rantai, sekoci, layar, jangkar termasuk dalam pengertian kapal.40 Barang-barang yang tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat bahan makanan, minyak solar, batu arang tidak termasuk dalam pengertian kapal.41 Dari pasal 309 ayat (2) dan ayat (3) KUH Dagang ini dapat juga disimpulkan bahwa untuk pengertian kapal, berlaku juga azas accesie (perlekatan) dimana alat perlengkapan dianggap merupakan kesatuan dengan benda pokoknya, yaitu kapal. Hal ini menjamin kepastian hukum.42 Menurut KUH Dagang, maka kapal Indonesia adalah setiap kapal laut yang telah memenuhi syarat menjadi kapal Indonesia, sehingga menjadi kapal 39
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Hypotheek, Alumni, Bandung, 1986,
hal.86. 40
Ibid. Ibid. 42 Ibid, hal. 87. 41
25
Universitas Sumatera Utara
26
berkebangsaan Indonesia. Syarat-syarat untuk menjadi kapal Indonesia adalah yang berkenaan dengan surat laut dan pas kapal. Kapal yang berukuran minimal 20 m2 (dua puluh meter kubik) isi kotor dapat dibukukan dalam suatu register kapal dan atas kapal yang demikian dapat iikatkan dengan hipotik.43 G. Metode Penelitian 1.
Sifat dan Jenis Penelitian Dalam kaitannya dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini maka sifat
penelitian ini adalah deskriftif analistis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta yang terjadi dilapangan serta mengaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan dengan keadaan yang terjadi dilapangan. Jenis penelitian ini dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek dan peristiwanya. Penelitian ini untuk menganalisa kaidah hukum tentang perundangundangan jaminan fidusia dan hipotik serta perlindungan hukum kepada kreditor dan debitor, maka jenis penelitian yang digunakan adalah metode yuridis empiris yaitu mengungkap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya didalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.44 2.
Lokasi Penelitian
43 44
Munir Fuady, Op Cit, hal. 261. H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 105 -106.
26
Universitas Sumatera Utara
27
Lokasi penelitian diperlukan bagi penelitian hukum terutama bagi penelitian hukum empiris, dan lokasi penelitian harus disesuaikan dengan judul dan permasalahan penelitian.45 Oleh karena itu maka lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Medan-Belawan. 3.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan
studi dokumentasi yaitu dengan mempelajari serta menganalisa data yang berkaitan dengan
objek
penelitian
dan
peraturan
perundang-undangan,
menelaah
pelaksanaannya dan kemudian mengambil kesimpulan. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu: a. Penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen, yaitu dengan membaca, mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain, untuk memperoleh data sekunder. b. Penelitian lapangan (field research) dilakukan untuk menghimpun data primer dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada nara sumber, dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara. Wawancara dengan informan, yakni: 1.
Kepala Kantor Syahbandar Belawan
2.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Medan
3.
Notaris Ferry Susanto Limbong, SH, M.Hum
45
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 170.
27
Universitas Sumatera Utara
28
4.
Sumber Data Pengelompokan data kepustakaan berdasarkan kekuatan mengikat dari isinya,
yakni antara lain: 1. Bahan primer: bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, contohnya berbagai peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan traktat. 2. Bahan sekunder: bahan-bahan yang isinya membahas bahan primer, contohnya: buku, artikel, laporan penelitian, dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya. 3. Bahan tertier: bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan primer sekunder,
contohnya:
kamus,
buku
pegangan,
dan
almanak, dan
sebagainya.46 5.
Analisa Data Semua data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa secara kualitatif, yaitu
data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban penelitian.47 Setelah data diperoleh maka dikelompokkan sesuai dengan kategorinya. Penelusuran analisa data dimulai dari konsep jaminan, kapal laut, pengikatan, proses pendaftaran jaminan dan perlindungan hukum terhadap kreditur dan debitur. Setelah itu ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah dianalisis dan merupakan hasil dari penelitian.
46 47
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hal.103. Ibid, hal. 124.
28
Universitas Sumatera Utara