BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hipertensi, atau kenaikan tekanan darah kronik adalah faktor risiko utama terjadinya penyakit degeneratif seperti contohnya gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, dan retinopati (Kelly, 2004) yang dapat menjadi masalah dalam kesehatan masyarakat. Kejadian-kejadian penyakit kronik dan degeneratif pun meningkat seiring perkembangan populasi global. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7% (Anonim, 2012b). Sementara pada tahun 2010, hipertensi esensial (primer) termasuk dalam sepuluh besar penyakit rawat inap di Rumah Sakit dengan proporsi kasus perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Anonim, 2012c). Pengobatan hipertensi selama ini sering dilakukan melalui pemberian obatobat sintetik, misalnya kaptopril, nifedipin, HCT, dan furosemida, dengan peluang terjadinya efek samping yang tidak sedikit. Sejalan dengan perkembangan pengobatan modern yang ada, pengobatan tradisional dianggap perlu untuk lebih dikembangkan, melihat dari perubahan alam dan pola hidup masyarakat (Wijayakusuma, 2000). Pada negara berkembang, lebih banyak masyarakat yang memanfaatkan obat tradisional untuk mengobati penyakit kronik dan meningkatkan kualitas hidupnya (Anonim, 2003b). Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman daripada penggunaan obat modern karena obat tradisional memiliki efek samping relatif lebih sedikit daripada obat modern jika digunakan
1
2
secara tepat, yang meliputi: kebenaran bahan; ketepatan dosis, waktu penggunaan, cara penggunaan, telaah informasi; tanpa penyalahgunaan; dan ketepatan pemilihan obat untuk indikasi tertentu (Sari, 2006). Ditegaskan pula oleh Wijayakusuma (2000) bahwa pengobatan tradisional dengan tanaman obat merupakan pengobatan yang efektif, efisien, aman, dan ekonomis sehingga perlu dipelihara serta dikembangkan. Keanekaragaman tumbuhan di Indonesia cukup tinggi dan berpotensi dikembangkan sebagai obat tradisional dengan prospek menjanjikan. Eupatorium riparium Reg. adalah salah satu tumbuhan di Indonesia yang menjadi koleksi dari Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), Yogyakarta. Dikenal sebagai tekelan, air rebusan E. riparium sering digunakan secara empirik oleh masyarakat sekitar sebagai peluruh air seni (Anindyawardhani, 2012). Hasil penelitian oleh Fakhruddin dkk (2007) melalui Bioassay Guided Isolation terhadap fraksi larut metanol dari ekstrak wasbensin E. riparium koleksi TNGM membuktikan bahwa terkandung senyawa bioaktif methylripariochromene-A (MRC-A). MRC-A yang sebelumnya ditemukan terlebih dahulu pada fraksi larut kloroform dekokta daun Orthosiphon stamineus Benth. (Matsubara dkk, 1999) dilaporkan memiliki aksi diuretik dan dapat menurunkan tekanan darah serta cardiac output (Anonim, 2010). MRC-A dapat menurunkan tekanan darah sistolik maupun detak jantung pada tikus jantan yang diinduksi SHRSP (Stroke-prone Spontaneously Hypertensive Rats) (Adnyana dkk, 2013). Efek diuretik MRC-A ditunjukkan oleh peningkatan volume urin serta ekskresi Na+, K+, dan Cl- selama tiga jam setelah MRC-A diberikan secara oral dengan dosis 100 mg/kg BB pada
3
tikus yang dipuasakan (Matsubara dkk., 1999). Lebih lanjut mengenai efek diuretik tersebut dibuktikan oleh Anindyawardhani (2012) melalui pemberian ekstrak air E. riparium dosis 400 mg/kg BB pada tikus menghasilkan urin terbanyak dibandingkan dosis 200 dan 800 mg/kg BB serta ditemukan kandungan MRC-A sebanyak 0,0004% (b/v) ekstrak air E. riparium. Manfaat MRC-A sebagai diuretika dapat berpengaruh pada mekanisme penurunan tekanan darah akibat penurunan volume plasma terkait cardiac output. Sementara itu, polaritas MRC-A sebagai senyawa golongan kromen cenderung kurang polar terbukti dari MRC-A yang dapat ditemukan pada fraksi larut kloroform dari dekokta (Adnyana dkk, 2013; Anonim, 2010) dan bahkan dalam ekstrak air (Anindyawardhani, 2012). Kloroform adalah pelarut yang kurang polar (Budhiraja, 2004). Berdasarkan hal ini, maka ekstrak etanol E. riparium sebagai antihipertensi berpotensi untuk dikembangkan karena polaritas etanol berada diantara air dan kloroform (Budhiraja, 2004) serta etanol maupun campurannya adalah pelarut yang diizinkan dalam produk kefarmasian di Indonesia (Anonim, 2000). Dalam penelitian ini dibandingkan efek antihipertensi ekstrak etanol E. riparium dengan beberapa kelompok dosis terhadap kontrol hipertensi dan kontrol hanya dengan pembawa pada tikus betina.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat dibuat rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:
4
1.
Apakah ekstrak etanol dari E. riparium dapat menurunkan tekanan darah tikus Sprague-Dawley betina?
2.
Bagaimanakah aktivitas ekstrak etanol dari E. riparium dalam menurunkan tekanan darah melalui dosis yang diberikan dibandingkan furosemida?
3.
Dosis berapakah dari ekstrak etanol E. riparium yang paling berpotensi memberikan efek penurunan tekanan darah?
C. Tujuan Penelitian Tujuan umum dilakukannya penelitian ini untuk mengembangkan obat tradisional dari tumbuhan yang ada di Indonesia, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol dari E. riparium dalam penurunan tekanan darah.
2.
Untuk mengetahui aktivitas ekstrak etanol dari E. riparium dalam menurunkan tekanan darah melalui dosis yang diberikan dibandingkan furosemida.
3.
Untuk mengetahui dosis yang paling poten dari ekstrak etanol E. riparium dalam aktivitasnya menurunkan tekanan darah.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini penting dilakukan untuk mengembangkan obat tradisional antihipertensi dari bahan alam, yaitu ekstrak etanol Eupatorium riparium Reg. yang diharapkan kemudian dapat bermanfaat untuk kemajuan obat-obat tradisional
5
dari tumbuhan yang ada di Indonesia terutama untuk mengurangi prevalensi penyakit hipertensi demi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Fisiologi tekanan darah a. Definisi dan regulasi tekanan darah. Tekanan darah berarti gaya yang
dikeluarkan oleh darah melawan satuan luas dari dinding pembuluh darah. Tekanan darah hampir selalu diukur dalam millimeter raksa (mmHg) karena manometer raksa telah digunakan sejak zaman kuno sebagai standar referensi untuk mengukur tekanan (Guyton, 2006). Ketika tekanan darah sistemik diukur, diperoleh dua angka: sistolik dan diastolik, seperti 110/70 mmHg. Tekanan sistolik selalu lebih tinggi dan menunjukkan tekanan darah ketika bilik jantung kontraksi. Angka yang lebih rendah adalah tekanan diastolik, ketika bilik relaksasi dan tidak mengeluarkan gaya (Scanlon & Sanders, 2007). Selisih antara tekanan sistolik dan diastolik (sekitar 40 mmHg) adalah tekanan nadi. Tekanan nadi menggambarkan denyut alami dari aliran darah arteri yang meningkat ketika stroke volume meningkat dan menurun saat tahanan pada aliran menurun. Sedangkan tekanan darah arteri ratarata (sekitar 90 hingga 100 mmHg) memperlihatkan rerata tekanan pada sistem arteri selama kontraksi serta relaksasi pembuluh darah dan merupakan indikator yang baik pada perfusi jaringan (Matfin & Porth, 2011). Menurut Scanlon & Sanders (2007), terdapat beberapa faktor fisiologi yang berperan untuk menjaga tekanan darah tetap dalam batas normal, yaitu: venous return atau banyaknya darah yang kembali ke jantung melalui vena, denyut jantung
6
serta kekuatannya, tahanan perifer oleh pembuluh darah terhadap aliran darah, elastisitas arteri utama, viskositas darah, kehilangan darah, dan hormon (antara lain: epinefrin, norepinefrin, aldosteron, dan peptida natriuretik yang disekresi serambi jantung). Hormon yang berpengaruh pada tekanan darah ditunjukkan oleh gambar 1.
Gambar 1. Hormon yang berpengaruh pada tekanan darah (Scanlon & Sanders, 2007)
Mekanisme yang digunakan dalam regulasi tekanan arteri tergantung kapan adaptasi jangka pendek atau panjang dibutuhkan. Adapun regulasi jangka pendek berguna pada tingkat pertahanan ketika ada ancaman dalam hitungan menit atau jam. Mekanisme yang terjadi pada regulasi jangka pendek adalah mekanisme neural (paling sering) dan humoral. Mekanisme neural diaktifkan melalui adanya respon terhadap modulasi dan integrasi pada sistem saraf otonom, diperantarai oleh refleks sirkulasi intrinsik (baroreceptor dan chemoreceptor), ekstrinsik, dan kendali pusat neural yang lebih tinggi. Sementara itu, mekanisme humoral melibatkan beberapa
7
mekanisme
seperti
sistem
renin-angiotensin-aldosteron,
vasopresin
atau
Antidiuretic Hormone (ADH), serta peranan hormon epinefrin dan norepinefrin. Regulasi jangka panjang yang bertanggung jawab pada regulasi tekanan darah harian, mingguan, dan bulanan, dipengaruhi kuat oleh peranan ginjal terhadap regulasi volume cairan ekstraseluler, yaitu agar tekanan darah berada pada titik ekuilibrium yang menggambarkan tekanan darah normal seseorang. Kenaikan volume cairan dapat meningkatkan tekanan darah melalui dua cara yaitu efek langsung pada cardiac output (curah jantung) atau secara tidak langsung akibat autoregulasi aliran darah dan efeknya pada tahanan perifer (Matfin & Porth, 2011). b. Perbedaan gender pada regulasi tekanan darah. Hormon ovarium seperti estrogen dan progesteron adalah pengatur tekanan darah serta sistem pengaturan air yang penting antara perempuan dan laki-laki terutama pada perempuan, sehingga paparan hormon dan sensitivitas terhadap paparan tersebut berkontribusi pada regulasi tekanan darah. Studi ini rumit karena hormon tersebut berfluktuasi selama siklus menstruasi yang dapat mempersulit pengambilan keputusan terkait perbedaan gender (Wenner & Stachenfeld, 2012). Regulasi tekanan arteri antargender berbeda secara fundamental yang dapat dipengaruhi oleh hormon reproduksi perempuan terhadap fungsi kardiovaskuler. Hal ini ditunjukkan berdasarkan hubungan interindividu antara total peripheral resistance (TPR), cardiac output, dan muscle sympathetic nerve activity (MSNA) terhadap tekanan arteri pada laki-laki, yang tidak terjadi pada perempuan (Hart dkk, 2009). Studi lain menggunakan teknik pengawasan tekanan darah pada pasien rawat jalan selama 24 jam menunjukkan bahwa tekanan darah pasien laki-laki lebih tinggi
8
dibandingkan pasien perempuan pada usia yang sama. Akan tetapi, setelah menopause tekanan darah perempuan meningkat pada level yang lebih tinggi daripada laki-laki. Komponen yang terlibat pada lebih tingginya tekanan darah perempuan postmenopausal tidak hanya oleh berkurangnya jumlah estrogen (Reckelhoff, 2001). Pada studi dengan hewan uji, ditemukan adanya hubungan antara tekanan natriuresis pada tikus jantan yang dibuat hipertensi secara spontan dan pada tikus betina hipertensi yang telah dilakukan ovariektomi terhadap pengobatan jangka panjang dengan testosteron. Kunci utama dalam pengaturan tekanan natriuresis adalah sistem renin-angiotensin (RAS). Androgen dapat berpengaruh terhadap peningkatan tekanan darah melalui sistem tersebut, yaitu meningkatkan aktivitas renin. Renin mengaktifkan angiotensin II dan kemudian mengakibatkan dihasilkannya aldosteron sehingga terjadi peningkatan reabsorpsi natrium pada tubulus distal nefron ginjal. Androgen pada laki-laki lebih tinggi jumlahnya dibandingkan perempuan sehingga tekanan darahnya lebih tinggi dibandingkan perempuan yang belum memasuki masa menopause. Namun, sejalan bertambahnya usia pada perempuan hingga usia 70-79, terjadi peningkatan hormon androgen yaitu testosteron, yang menyebabkan perempuan akhirnya memiliki tekanan darah lebih tinggi. Selain peningkatan tekanan darah akibat reabsorpsi natrium pada ginjal, peningkatan tekanan darah terkait RAS juga diduga akibat RAS meningkatkan stres oksidatif yang dapat menghasilkan senyawa penyebab vasokonstriksi dan penurunan ketersediaan nitrit oksida (Reckelhoff, 2001). Skema mekanisme pengaruh androgen terhadap RAS dapat dilihat pada gambar 2.
9
Reabsorpsi natrium ↑
androgen
aktivitas renin ↑
Ang II ↑
tekanan natriuresis ↓
stres oksidatif ↑
vasokonstriksi ginjal
Tekanan Darah ↑
Gambar 2. Skema mekanisme pengaruh androgen terhadap tekanan darah (Reckelhoff, 2001)
Pada dasarnya, angiotensin II selain meningkatkan reabsorpsi natrium juga merupakan senyawa vasokonstriktor kuat. Angiotensin II memperkuat konstriksi arteri kecil. Pentingnya angiotensin II adalah bahwa angiotensin II secara normal bekerja bersamaan pada sebagian besar arteriol tubuh untuk meningkatkan tahanan perifer total, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah arteri. Dengan demikian, hormon ini berperan secara integral dalam regulasi tekanan arteri (Guyton, 2006). 2.
Hipertensi Hipertensi didefinisikan sebagai kenaikan secara konsisten dari tekanan arteri
di atas rentang tekanan darah normal untuk kelompok usia tertentu. Secara umum, seseorang dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik (ditulis 140/90) yang tidak hanya dengan 1 kali pengukuran, tetapi 2 kali atau lebih pada waktu yang berbeda. Waktu yang paling baik saat melakukan pengukuran tekanan darah adalah saat istirahat dan dalam keadaan duduk atau berbaring (Anonim, 2003a; Zdanowicz, 2002). Hipertensi, atau kenaikan tekanan darah kronik adalah faktor risiko utama terjadinya penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, dan
10
retinopati. Penyebab utama hipertensi adalah vasokonstriksi atau irama otot polos pembuluh darah yang berlebihan (Kelly, 2004). Vasokonstriksi pembuluh darah dipicu oleh senyawa vasokonstriktor seperti angiotensin II. Senyawa tersebut menyebabkan vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah sehingga tahanan perifer meningkat. Tahanan yang meningkat menghalangi laju aliran darah dari arteri dan dengan demikian meningkatkan tekanan arteri. Sementara konstriksi pada vena akan menggantikan darah yang keluar dari pembuluh darah perifer berukuran besar ke jantung. Jantung berdenyut dengan kekuatan lebih besar, sehingga memompa darah dalam jumlah yang lebih besar pula dan meningkatkan tekanan arteri. Jantung pun secara langsung dirangsang oleh sistem saraf otonom yang kemudian memperkuat pemompaan jantung. Sinyal saraf simpatis turut berpengaruh langsung untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas jantung yang juga memperkuat kemampuan jantung memompa volume darah lebih besar. Hal ini menimbulkan peningkatan tekanan arteri lebih tinggi lagi (Guyton, 2006). Angiotensin II dalam kaitannya dengan RAS yaitu mengakibatkan dihasilkannya aldosteron. Aldosteron dapat digolongkan sebagai hormon antidiuretik karena aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium pada tubulus distal nefron ginjal. Reabsorpsi natrium diikuti dengan reabsorpsi air, sehingga terjadi retensi cairan. Kenaikan volume cairan dapat meningkatkan kenaikan curah jantung yang menyebabkan terjadinya hipertensi (Reckelhoff, 2001; Guyton, 2006).
11
Sekitar 90% dari seluruh kasus hipertensi diklasifikasikan sebagai primary hypertension (hipertensi primer). Bentuk hipertensi ini juga disebut sebagai essential hypertension (hipertensi esensial) atau idiophatic hypertension (hipertensi idiopatik) karena penyebabnya belum dapat dipastikan. Lebih kurang 5 sampai 10% pasien terkena secondary hypertension yang penyebab kenaikan tekanan darahnya dapat ditentukan. Salah satu penyebab hipertensi sekunder adalah stenosis arteri ginjal, yang merupakan penyempitan arteri ginjal akibat atherosclerosis. Penyebab lainnya dari hipertensi sekunder dapat juga akibat hiperaldosteronisme (kelebihan produksi aldosteron) dan pheochromocytoma (tumor medula adrenal) (Zdanowicz, 2002). Klasifikasi tekanan darah dari JNC 7 oleh NIH dapat ditunjukkan pada Tabel I berikut ini: Tabel I. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 oleh NIH (Anonim, 2003a)
Kategori Normal Prahipertensi Hipertensi, Derajat 1 Hipertensi, Derajat 2
TD Sistolik (mmHg)
TD Diastolik (mmHg)
<120 120-139 140-159 ≥160
<80 80-89 90-99 ≥100
Hipertensi dapat bertahan atau resisten. Adapun penyebab hipertensi resisten antara lain: pengukuran tekanan darah yang tidak sesuai, pemasukan natrium berlebih, terapi diuretik yang tidak cukup, pengobatan maupun dosis yang kurang ampuh, dan pemasukan alkohol berlebih (Anonim, 2003a). 3.
Pengobatan hipertensi Prinsip pengobatan hipertensi adalah menjaga agar tekanan darah <140/90
mmHg atau <130/80 mmHg pada pasien dengan diabetes atau penyakit ginjal
12
kronik. Kebanyakan pasien memerlukan dua macam pengobatan untuk mencapai target tersebut (Anonim, 2003a). Menurut Kelly (2004), terdapat beberapa kategori agen antihipertensi, yaitu sebagai berikut: a.
Simpatolitik, contoh: metildopa (bekerja secara sentral), propranolol (antagonis reseptor beta-adrenergik), prazosin (antagonis reseptor alfaadrenergik).
b.
Vasodilator, contoh: hidralazin, nitroprusid.
c.
Pemblok kanal Ca++, contoh: verapamil, nifedipin, diltiazem.
d.
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI), contoh: kaptopril.
e.
Antagonis reseptor Angiotensin II, contoh: losartan.
f.
Diuretika, contoh: hidroklorotiazid, furosemid, amilorid. Peranan ginjal pada regulasi tekanan darah jangka panjang menekankan fakta
bahwa banyak prosedur pengobatan dengan agen antihipertensi menghasilkan efek penurunan tekanan darah melalui peningkatan eliminasi natrium dan air (Matfin & Porth, 2011). Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Mekanisme utama diuretika dapat menurunkan tekanan darah adalah menurunkan volume plasma. Diuretika beraksi di ginjal dengan meningkatkan pengeluaran natrium sesuai tekanan osmotik natrium dan meningkatkan pengeluaran air. Kelly (2004) membagi jenis diuretika menjadi lima kelas berdasarkan tempat aksinya yaitu: a.
Diuretika osmotik: tubulus proksimal dan cabang menurun dari Loop of Henle (contohnya mannitol).
13
b.
Diuretika Loop: cabang yang menaik pada Loop of Henle (contohnya furosemida).
c.
Diuretika Thiazide: tubulus distal (contohnya klorotiazida). Diuretika ini secara luas digunakan untuk pengobatan hipertensi.
d.
Diuretika Potassium-sparing: korteks saluran pengumpul (contohnya spironolakton dan amilorida).
e.
Penghambat
karbonik
anhidrase:
tubulus
proksimal
(contohnya
asetazolamida). Diuretika loop sering digunakan untuk mengatasi edema paru akut, gagal jantung kongestif yang kronik, serta edema, dan asites pada sirosis hepatik. Parker dkk (2005) menyebutkan bahwa diuretika loop paling sering digunakan pada kondisi gagal jantung. Diuretika loop bekerja pada cabang menaik dari Loop of Henle. Dua puluh sampai dua puluh lima persen dari natrium yang tersaring secara normal direabsorpsi. Diuretika loop terikat kuat pada protein plasma, oleh karena itu diuretika ini tidak banyak tersaring oleh glomerulus. Diuretika loop mencapai lumen tubulus dengan transpor aktif melalui jalur transpor asam organik. Diuretika ini juga menginduksi kenaikan aliran darah pada ginjal terkait prostaglandin yang berkontribusi pada efek natriuretiknya. Tidak seperti diuretika thiazide, diuretika loop menjaga efektivitasnya terhadap adanya gangguan fungsi ginjal, walaupun dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk mempertahankan penghantaran obat yang cukup ke tempat aksi (Parker dkk, 2005). Oleh karena itu, salah satu contoh diuretika loop yaitu furosemida menjadi pilihan dalam terapi hipertensi dengan kondisi gagal ginjal kronis. Walaupun pengaruh
14
penurunan tekanan darah antara furosemida dari golongan diuretika loop, hidroklorotiazida dari diuretika thiazide, maupun kombinasi keduanya tidak berbeda signifikan, furosemida lebih sering digunakan. Furosemida lebih efisien daripada hidroklorotiazida serta kombinasi keduanya berpotensi memberikan efek samping lebih banyak, contohnya hipokalemia dan hipotensi yang tidak dapat ditoleransi (Dussol dkk, 2012). 4.
Furosemida Gambar struktur kimia furosemida dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Struktur Kimia Furosemida (Moffat dkk, 2011)
Furosemida atau asam-4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoilantranilat dengan berat molekul 330,74 mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C12H11ClN2O5S, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian bahan yaitu serbuk hablur, putih sampai hampir kuning, tidak berbau. Furosemida praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam aseton, dalam dimetilformamida, dan dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam metanol, agak sukar larut dalam etanol, sukar larut dalam eter, sangat sukar larut dalam kloroform. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik, tidak tembus cahaya (Anonim, 1995). Furosemida berkhasiat sebagai diuretika (Moffat dkk, 2011). Furosemida diindikasikan antara lain untuk edema karena payah jantung, penyakit ginjal termasuk sindrom nefrotik, dan hipertensi ringan sampai sedang dalam bentuk
15
tunggal atau kombinasi. Dosis yang tersedia adalah tablet 40 mg dan injeksi 10 mg/ml dengan dosis pakai 20-80 mg sehari (Anonim, 2012a). Pada administrasi oral, furosemida cepat, tetapi tidak sempurna diabsorpsi. Hampir 90% dosis i.v. diekskresikan melalui urin, terutama sebagai obat utuh dengan hampir 14% berupa konjugat glukuronida. Ketersediaan dalam tubuh mencapai 60-70% dengan waktu paruh plasma sekitar 1-3 jam (meningkat pada penderita gagal ginjal, gagal jantung kongestif, sakit liver, dan pada neonatus hingga 46 jam). Pada subjek normal, sekitar 6-18% dosis dieliminasi melalui feses setelah administrasi i.v., mungkin dapat meningkat hingga sekitar 60% pada gagal ginjal. Obat melewati plasenta dan ditemukan pada air susu ibu. Ikatan dengan protein plasma sekitar 99%, menurun pada pasien sirosis, sindrom nefrotik, dan uremia (Moffat dkk, 2011). Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh furosemida yaitu gangguan saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare, kejang kaki, anoreksia, lemah, letih, berkeringat, dan lainnya yang berhubungan dengan efek diuresia, contohnya deplesi kalsium, kalium, dan natrium, alkalosis metabolik, diabetes, dan nefrokalsinosis pada bayi prematur. Jarang terjadi, syok anafilaktik, reaksi alergi, depresi sumsum tulang, pankreatitis akut, dan gangguan pendengaran (Anonim, 2012a). 5.
Tumbuhan Eupatorium riparium Regel Genus Eupatorium mengacu pada Eupatorieae, satu dari 13 suku Asteraceae
dan terdiri dari hampir 1.200 spesies yang tersebar utamanya di daerah tropis Amerika, Eropa, Afrika, dan Asia. Di Jawa, genus Eupatorium diwakili oleh 7 spesies, salah satunya adalah spesies Eupatorium riparium Reg. (Chrystomo dkk, 2012). Tumbuhan E. riparium memiliki nama daerah dengan sebutan teklan
16
(Sunda), dan tekelan (Jawa Tengah) (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991). Klasifikasi tumbuhan E. riparium adalah sebagai berikut: Kerajaan
: Plantae
Subkerajaan
: Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Superdivisi
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Divisi
: Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida-dicotyledonae
Subkelas
: Asteridae
Bangsa
: Asterales
Suku
: Asteraceae (keluarga Aster)
Marga (genus)
: Eupatorium
Jenis (spesies)
: Eupatorium riparium Regel
Sinonim
: Ageratina riparia (Regel) King & H. Rob. (Anonim, 2014a)
Tumbuhan ini adalah semak yang menyebar dari akarnya, batang menjalar, tinggi 40-60 cm, pertumbuhannya jarang sebelum dewasa. Sejumlah batang cenderung menyebar secara horinzontal pada awalnya, akar pada percabangannya menyentuh tanah. Daunnya berbentuk seperti tombak hingga bulat telur, panjang 48 cm, lebar 1-1,5 cm, memiliki tepi bergerigi dan panjang petiola 0,5-1,3 cm. Tumbuhan ini tumbuh di daerah tropis basah atau hutan hujan subtropis, di sisi selatan bukit, dan daerah lembab lainnya (Chrystomo dkk, 2012). Bunga majemuk, malai, tumbuh di ujung batang, kelopak berbentuk lonceng sedang, mahkota bunga berbentuk jarum, putih. Buah kecil, berbulu, coklat kehitaman. Biji bentuk jarum,
17
kecil, hitam. Tumbuhan ini memilki akar tunggang dan berwarna coklat muda (Backer & van den Brink, 1965). Tumbuhan Ageratina riparia yang merupakan sinonim dari E. riparium dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Tumbuhan Ageratina riparia (Anonim, 2014b)
Daun tumbuhan E. riparium berkhasiat sebagai peluruh air seni sedangkan genus lainnya Eupatorium odoratum Linn. atau kirinyu, daunnya berkhasiat untuk mengobati masuk angin, sakit kepala, dan demam serta sebagai pestisida alami (Abdiyani, 2008; Yunita dkk, 2009). Spesies tanaman dari genus ini juga telah digunakan dalam banyak dekade untuk pengobatan tradisional sebagai antimalaria, antibakteri, antioksidan, antifungi, antiinflamasi, dan antikanker (Chrystomo dkk, 2012). Pada umumnya tumbuhan genus Eupatorium memiliki kandungan senyawa seskuiterpen lakton dan diterpen lakton, disamping metabolit lain seperti flavonoid, terpenoid, dan sterol. Sesquiterpen lakton dan diterpen lakton dalam beberapa spesies Eupatorium telah dilaporkan memiliki aktivitas sitotoksik (Fakhruddin dkk, 2007). Aktivitas biologis tumbuhan E. riparium belum banyak diteliti. Walaupun demikian, beberapa kandungan senyawa dari E. riparium telah diketahui yaitu germacrene D, taraksasteril palmitat, tarasasteril asetat, taraksasterol, epi-
18
friedelinol, stigmasterol, dammadienil asetat, benzofuran serta kromen seperti ageratoriparin, ripariokromen-A, metilripariokromen-A, asetovanilokromen, dan turunan eupatoriokromen (Anggraeny, 2011). Hasil penelitian Fakhruddin dkk (2007), E. riparium mengandung senyawa yang teridentifikasi sebagai metilripariokromen-A (MRC-A). Menurut penelitian yang telah dilakukan, Chrystomo (2012) melaporkan bahwa MRC-A dari E. riparium hanya ada pada bagian daun. Telah diuji oleh Anindyawardhani (2012) bahwa MRC-A dalam ekstrak air E. riparium adalah sebanyak 0,0004% (b/v) ekstrak serta ekstrak air E. riparium dapat menyebabkan jumlah volume urin terbanyak pada dosis 400 mg/kg BB tikus dibanding dosis 200 dan 800 mg/kg BB tikus. 6.
MRC-A Senyawa golongan kromen methylripariochromene-A (MRC-A) berhasil
diisolasi dan diidentifikasi secara spektroskopi melalui metode Bioassay Guided Isolation dari tumbuhan Eupatorium riparium Reg. sebagai tanaman yang digunakan untuk pengobatan oleh Fakhrudin dkk (2007) dalam bentuk fraksi larut metanol dari ekstrak wasbensin. Struktur MRC-A dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Struktur methylripariochromene-A (MRC-A) (Shibuya dkk, 1999) (6-asetil-7,8-dimetoksi-2,2-dimetilkromen)
Struktur yang ditampilkan menunjukkan bahwa MRC-A cenderung kurang polar. Oleh Shibuya dkk (1999) MRC-A ditemukan berada dalam fraksi larut
19
kloroform pada dekokta daun kering Orthosiphon stamineus Benth. sebagai komponen
utama
dari
daun
kering
yaitu
sebanyak
0,063%
selain
asetovanilokromen, ortokromen A, dan empat diterpen jenis isopimaran lainnya. Kloroform sendiri merupakan pelarut yang kurang polar, jika dibanding pelarut lain seperti etanol dan air (Budhiraja, 2004). Berdasarkan penelitian oleh Matsubara dkk (1999), senyawa MRC-A yang diisolasi dari fraksi larut kloroform dekokta daun O. stamineus memiliki aksi diuretik dan dapat menurunkan tekanan darah serta cardiac output. MRC-A diberikan secara subkutan pada tikus jantan yang diinduksi SHRSP (Stroke-prone Spontaneously Hypertensive Rats) dengan dosis 50 dan 100 mg/kg BB, dilaporkan dapat menurunkan tekanan darah sistolik maupun detak jantung secara signifikan dan lebih lama pada dosis yang lebih tinggi (Adnyana dkk, 2013; Anonim, 2010).
F. Landasan Teori Regulasi tekanan darah dipengaruhi oleh mekanisme neural dan humoral (Scanlon & Sanders, 2007) yang berbeda secara fundamental antara perempuan dan laki-laki terkait pengaruh hormonal (Hart dkk, 2009). Kompleksitas pengaruh hormonal terhadap regulasi tekanan darah pada wanita terkait sistem reninangiotensin (RAS) bahkan dapat berdampak pada lebih tingginya tekanan darah perempuan postmenopausal dibanding laki-laki (Reckelhoff, 2001). Kejadian hipertensi pada perempuan juga lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini menimbulkan pemikiran untuk melakukan penelitian terhadap tikus betina.
20
Ekstrak air dan fraksi larut metanol ekstrak wasbensin tanaman E. riparium dilaporkan mengandung MRC-A (Anindyawardhani, 2012; Fakhrudin dkk, 2007). MRC-A ditemukan memiliki efek diuretik (Anindyawardhani, 2012) dan antihipertensi (Matsubara dkk, 1999; Anonim, 2010). MRC-A hasil isolasi dari fraksi larut kloroform dekokta yang diujikan pada tikus dapat menurunkan tekanan darah sistolik serta cardiac output secara signifikan dan menurunkan denyut jantung pada dosis 50 dan 100 mg/kg BB (Anonim, 2010). Ditemukannya kandungan MRC-A dalam ekstrak air dan fraksi larut kloroform dekokta membuktikan bahwa MRC-A yang cenderung kurang polar dapat larut dalam pelarut kurang polar maupun sedikit larut pada pelarut polar. Dengan demikian, etanol yang memiliki polaritas di antara air dan kloroform, dapat melarutkan MRCA sehingga ekstrak etanol E. riparium dapat diteliti untuk dikembangkan sebagai antihipertensi. Sebagai pembanding untuk mengetahui aktivitas ekstrak etanol E. riparium dalam menurunkan tekanan darah adalah diuretika sintetis yaitu dari kelas diuretika loop (furosemida) dengan alasan bahwa jenis diuretika ini sering digunakan untuk mengatasi hipertensi. Furosemida lebih efisien dan dapat menjaga efektivitasnya terhadap fungsi ginjal.
G. Hipotesis Ekstrak etanol tanaman E. riparium memiliki efek antihipertensi pada hewan uji tikus Sprague-Dawley betina.