BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi merupakan masalah besar yang menyedot perhatian dunia. Badan kesehatan dunia (World Health Organization) menyebutkan bahwa penyakit infeksi merupakan penyebab kematian terbesar di seluruh dunia. Penyakit infeksi telah menyebabkan kematian sebesar 13 juta orang di seluruh dunia setiap tahun, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia (Salni dkk., 2011). Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa kematian akibat penyakit infeksi dan parasit menempati urutan kedua setelah penyakit sistemik sirkulasi darah pada tahun 2008 (Anonim, 2009). Terapi yang diberikan untuk penyakit infeksi adalah dengan pemberian antibiotik seperti penisilin dan streptomisin untuk mencegah penyebaran infeksi. Antibiotik adalah senyawa organik dengan berat molekul rendah yang diproduksi oleh mikroorganisme dan dalam konsentrasi kecil dapat menghambat organisme lain. Saat ini senyawa antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme telah dapat di sintesis secara kimia dan diproduksi dalam skala besar. Antibiotik telah banyak digunakan oleh masyarakat hampir di seluruh dunia untuk mengobati penyakit infeksi terutama infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, fungi dan parasit (Strobel dan Daisy, 2003). Pemakaian antibiotik merupakan keharusan dalam penanggulangan penyakit infeksi. Namun, penggunaan antibiotik sebagai terapi utama penyakit infeksi kini
menghadapi masalah, yaitu resistensi. Dalam beberapa tahun terakhir terdapat peningkatan angka resistensi terhadap antibiotik (Salni dkk., 2011). Menurut WHO resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik merupakan kejadian natural yang dapat meningkat karena berbagai macam faktor salah satunya cara penggunaan antibiotik oleh manusia. Resistensi antibiotik mengakibatkan kegagalan terapi yang berefek pada sakit yang berkepanjangan dan risiko kematian yang besar. Kejadian resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik mendorong peneliti untuk menemukan senyawa antibakteri baru. Tanaman, telah lama kita ketahui merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting dalam upaya pengobatan dan upaya mempertahankan kesehatan masyarakat. Tanaman obat sejak dulu digunakan sebagai sumber untuk mengobati penyakit infeksi maupun noninfeksi. Bahkan sampai saat ini pun menurut perkiraan bahan kesehatan dunia (WHO), 80% penduduk dunia masih menggantungkan dirinya pada pengobatan tradisional termasuk penggunaan obat yang berasal dari tanaman. Sampai saat ini seperempat dari obat-obat modern yang beredar di seluruh dunia berasal dari bahan aktif yang diisolasi dan dikembangkan dari tanaman. Menurut WHO obat yang berasal dari tanaman merupakan sumber daya terbaik untuk mendapatkan obat yang bervariasi. Indonesia yang dikenal sebagai salah satu dari tujuh negara yang keanekaragaman hayatinya terbesar ke dua setelah Brazil, tentu sangat potensial dalam mengembangkan obat yang berbasis pada tanaman obat kita sendiri. Permasalahannya adalah bagaimana menjaga tingkat produksi dengan bahan baku yang terbatas karena sebagian besar bahan baku obat diambil dari tanaman induknya.
Sehingga dikhawatirkan bahwa sumber daya hayati ini akan musnah disebabkan karena adanya kendala dalam budi dayanya. Peran bioteknologi dalam budi daya, multiplikasi, rekayasa genetika, dan skrining mikroba endofit yang dapat menghasilkan metabolit sekunder sangat penting dalam rangka pengembangan bahan obat yang berasal dari tanaman obat ini (Radji, 2005). Mikroba endofit adalah mikroba yang hidup di dalam jaringan tanaman pada periode tertentu dan mampu hidup dengan membentuk koloni dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan inangnya. Setiap tanaman tingkat tinggi dapat mengandung beberapa mikroba endofit yang mampu menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang mirip atau sama dengan senyawa yang diproduksi inangnya karena telah terjadi koevolusi atau rekombinasi genetik dari tanaman inangnya ke dalam mikroba endofit (Tan dkk., 2001). Dari sekitar 300.000 jenis tanaman yang tersebar di muka bumi ini, masingmasing tanaman mengandung satu atau lebih mikroba endofit yang terdiri dari bakteri dan jamur. Pertumbuhan endofit lebih cepat dari inangnya, sehingga eksplorasi endofit sebagai sumber penemuan obat baru sangat menguntungkan (Strobel dan Daisy, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Verdian-rizi (2008), menghasilkan ekstrak bagian tanaman bunga Artemisia annua Linn. yang memiliki aktivitas antibakteri dan antifungi. Liu (2001), menyatakan bahwa jamur endofit yang diisolasi dari A. annua Linn. memiliki aktivitas dalam menghambat fungi fitopatogen.
Tanaman A. annua Linn secara tradisional dan klinis terbukti mampu mengatasi kasus malaria (Anonim, 2010). Tanaman ini juga sudah dikembangkan sebagai antikanker, antipiretik, dan antimikroba. Minyak atsiri herba A. annua Linn. mempunyai aktivitas antimikroba terhadap Staphylococcus aureus, Escerichia coli, Saccharomyces cereviceae, dan Candida albicans (Verdian-rizi dkk., 2008). Ekstrak herba A. annua Linn. juga ditemukan aktif sebagai antibakteri ketika diuji pada Pseudomonas aeruginosa, S. aureus, Bacillus pumilus, B. subtilis, B. cereus, dan Micrococcus luteus (Gupta dkk., 2009). Pencarian metabolit aktif dari mikroba selain bertujuan untuk menemukan senyawa baru yang lebih poten juga untuk mengatasi masalah ketersediaan jumlah tanaman penghasil, dan keterbatasan produksi. Mikroba endofit berupa jamur berpotensi besar dalam pengembangan obat baru khususnya sebagai antibiotik. Jamur endofit DP10 adalah salah satu fungi endofit koleksi Indah Purwantini, M.Si., Apt. yang sifat antimikrobanya masih belum diketahui. Dalam penelitian potensi antimikroba fungi endofit, diharapkan dapat diperoleh aktivitas antimikroba yang lebih besar, lebih spesifik, atau bahkan ditemukan senyawa baru yang lebih efektif dan efisien (Safitri, 2013). B. Rumusan Masalah 1. Apakah mikroba endofit DP10 menghasilkan metabolit sekunder yang memiliki aktivitas sebagai antimikroba? 2. Termasuk genus apakah mikroba endofit DP10?
3. Golongan senyawa apakah yang memiliki aktivitas antibakteri pada mikroba endofit DP10? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui aktivitas mikroba endofit DP10 sebagai penghasil agen antimikroba. 2. Mengetahui genus jamur DP10. 3. Mengidentifikasi golongan senyawa aktif dari mikroba endofit kode DP10 yang bersifat antimikroba. D. Tinjauan Pustaka 1. Klasifikasi A. annua a. Taksonomi Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Asterales
Suku
: Asteraceae
Marga
: Artemisia
Jenis
: Artemisia annua Linn
b. Beberapa sinonim penamaan Indonesia : Anuma
: Cao Hao, Caohao, Cao Qinghao, Cao Haozi, Chouhao, Chou
Cina
Qinghao, Haozi, Jiu Bingcao, Kuhao, San Gengcao, Xianghao, Xiang Qinghao, Xiang Sicao, Xiyehao Inggris
: annual wormwood, sweet wormwood
Perancis
: armoise annuelle
Jepang
: Kusoninjin
Korea
: Chui-ho, Hwang-hwa-ho, Gae-tong-sook
Vietnam
: Thanh cao hoa vàng
c. Sebaran Geografis A. annua Linn. adalah tanaman tradisional yang berasal dari provinsi Char dan Suiyuan, Cina (Bhakuni dkk., 2001) serta digunakan kurang lebih 2000 tahun yang lalu sebagai antimalaria, obat demam, dan pereda gangguan menstruasi. Nama artemisia diambil dari nama dewi bangsa Yunani “Artemis”, yang dianggap mampu menyembuhkan penyakit dan mencegah hal-hal yang buruk (Ferreira, 2004). d. Morfologi Tumbuhan ini termasuk terna semusim dengan tinggi rata-rata 30100 cm. Artemisia annua Linn. mempunyai batang tegak, berbentuk bulat persegi, bercabang, berwarna hijau kekuningan atau kuning kecoklatan. Tipe daunnya majemuk menyirip ganda dua (bipinnatus), bentuk oval, lonjong, panjang 10-18 cm, lebar 6-15 cm dengan ujung runcing, pangkal tumpul, tepi beringgit, anak daun berbentuk oval, bergerigi, pertulangan
daun tegas, warna hijau tua atau hijau kecoklatan, dan terdapat trikoma glandular yang mengandung minyak atsiri. Artemisia annua Linn. memiliki bunga majemuk, bentuk tandan, terletak di ujung batang, panjang mencapai 30 cm, kelopak berwarna hijau atau putih, bentuk bintang, berlekuk lima, mahkota halus mengelilingi cawan bunga tempat benang sari dan putik, diameter 2-3 mm membentuk globular, braktea berbentuk linier atau oval, bunga tepi berkelamin tunggal (betina) dengan jumlah mahkota 4 helai dan bunga sentral berkelamin ganda dengan jumlah mahkota bunga 5 helai, benang sari 5 buah, dan terdapat trikoma glandular yang mengandung mintak atsiri. Biji berbentuk lanset, kecil, dan berwarna coklat. Sedangkan akarnya merupakan serabut berwarna
putih
kekuningan
(Syamsuhidayat
dan
Hutapea,
1999;
Woerdenbag dan Pras, 2002). Sebagian besar spesies artemisia adalah tanaman yang tidak tergantung musim. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada derah dataran tinggi dengan ketinggian 1000-1500 m di atas permukaan laut. Kondisi tanah yang cocok adalah tanah yang berpasir atau berlempung, berdrainase baik dengan pH 5,5-8,5 (pH optimum 6-8), dan curah hujan 700-1000 mm/tahun. Ketersediaan air merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman terutama pada umur 1-2 bulan (Gusmaini dan Nurhayati, 2007).
e. Komposisi senyawa kimia di dalam A. annua Linn. Sebagian besar kandungan metabolit sekunder A. annua Linn. adalah terpenoid dan flavonoid (Bhakuni, 2001). Daun atau seluruh bagian tanaman A. annua mengandung saponin, flavonoid, minyak atsiri (Syamsuhidrat dan Hutapea, 1999), triterpenoid, steroid, kumarin, fenolik, dan lipid (Li dkk., 2005). Golongan monoterpen pada minyak atsiri diantaranya adalah kamfor, 1,8-sineol, kamfren, spatulenol, Artemisia keton, kariofilen oksida, dan a-kopaen (Soylu dkk., 2005). Golongan seskuiterpen meliputi artemisinin yang merupakan kelompok seskuiterpen lakton (Bhakuni dkk., 2002). Mintak atsiri banyak terdapat pada daun, dengan komponen utamanya adalah tujon (mencapai 70%). Fungsi tujon adalah sebagai antioksidan, antimikroba, dan antijamur. Pemakaian tujon dosis tinggi dapat berefek halusinasi. Rasa pahit pada herba A. annua Linn. disebabkan oleh absinthin dan anabsinthin. Minyak atsiri yang dicampurkan dengan minuman bersifat aprodisiaka dan tonik (Kardinan, 2008). Senyawa lain yang terdapat pada herba tanaman ini adalah asam artemisinat (Ma dkk., 2001), artemisinol (Anonim, 2006), arteanuin C, epidoksiartenuin,
qinghaosu
III,
qinghaosu
IV,
artenuin
D,
dihidropideoksiarteanuin B, artemisinin G, annuadiepoksida, annulida, asam norannuat, dan artemether (Potawale dkk., 2008). Golongan triterpenoid seperti friedelin dan friedela-3-p-ol dari daun dan akar serta
tarakseril asetat dari akar. Stigmasetrol dan p-sitosterol diisolasi dari herba dan akar. Flavonoid ertemetin terdapat pada daun dan batang, kripsosplenetin, kripsospenol D, kuersetagenin-6,7,4’-trimetileter, 5hidroksi-3,6,7,4’-tetrametil flavon, patuletin, dan 6-metoksi kaemferol (Li dkk., 2005). Alkaloid dalam A. annua Linn. berefek sebagai inhibitor asetilkolin esterase sehingga mampu mencegah penyakit Alzheimer’s (Mojarad dkk., 2005). Tanaman ini juga mengandung senyawa seperti skopoletin, skoparon, skopolin, 7-hidroksi-6,8-dimetiloksi kumarin, 6metoksikromon, dan 2,2,6-trihidroksikromon (Bhakuni dkk., 2002). f. Kegunaan Kegunaan dari A. annua terkait dengan kandungan kimiawi dalam tanaman tersebut. Artemisinin adalah senyawa kimia dari A. annua yang paling banyak digunakan terkait dengan aktivitas farmakologisnya. Beberapa
penelitian
menunjukkan
artemisinin
memiliki
aktivitas
antimalaria. Bersama dengan senyawa turunannya, artemisinin diketahui memiliki daya hambat terhadap beberapa strain Plasmodium sp. Indikasi dari penggunaan A. annua yakni : malaria dengan gejala menggigil dan demam. Kegunaan lain dari tanaman ini adalah untuk terapi hemoroid, aromaterapi, antikanker, antivirus, antiripanosoma (Ferreira dan Janick, 2009), antibakteri, industri parfum, dan kosmetik (Muzemil, 2008).
2. Antibiotik Kata antibiotik diberikan pada produk metabolik yang dihasilkan suatu mikroorganisme tertentu, yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lain. Dengan perkataan lain, antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang menghambat mikroorganisme lain. Selama bertahun-tahun telah diketahui adanya antagonisme di antara beberapa mikroorganisme yang tumbuh berdekatan di lingkungan alamiah. Pada tahun 1929, Alexander Fleming memperlihatkan bahwa suatu cawan yang diinokulasi dengan Staphylococcus aureus telah terkontaminasi oleh sejenis kapang dan bahwa koloni kapang tersebut dikelilingi oleh suatu zone yang jernih, menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan bakteri. Karena setelah diidentifikasi, kapang tersebut ternyata adalah suatu spesies Penicillium, maka Flemming menamakan antibiotik itu penisilin. Penggunaan penisilin dan antibiotik telah mengakibatkan berkurangnya secara dramatis penderita penyakit menular pada masa Perang Dunia II. Sejak tahun 1940, beberapa ribu substansi antibiotik telah diisolasi dan diidentifikasi, tetapi hanya sejumlah kecil dari antaranya telah terbukti bermanfaat untuk mengobati penyakit. Namun demikian, substansi efektif yang hanya sedikit jumlahnya itu sudah mampu mengakibatkan perubahan radikal di bidang medis dalam usaha pengobatan penyakit menular.
Antibiotik berdasar sumbernya dibedakan menjadi antibiotik sintetik dan alamiah. Antibiotik sintetik seperti sulfur, tembaga sulfat, kalsium hidroksida, dan arsenat. Antibiotik alami dalam berasal dari mikroba dan tumbuhan. Antibiotik seperti sulfur, tembaga sulfat, kalsium hidroksida, dan arsenat. Antibiotik alami dapat berasal dari mikroba dan tumbuhan. Senyawa yang dapat digunakan sebagai antibiotik berasal dari tumbuhan seperti eugenol dari minyak atsiri cengkeh (Syzygium aromaticum), piperin dari daun sirih (Piper bettle), timol dari Thyme, sarfakrol dari Savory, dan sanguinarin dari suku Papaveraceae. Antibiotik juga dapat diklasifikasikan berdasar mekanisme kerja, spektrum, mekanisme aksi, strain penghasil, sistem biosintesis, objek mikroorganisme, dan berdasar struktur biokimianya. Berdasar spektrumnya antibiotik meliputi spektrum luas dan sempit. Termasuk spektrum luas (broad spctrum) jika mampu menghambat atau membunuh mikroorganisme Gram positif maupun negatif. Dikatakan termasuk spektrum sempit (narrow spectrum) jika hanya mampu menghambat atau membunuh suatu golongan mikroorganisme saja (Pelczar dan Chan, Dasar-Dasar Mikrobiologi II; 508-540; Griffin, 1981; Hugo dan Russel, 1998). Antibiotik berdasar mekanisme aksi dibedakan menjadi : a. Menghambat sintesis dinding sel Antibiotik
ini
mencegah
terbentuknya
ikatan
silang
peptidoglikan pada akhir sintesis dinding sel. Sebagai contohnya protein pengikat penisilin dalam membran plasma bakteri dihambat
sehingga penambahan asam amino pada ikatan peptidoglikan tidak terjadi
dan
mengeblok
enzim
transpeptidase.
Hal
tersebut
mengakibatkan dinding sel menjadi rapuh dan mudah lisis, atau tidak tahan terhadap tekanan osmotik plasma kemudian pecah. b. Merusak membran plasma Antibiotik jenis ini mengganggu sistem perlindungan membran. Cara kerja antibiotik ini dengan menyelipkan diri pada kedua lapisan barrier membran sehingga lalu lintas substansi bisa bebas keluar masuk, membentuk ikatan dengan ergosterol sehingga menyebabkan kebocoran
sitoplasma,
dan
atau
dengan
mengganggu
sintesa
pembentukan lipoprotein sehingga membran lebih permeabel. c. Menghambat sintesis protein Antibiotik jenis ini akan berikatan pada ribosom bakteri yang mengakibatkan kesalahan pada pembacaan mRNA sehingga sintesis maupun kerja enzim terhambat. d. Menghambat sintesis asam nukleat Antibiotik ini bekerja dengan menghambat transkripsi dan replikasi mikroorganisme. e. Menghambat sintesis metabolit esensial Penghambatan
sintesis
metabolit
esensial
dapat
berupa
competitor antimetabolit, yaitu substansi yang memiliki struktur mirip dengan substrat normal namum fungsinya berbeda.
Beberapa mikroorganisme dalam satu genus mampu menghasilkan antibiotik yang sama maupun berbeda. Seperti antibiotik mitramisin yang bisa didapat
dari
Streptomycetes
plicatus,
Streptomyces
argillaceus,
dan
Streptomycetes atroolivaceus, sedangkan Streptomyces mitakaenis menghasilkan mikamisin, Streptomyces fradiae menghasilkan tilosin, dan Streptomyces tateyamenis menghasilkan tiopeptin. Awalnya antibiotik disebut antibiosis yang berarti substansi yang dapat menghambat pertumbuhan organisme lain dan berasal dari mikroorganisme. Pada perkembangannya digunakan istilah antibiotik yang cakupannya lebih luas yaitu tidak hanya berasal dari mikroorganisme namun semua substansi. Antibiotik dapat dibedakan lagi berdasar objek organisme yang dihambat atau dibunuh seperti antifungi jika objeknya adalah jamur, antibakteri jika objeknya bakteri, dan antiviral jika objeknya adalah virus. Antibiotik yang hanya mampu menghambat pertumbuhan diberi akhiran –statik dan yang mampu mematikan baik pada fase tumbuh maupun fase istirahat diberi akhiran –sida atau –sidal. Misal bakterisida yang mempunyai arti substansi tersebut mampu membunuh mikroorganisme bakteri (Pratiwi, 2008; Tjay dan Rahardja, 2007). 3. Mikroba Endofit Mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup berkoloni dalam jaringan tumbuhan tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tumbuhan inangnya (Simanjuntak dkk., 2002; Radji, 2005). Istilah endofit diperkenalkan pertama
kali oleh De Bary pada tahun 1866 sebagai mikroorganisme yang hidup dalam jaringan tanaman yang menyebabkan infeksi asimtomatis tetapi tidak berupa simtom penyakit (Wang dkk., 2008). Hampir semua jaringan tanaman mengandung mikroba endofit (Faeth, 2002), termasuk ganggang laut dan lumut (Tan dan Zou, 2001). Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mikroba endofit yang ditemukan adalah fungi (Strobel dkk., 2004). Identifikasi fungi endofit yang banyak dilakukan adalah dengan mengamati morfologi dan miselia konidianya (Wang dkk., 2008). Mikroba endofit menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika (Tombe, 2008). Purwanto (2008), menyebutkan bahwa endofit merupakan mikroorganisme yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di dalam jaringan hidup tanaman inang. Setiap tanaman tingkat tinggi umumnya mengandung beberapa mikroba endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder yang diduga sebagai akibat koevolusi atau rekombinasi genetik (genetic recombination) dari tanaman inangnya ke dalam mikroba endofit (Tan dan Zou, 2001). Pada permukaan daun, koloni fungi dapat dilihat secara langsung tanpa ditumbuhkan dalam media pertumbuhan fungi, sedangkan pada akar dan batang, koloni fungi endofit hanya dapat diamati setelah ditumbuhkan dalam media pertumbuhan. Fungi yang masih dalam bentuk spora baik pada daun, akar, dan batang tidak dapat diamati tanpa ditumbuhkan dalam media pertumbuhan.
Populasi fungi endofit yang terdapat pada batang dan daun lebih banyak dibandingkan pada akar (Morris dkk., 2001). Mikroba endofit menghasilkan berbagai senyawa yang memiliki aktivitas biologi, diantaranya alkaloid, terpenoid, fenolik, dan sebagainya (Tan, 2001). Mikroba endofit yang tumbuh pada jaringan tumbuhan obat, juga dapat menghasilkan senyawa yang memiliki khasiat sama dengan tumbuhan inangnya, walaupun jenis senyawanya berbeda. Bahkan, senyawa yang dihasilkan fungi endofit seringkali memiliki aktivitas yang lebih besar dibandingkan aktivitas senyawa dari tumbuhan inangnya (Prihatiningtias, 2005). Hubungan antara fungi endofit dan tumbuhan inang dapat terjadi melalui infeksi yang tidak menimbulkan gejala penyakit sampai hubungan simbiosis mutualisme. Mikroba endofit dalam jaringan tanaman memperoleh nutrisi dan perlindungan dari inang, sebaliknya mikroba endofit membantu kehidupan inang dengan cara memproduksi metabolit yang dibutuhkan inang tersebut. Tanaman yang mengandung endofit sering tumbuh lebih cepat dari tanaman yang tidak terinfeksi. Efek ini terjadi karena endofit memproduksi fitohormon seperti indole-3-acetic acid (IAA), sitokin, dan senyawa pemacu pertumbuhan lain. Selain itu endofit dapat membantu inang dalam mengambil nutrisi seperti nitrogen dan fosfor (Tan dan Zou, 2001). Tumbuhan inang juga dapat memperoleh perlindungan dari hasil metabolit fungi endofit terhadap serangan pathogen seperti fungi, bakteri, insekta, dan predator lainnya (Strobel dan Daisy, 2003). Mikroba endofit juga mampu
meningkatkan kemampuan adaptasi inang terhadap fitopatogen, herbivore, cacing, serangga pemakan inang, serta bakteri dan fungi patogen. Endofit yang tumbuh pada rerumputan biasanya menambah tolerasi terhadap kekeringan (Tan dan Zou, 2001; Faeth dan Fagan, 2002). Asosiasi mikroba endofit dengan tumbuhan inangnya dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu mutualisme konstitutif dan induktif. Mutualisme konstitutif merupakan asosiasi yang erat antara jamur dengan tumbuhan terutama rumput-rumputan. Pada kelompok ini jamur endofit menginfeksi benih inang, dan penyebarannya melalui benih serta organ penyerbukan inang. Mutualisme induktif adalah asosiasi antara jamur dengan tumbuhan inang, yang penyebarannya terjadi secara bebas melalui air dan udara. Ditinjau dari sisi taksonomi dan ekologi, jamur ini merupakan organism yang sangat heterogen (Worang, 2003). Berbagai jenis endofit telah berhasil diisolasi dari tanaman inangnya, dan telah berhasil dibiakkan dalam media perbenihan yang sesuai. Demikian pula metabolit sekunder yang diproduksi oleh mikroba endofit tersebut telah berhasil diisolasi dan dimurnikan serta telah dielusidasi struktur molekulnya. Beberapa diantaranya adalah : a. Mikroba endofit yang menghasilkan antibiotika Cryptocandin adalah antifungi yang dihasilkan oleh mikroba endofit Cryptosporiopsis quercina yang berhasil diisolasi dari tanaman obat Tripterigeum wilfordii, dan berhasiat sebagai antijamur yang pathogen
terhadap manusia yaitu Candida albicans dan Trichopyton spp. (Strobel dkk., 1999). Beberapa zat aktif lain yang diisolasi dari mikroba endofit misalnya ecomycin diproduksi oleh Pseudomonas viridiflava juga aktif terhadap Cryptococcus neoformans dan C. albicans. Ecomycin merupakan lipopeptida yang disamping terdiri dari molekul asam amino yang umum juga mengandung homoserin dan beta-hidroksi asam aspartat (Miller dkk., 1998), sedangkan senyawa kimia yang diproduksi oleh mikroba endofit P. Syringae yang berhasiat sebagai anti jamur adalah pseudomycin, yang dapat menghambat pertumbuhan C. albicans dan C. neoformans (Harrison dkk., 1991). Pestalotiopsis micrispora, merupakan mikroba endofit yang paling sering ditemukan di tanaman hutan lindung di seluruh dunia. Endofit ini menghasilkan metabolit sekunder ambuic acid yang berhasiat sebagai antifungi (Li dkk., 2001). Phomopsichalasin, merupakan metabolit yang diisolasi dari mikroba endofit Phomopsis spp. Berhasiat sebagai anti bakteri Bacillus subtilis, Salmonella enteric, S. aureus, dan juga dapat menghambat pertumbuhan jamur C. tropicalis (Horn dkk., 1995). Antibiotika berspektrum luas yang disebut munumbicin, dihasilkan oleh endofit Streptomyces spp. strain NRRL 30562 yang merupakan endofit
yang diisolasi
dari
tanaman Kennedia niriscans,
dapat
menghambat pertumbuhan B. antrhracis, dan Mycobacterium tuberculosis
yang multiresisten terhadap berbagai obat anti TBC (Castillo dkk., 2002). Jenis endofit lainnya yang juga menghasilkan antibiotika berspaktrum luas adalah mikroba endofit yang diisolasi dari tanaman Gravillea pteridifolia. Endofit ini menghasilkan metabolit kakadumycin. Aktifitas antibakterinya sama seperti munumbicin D, dan kakadumycin ini juga berhasiat sebagai antimalaria (Castillo dkk., 2003). b. Mikroba endofit yang menghasilkan antivirus Jamur endofit Cytonaema sp. Dapat menghasilkan metabolit cytonic acid A dan B, yang struktur molekulnya merupakan isomer p-tridepside, berhasiat sebagai anti virus. Cytonic acid A dan B ini merupakan protease inhibitor dan dapat menghambat pertumbuhan sitomegalovirus manusia (Guo dkk., 2000). c. Mikroba endofit yang menghasilkan metabolit sebagai antikanker Paclitaxel dan derivatnya merupakan zat yang berkhasiat sebagai antikanker yang pertama kali ditemukan yang diprodeksi oleh mikroba endofit. Paclitaxel merupakan senyawa diterpenoid yang didapatkan dalam tanaman bergenus Taxus. Senyawa yang dapat mempengaruhi molekul tubulin dalam proses pembelahan sel-sel kanker ini, umumnya diproduksi oleh endofit Pestalotiopsis microspora, yang diisolasi dari tanaman Taxus andreanae, T. brevifolia, dan T. wallichiana. Saat ini beberapa jenis endofit lainnya telah dapat diisolasi dari berbagai jenis Taxus dan didapatkan berbagai senyawa yang berhasiat sebagai anti
tumor. Demikian pula upaya untuk sintesisnya telah berhasil dilakukan (Strobel dkk., 2002). d. Mikroba endofit penghasil zat anti malaria Colletotrichum sp. Merupakan endofit yang diisolasi dari tanaman A. annua Linn., menghasilkan metabolit artemisinin yang sangat potensial sebagai anti malaria (Lu dkk., 2000). Disamping itu beberapa mikroba endofit yang diisolasi dari tanaman Cinchona spp., juga mampu menghasilkan alkaloid cinchona yang dapat dikembangkan sebagai sumber bahan baku obat anti malaria (Simanjuntak dkk., 2002). e. Endofit yang memproduksi antioksidan Pestacin dan isopestacin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh endofit Pestalotiopsis microspora. Endofit ini berhasil diisolasi dari tanaman Terminalia morobensis, yang tumbuh di Papua New Guinea. Baik pectacin ataupun isopectacin berhasiat sebagai antioksidan, dimana aktivitas ini diduga karena struktur molekulnya mirip dengan flavonoid (Strobel dkk., 2002). f. Endofit yang menghasilkan metabolit yang berkhasiat sebagai antidiabetes Endofit Pseudomonassaria sp. yang diisolasi dari hutan lindung, menghasilkan metabolit sekunder yang bekerja seperti insulin. Senyawa ini sangat menjanjikan karena tidak sebagaimana insulin, senyawa ini tidak rusak jika diberikan peroral. Dalam uji praklinik terhadap binatang coba membuktikan bahwa aktivitasnya sangat baik dalam menurunkan
glukosa darah tikus yang diabetes. Hasil tersebut diperkirakan dapat menjadi awal dari era terapi baru untuk mengatasi diabetes dimasa mendatang (Zhang dkk., 1999). g. Endofit yang memproduksi senyawa imunosupresif Obat-obat imunosupresif merupakan obat yang digunakan untuk pasien yang akan dilakukan tindakan transplantasi organ. Selain itu imunosupresif juga dapat digunakan untuk mengatasi penyakit autoimun seperti rematoid arthritis dan insulin dependent diabetes. Senyawa subglutinol A dan B yang dihasilkan oleh endofit Fusarium subglutinans yang diisolasi dari tanaman Tripterygium wilfordii, merupakan senyawa imunosupresif yang sangat poten (Lee dkk., 1996). 4. Klasifikasi Mikroba Uji a. Salmonella typhi Kingdom
: Bacteria
Filum
: Proteobacteria
Subfilum
: Gammaproteobacteria
Kelas
: Enterobacteria
Orde
: Enterobacteriales
Famili
: Enterobacteriaceae
Genus
: Salmonella
Species
: Salmonella typhi (Pollack, 2003)
Kelompok ini pertama kali ditemukan tahun 1880 oleh Karl J. Erberth. Namun baru dipatenkan pada tahun 1885 oleh Daniel Elmer Salmon dan asistennya Theobald Smith yang mampu menjelaskan dengan rinci klasifikasi dan cara pendeteksiannya (Pollack, 2003). Bakteri ini merupakan bakteri
Gram
negatif
berbentuk
basil
termasuk
dalam
keluarga
Enterobacteriaceae. Bakteri ini memiliki tiga serotipe antara lain: S. enterica serotipe typhi (S. typhi), S. enterica serotipe typhimurium (S. typhimurium) dan S. enterica serotipe enteritidis (S. enteritidis). Bakteri Gram negatif memiliki ciri yang khas yaitu terdapat endotoksin (lipoid A pada LPS) dapat memberikan manifestasi klinik berupa demam dan antigen Vi yang dapat meningkatkan virulensi. Pemberian 109 secara oral S. typhimurium dapat menyebabkan keracunan makanan pada manusia. Gejala simptom yang timbul setelah 12-24 jam memakan makanan yang terkontaminasi diare, muntah, demam enterik selama 2-5 hari. Biasanya dapat sembuh dengan sendirinya. Penamaan bakteri ini karena bakteri ini penyebab demam tipoid pada mencit. Sedikitnya 105 pemberian dosis oral bakteri S. typhi menyebabkan infeksi demam tipoid pada 50% manusia (Todar, 2011). Penyakit demam tipoid disebabkan oleh bakteri typhi dan parathypi A, B, C. Bakteri ini dapat menginfeksi saluran pencernaan melalui mulut. Bakteri ini menempel pada jejunum (Kayser, 2005). b. Staphylococcus aureus Kingdom
: Bacteria
Filum
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Orde
: Bacililales
Famili
: Bacillaceae
Genus
: Staphylococcaeceae
Spesies
: Staphylococcus aureus (Todar, 2008)
Staphylococcus aureus adalah keluarga Staphylococeae yang termasuk dalam bakteri Gram positif. Bentuk koloninya seperti anggur dengan diameter tiap sel 0,8-1,0 µm. Bakteri ini dapat menyebabkan pneumonia, mastitis, phlebitis, meningitis, dan urinary tract infections (Todar, 2008; Benzon, 2001). Sifat toksiknya disebabkan bakteri ini mempunyai plasmid yang dapat mengkode protein pathogen dan mampu menghasilkan toksin eksfoliatif. Beberapa strain yang ditemukan mengalami mutasi dan mampu mengadakan toleransi terhadap obat antibiotik yang diberikan. Strain mutan paling terkenal adalah MRSA atau Methicillin Resistant Staphylococcus aureus. Strain ini diketahui telah resisten juga terhadap oksasilin, penisilin, dan amoksisilin. c. Candida albicans Kingdom
: Fungi
Filum
: Ascomycota
Kelas
: Saccharomycotina
Orde
: Saccharomycetes
Famili
: Saccharocetaceae
Genus
: Candida
Spesies
: Candida albicans (Jones dkk., 2004)
Candida albicans merupakan flora normal dalam tubuh yang terdapat pada saluran pernapasan, saluran cerna, kulit, dan vagina (Tjay dan Rhardja, 2007). Organisme ini tumbuh optimum pada suhu 37 0C (Soll dan Mitchell, 1983). Candidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh C. albicans akibat peningkatan jumlah melampaui ambang batas normal. Infeksi tersebut dapat menyerang mulut, kulit, usus, bronkus, paru, vagina, terkadang jantung, dan selaput otak (Johnson dkk., 1994; Tjay dan Rahardja, 2007). Candida albicans adalah jamur yang terdiri dari sel-sel oval dan selsel yang memanjang sambung menyambung seperti hifa yang disebut pseudomiselium (Tjay dan Rahardja, 2007). Mikroorganisme ini mempunyai sifat dimorfik (mempunyai dua fase kehidupan) yaitu blasopora dan pseudohifa (Sudbery dkk., 2004). Sifat ini dipengaruhi oleh temperatur, pH (Soll dan Mitchell, 1983), dan biosintesis dinding sel (Ishii dkk., 1997). d. Bacillus subtilis Kingdom
: Bakteri
Filum
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Orde
: Bacilales
Famili
: Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Spesies
: Bacillus subtilis (Gerbawy, 2009)
Bacillus subtilis mempunyai batang kemoheterotropik, bersifat fakultatif anaerob, mempunyai lebar 0,5-2,5 µm, dan panjang 1,2-10 µm. Bakteri batang Gram positif ini mampu membentuk kapsul asam D-glutamat. Dalam industry farmasi bakteri ini digunakan untuk memproduksi enzim (amilase dan protease) dan digunakan sebagai inang untuk produksi protein dan vitamin (Waites dkk., 2001). Bakteri ini dapat ditemukan di tanah, air, dekomposisi tanaman bahkan udara. Bacillus subtilis dapat menghasilkan toksin ekstraselular seperti subtillisin yang bersifat toksik lemah dan dapat menimbulkan alergi. Bacillus subtilis juga mampu menghasilkan polipeptida bernama inthurin yang bersifat bakterisida dan fungisida. Genus ini dapat menghasilkan antibiotik basitrasin namun juga dapat dihambat pertumbuhan sporanya menggunakan tilosin (Pratiwi, 2008). Bakteri ini sering digunakan untuk mengurangi kadar CO2 dalam air, hal ini sering diterapkan pada pertanian tambak udang. Bakteri ini dapat hidup pada suhu rendah yaitu 5-20 0C dan suhu tinggi yaitu 45-55 0C (Zeigler dan Perkins, 2009). e. Staphylococcus epidermidis Kingdom
: Bacteria
Filum
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Ordo
: Bacillales
Famili
: Staphylococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Spesies
: Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus
epidermidis adalah
bakteri
berbentuk
coccus
bergerombol, tidak berspora, Gram positif. Berdiameter 0,5 - 1,5 µm (Nielsen dkk., 1999). Bakteri ini sebenarnya bukan bakteri yang sangat berbahaya. Bakteri ini merupakan flora normal yang ada pada manusia dan tidak menyebabkan penyakit. Staphylococcus epidermidis dapat ditemukan pada tubuh orang sehat, antara lain di permukaan kulit, di saluran pencernaan, dan di saluran pernapasan bagian atas. Meski tak berbahaya, pada kondisi tertentu, kuman ini menimbulkan masalah. Seperti pada orang yang sedang mengalami kondisi badan menurun. Sehingga, bakteri yang tidak berbahaya itu dapat menyebabkan penyakit. Pada orang yang di dalam tubuhnya terdapat "benda-benda" asing juga berisiko mengalami infeksi kuman staphylococcus epidermidis (Anonim, 2007). f. Streptococcus mutans Kingdom
: Bacteria
Filum
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Ordo
: Lactobacillales
Famili
: Streptococcaceae
Genus
: Streptococcus
Spesies
: Streptococcus mutans (Todar, 2004)
Streptococcus mutans termasuk dalam bakteri Gram positif dan bersifat α-hemolitik yang menjadi salah satu penyebab caries gigi. S. mutans dengan enzim glycosyl transferase dapat mengubah sukrosa yang menempel pada gigi menjadi polimer dekstran (glukan) yang dapat membentuk plak. Bakteri ini juga mengekskresikan heksosil transferase yang dapat mengubah sakarosa menjadi polifruktosa. Akumulasi koloni bakteri, polisakarida, dekstran, dan asam laktat mampu merusak enamel, dentin atau cementum sehingga terbentuk plak gigi bahkan menyebabkan gigi berlubang dan berwarna coklat. S. mutans berbentuk bulat atau bulat telur dan membentuk koloni tipe rantai (Todar, 2009; Pratiwi, 2008). g. Escherichia coli Kingdom
: Bacteria
Filum
: Proteobacteria
Kelas
: Gammaproteobacteria
Ordo
: Enterobacteriales
Famili
: Enterobacteriaceae
Genus
: Eschericia
Spesies
: Eschericia coli (Gerbawy, 2009)
Eschericia coli merupakan bakteri tidak berspora, berbentuk basil, diameter +0,5 µm, dan panjang 1,0-3,0 µm. Bakteri ini termasuk bakteri
Gram negatif, dan merupakan flora normal dalam usus terutama kolon dan usus hewan berdarah panas (Waites dkk., 2001). Beberapa strain yang ditemukan dapat digunakan dalam pembentukan vitamin K serta membantu pencernaan terhadap serangan bakteri patogen. Mikroorganisme ini dapat memfermentasi laktosa dengan cepat, memproduksi indol dan toksin seperti enterobakteria lainnya, dan dapat menyebabkan diare (Ryan dan Ray, 2004). Bakteri ini dapat tumbuh baik pada suhu 15-48 0C dengan pH 5,5-8,0 (Welch, 2006). 5. Media Media merupakan tempat tumbuh sel dalam media terdapat komponen yang dibutuhkan oleh sel untuk tetap hidup. Terdapat 3 jenis media yang digunakan dalam kultur, yaitu media padat, media semi padat dan media cair. Perbedaan dari ketiga media tersebut terdapat pada penambahan gelling agent atau agar. Menurut McNeil (2008), Media yang digunakan dalam kultur mikroba berdasarkan komponen media ada 3 jenis, yaitu media sintesis, semi sintesis dan kompleks. Media sintesis adalah media yang secara keseluruhan terbuat secara kimiawi. Komponen yang terkandung dalam media sintesis merupakan komponen yang sudah diketahui dan konsentrasi tiap komponen spesifik. Media semi sintetik adalah media yang secara keseluruhan terbuat dari bahan kimia tapi beberapa atau sebagian komponen terbuat dari bahan non sintetis tapi tetap terkontrol, seperti yeast. Yeast digunakan jika sel membutuhkan vitamin B dalam jumlah besar. Media kompleks adalah media yang hampir secara keseluruhan
komponen berasal dari tumbuhan atau hewan akan tetapi semua komponen tersebut tetap terkontrol. Pembuatan media disesuaikan dengan nutrisi yang diperlukan untuk menumbuhkan mikroorganisme dan tujuan dari pembiakan mikroorganisme tersebut. Beberapa elemen yang mutlak terdapat dalam suatu media pembiakan mikroorganisme seperti : a. Sumber karbon Mikroorganisme membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan sintesis komponen sel. Sumber karbon seperti gula, pati, minyak, dan lemak. b. Sumber nitrogen Nitrogen digunakan mikroorganisme sebagai bahan untuk sintesis enzim, protein, dan asam nukleat (asam amino). Sumber nitrogen seperti Ammonium sulfat ((NH4)2SO4), Ammonium klorida (NH4Cl), yeast extract, soya bean meal, dan corn steep liquor. c. Sumber oksigen Oksigen memiliki peran penting bagi struktur dan fungsi enzim dari sel sebagai bahan dalam proses metabolisme. Kebutuhan oksigen ini
juga
dipengaruhi
dikembangkan.
tipe
metabolisme
mikroorganisme
yang
d. Sumber hidrogen Senyawa ini berperan penting dalam mekanisme biokimia sel diantaranya pembentuk ikatan hidrogen, sumber energi bebas, dan pengatur pH larutan. e. Sumber belerang Belerang digunakan untuk bahan penyusun protein, koenzim, dan komponen sel lainnya. f. Sumber fosfor Fosfor dalam bentuk fosfat (PO43-) dipakai sebagai komponen ATP, fosfolipid, dan asam nukleat. g. Sumber mineral Mineral seperti Fe, Zn, dan Co biasanya terdapat dalam bentuk ion dan digunakan sebagai kofaktor dari reaksi enzimatis. Sedangkan Zn, Mg, dan Mn digunakan dalam aktivasi reaksi enzim. h. Sumber vitamin Vitamin adalah substansi organik yang dibutuhkan organisme dalam jumlah kecil dan biasanya berfungsi sebagai koenzim atau katalis dalam proses biosintesis (Harvey dan McNeil, 2008; Stanbury dkk., 2003; Pratiwi, 2008; Waluyo, 2008). Contoh media yang umum digunakan untuk fungi dan kapang seperti Capedok’s Dox Agar (CDA), Hay Infusion Agar, Malt Extract Agar (MEA), Malt Yeast Agar (MYA), Oatmeal Agar (OA), Potato Carrot Agar (PCA), dan
Potato Dekstrose Agar (PDA). Media lain yang biasa digunakan misalnya CMCAgar yang mengandung carboxymethyl untuk isolasi kapang-kapang selulotik dan media Dichloran-Glycerol (DG18) untuk isolasi food-borne fungi. Agar dalam media digunakan sebagai bahan pemadat karena tidak dapat diurai oleh mikroba. Kadar agar yang sering digunakan antara 1,5-2,0%. Untuk tujuan khusus media terkadang diberi nutrisi khusus seperti perkursor, induser, inhibitor, antibusa, bufer, katalisator, faktor pertumbuhan, atau antibiotik spesifik. 6. Fermentasi Fermentasi adalah proses dekomposisi yang terjadi secara lambat, contohnya proses dekomposisi zat-zat organik oleh mikroorganisme seperti dekomposisi larutan gula (glukosa) oleh ragi untuk membuat alkohol (Gupta, 2009). Fermentasi dalam mikrobiologi industri digambarkan sebagai proses untuk mengubah bahan dasar menjadi produk yang dikehendaki dalam kultur mikroba tertentu. Dalam pengambilan hasil fermentasi, terdapat sejumlah tahapan yang tergantung pada bahan awal, konsentrasi awal, kestabilan produk, dan tingkat kemurnian produk akhir yang diinginkan (Rahman, 1992). Secara garis besar sistem fermentasi dapat dibedakan menjadi fermentasi solid state dan sub-merged. Fermentasi solid state adalah metode menumbuhkan mikroorganisme pada kondisi dengan kandungan air terbatas tanpa memiliki aliran air yang mengalir bebas. Fermentasi sub-merged adalah proses fermentasi dimana mikroorganisme dan substrat berada dalam satu tempat sub-merged stated, biasanya pada media cair dalam jumlah besar.
Tabel 1. Karakteristik fermentasi solid state dan sub-merged (Riadi, 2007)
Karakteristik
Solid state
Sub-merged Teraduk Murni Tinggi Dengan menyemburkan atau menggelembungkan Oksigen terlarut Besar Tinggi Sederhana “Smooth” Mudah Tinggi Tinggi Tinggi
1. 2. 3. 4. 5.
Kondisi mikroorganisme dan substrat Status substrat Keadaan alami dari mikroorganisme Keberadaan air Suplai oksigen
Statis Mentah Sistem fungi Terbatas Difusi
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Kontak dengan oksigen Kebutuhan media fermentasi Kebutuhan energy Studi kinetika Perubahan suhu dan konsentrasi Pengendalian reaksi Potensi kontaminasi Jumlah cairan yang harus dibuang Problem polusi
Langsung Kecil Rendah Kompleks Fungsi step Sulit Kecil Rendah Rnedah
Menurut Stanbury dkk. (2003), proses fermentasi dibagi menjadi 6 tahap, yaitu formulasi media yang akan digunakan untuk kultur, sterilisasi media dan alat, penyiapan kultur murni yang akan digunakan dalam fementasi, penumbuhan kultur dalam media fermentasi yang optimum, ekstraksi dan pemurnian metabolit hasil fermentasi, pembuangan limbah produksi. Stanburry dkk. juga menyatakan bahwa fermentasi dapat menghasilkan: a. Biomassa (sel-sel mikrobia), misalnya protein sel tunggal b. Enzim, misalnya amylase dan protease c. Metabolit mikroba, yaitu metabolit primer misalnya polisakarida, protein, asam nukleat, dan metabolit sekunder misalnya antibiotika d. Produk rekominan, misalnya insulin dan interferon
e. Biokonversi, misalnya konversi asam asetat dari etanol, aseton dari proanol, sorbosa dari sorbitol serta produk steroid, antibiotika dan prostaglandin Komposisi media fermentasi dapat berupa media sederhana atau kompleks tergantung pada jenis mikroba dan proses fermentasi. Kelengkapan nutrient dan bahan sumber nutrient disesuaikan dengan kebutuhan dan metode fermentasi yang digunakan. Nutrien yang dibutuhkan dalam media fermentasi adalah : a. Air Air merupakan komponen utama dari semua media fermentasi. Dalam proses pertumbuhan suatu organisme keberadaan air adalah mutlak, selain itu juga sebagai pelarut bahan-bahan organik yang ada. b. Sumber energi Sumber energy yang dipakai berupa senyawa karbon. c. Sumber nitrogen Senyawa ini digunakan sebagai senyawa pembangun. Senyawa ini dapat berupa senyawa organic dan anorganik. Sumber nitrogen anorganik seperti gas ammonia (NH3), garam ammonium (NH4Cl), dan nitrat. Sumber nitrogen organic seperti urea, asam amino, dan protein. d. Mineral Senyawa ini digunakan dalam beberapa proses produksi antibiotika. Mineral yang biasa digunakan seperti Mg, P, K, S, Ca, dan Cl.
e. Oksigen Senyawa ini dibutuhkan untuk fermentasi aerobik, berguna untuk mengendalikan laju pertumbuhan, dan produksi metabolit. f. Buffer Buffer digunakan agar proses fermentasi dapat berjalan optimum dan menjaga kestabilan pH. g. Vitamin Beberapa fermentasi membutuhkan vitamin sebagai pendukung proses fermentasi yang optimal. Contohnya biotin yang berguna dalam pembentukan asam glutamate. h. Antibuih Dalam beberapa kasus dibutuhkan antibuih untuk mencegah terbentuknya buih akibat pengadukan/penggojogan (Pudjono, 2005; Riadi, 2007). Metode fermentasi dibagi menjadi 3 berdasarkan proses fermentasi, yaitu: batch culture, fed-batch culture, dan continuous culture. Sistem Batch culture merupakan sistem fementasi tertutup, semua nutrisi yang dibutuhkan mikroba selama pertumbuhan dan pembentukan produk berada di dalam 1 fermentor. Jadi tidak ada penambahan bahan atau pengambilan hasil selama fermentasi berlangsung. Keuntungan sistem ini adalah mudah, sederhana, dan kecil kemungkinan adanya kontaminasi; sedangkan kerugiannya adalah kultur mikroba yang menua, yaitu tidak ada perbaruan pertumbuhan mikroba, pembetukan metabolit toksik
yang bercampur dengan produk, konsentrasi substrat terbatas, dan sukar untuk diaplikasikan dalam skala besar (McNeil and Harvey, 2008). Fed-batch culture merupakan proses fermentasi yang mana media pertumbuhan ditambahkan ke dalam batch secara terus-menerus saat setelah penanaman atau saat setelah setengah proses batch culture berlangsung tanpa menghilangkan cairan kultur (Harada dkk., 1997). Sistem fed-batch dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan sistem volume tetap dan volume berubah. Sistem volume tetap berarti setiap ada penambahan medium baru ke dalam fermentor, ada medium lama, produk, atau sel yang dikeluarkan sebanyak medium baru yang dimasukkan ke dalam fermentor; sedangkan volume sistem volume berubah, berarti ke dalam fermentor ditambahkan medium baru tetapi tidak ada medium lama atau produk yang dikeluarkan dari dalam fermentor (McNeil and Harvey, 2008). Dalam model ini terdapat pengaliran serta pergantian media, nutrisi, dan produk. Dengan teknik ini, fermentasi dapat dilakukan dalam jangka waktu lebih lama daripada model batch culture karena tidak mudah terjadi kejenuhan. Continuous culture biasanya digunakan dalam skala industry. Sistem ini merupakan proses fermentasi yang mana media pertumbuhan ditambahkan dengan kecepatan yang sama secara terus-menerus saat setelah penanaman dan saat bersamaan cairan kultur dikeluarkan dari wadah fermentasi. Keuntungan sistem ini adalah mempunyai produktivitas dan kecepatan pertumbuhan dapat dioptimalkan, proses dalam waktu lama dapat dijalankan,
dapat digunakan model sel amobil, serta faktor fisis dan lingkungan mudah dianalisis; sedangkan kerugiannya adalah tidak sesuai dengan kaidah Good Manufacturing Practice sehingga dilarang digunakan untuk memproduksi produk farmasi, resiko kontaminasi yang besar, produk yang belum optimal terbentuk, dan mudah timbul perubahan/evolusi pada mikroba (McNeil and Harvey, 2008). Disebutkan oleh Pratiwi (2008), bahwa pertumbuhan mikroba di dalam media terjadi melalui 4 tahap, yaitu : a. Fase Lag, merupakan fase adaptasi, fase penyesuaian mikroba pada lingkungan baru. Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel, tetapi hanya terjadi peningkatan ukuran sel. Lama fase lag tergantung pada kondisi dan jumlah awal mikrobia dan media pertumbuhan. b. Fase Log/eksponensial, mikroba tumbuh dan membelah dengan kecepatan maksimum, tergantung pada genetika mikrobia, sifat media, dan kondisi pertumbuhan. c. Fase stasioner, pertumbuhan mikroba terhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dan sel yang mati. Pada fase ini terjadi akumulasi buangan yang toksik.
d. Fase kematian, jumlah sel yang mati meningkat. Faktor penyebabnya adalah ketidak-tersediaan nutrisi dan akumulasi produk toksik.
Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Sel (Stanbury dkk., 2003)
Selain keempat fase diatas Wibowo (2011), menyebutkan bahwa di dalam Kurva pertumbuhan mikroorganisme sistem batch, terdapat satu fase lagi yang dinamakan fase kriptik. Fase kriptik terbentuk setelah fase stasioner dan sebelum fase kematian. Wibowo menjelaskan bahwa adakalanya setelah fase stasioner, beberapa saat terjadi lisis pada sel yang telah mati, menyebabkan keluarnya produk/ isi sel. Isi sel yang lisis dapat menjadi nutrisi bagi sebagian sel yang masih hidup sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan baru (cryptic growth). Aspek kritis dalam proses fermentasi adalah pada tahap pemurnian dan pemanenan produk. Proses pemurnian mulai dari pemisahan sel dan bahan bernutrien yang tidak larut pada media kultur. Pemisahan sel dari media kultur dapat
dilakukan
dengan
penyaringan
atau
sedimentasi.
Produk-produk
intraselular dapat diisolasi dengan cara menghancurkan sel baik secara kimia,
fisik, maupun biologis. Beberapa unit operasi yang dibutuhkan untuk pemanenan hasil fermentasi yaitu ekstraksi, kromatografi, evaporasi, ultrafiltrasi, dialisa, kristalisasi, pengendapan serta penyaringan (Rahman, 1992). 7. Uji aktivitas Antimikroba Uji aktivitas antibakteri ada dua metode menurut Parija (2009), yaitu: metode difusi dan metode dilusi. Metode difusi dibag menjadi empat yaitu: disc diffusion, E-test, ditch plate technique, dan cup-plate technique. Pengujian ini bermaksud untuk mengetahui respon populasi mikroorganisme terhadap pertumbuhan mikroba lainnya. Hasil metode difusi diukur sebagai besar diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri di sekitar disc. Zona hambatan dibagi menjadi dua, yaitu: a. Zona Radikal yaitu suatu daerah di sekitar disk di mana sama sekali tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri. Potensi antibakteri diukur dengan mengukur diameter dari zona radikal. b. Zona Iradikal yaitu suatu daerah disekitar disk di mana pertumbuhan bakteri dihambat oleh antibakteri, tetapi tidak dimatikan. Menurut Pratiwi (2008), terdapat berbagai macam cara menguji daya antibiotik, antara lain: a. Metode difusi 1) Disc Diffusion Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media padat yang telah ditanami mikroorganisme. Area jernih disekitar
piringan menandakan adanya hambatan pertumbuhan oleh agen antimikroba. 2) E-Test Metode ini juga dapat mengetahui MIC (Minimal Inhibitory concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimal). KHM atau MIC adalah konsentrasi minimal agen mikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Metode ini menggunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dengan kadar terendah hingga tertinggi kemudian diletakkan pada media padat yang telah ditanami mikroorganisme. Secara umum metode E-test (Epsilometer test) sama dengan metode disc diffusion, perbedaannya pada E-test bentuk disc berupa potongan nilon berbentuk linier yang berisi antimikroba dengan berbagai konsentrasi yang dibatasi dengan garis-garis dan gambar yang merupakan nilai MIC (Smith, 2004). Seperti pada pengujian lainnya daerah jernih disekitar strip menunjukkan kemampuan agen antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Zona hambat yang terbentuk buasanya berbentuk elips. 3) Ditch-plate technique Agen antimikroba diletakkan pada parit yang diletakkan dengan cara memotong media Agar dalam perti dibagian tengah secara membujur dan mikroba uji digoreskan kearah parit tersebut.
4) Cup-plate technique Metode ini dilakukan dengan membuat sumur pada media agar yang telah ditanamu mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji. 5) Gradien plate technique Dalam metode ini digunakan berbagai konsentrasi agen antimikroba secara teoritis. Media Agar dilarutkan dahulu kemudian agen antimikroba ditambahkan dengan dituang ke dalam petri dan diletakkan pada posisi miring, selanjutnya nutrisi kedua dituang diatasnya. Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen antimikroba berdifusi. Mikroba uji digoreskan mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil dilihat dari panjang total pertumbuhan mikroorganisme maksimum yang mungkin dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil goresan. b. Metode dilusi 1) Metode dilusi cair/broth dilution test (dilusi berseri) Metode ini untuk mengukur MIC atau KHM dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration) atau KBM (Kadar Bunuh Minimum). Dalam metode ini dibuat seri pengenceran agen antimikroba pada media cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Kadar terkecil larutan uji agen antimikroba yang terlihat jernih ditetapkan sebagai KHM. Kemudian larutan yang ditetapkan sebagai
KHM diinkubasi dan ditanam. Hasil inkubasi larutan KHM yang paling jernih ditetapkan sebagai KBM. 2) Metode dilusi padat/solid dilution test Metode ini serupa dengan dilusi cair hanya saja menggunakan medium padat. Keuntungan metode ini adalah agen antimikroba uji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba. Kekurangannya adalah membutuhkan waktu lama, penggunaan terbatas, dan tidak praktis. Menurut Wanger (2009), metode difusi dikenal juga dengan metode Kirby Bauer. Prinsip kerja metode ini adalah difusi sejumlah senyawa antibakteri dalam paper disc ke media agar yang telah diinokulasikan oleh sejumlah mikroba kemudian diinkubasi selama 18-24 jam suhu 370C. Metode disc diffusion dibagi menjadi tiga, yaitu: metode Kirby Bauer, metode Stokes, dan metode Primary disc diffusion. Menurut Parija (2009), prinsip kerja metode Kirby Bauer adalah difusi sejumlah senyawa antibakteri ke media agar yang telah diinokulasikan dengan cara menggoreskan mikroba uji di atas permukaan agar. Metode dilusi merupakan metode kuantitatif. Menurut Wanger (2009), MIC sangat berpengaruh terhadap aktivitas terapi suatu antibakteri. Nilai MIC 0.016 μg mL−1 memiliki perbeadaan yang sangat signifikan terhadap nilai MIC 1 μg mL−1 dalam terapi antibakteri. Metode dilusi dibagi menjadi dua yaitu dilusi cair dan dilusi agar. Dilusi cair merupakan metode kuantitatif, prinsip metode ini adalah sejumlah senyawa antibakteri dibuat beberapa seri kadar kemudian
ditempatkan dalam sumuran atau tube dan ke dalam tube tersebut dimasukkan standar mikroba uji. kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 370C. Metode dilusi agar merupakan metode kuantitatif yang diukur berdasarkan MIC. Prinsip metode ini adalah sejumlah senyawa antibakteri dibuat beberapa seri kadar atau konsentrasi di teteskan pada media agar yang telah diinokulasikan standar mikroba uji kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 370C. Metode plate count merupakan metode untuk menghitung jumlah mikroba. Metode plate count dibagi menjadi 2 metode (Herbert, 1990) berdasarkan cara inokulasi mikroba uji pada media agar, yaitu metode pour plate dan metode spread plate. Metode pour plate adalah sejumlah mikroba uji tertentu dicampur dengan media agar yang telah cair kemudian dicampur dan dituang ke dalam cawan petri steril. Sedangkan metode spread plate mikroba uji diinokulasikan dengan cara menggoreskan mikroba uji di atas permukaan agar. 8. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis adalah teknik kromtografi yang digunakan secara luas untuk analisis kualitatif dari senyawa-senyawa organik, isolasi suatu senyawa dari campuran multi komponen, analisis kuantitatif dan isolasi pada skala preparatif (Waksmundzka dkk., 2008). Prinsip dari KLT sendiri adalah suatu analit bergerak naik atau melintasi fase diam, di bawah pengaruh fase gerak, yang bergerak melalui fase diam oleh kerja kapiler. Jarak pemindahan oleh analit tersebut ditentukan oleh afinitas relatifnya untuk fase diam terhadap fase gerak.
a. Sistem KLT Hasil KLT ditentukan oleh fase diam (penyerap), fase gerak (pelarut), dan teknik kerja. Teknik kerja meliputi atmosfer bejana dan jenis pengembangan. Kondisi awal keberhasilan metode ini ditentukan oleh fase diam, fase gerak, bejana pemisah, cuplikan, cara dan jumlah penotolan, pembuatan cuplikan, dan deteksi senyawa yang dipisahkan. Fase diam adalah material inert yang dilapiskan pada permukaan pelat tipis pendukung. Ada sekitar 25 material inert yang dapat digunakan sebagai sorbent untuk KLT. Menurut Wall (2005), gel silika adalah yang paling banyak digunakan (64%), diikuti oleh selulosa (9%), dan alumina (3%). Fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga mengandung substansi yang mana dapat berpendar flour dalam sinar ultra violet. Eluen adalah fase gerak yang berperan penting pada proses elusi bagi larutan umpan (feed) untuk melewati fase diam (sorbent). Interaksi antara sorbent
dengan
eluent
sangat
menentukan
terjadinya
pemisahan
komponen-komponen senyawa dalam analit. Eluen dapat digolongkan menurut ukuran kekuatan teradsorpsinya pelarut atau campuran pelarut tersebut pada adsorben dan dalam hal ini yang banyak digunakan adalah jenis adsorben alumina atau sebuah lapis tipis silika. Penggolongan ini dikenal sebagai deret eluotropik (eluotropic series). Suatu pelarut yang bersifat larutan relatif polar, dapat mengusir pelarut yang relatif tak polar dari ikatannya dengan sorbent.
Jarak
pengembangan
senyawa
pada
kromatogram
biasanya
dinyatakan dengan angka Rf atau hRf. Harga Rf dirumuskan sebagai berikut: Rf = Jarak antara titik penotolan ke pusat bercak Jarak antara titik penotolan ke batas elusi Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. Bilangan hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100. b. Pemisahan senyawa dalam analit Secara umum, pemisahan senyawa dalam analit dengan metode KLT, dapat terjadi melalui tiga mekanisme (Wall, 2005) :
1.
Adsorpsi Adsorpsi adalah suatu fenomena permukaan yang terjadi akibat adanya interaksi antara gugus-gugus pada pemukaan dengan molekul yang mendekati permukaan tersebut. Dalam pemisahan komponen senyawa analit dengan KLT, senyawa yang berinteraksi lebih kuat dengan gugus permukaan dibandingkan interaksinya dengan pelarut, akan tertahan lebih lama, sementara senyawa yang sukar berinteraksi dengan gugus-gugus permukaan akan terlihat lebih menjauhi titik spot awal analit ditotolkan. Dengan demikian, pemisahan secara adsorpsi sangat dipengaruhi oleh kekuatan interaksi dipol terinduksi.
2.
Partisi Pada pemisahan secara partisi, fase diam yang berupa larutan, teradsorpsi atau terikat secara kimiawi pada gel silika. Fase diam ini tidak larut dalam fase gerak. Migrasi dari senyawa-senyawa dalam analit, bergantung pada kelarutannya pada kedua fase. Dengan demikian, komponen senyawa yang memiliki afinitas lebih besar terhadap fase gerak, akan terelusi lebih dahulu dibanding komponen lain yang memiliki afinitas lebih besar terhadap fase diam.
3.
Penukar ion Proses pertukaran ion dapat terjadi pada sorbent yang mengandung ion yang memiliki kemampuan untuk digantikan dengan ion lain dari analit atau fase gerak. Fase gerak berperan sebagai elektrolit. Pada pH yang konstan, senyawa dengan afinitas rendah, akan dengan mudah bertukar ion dengan elektrolit pada fase gerak dan bermigrasi lebih dahulu bersama fase gerak tersebut. Sementara senyawa dengan afinitas tinggi akan bergerak lebih lambat dan cenderung berada pada tempat awal senyawa tersebut. Pita hasil pemisahan umumnya tidak berwarna, maka untuk
penentuan identitasnya dapat dilakukan secara fisika, kimia maupun biologi. Secara fisika dengan pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar UV (Rohman, 2007). Secara kimia dilakukan dengan cara mereaksikan pita dengan pereaksi yang cocok melalui penyemprotan sehingga pita menjadi
jelas terlihat. Reagen pereaksi pendeteksi golongan senyawa yang sering digunakan adalah : 1) Vanilin-asam sulfat digunakan untuk mendeteksi senyawa fenolik, steroid, minyak atsiri, zat pahit dan saponin. 2) Anisaldehid-asam sulfat digunakan untuk mendeteksi adanya senyawa fenolik, terpenoid, gula, dan seteroid. Pereaksi ini juga dapat digunakan untuk mengamati minyak atsri, zat pedas, zat pahit, saponin, dan lainnya. 3) Liebermann Burchard (LB) digunakan untuk mendeteksi steroid, sterol, triterpen, triterpen glikosid, dan α-5,3-sterol (kolesterol dan esternya). 4) Besi (III) klorida (FeCl3) untuk mendeteksi asam hidroksimat dan fenolik. 5) Antimon klorida (SbCl3) atau reagen Carr-price digunakan untuk mengetahui gugus rangkap karbon. 6) DNPH (Dinitro Phenilhidrazina LP) untuk mendeteksi keton dan aldehid. 7) Dragendorff LP untuk mendeteksi gugus N-heterosiklik seperti pada alkaloid. 8) Serium sulfat untuk mendeteksi senyawa organik (Sutrisno, 1986).
9. Bioautografi Bioautografi merupakan suatu metode pendeteksian untuk menemukan senyawa antimikroba yang belum teridentifikasi. Bioautografi merupakan gabungan dari sistem kromatografi dan sistem uji aktivitas difusi agar. Metode ini dilakukan dengan cara melokalisir aktivitas zat antimikroba target pada suatu kromatogram dengan memanfaatkan sistem kromatografi lapis tipis (KLT). Jenis metode bioautografi menurut Djide dkk. (2005), adalah sebagai berikut : a. Bioautografi langsung Dalam metode ini mikroba ditumbuhkan secara langsung diatas lempeng KLT. Prinsip metode ini adalah suspense mikroba uji yang berada dalam media cair disemprotkan pada lempeng KLT. Setelah itu dilakukan inkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Senyawa dalam lempeng KLT dideteksi dengan sinar UV 254 nm dan UV 366 nm. Dalam metode ini terkadang dikombinasikan dengan pewarnaan mikroba untuk memperjelas pola daerah aksi senyawa aktif. b. Bioautografi kontak Dalam metode ini senyawa antimikroba dipindahkan dari lempeng KLT ke media Agar yang telah diinokulasikan mikroba uji secara merata dan melakukan kontak langsung. Metode ini didasarkan pada reaksi difusi senyawa yang telah dipisahkan dengan KLT pada media.
c. Bioautografi pencelupan Dalam sistem ini lempeng KLT yang telah dielusi dituangi media Agar sehingga permukaan KLT tertutupi oleh media Agar yang berfungsi sebagai “base layer”. Setelah media memadat, tahap selanjutnya adalah menuang media Agar yang telah diinokulasi dengan suspense mikroba uji sebagai “seed layer”. Menurut Aqil dkk. (2010), ada 2 macam metode bioautografi, yaitu bioautografi kontak dan overlay bioautography. Selain itu juga terdapat metode bioautografi langsung. Bioautografi langsung disuspensikan dalam media cair disemprotkan pada plat KLT dan diinkubasi. Zona hambatan dideteksi dengan penyemprotan garam tetrazolium (contoh: MTT). Garam tetrazolium akan diubah oleh enzim dehidrogenase oleh mikroorganisme hidup dan menghasilkan warna formazan ungu (Das, 2010). Daerah bersih yang timbul di antara warna ungu pada plat KLT menunjukkan adanya aktivitas antimikroba pada senyawa uji. Bioautografi kontak merupakan metode dimana senyawa antimikroba dalam plat KLT ditransfer ke dalam agar yang telah diinokulasi dengan mikroba uji dengan cara penempelan langsung. Overlay bioautography merupakan metode media yang telah berisi mikroba uji dituang ke atas plat KLT. Penggunaan overlay bioautography dijelaskan oleh Slusarenko dkk. (1989), 5-10µl ekstrak ditotolkan dalam plat KLT silika gel G F254 dengan ketebalan 0,25 mm dan ukuran 3x8 cm. Plat KLT dikembangkan dengan fase gerak. Tiap 10 mL media diberi suspensi bakteri uji sebanyak 1 mL (105
spora/mL). Plat KLT yang telah dikembangkan dengan fase gerak diletakkan dicawan petri steril. Suspensi mikroba uji dicampur dengan media agar yang telah meleleh kemudian media agar cair yang telah berisi mikroba uji dituang di atas kromatogram. Untuk menjaga agar plat KLT tidak bergerak saat dituang media yang telah berisi mikroba uji maka cawan petri perlu dialasi dengan media agar yang telah memadat. Plat diinkubasi selama 72 jam, suhu 280C. Zona hambatan dapat terlihat di sekitar spot aktif dalam kromatogram dengan menggunakan reagen deteksi garam tetrazolium. Penggunaan bioautografi memiliki keterbatasan, terutama bila mikroba uji berupa fungi. Karena pertumbuhan fungi jauh lebih lambat dibanding bakteri dan risiko kontaminasi makin besar. Selain itu apabila aktivitas antimikroba akibat dari senyawa yang saling bersinergi. Selain itu metode ini tergantung dari cara ekstraksi dan fase gerak yang digunakan. Metode ini cukup efisien untuk mendeteksi adanya senyawa antimikroba karena letak pita senyawa aktif dapat ditentukan sehingga memungkinkan untuk mengisolasi senyawa aktif tersebut. E. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas senyawa antibakteri jamur endofit DP10 terhadap mikroba uji. Selain itu juga untuk mengetahui genus jamur endofit DP10 dan mengidentifikasi golongan senyawa aktif jamur endofit DP10 yang bertanggung jawab terhadap antimikrobanya.