BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penuaan merupakan proses alamiah yang tidak terelakkan untuk semua organisme hidup dan erat kaitanya dengan berbagai proses degeneratif. Penuaan dapat diartikan sebagai penumpukan kerusakan maupun penurunan fungsi biologis dan kemampuan organisme untuk beradaptasi terhadap stress metabolik (Fischer & Sikic, 1995). Penuaan dapat dibedakan atas (1) penuaan intrinsik, yaitu penuaan yang terjadi secara alamiah akibat sel berhenti membelah dan mengalami kematian; dan (2) penuaan ekstrinsik, yaitu penuaan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal. Pada penuaan intrinsik, kerusakan terjadi secara genetik yang terprogram sehingga mengakibatkan penurunan produksi fibroblas, kolagen, dan elastin sehingga menghasilkan elastisitas kulit berkurang atau hilang serta kerutan pada kulit (McCullough & Kelly, 2006). Pada penuaan ekstrinsik, sinar matahari merupakan faktor utama yang menyebabkan kerusakan pada kulit (photoaging), di mana sinar UV A dan UV B menyebabkan efek fotobiologis yang menimbulkan radikal bebas yang akan merusak DNA dan menurunkan sistem imun. Pada manusia, efek yang paling terlihat terdapat pada jaringan kulit. Terjadinya radikal bebas akibat proses oksidatif inilah dasar teori penuaan yang paling sering dianut. Radikal bebas merupakan molekul yang tidak stabil karena memiliki satu atau lebih elektron bebas yang tidak berpasangan di orbit luarnya (Winarsi, 2007). Keadaan ini menyebabkan molekul tersebut bersifat reaktif mencari pasangan
1
2
dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya, sehingga disebut juga sebagai reactive oxygen species (ROS). ROS dapat mengakibatkan penuaan kulit, yaitu dengan cara mengambil elektron dari komponen makromolekul di dalam tubuh. Hilangnya elektron dari sel tubuh mengakibatkan sel menjadi radikal bebas yang akan memulai serangkaian proses yang sama dengan sebelumnya, sehingga kerusakan terus terjadi. Keadaan ini akan memicu munculnya berbagai penyakit degeneratif atau penuaan. Oleh karena itu, tubuh memerlukan suatu substansi penting, yaitu antioksidan yang dapat membantu melindungi tubuh dari serangan radikal bebas dan meredam dampak negatifnya. Antioksidan merupakan suatu senyawa pemberi elektron (reduktor) yang dapat mencegah terbentuknya radikal bebas dan menghambat reaksi oksidasi dengan cara mengikat radikal bebas (Winarsi, 2007). Manfaat antioksidan bagi tubuh telah banyak dikenal oleh masyakarat, salah satunya sebagai anti penuaan karena dapat mencegah keriput dengan cara menghambat radikal bebas. Senyawa kurkumin alami berasal dari tanaman Curcumalonga, L., (Curcuma domestica) dan Curcuma xanthorriza, R. Berbagai penelitian secara ilmiah telah banyak melaporkan mengenai aktivitas kurkumin, di antaranya sebagai antioksidan, antiinflamasi, antibakteri, dan antikanker (Majeed et al., 1995; Sardjiman, 2000). Dalam perkembangannya dilakukan modifikasi terhadap senyawa kurkumin untuk memperoleh senyawa yang lebih poten, stabil, aman, efektif, dan memiliki aktivitas yang lebih spesifik. Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0) adalah analog dari salah satu metabolit kurkumin, yaitu Tetrahidrokurkumin (THC) yang memiliki aktivitas antioksidan. Simbara (2009)
3
dalam penelitiannya mengatakan bahwa senyawa THPGV-0 memiliki aktivitas peredaman terhadap radikal DPPH yang lebih baik daripada vitamin E. Hal ini menjadi dasar untuk mengembangkan senyawa tersebut menjadi produk farmasi yang potensial. Pada terapi aging, senyawa THPGV-0 dapat dimanfaatkan untuk mencegah penuaan dengan menghambat reaksi perusakan oleh radikal bebas. Namun sampai saat ini belum ada produk formulasi topikal dari senyawa THPGV-0 dalam sediaan krim yang dijual di Indonesia. Oleh karena itu, dalam penelitian ini senyawa THPGV-0 diformulasikan dalam sediaan krim untuk penggunaan secara topikal yang ditujukan sebagai antiaging. Pemilihan formulasi dalam bentuk krim selain untuk mendapatkan penggunaan yang praktis dan mudah, sediaan krim juga berfungsi untuk menghindari adanya rasa lengket pada kulit. Untuk membuat suatu krim yang baik dan efektif, dibutuhkan formulasi yang sesuai dan zat aktif yang terbukti khasiatnya. Kondisi sediaan krim dapat berpengaruh terhadap kestabilan maupun aktivitas senyawa aktif di dalamnya. Begitu juga sebaliknya, jumlah senyawa aktif yang terdapat dalam krim dapat mempengaruhi sifat fisik dari krim tersebut (Mugglestone et al., 2012). Maka dari itu, pembuatan suatu produk farmasi memerlukan penelitian untuk mengetahui karakter dari sediaan dan kemampuannya memberikan efek yang diharapkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari konsentrasi senyawa THPGV-0 terhadap sifat fisik dan aktivitas antioksidan suatu sediaan krim antiaging.
4
B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimanakah pengaruh perbedaan konsentrasi senyawa THPGV-0 terhadap sifat fisik sediaan krim?
2.
Bagaimanakah pengaruh perbedaan konsentrasi senyawa THPGV-0 terhadap aktivitas antioksidan sediaan krim?
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi mengenai pengaruh dan aktivitas antioksidan dari senyawa THPGV-0 dalam sediaan krim yang ditujukan untuk penggunaan secara topikal. Dengan demikian formulasi krim antiaging THPGV-0 dapat digunakan sebagai salah satu alternatif produk kecantikan yang dapat digunakan untuk perlindungan kulit terhadap radikal bebas dan mencegah penuaan. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi senyawa THPGV-0 terhadap sifat fisik dan aktivitas antioksidan sediaan krim, sehingga dapat dilakukan evaluasi dalam rangka menjadikannya produk farmasi yang potensial.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0) Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0) atau 2,5-bis(4´-hidroksi-3-
metoksi-benzil)siklopentanon merupakan analog salah satu metabolit kurkumin,
5
Tetrahidrokurkumin (THC). THPGV-0 adalah metabolit aktif dari senyawa analog kurkumin yaitu Pentagamavunon-0 (PGV-0). Senyawa THPGV-0 dapat disintesis dari starting material PGV-0 dengan metode hidgrogenasi menggunakan gas H2 dan katalis palladium/karbon (Pd/C) dalam pelarut metanol (Ritmaleni & Simbara,
2010).
Senyawa
tetrahidropentagamavunon-0
(THPGV-0)
hasil
penelitian Ritmaleni & Simbara (2010) berupa serbuk putih dengan jarak lebur 122,2-123,4° C. THPGV-0 telah diteliti memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik daripada senyawa induknya yaitu PGV-0 (Ritmaleni et al., 2013), selain itu juga memiliki aktivitas menghambat pelepasan histamin namun tidak lebih poten daripada PGV-0 (Nugroho et al., 2010). Senyawa THPGV-0 telah diuji menunjukkan aktivitas antioksidan cukup besar, daya tangkap terhadap radikal DPPH oleh THPGV-0 lebih efektif daripada senyawa PGV-0 dan vitamin E. THPGV-0 juga memiliki nilai Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP) lebih besar daripada senyawa PGV-0 dan vitamin E (Simbara, 2009). Struktur molekul dari senyawa THPGV-0 ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Molekul Senyawa THPGV-0
6
2.
Radikal Bebas dan Oksidan Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu
atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital luarnya (Soeatmaji, 1998). Hal ini menyebabkan senyawa tersebut bersifat reaktif mencari pasangan elektron dengan mengikat elektron dari molekul yang berada di sekitarnya. Bila dua senyawa radikal bertemu, akan terbentuk ikatan kovalen yang stabil akibat bergabungnya elektron-elektron bebas yang terdapat pada kedua senyawa radikal tersebut. Sebaliknya, bila radikal bebas bertemu dengan senyawa bukan radikal bebas, maka akan terjadi kemungkinan: (1) Radikal bebas akan memberikan elektron (reduktor) yang tidak berpasangan pada senyawa bukan radikal bebas, (2) Radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas, (3) Radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas. (Halliwell & Gutteridge, 1991). Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta komponen DNA termasuk karbohidrat. Dampak dari radikal bebas pada sel antara lain gangguan pada fungsi sel, kerusakan struktur sel, molekul yang termodifikasi sehingga tidak dapat dikenali sel, bahkan mutasi. Dampak lebih lanjut dari radikal bebas pada tubuh yaitu dapat menyebabkan kerusakan sel atau jaringan, penyakit autoimun, penyakit degeneratif, dan kanker. Oksidan adalah senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu senyawa yang dapat menarik elektron. Maka dari itu, senyawa radikal bebas dan oksidan memiliki kemiripan pada agresivitas untuk menarik elektron bebas yang
7
berada di sekitarnya. Semua radikal bebas merupakan oksidan, namun tidak semua oksidan adalah radikal bebas. Hal itu karena senyawa radikal bebas lebih berbahaya daripada senyawa oksidan non-radikal. Aktivitas kedua senyawa ini sering mengakibatkan hal yang sama walaupun prosesnya berbeda. Senyawa radikal bebas memiliki reaktivitas yang lebih tinggi daripada senyawa oksidan non-radikal. Hal ini menyebabkan radikal bebas dapat menciptakan senyawa radikal bebas baru dan seterusnya lagi sehingga dapat menciptakan reaksi berantai (chain reactions). Reaksi tersebut baru dapat berhenti apabila diredam (quenched). Senyawa radikal bebas yang terdapat dalam tubuh dapat berasal dari dua sumber, yaitu dari dalam tubuh (endogen) dan dari luar tubuh (eksogen). Jenisjenis radikal bebas yang dihasilkan oleh tubuh dan radikal bebas dari lingkungan berupa: (1) Reactive Oxygen Spesies (ROS) terdiri dari radikal bebas; superoksida anion (O2), hidroksil (OH), alkoksil (RO), peroksil (RO2), serta senyawa bukan radikal yang berfungsi sebagai pengoksidasi atau senyawa yang mudah mengalami perubahan senyawa radikal seperti hidrogen peroksida (H2O2), ozon (O3) dan HOCl, (2) Reactive Nitrogen Spesies (RNS) terdiri dari radikal bebas nitrooksida (NO2), peroksinitrit (ONOO), dan senyawa bukan radikal seperti HNO2 dan N2O4. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh terbentuk dari autooksidasi, oksidasi enzimatik, respiratory burst, transpor elektron di mitokrondria, oksidasi ion-ion logam transisi, dan melalui iskemik. Radikal yang berasal dari luar tubuh di antaranya adalah obat-obatan radiasi, rokok, polusi udara (Arief, 2010; Simanjuntak, 2012).
8
Sumber radikal bebas, baik endogenus maupun eksogenus terjadi melalui sederetan mekanisme reaksi antara lain: pembentukan awal radikal bebas (inisiasi), terbentuknya radikal baru (propagasi), dan tahap terakhir (terminasi) yaitu pemusnahan atau pengubahan menjadi radikal bebas stabil dan tak reaktif (Simanjuntak, 2012).
3.
Antioksidan Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang mampu menunda,
memperlambat, atau menghambat reaksi oksidasi (Pokorny et al., 2001). Antioksidan dapat berupa enzim, vitamin, dan senyawa lain misalnya albumin, bilirubin, seruloplasmin. Antioksidan enzim meliputi superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase. Sedangkan antioksidan vitamin mencakup alfa tokoferol (vitamin E), vitamin A, beta karoten dan asam askorbat (vitamin C). Antioksidan enzimatis berperan sebagai sistem pertahanan primer pada kondisi stress oksidatif. Enzim-enzim tersebut aktivitasnya bergantung pada ion-ion logam sehingga merupakan bagian dari metaloenzim. Aktivitas SOD bergantung pada ion logam Zn, Cu, Fe, dan Mn. Kerja SOD akan semakin aktif dengan adanya poliferon yang diperoleh dari konsumsi teh. Enzim katalase bergantung pada Fe (besi). Katalase mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan mencegah pembentukan gelembung CO2 dalam darah. Sedangkan enzim glutation peroksidase (GSHPx) bergantung pada Se (selenium) dan bekerja dengan cara menggerakkan H2O2 dan lipid peroksida dibantu dengan ion logamlogam transisi (Winarsi, 2007).
9
Menurut Winarsi (2007), antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan yang memiliki berat molekul kecil tetapi mampu mendeaktivasi
berkembangnya
reaksi
oksidasi
dengan
cara
mencegah
terbentuknya radikal. Antioksidan juga dapat menghambat reaksi oksidasi dengan cara mengikat radikal bebas yang sangat reaktif, sehingga kerusakan sel dapat dihambat. Tubuh manusia secara kontinu dapat membentuk sistem antioksidan yang digunakan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas. Namun, apabila jumlah radikal bebas melebihi jumlah antioksidan yang dihasilkan, sisa dari radikal bebas yang tidak dihambat akan menyerang komponen protein, DNA, dan lipid pada sel. Menurut Purba & Martosupono (2009) antioksidan dapat digolongkan menjadi lima jenis berdasarkan fungsinya, yaitu: a. Antioksidan primer Antioksidan primer dapat mengubah senyawa radikal bebas menjadi molekul yang stabil, sehingga dapat berfungsi untuk mencegah pembentukan radikal bebas baru. Mekanisme kerja antioksidan primer ini ialah mengubah senyawa radikal bebas yang ada menjadi berkurang dampak negatifnya, sebelum senyawa tersebut sempat beraksi. Contoh dari senyawa antioksidan primer alami yaitu enzim superoksida dismutase (SOD), sedangkan antioksidan primer sintetik contohnya BHA. b. Antioksidan sekunder Antioksidan sekunder berfungsi mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga kerusakan yang lebih besar dapat dihindari. Senyawa yang termasuk
10
antioksidan sekunder antara lain vitamin E, vitamin C, beta karoten, bilirubin, albumin, dan likopen. c. Antioksidan tersier Antioksidan tersier bekerja dengan cara memperbaiki sel-sel yang rusak akibat radikal bebas. Contoh antioksidan tersier antara lain enzim metionin sulfoksi dan reduktase, yang bekerja memperbaiki DNA pada inti sel. d. Oxygen scavenger Antioksidan yang termasuk oxygen scavenger mengikat oksigen sehingga tidak mendukung adanya reaksi oksidasi. e. Chelators dan seguesstrants Chelators dan seguesstrants
merupakan senyawa antioksidan yang
mengikat logam yang mampu mengkatalis reaksi oksidasi. Propagasi dan inisiasi reaksi radikal bebas dapat dihindari atau diminimalkan dengan adanya donasi hidrogen dari antioksidan dan agen pengkelat logam. Dengan demikian, radikal antioksidan yang dihasilkan tidak menginisiasi radikal bebas lainnya karena adanya stabilisasi dari delokalisasi elektron radikal (Hamid et al., 2010).
4.
Vitamin E Vitamin E merupakan istilah untuk kelompok antioksidan pemutus ikatan
yang poten, dan larut dalam lemak. Analisis struktural telah mengungkapkan bahwa senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan vitamin E meliputi empat tokoferol (α, β, γ, δ) dan empat tokotrienol (α, β, γ, δ). Salah satu bentuk dari vitamin E, yaitu α-tokoferol, terdapat di alam dengan jumlah paling banyak, selain
11
itu menghasilkan respon biologis paling baik berdasarkan tes resorspsi janin dan mengembalikan gelaja defisiensi vitamin E pada manusia. (Flohe & Traber, 1999). Vitamin E sebagai sumber antioksidan bekerja dengan cara mencegah peroksidasi lipid dari asam lemak tak jenuh dalam membran sel dan membantu oksidasi vitamin A serta mempertahankan kesuburan. Vitamin E disimpan dalam jaringan adiposa dan dapat diperoleh dari minyak nabati terutama minyak kecambah,
gandum,
kacang-kacangan,
biji-bijian,
dan
sayuran
hijau
(Simanjuntak, 2012). Struktur molekul vitamin E ditunjukkan pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Struktur Molekul Vitamin E (Flohe & Traber, 1999)
12
5.
Kromatografi Kolom Kromatografi kolom merupakan sebuah metode yang digunakan untuk
memurnikan suatu senyawa tunggal dari campurannya. Metode ini termasuk metode konvensional yang masih sering dipakai untuk memisahkan campuran senyawa. Contoh pemisahan campuran senyawa yang dapat digunakan metode kromatografi kolom antara lain pemisahan senyawa THPGV-5 dan THPGV-0 (Simbara, 2009; Suwanti, 2015). Pada penelitian yang dilakukan Simbara (2009), isolasi senyawa THPGV-0 dilakukan menggunakan metode kromatografi kolom menggunakan fase diam silika gel pro kromatografi kolom dan fase gerak kloroform : etil asetat (5:1).
6.
Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode kromatografi
analisis kualitatif yang dapat digunakan untuk mendeteksi suatu senyawa dengan cara memisahkan senyawa tersebut dari campurannya. Fase diam yang digunakan biasanya pelat silika gel dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Setelah dilakukan pemisahan, perlu dilakukan tahap visualisasi dengan memilih metode visualisasi yang sesuai dengan jenis sampel. Senyawa THPGV-0 dapat dideteksi secara visual di bawah sinar lampu UV 254 nm (Simbara, 2009). Kondisi yang harus dipenuhi dalam penggunaan KLT antara lain senyawa analit harus dapat larut atau campur dalam solven/pelarut yang digunakan.
13
Parameter yang digunakan untuk menentukan pemisahan senyawa ialah nilai Rf, yang merupakan perbandingan antara jarak tempuh sampel dengan panjang jarak tempuh pelarut. Apabila dua senyawa memiliki nilai Rf yang sama, kedua senyawa tersebut dapat dikatakan memiliki sifat yang sama atau mirip. Sedangkan apabila dua senyawa memiliki nilai Rf yang berbeda, dapat dipastikan kedua senyawa tersebut berbeda. KLT merupakan metode penting untuk analisis kualitatif dari produk tumbuhan karena memiliki beberapa keuntungan, yaitu sampel dapat dianalisis secara simultan dan cepat, serta dapat diaplikasikan teknik pemisahan dan prosedur deteksi senyawa (Mohammad et al., 2010).
7.
Spektrofotometer UV-Visibel Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari
spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorbsi. Teknik pengukuran menggunakan spetrofotometer UV-Vis mengikuti hukum Lambert-Beer, yaitu: A=abc Keterangan: A = absorbansi a = absorptivitas b = tebal kuvet (cm) c = konsentrasi
Absorptivitas (a) adalah suatu konstanta yang tidak tergantung pada konsentrasi, tebal kuvet, dan intensitas radiasi yang mengenai larutan sampel.
14
Absorptivitas tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul, dan panjang gelombang radiasi. Satuan a ditentukan oleh satuam-satuan b dan c (Gandjar & Rohman, 2012). Spektra UV-Visibel dapat digunakan dalam informasi kualitatif dan sekaligus untuk analisis kuantitatif. Dalam aspek kuantitatif, suatu radiasi dikenakan pada larutan sampel dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya (Basir, 2015; Gandjar & Rohman, 2012).
8.
Uji Antioksidan Secara in vitro dengan Metode DPPH Metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) merupakan metode pengujian
aktivitas antioksidan yang paling umum digunakan. DPPH merupakan radikal bebas stabil berwarna ungu yang digunakan secara luas untuk pengujian kemampuan penangkapan radikal bebas dari beberapa komponen antioksidan. Molekul DPPH dikarakterisasi sebagai radikal yang stabil karena memiliki kemampuan melakukan delokalisasi elektron dalam molekul, sehingga molekul tidak mengalami dimerisasi, seperti pada kebanyakan radikal lainnya (Molyneux, 2004). Prinsip dari metode ini yaitu penambahan senyawa antioksidan akan menurunkan konsentrasi radikal bebas DPPH sehingga akan menurunkan absorbansinya pada spektrofotometer UV-Visibel jika dibandingkan dengan kontrol negatif yang tidak diberi senyawa antioksidan (Rohman & Riyanto, 2005). Semakin menurun absorbansi yang terukur, maka semakin banyak radikal bebas yang ditangkap oleh antioksidan.
15
Gambar 3. Reaksi Penangkapan Radikal oleh DPPH
Radikal bebas DPPH menunjukkan absrobansi maksimum pada λ=517 nm. Ketika elektron ganjil dari DPPH berpasangan dengan suatu hidrogen pada senyawa antioksidan penangkap radikal bebas membentuk DPPH-H, absorptivitas molar radikal DPPH pada λ=517 nm menurun dan menunjukkan perubahan warna dari ungu menjadi kuning (Molyneux, 2004). Semakin tinggi aktivitas antioksidan, maka nilai parameter IC50 semakin kecil (Blois, 1958). Mekanisme reaksi penangkapan radikal oleh DPPH ditunjukkan pada Gambar 3. Parameter yang digunakan dalam menginterpretasikan hasil uji aktivitas antioksidan dengan metode ini adalah nilai efficient concentration (EC50) atau disebut nilai IC50, yakni konsentrasi yang menyebabkanhilangnya 50% aktivitas DPPH (Molyneux, 2004).
9.
Formulasi Sediaan Krim a.
Definisi
Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Sifat umum sediaan krim ialah mampu melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam
16
waktu yang cukup lama sebelum sediaan ini dicuci atau dihilangkan. Krim dapat memberikan efek mengkilap, berminyak, melembapkan, dan mudah tersebar merata, mudah berpenetrasi pada kulit, mudah/sulit diusap, mudah/sulit dicuci air (Anwar, 2012). Keuntungan sediaan krim ialah kemampuan penyebarannya yang baik pada kulit, memberikan efek dingin karena lambatnya penguapan air pada kulit, mudah dicuci dengan air, serta pelepasan obat yang baik (Voight, 1994). Untuk membuat krim digunakan zat pengemulsi. Umumnya berupa surfaktan-surfaktan anionik, kationik, dan non-ionik (Anief, 2000). Krim adalah sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan terlarut atau terdispersi dalam bahan yang sesuai (Anonim, 1995). Krim disebut juga salep yang banyak mengandung air, sehingga memberikan perasaan sejuk bila dioleskan pada kulit. Sebagai vehikulum dapat dipakai emulsi kental berupa emulsi M/A atau emulsi A/M. Kestabilan krim dapat rusak apabila terganggu sistem pencampurannya terutama akibat perubahan suhu dan perubahan komposisi bahan yang ditambahkan secara berlebihan, atau pencampuran dua tipe krim apabila zat pengelmusinya tidak tercampurkan dengan baik (Anonim, 1979). b. Evaluasi Sediaan Krim (Uji Sifat Fisik) Evaluasi pada sediaan krim antara lain meliputi uji pH, uji viskositas, uji iritasi, uji difusi obat, serta uji daya sebar (Rao, et. al, 2010). Evaluasi dapat juga berupa uji organoleptis, uji homogenitas, dan uji daya lekat. c.
Monografi bahan pembuatan krim 1) Asam stearat
17
Asam stearat (Gambar 4) atau yang disebut dengan asam oktadekanoat mempunyai rumus empiris C18H36O2 dan bobot molekul 284,47 g/mol. Titik leleh bahan ini yaitu 69 °C. Asam stearat dideskripsikan sebagai campuran dari asam stearat dan asam palmitat. Menurut kriteria USP32-NF27 asam stearat mengandung tidak kurang dari 40% senyawa asam stearat dan tidak kurang dari 90% gabungan asam stearat dan asam palmitat. Kegunaan asam stearat dalam bidang farmasi antara lain sebagai emulsifying agent, solubilizing agent, serta lubrikan pada tablet dan kapsul. Secara luas, asam stearat digunakan dalam formulasi sediaan oral. Pada penggunaan dalam formulasi sediaan topikal, asam stearat digunakan sebagai emulsifying agent dan solubilizing agent. Apabila dicampurkan dengan trietanolamin (TEA), akan terbentuk masa krim yang kental. Plastisitas dari krim yang dihasilkan tergantung pada banyaknya alkali yang ditambahkan. Selain pada penggunaan tersebut, asam stearat juga digunakan sebagai hardening agent dalam supositoria gliserin serta eksipien pada kosmetik dan makan (Rowe et al., 2009).
Gambar 4. Struktur Molekul Asam Stearat (Rowe et al., 2009)
2) Setil alkohol Setil alkohol memiliki nama kimia heksadekan-1-ol dan rumus empiris C16H34O. Menurut USP32-NF27, setil alkohol mengandung tidak kurang dari
18
90% setil alkohol. Bobot molekul senyawa murni setil alkohol yaitu 242,44 g/mol, dan titik lelehnya pada senyawa murni yaitu 49 °C. Setil alkohol sangat mudah larut dalam etanol (95%) dan eter, kelarutannya akan meningkat dengan kenaikan suhu. Sedangkan di dalam air, setil alkohol praktis tidak larut. Setil alkohol telah secara luas digunakan dalam formulasi sediaan farmasetika dan kosmetik, contohnya supositoria, emulsi, losion, krim, dan salep. Pada penggunaannya dalam sediaan losion, krim, dan salep, setil alkohol bermanfaat karena memiliki sifat emolien, menyerap air, dan sebagai emulsifying agent. Sifat-sifat ini dapat menambah stabilitas, memperbaiki tekstur, dan meningkatkan konsistensi. Pada konsentrasi 2-5% setil alkohol berfungsi sebagai emolien dan emulsifying agent, pada konsentrasi 2-10% sebagai stiffening agent, sedangkan pada konsentrasi 5% dapat menyerap air (Rowe et al., 2009). Struktur molekul setil alkohol ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur Molekul Setil Alkohol (Rowe et al., 2009)
3) Vaselinum album Vaselinum album atau vaselin putih adalah campuran yang dimurnikan dari hidrokarbon semipadat jenuh yang diperoleh dari minyak bumi. Vaselinum album banyak digunakan dalam formulasi sediaan farmasetika topikal sebagai basis yang bersifat emolien, serta digunakan sebagai bahan tambahan dalam
19
makanan dan kosmetik. Bahan ini praktis tidak larut dalam aseton, etanol, etanol panas maupun etanol dingin (95%), gliserin, dan air, namun larut dalam benzene, kloroform, eter, heksan, karbon disulfide, dan hampir semua minyak yang mudah menguap (Rowe et al., 2009).
4) Paraffin cair Paraffin cair merupakan campuran yang dimurnikan dari hidrokarbon jenuh yang memiliki rumus umum CnH2n+2. Ciri-cirinya yaitu tidak berbau, tidak berwarna, tidak mempunyai rasa, dan bening dapat ditembus cahaya. Parafin cair banyak digunakan sebagai basis salep, yang berfungsi menaikkan titik leleh. Selain itu, paraffin cair berfungsi sebagai stiffning agent dalam pembuatan krim. Paraffin cair larut dalam kloroform dan eter, sedikit larut dalam etanol, dan praktis tidak larut dalam aseton, etanol (95%), dan air (Rowe et al., 2009).
5) Propil paraben Propil paraben merupakan serbuk kristal putih yang tidak berbau dan tidak mempunyai rasa, memiliki nama kimia propil-4-hidroksibenzoat. Rumus empirisnya yaitu C10H12O3 dan bobot molekul 180,20 g/mol. Propil paraben secara luas digunakan sebagai pengawet dalam kosmetik, produk makanan dan farmasetika, karena mempunyai fungsi sebagai antibakteri. Penggunaannya dapat dikombinasikan dengan ester paraben lainnya atau dengan antimikroba yang lain. Propil paraben menunjukkan aktivitas antibakteri pada pH 4-8, dan menunjukkan
20
penurunan aktivitas antibakteri dengan meningkatnya pH (Rowe et al., 2009). Struktur molekul propil paraben ditunjukkan pada Gambar 6 berikut:
Gambar 6. Struktur Molekul Propil Paraben (Rowe et al., 2009)
6) Propilen glikol
Gambar 7. Struktur Molekul Propilen Glikol (Rowe et al., 2009)
Propilen glikol atau 1,2-propanadiol (Gambar 7) merupakan cairan yang bening, tidak berwarna, kental, praktis tidak berbau, dengan rasa manis yang mirip dengan gliserin. Memiliki rumus empiris C3H802 dan bobot molekul 76,09 g/mol. Propilen glikol berfungsi sebagai pengawet, disinfektan, humektan, plasticizer, pelarut, stabilizing agent, dan ko-solven larut air, sehingga secara luas digunakan sebagai perlarut, ekstraktan, dan pengawet dalam sediaan parenteral maupun nonparenteral. Penyimpanan propilen glikol ialah di dalam kontainer yang tertutup baik, terlindung dari cahaya, dalam ruangan kering dan sejuk. Hal ini disebabkan propilen glikol bersifat higroskopis (Rowe et al., 2009).
21
7) Xanthan gum
Gambar 8. Struktur Molekul Xanthan Gum (Rowe et al., 2009)
Xanthan gum merupakan serbuk halus yang free flowing dan berwarna krem atau putih. USP32-NF27 mendeskripsikan xanthan gum sebagai gum polisakarida yang mempunyai bobot molekul tinggi dan mengandung D-glukosa dan D-manosa. Xanthan gum memiliki rumus empiris C35H49O29. Penggunaan xanthan gum secara luas dalam formulasi farmasetika, kosmetik, dan produk makanan sebagai suspending agent dan stabilizing agent. Selain itu, xanthan gum juga digunakan sebagai thickening dan emulsifying agent. Xanthan gum bersifat non-toksik dan kompatibel sengan kebanyakan bahan farmasetika, serta memiliki stabilitas yang baik. Xanthan gum memiliki fungsi sebagai gelling agent, stabilizing agent, suspending agent, sustained-releaseagent, dan peningkat
22
viskositas (Rowe et al., 2009). Struktur molekul xanthan gum ditunjukkan pada Gambar 8.
8) Trietanolamin (TEA)
Gambar 9. Struktur Molekul Trietanolamin (Rowe et al., 2009)
Trietanolamin, mempunyai nama kimia 2,2`,2``-Nitriloetanol, merupakan cairan bening yang berwarna kuning pucat, kental, dan sedikit berbau seperti amonia. Trietanolamin memiliki rumus empiris C6H15NO3 dan bobot molekul 149,19 g/mol. Trietanolamin berfungsi sebagai alkalizing agent dan emulsifying agent. Penggunaan trietanolamin yaitu pada formulasi sediaan farmasetika topikal, khususnya sediaan emulsi (Rowe et al., 2009). Struktur molekul trietanolamin adalah sebagai berikut pada Gambar 9.
9) Metil paraben Metil paraben dideskripsikan sebagai serbuk kristal tak berwarna atau putih, hampir tidak berbau, dan memiliki rasa terbakar. Metil paraben berfungsi sebagai antimikroba, memiliki rumus empiris C8H8O3 dan bobot molekul 152,13
23
g/mol. Secara luas metil paraben digunakan sebagai pengawet dalam kosmetik, produk makanan dan farmasetika, karena mempunyai fungsi sebagai antibakteri. Penggunaannya dapat dikombinasikan dengan ester paraben lainnya atau dengan antimikroba yang lain. Metil paraben menunjukkan aktivitas antibakteri pada pH 4-8, dan menunjukkan penurunan aktivitas antibakteri dengan meningkatnya pH (Rowe et al., 2009). Gambar 10 berikut menunjukkan struktur molekul metil paraben.
Gambar 10. Struktur Molekul Metil Paraben (Rowe et
al., 2009)
F. Landasan Teori Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, senyawa THPGV-0 memiliki aktivitas antioksidan yang lebih baik daripada vitamin E dan senyawa induknya, PGV-0 (Simbara, 2009). Senyawa THPGV-0 dapat diformulasikan ke dalam sediaan krim tipe O/W dan memiliki stabilitas fisik yang baik dalam penyimpanan (Putri, 2016). Kestabilan fisik dan aksi terapeutik dari sediaan formulasi krim dapat dipengaruhi oleh perubahan konsentrasi zat aktif dan eksipien. Konsentrasi zat aktif dan eksipien yang berbeda dapat menunjukkan perbedaan sifat fisik, kimia, maupun biologis dari
24
sediaan (Mugglestone et al., 2012). Hal ini didukung dengan hasil penelitian Widyaningrum et al. (2012) menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi senyawa etanolik ekstrak daun teh hijau sebagai zat aktif dalam sediaan krim menyebabkan penurunan daya sebar dan daya lekat krim, serta peningkatan aktivitas antibakteri. Konsentrasi bahan yang digunakan pada suatu formula emulsi dapat memberikan variasi pada viskositas dari emulsi tersebut. Viskositas suatu cairan yang besar akan memerlukan tekanan yang besar untuk mengalir, sehingga nilai viskositas mempengaruhi kemampuan menyebar dan melekat suatu emulsi (Ansel, 1969). Salah satu faktor lainnya yang mempengaruhi daya sebar dan daya lekat suatu emulsi yaitu konsentrasi zat aktif yang ditambahkan (Widyaningrum et al., 2012). Sediaan krim THPGV-0 ditujukan sebagai antiaging karena aktivitas antioksidannya. Aktivitas antioksidan dari suatu senyawa akan meningkat apabila dalam sejumlah radikal bebas yang sama konsentrasi senyawa antioksidan ditingkatkan. Jumlah senyawa meningkat dalam volum pelarut yang sama sehingga jumlah pendonor elektron yang digunakan untuk meredam radikal bebas juga lebih banyak. Dengan demikian, lebih banyak radikal bebas yang mampu diredam oleh senyawa antioksidan. Swastika et al. (2013), melalui penelitiannya mengemukakan bahwa kenaikan konsentrasi ekstrak sari tomat (Solanum lycopersicum L.) menyebabkan peningkatan aktivitas antioksidan.
25
G. Hipotesis 1.
Perbedaan
konsentrasi
senyawa
THPGV-0
dalam
sediaan
krim
sediaan
krim
antioksidan menyebabkan perbedaan sifat fisik krim. 2.
Perbedaan
konsentrasi
senyawa
THPGV-0
dalam
menyebabkan perbedaan pada aktivitas antioksidan, semakin tinggi konsentrasi senyawa THPGV-0 dalam krim akan meningkatkan aktivitas antioksidan.