BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kanker atau neoplasma ganas adalah penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel khas sehingga sel tumbuh tidak terkendali, menyerang jaringan biologis di dekatnya dan bermigrasi ke jaringan tubuh yang lain melalui sirkulasi darah atau sistem limfatik. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2013 menunjukkan, pada tahun 2012 sebanyak 1,7 juta orang terdiagnosa kanker payudara. GLOBOCAN 2012 memprediksi jumlah penderita kanker akan terus meningkat sebanyak 19,3 juta pertahun sampai tahun 2025. Di Indonesia, kanker menempati urutan ke-6 penyebab kematian terbesar didominasi oleh kanker payudara sebesar 30% (Anonim, 2012). Doxorubisin merupakan antibiotik golongan antrasiklin yang banyak digunakan untuk terapi berbagai macam jenis kanker seperti leukemia akut, kanker payudara, kanker tulang dan ovarium (Childs et al., 2002). Pemberian doxorubisin dapat menimbulkan efek samping yang merugikan, yaitu menurunkan fungsi sistem imun, diantaranya menurunkan fungsi sel makrofag (Asmis et al., 2006), menurunkan proliferasi sel limfosit dan rasio CD4+/CD8+ (Zhang et al., 2005). Doxorubisin dapat mempengaruhi pertumbuhan sel Vero dan sel HeLa (Phonnok et al., 2010) dan sel T47D (Abdolmohammadi et al., 2008). Mengkudu (Morinda citrifolia L.) adalah tumbuhan dari keluarga kopikopian (Rubiaceae). Tanaman ini tumbuh hampir di seluruh wilayah kepulauan
1
2
Indonesia. Tanaman ini oleh masyarakat telah banyak digunakan sebagai tanaman obat. Mengkudu juga dilaporkan memiliki efek antibakteri, antitumor, antivirus, antihelmin, analgesik, hipotensif, antiinflamasi dan peningkat sistem imun (Wang et al., 2002). Selain sebagai antitumor, mengkudu juga dapat digunakan sebagai pencegahan kanker dengan cara mencegah pembentukan DNA-karsinogen dan adanya aktivitas antioksidan (Wang et al., 2001). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hirazumi & Furusawa (1999) menyatakan bahwa fraksi endapan alkohol buah mengkudu dapat memperpanjang masa hidup tikus yang diberi sistem LLC (Lewis Lung Carcinoma) sampai 75% dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena jus mengkudu mengandung banyak polisakarida yang dapat mengaktivasi sistem imun inang sehingga menekan pertumbuhan tumor (Hirazumi & Furusawa, 1999). Penelitian Ediati dkk., (2012) melaporkan fraksi polisakarida buah mengkudu mempunyai efek imunostimulator, sehingga potensial untuk dikembangkan sebagai ko-kemoterapi doxorubisin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kombinasi polisakarida buah mengkudu dengan doxorubisin terhadap pertumbuhan sel Vero dan sel T47D serta kemungkinan digunakan sebagai ko-kemoterapi doxorubisin.
B. Perumusan Masalah 1.
Apakah fraksi polisakarida buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) dapat mempengaruhi pertumbuhan sel Vero setelah pemberian doxorubisin?
2.
Apakah fraksi polisakarida buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) dapat mempengaruhi pertumbuhan sel T47D setelah pemberian doxorubisin?
3
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian fraksi polisakarida buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) terhadap pertumbuhan sel Vero dan sel T47D setelah pemberian doxorubisin.
D. Tinjauan Pustaka 1. Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Tanaman mengkudu dalam sistematika tumbuhan termasuk dalam divisi Spermatophyta, anak divisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, anak kelas Sympatalae, bangsa Rubiales, suku Rubiaceae dan marga Morinda. Nama spesies tanaman Mengkudu adalah Morinda citrifolia L. (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991).
a. Deskripsi Pohon mengkudu memiliki tinggi 3-8 m, tumbuh agak membengkok, kulit kasar, memiliki cabang banyak dengan ranting muda bersegi empat. Daunnya memiliki panjang 10-40 cm dan lebar 5-17 cm, berwarna hijau tua, letaknya berhadapan dengan tangkai yang pendek, tebal mengkilap, berbentuk bulat telur lebar sampai bentuk elips, ujung runcing, pangkal menyempit, tepi rata dan bertulang menyirip (Wijayakusuma dkk., 1996). Bunganya tumbuh di ketiak daun, berbentuk bongkol bertangkai, rapat, berbunga banyak, berbau harum, mahkota bunga berbentuk tabung berwarna putih, dalam lehernya berambut wol, panjang tabung bunga sekitar 1 cm, bertaji
4
sempit. Benang sari tumbuh jadi satu dengan mahkota hingga tinggi, berjumlah 5, tangkai sari berambut wol (Steenis et al., 1975). Buah bongkol, bertangkai dengan bentuk bulat lonjong, berdaging, panjang 5-10 cm, berwarna hijau kekuningan. Permukaan buah berbenjolbenjol, keras, berdaging lunak dan berair, jika masak buah berwarna kuning pucat atau kuning kotor, berbau busuk dan didalamnya terdapat banyak biji keras segitiga dengan warna coklat kehitaman. (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991; Dalimartha, 2006).
Gambar 1. Buah mengkudu
b. Habitat Mengkudu dapat ditemukan sampai ketinggian 1.500 m di permukaan laut, biasa hidup di hutan sekunder atau dekat bebatuan. Tanaman ini juga dapat tumbuh pada daerah yang berkapur tanpa tergantung keadaan tanah, umumnya tumbuh dekat pantai, batuan limestone, dan banyak ditanam di kebun kopi sebagai tanaman pelindung, atau di kebun lada sebagai pohon tempat merambat (Steenis et al., 1975; Sudarsono dkk., 2002).
c. Sinonim Mengkudu memiliki nama daerah eodu, mengkudu, bengkudu,
5
(Sumatera), kudu, cengkudu, kemudu, pace (Jawa), wangkudu, manakudu, bakulu (Nusa tenggara) dan di Kalimantan dikenal dengan nama mangkudu, wangkudu, dan labanan (Wijayakusuma dkk., 1996).
d. Kandungan kimia Tanaman mengkudu mengandung minyak asam kapron dan asam kaprilat yang sifatnya mudah menguap (Wijayakusuma dkk., 1996). Akarnya mengandung morindin, morindon, aligarin d-metileter, soranjidiol. Daunnya mengandung protein, zat kapur, zat besi, karoten, askorbin dan alkaloid antrakinon. Sedangkan dalam bunganya terdapat glikosida antrakinon (Dalimartha, 2006). Buah mengkudu mengandung protein, polisakarida, skopoletin, asam askorbat, prokseronin dan prokseroninase (Sjabana & Bahalwan, 2002). Wang et al. (2002) juga melaporkan senyawa lain yang terkandung dalam buah mengkudu adalah kalium, alkaloid, terpenoid, antrakinon, ester lemak trisakarida dan asam asperulosidat. Polisakarida yang terkandung dalam buah mengkudu merupakan gabungan dari arabinosa, asam glukoronat, galaktosa, dan rhamnosa (Hirazumi & Furusawa, 1999).
e. Efek farmakologis Mengkudu telah digunakan selama ribuan tahun untuk pengobatan oleh bangsa Polinesia dan dilaporkan mempunyai efek terapeutik yang luas seperti antibakteri, antitumor, antivirus, antihelmin, analgesik, hipotensif, antiinflamasi
6
dan peningkatan sistem imun (Wang et al., 2002). Penelitian Wang et al. (2009) menunjukkan bahwa buah mengkudu mampu menurunkan risiko terjadinya kanker pada perokok dengan cara mengurangi keberadaan DNA adduct aromatik. Lebih lanjut Wang melaporkan adanya efek sitotoksik buah mengkudu terhadap kultur sel leukemia pada berbagai konsentrasi. Efek sitotoksik dari buah mengkudu terhadap sel leukemia berkorelasi dengan kenaikan dosis (dose-dependent). Pada 1993, Hiramatsu melaporkan damnacanthal yang diisolasi dari akar mengkudu dapat menghambat fungsi dari Ras pada K-Ras-NRK sel. Ras oncogene dipercaya berhubungan dengan transduksi sinyal dari beberapa kanker pada manusia, seperti kanker paru-paru, kolon dan leukemia (Bushnell et al., 1950). Penelitian Liu et al. (2001) menunjukkan bahwa dua glikosida yang diekstraksi dari fraksi endapan alkohol buah mengkudu efektif menghambat transformasi sel yang diinduksi TPA atau EGF pada epidermal JB6 cell line tikus. Efek penghambatan ini diketahui berkorelasi dengan efek penghambatan pada aktivitas AP-1. Glikosida ini juga memblok fosforilasi dari c-Jun, substrat dari JNKs. Buah
mengkudu
mengandung
banyak
polisakarida.
Beberapa
polisakarida menunjukkan aktivitas imunomodulasi, antitumor, antikoagulansi, hipoglikemik, dan antivirus. Efek imunomodulasi oleh polisakarida buah mengkudu terjadi dengan dipengaruhinya beberapa mediator kekebalan tubuh, yaitu terstimulasinya TNF-α, IL-1, IL-10, IL-12, p70, IFN-gamma, dan NO (nitric acid), namun tidak memiliki efek pada produksi IL-2 dan menekan
7
pelepasan IL-4 (Sjabana & Bahalwan, 2002; Hirazumi & Furusawa, 1999). Penelitian lebih lanjut oleh Furusawa et al. (2003) melaporkan fraksi polisakarida dalam jus buah mengkudu mempunyai potensi sebagai antitumor terhadap sistem tumor sarcoma 180. Aktivitas antitumor disebabkan adanya peningkatan sistem imun inang.
2. Polisakarida Polisakarida adalah molekul karbohidrat polimer yang terdiri dari rantai panjang unit monosakarida terikat bersama oleh ikatan glikosidik. Contoh dari polisakarida adalah amilum dan glikogen. Struktur dari polisakarida sendiri ada yang amorf dan tidak larut air (Vanki, 2008). Polisakarida
yang
apabila
dihidrolisis
menghasilkan
satu
jenis
monosakarida disebut homopolisakarida atau homoglikan, sedangkan jika hidrolisisnya menghasilkan dua atau lebih monosakarida disebut heteropolisakarida atau heteroglikan (Gunawan & Mulyani, 2004; Miller, 1973). Polisakarida merupakan agen imunoterapi yang menjanjikan untuk terapi kanker (Wong et al., 1994). Polisakarida merupakan antigen yang bersifat Tindependent, yaitu dapat meningkatkan proliferasi antibodi tanpa melalui perantaraan sel T helper. Antigen polivalen seperti polisakarida mempunyai epitop antigenik yang identik yang dapat menginduksi ikatan silang pada reseptor di permukaan sel B sehingga dapat mengaktivasi sel B tanpa diperantarai sel T helper (Abbas et al., 2007). Buah Mengkudu mengandung banyak polisakarida yang berpotensi sebagai
8
imunostimulator yang memiliki efek antikanker dan dapat menghambat pertumbuhan tumor. Polisakarida yang terkandung dalam buah mengkudu merupakan gabungan dari arabinosa, asam glukoronat, galaktosa, dan rhamnosa (Hirazumi & Furusawa, 1999). Polisakarida dari hasil ekstraksi dengan metode yang dilakukan Ediati dkk. (2012) mengandung protein, fenolik, karbohidrat, glukosa dan saponin.
Gambar 2. Komponen polisakarida yang terkandung dalam buah mengkudu menurut Hirazumi & Furusawa (1999)
3. Doxorubisin Doxorubisin banyak digunakan untuk terapi berbagai macam jenis kanker seperti leukemia akut, kanker payudara, kanker tulang dan ovarium (Childs et al., 2002). Doxorubisin merupakan golongan obat kemoterapi antrasiklin, yang bekerja memperlambat atau menghentikan pertumbuhan sel kanker (Anonim, 2011). Obatobat golongan antrasiklin menghambat pertumbuhan sel kanker dengan cara berinterkalasi dengan DNA, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan fungsi topoisomerase II dan menghambat replikasi dan transkripsi. Metabolit yang dihasilkan dari metabolisme doxorubisin adalah doxorubisinol (Anonim, 2013).
9
Gambar 3. Struktur doxorubisin (diadaptasi dari Airley, 2009)
Efek samping yang biasa ditimbulkan dari terapi menggunakan doxorubisin adalah meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi, pendarahan, kehilangan nafsu makan, rambut rontok, mual dan muntah (Anonim, 2011). Efek samping pada pemakaian kronisnya bersifat ireversibel, termasuk terbentuknya cardiomyopathy dan congestive heart failure (Han et al., 2008). Toksisitas kronis doxorubisin kemungkinan diperantarai oleh konversi metabolik doxorubisin menjadi doxorubisinol yang melibatkan berbagai enzim antara lain karbonil reduktase. Mekanisme utama toksisitas doxorubisinol terjadi karena interaksinya dengan besi dan pembentukan ROS yang merusak makromolekul sel (Minotti et al., 2004). Dewasa ini, doxorubisin menunjukkan penurunan efikasi pada terapi kanker karena adanya fenomena resistensi obat. Mekanisme yang menyebabkan resistensi doxorubisin adalah adanya overekspresi PgP yang menyebabkan doxorubisin dipompa keluar sel dan konsentrasi doxorubisin dalam sel turun. Perubahan biokimiawi lain pada sel yang resisten doxorubisin antara lain peningkatan aktivitas glutation peroksidase, peningkatan aktivitas maupun mutasi topoisomerase II, serta
10
peningkatan kemampuan sel untuk memperbaiki kerusakan DNA (Bruton et al., 2005). Umumnya doxorubisin digunakan dalam bentuk kombinasi dengan agen antikanker lainnya seperti siklofosfamid, cisplatin dan 5-FU. Peningkatan respon klinis dan pengurangan efek samping cenderung lebih baik pada penggunaan kombinasi dengan agen lain dibandingkan penggunaan doxorubisin tunggal (Bruton et al., 2005). Berbagai penelitian mengenai mekanisme kerja doxorubisin telah dilakukan. Antibiotik antrasiklin seperti doxorubisin memiliki mekanisme aksi sitotoksik melalui empat mekanisme yaitu: (1) penghambatan topoisomerase II; (2) interkalasi DNA sehingga mengakibatkan penghambatan sintesis DNA dan RNA; (3) pengikatan membran sel yang menyebabkan aliran dan transport ion; (4) pembentukan radikal bebas semiquinon dan radikal bebas oksigen melalui proses yang tergantung besi dan proses reduktif yang diperantarai enzim. Mekanisme radikal bebas ini telah diketahui bertanggungjawab pada kardiotoksisitas akibat antibiotik antrasiklin (Bruton et al., 2005).
4. Sel Vero Sel Vero merupakan sel yang didapatkan dari ginjal African green monkey oleh peneliti Jepang pada tahun 1962 (Philips, 2013). Sel Vero sering digunakan sebagai kontrol maupun objek pengujian pada uji sitotoksik. Terdapat beberapa tipe sel Vero, yaitu Vero awal, Vero 76, dan Vero E6. Tiap tipe sel Vero memiliki karakteristik dan sifat tertentu. Vero 76 memiliki karakteristik pertumbuhannya lebih lambat daripada sel Vero awal (Anonim, 2013). Vero 76 biasa digunakan pada
11
deteksi dan penghitungan virus demam hemoragi dengan uji plaque. Vero 6 menunjukkan efek penghambatan kontak sehingga sesuai untuk propagasi virus yang bereplikasi lambat (Anonim, 2013a). Sel Vero dapat disimpan dalam nitrogen cair atau pada suhu 80oC dalam waktu yang lama (Ammerman et al., 2009). Stok beku ini memerlukan pengembangbiakan terlebih dahulu sebelum dilakukan eksperimen. Sel Vero bukan merupakan
sel
kanker
(Sheets,
2000).
Mekanisme
pertumbuhan
dan
penghambatannya sama dengan sel normal, oleh karena itu terdapat pula mekanisme penghentian pertumbuhan.
(a)
(b)
Gambar 4. Sel Vero (ATCC CCL-81) (Anonim, 2014). (a) merupakan sel Vero dengan kepadatan yang rendah, sedangkan (b) merupakan sel Vero dengan kepadatan tinggi.
Sel Vero yang terus berkembang lama kelamaan akan memenuhi seluruh luas area media. Kemudian terjadi kontak antar sel yang mengakibatkan sel menerima sinyal untuk melanjutkan perkembangan. Setelah tahap ini biasanya perlahan-lahan muncul sel yang mati dan digantikan sel baru.
12
5. Sel T47D Sel T47D merupakan continous cell line yang diisolasi dari jaringan tumor duktal payudara seorang wanita berusia 54 tahun. Kultur sel T47D bersifat ER/progesterone receptor-positif dan berasal dari cairan pleural. Sel ini mengekspresikan suatu mutan dari protein p53 dan sel ini sangat sensitif terhadap efek stimulan dari estradiol (Schafer et al., 2000). Continous cell line sering dipakai dalam penelitian kanker secara in vitro karena mudah penanganannya, memiliki kemampuan replikasi yang tidak terbatas, homogenitas yang tinggi serta mudah diganti dengan frozen stock jika terjadi kontaminasi (Burdall et al., 2003).
(a)
(b)
Gambar 5. Sel T47D (ATCC HTB-133) (Anonima, 2014). (a) merupakan sel T47D dengan kepadatan yang rendah, sedangkan (b) merupakan sel T47D dengan kepadatan tinggi.
Sel T47D memiliki morfologi seperti sel epitel. Sel ini dikulturkan dalam media DMEM + 10% FBS + 2 mM L-Glutamin, diinkubasi dalam CO2 inkubator 5% dan suhu 37oC (Abcam, 2007). Sel T47D mempunyai reseptor untuk berbagai steroid dan kalsitonin. Sel kanker payudara T47D mengekspresikan protein p53 yang termutasi. Jika ditumbuhkan dibawah kondisi normal, sel T47D akan mengekspresikan reseptor progesteron secara konstitutif dan responsif terhadap
13
estrogen (Abcam, 2007). Sel T47D merupakan sel yang sensitif terhadap doxorubisin (Zampieri et al., 2002).
6. Ko-kemoterapi Umumnya, kemoterapi kanker merupakan kombinasi dari beberapa obat. Penggunaan kombinasi tersebut memungkinkan penggunaan obat dosis rendah dengan aktivitas sama, namun toksisitas terhadap jaringan normal menurun (Alison, 2004). Salah satu upaya untuk menekan efek samping agen kemoterapi adalah penggunaan agen pendamping yang kombinasinya bersifat sinergis, yang biasa disebut ko-kemoterapi. Ko-kemoterapi merupakan suatu terapi kombinasi antara agen kemoterapi dengan agen kemopreventif (senyawa non toksik tetapi mampu mencegah pembentukan maupun menghambat perkembangan kanker). Penelitian saat ini gencar dilakukan untuk mengeksplorasi senyawa fitokimia sebagai agen ko-kemoterapi karena senyawa fitokimia terbukti dapat meningkatkan sensitivitas sel terhadap agen kemoterapi dengan efek samping relatif rendah (Sharma et al., 2004; Tyagi et al., 2004)
E. Landasan Teori Agen kemoterapi yang umum digunakan untuk terapi kanker payudara adalah doxorubisin. Potensi doxorubisin menurun pada sel kanker dengan p53 termutasi, karena p53 dibutuhkan untuk memicu terjadinya apoptosis dan penghambatan siklus sel. Mekanisme doxorubisin sebagai pemicu kerusakan DNA sebagian besar membutuhkan p53 untuk menginduksi apoptosis dan penghambatan
14
siklus sel. Akan tetapi, doxorubisin juga memiliki mekanisme sitotoksik melalui jalur p53-independent, yaitu dengan peningkatan reactive oxygene species (ROS) yang selanjutnya menginduksi apoptosis melalui aktivasi caspase-3. Berdasarkan penelitian terdahulu, secara in vitro fraksi polisakarida buah mengkudu hasil fraksinasi Asawimanda (2014) memiliki aktivitas antikanker terhadap sel HeLa. Secara in vivo polisakarida buah mengkudu hasil fraksinasi Hirazumi & Furuzawa. (1999) terbukti memiliki efek sitotoksik terhadap sel LLC1. Polisakarida buah mengkudu memiliki efek sinergis jika dikombinasikan dengan agen kemoterapi spektrum luas, seperti cisplatin, mitomycin-C, bleomycin, etoposide, 5-fluorouracil, vincristine atau camptothecin (Furuzawa et al., 2003). Oleh karena itu, fraksi polisakarida buah mengkudu perlu diteliti kemampuannya sebagai ko-kemoterapi doxorubisin terhadap pertumbuhan sel Vero dan sel T47D.
F. Hipotesis Fraksi polisakarida buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) dapat mempengaruhi pertumbuhan sel Vero dan sel T47D setelah pemberian doxorubisin.