1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Fenomena
kemunculan
kelas
menengah
di
Indonesia
makin
mendapatkan perhatian masyarakat luas. Bukan tanpa sebab, terutama setelah Bank Dunia menyatakan 237 juta (sensus 2010) penduduk Indonesia, sebesar 56,5 persen sudah tergolong kelas menengah yakni tepatnya 134 juta jiwa dengan indikator pendapatan dan pengeluaran yang berkisar 10-20 USD perhari. Upaya mendefinisikan kelas menengah terus menerus dilakukan oleh berbagai kalangan lintas disiplin keilmuan, mencakup ekonomi, sosiologi, sejarah, politik, dan sebagainya. Sebagian besar dari akademisi bersepakat, bahwa upaya mendefinisikan kelas menengah harus ditarik dari serangkain rentetan sejarah dan pengelompokan oleh para ahli dalam memaknai “kelas”. Kelas adalah salah satu istilah sentral dalam leksikon pemikiran sosial di barat, dan merupakan salah satu istilah yang mana makna yang dilekatkan padanya secara historis berhubungan erat dengan sejarah masyarakat. Hal itu dapat kita pahami, mengingat sejarah perkembangan masyarakat selalu ditopang oleh keberadaan kelompok-kelompok sosial yang stratifikatif, seperti antara tuan dan hamba, antara pemilik tanah dan pekerja, antara bos dan buruh, antara pejabat dan rakyat, dan sebagainya (Linklater, 2001:161). Sementara itu, dalam dinamika sosial modern, di mana infrastruktur sosial semakin kompleks, identifikasi kelas sosial tidak dapat lagi diletakkan pada dua oposisi biner, melainkan ada satu kelas sosial yang juga menempati posisi
2
kuat, yakni kelas menengah (Kuper, 2004:111). Perkembangan pembagian kelas semakin niscaya, seiring dengan perluasan relasi modal dan kuasa atas alat produksi yang menyaratkan banyaknya posisi diluar buruh dan pemilik alat-alat produksi, seperti kaum-kaum profesional, ahli hukum, dan lain sebagainya. Dengan berkembangnya posisi struktur ekonomi dan diiringi dengan penguasaan politiknya, maka berkembanglah kajian mengenai sturuktur sosial baru, yang kemudian dinamakan sebagai kelas menengah. Kini, kajian tentang kelas menengah telah berkembang secara luas, utamanya meliputi bidang politik, ekonomi, sejarah, dan kebudayaan. Bidang politik, kelas menengah kerap dikaitkan dengan isu agen perubahan sosial. Bidang ekonomi, kelas menengah digunakan untuk menandai status pendapatan dan daya beli masyarakat. Bidang kebudayan, kelas menengah kerap dikaitkan dengan gaya hidup dan proses imitasi. Berkaitan dengan ketiga aspek di atas, kajian kelas menengah di Indonesia pun semakin berkembang seiring dengan meningkatnya daya beli dan perkembangan gaya hidup masyarakat. Kajian kelas menengah tidak dapat dilepaskan dari konteks historis dan dinamika teoritik. Penerapan suatu kerangka konseptual secara lebih atau kurang tidak dapat dilepaskan dari analisa substantif. Terdapat beberapa pemikiran konseptual ilmu-ilmu sosial yang sangat berpengaruh dalam analisa kelas dan stratifikasi sosial (Seda, 2012:3). Dua teori besar yang kemudian mendasari kajian kelas menengah, yakni teori kelas Karl Marx dan teori stratifikasi sosial Max Weber (Seda, 2012:3-7), namun dalam penulisan ini hanya mengkaji teori kelas menurut Karl Marx secara mendalam.
3
Karl Marx menggolongkan masyarakat ke dalam dua kelas berdasarkan kuasa atas alat produksi, yakni borjuis dan proletar (Dahrendorf, 1959:11). Posisi kelas, dalam hal ini menyangkut juga keadaan sosial, bagi Marx, juga menentukan kesadaran sosial. Disinilah pembedaan kelas dalam kategorisasi Marx menjadi tegas, sehingga kesadaran sosial selalu berkaitan dengan kesadaran produksi, namun penjelasan dialektika oposisi ini belum cukup memuaskan untuk melihat realitas. Pertanyaannya, di manakah letak kaum profesional yang berada di antara kepentingan buruh dan majikan berada? Karl Marx kemudian menyebut istilah Petty-bourgeois (the petit bourgeoisie), untuk menjelaskan perihal kelas menengah (Gasper, 2005: 75), yang dengan jelas teorinya hanya sebagai pengantar pada sosial, bukan motor penggerak. Max Weber (1920) mengelaborasi kelas sosial secara berbeda. Filsuf berkebangsaan Jerman ini membagi pengelompokan dasar stratifikasi sosial menjadi tiga: kelas, status, dan politik (Stark, 2007). Weber menempatkan kelas sebagai pengolongan orang atau kelompok orang yang berada dalam situasi sosial yang sama. Weber menempatkan kelas (posisi ekonomi) berhadapan dengan status (distribusi kekuasaan) dan politik (kekuasaan legal). Kendati pun ketiganya merupakan sumbu sentral dari kekuasaan dan perselisihan antar-kelompok. Kelas sosial memiliki porsi besar dalam tradisi teoritik Weber, yang pada perkembangan selanjutnya Ia banyak membahas pemikirannya mengenai kelas menengah (Seda, 2012:3). Secara umum, tradisi pemikiran, Karl Marx dan Max Weber kemudian mendasari analisa kelas modern. Kedua dasar pemikiran yang berkontribusi besar
4
dalam pemikiran kelas menengah itu berkembang pada tradisinya masing-masing. Keduanya melahirkan tradisi pemikiran yang berbeda. Pemikiran Marx dan Weber berkembang pada periode yang sama. Dengan demikian, meskipun melahirkan tradisi pemikiran yang berbeda, sejak awal perkembangannya, kedua pemikiran ini memiliki banyak persinggungan. Persinggungan teoritik perihal kelas menengah dari kedua pemikiran ini menjadi menarik mengingat keduanya relatif berkembang pada periode pemikiran yang sama, dan saling melempar kritik. Dari kedua latar pemikiran itu, pemikiran Karl Marx menarik karena Marx lahir lebih dulu dari Weber. Marx juga menghubungkan kajiannya tentang kelas dengan sejarah masyarakat, bahkan Marx mengelaborasi pemikiran kelas pada konteks pemahamannya mengenai sejarah perkembangan manusia. Dengan demikian, membaca pemikiran Marx dalam perspektif sejarah ini menjadi menarik, terutama membaca pemikirannya mengenai kelas menegah. Mengingat, seiring dengan berkembangnya dunia modern, posisi kelas kelas menengah menjadi elemen dominan yang patut dipertimbangkan posisinya. Selain karena jumlahnya yang semakin banyak, posisi kelas menengah yang memiliki banyak akses dan kekuasan pada berbagai moda produksi membuatnya menjadi elemen yang berpengaruh. 1. Rumusan Masalah a. Apa pemikiran karl Marx tentang kelas menengah? b. Bagaimana posisi sejarah (secara umum) dalam Filsafat Sejarah? c. Apa peran kelas menengah Karl Marx dalam proses sejarah masyarakat?
5
2. Keaslian Penelitian Selama ini telah banyak penelitian dengan topik kelas menengah juga dapat dijumpai dalam berbagai jenis tulisan dan karya ilmiah. Dalam karya tulis ilmiah berupa jurnal, penulis menemukan “Peranan Kelas Menengah Pribumi dalam Mengentaskan Kesulitan Ekonomi Tahun 1930-an” yang ditulis oleh Miftahudin. Ia menuliskan bahwa kelas menengah berperan besar dalam mengentaskan kesulitan ekonomi tahun 1930-an dengan mendirikan koperasi dari berbagai bidang usaha sehingga banyak menampung lapangan pekerjaan. Karya tulis lainnya yang berhubungan dengan pemikiran Karl Marx di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada adalah skripsi berjudul “Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia Dalam Pemikiran Pramoedya Ananta Toer (Sebuah Telaah Filsafat Sejarah Marxisme)” ditulis oleh Endhiq Anang Pamungkas. Secara umum, penelitiannya menghasilkan pemahaman yang rinci dan mendalam mengenai pemikiran Pramoedya Ananta Toer tentang sejarah masyarakat dan revolusi Indonesia ditinjau dari filsafat sejarah Marxisme dan menemukan corak yang khas tentang konsep filsafat sejarah Pramoedya Ananta Toer dalam melihat perkembangan sejarah masyarakat dan revolusi Indonesia. Pratinjau lain yang penulis gunakan sebagai acuan mengenai keaslian penulisan skripsi ini adalah skripsi berjudul “Refleksi Filsafat Sejarah menurut John Dewey” yang ditulis oleh Fattah Hanurawan. Penelitiannya berfokus pada pengungkapan kembali pemikiran sejarah John Dewey berdasarkan strukturasi unsur-unsur dalam filsafat sejarah. Tinjauan ketiga yang penulis jadikan acuan adalah “Kekerasan dalam Konsep Karl Marx” yang ditulis oleh Firdaus Zamany. Penelitiannya bertujuan untuk mewujudkan pendeskripsian pandangan Karl Marx tentang kekerasan.
6
Tinjauan terakhir dilihat dari skripsi berjudul “Keterasingan manusia Modern Menurut Karl Marx” yang ditulis oleh Giyono. Giyono menyimpulkan beberapa kekuatan dan kelemahan pemikiran Karl Marx, yaitu di satu pihak marx secara objektif telah menunjukkan secara jelas permasalahan manusia secara dasar yakniketerasingan yang sebelumnya tidak pernah dipersoalkan. Lain pihak Marx menganalisis permasalahan tersebut terlalu monistik, reduksionalistik, utopis dan deterministik. Dari beberapa kajian di atas, bentuk penelitian yang mengangkat topik kelas menengah, dalam hal ini, melihat pemikiran kelas menengah Karl Marx dari sudut pandang filsafat sejarah, sebatas pengetahuan penulis, memiliki perbedaan yang jelas. Oleh karena fokusnya mengenai kelas menengah Karl Marx dengan tinjauan filsafat sejarah, menurut sepengetahuan penulis, belum pernah dijumpai skripsi dengan topik seperti yang penulis tulis. Dengan demikian penelitian ini layak untuk diteliti dalam rangka pengembangan pengetahuan.
3. Manfaat yang Diharapkan Penelitian kefilsafatan ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain: 1.
Bagi perkembangan ilmu. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan pada
umumnya, dan Filsafat Sejarah yang secara khusus membahas tentang kelas sosial. 2.
Bagi perkembangan kefilsafatan
7
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai wacana dan perkembangan dalam bidang kefilsafatan, terutama mengenai filsafat sejarah yang menitikberatkan pada perkembangan kelas. 3.
Bagi manusia pada umumnya Diharapkan mampu menjadi sebuah pemahanam yang baru dalam
pemahaman sejarah struktur kelas, sehingga bisa menjadi salah satu referensi untuk memahami sejarah perkembangan masyarakat.
B. Tujuan Penelitian Penelitian kefilsafatan ini mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui pemikiran Karl Marx tentang kelas menengah. 2. Memberikan gambaran dan penjelasan mengenai posisi sejarah dalam filsafat sejarah. 3. Menjelaskan dan memahami peran kelas menengah Karl Marx dan proses sejarah masyarakat. C. Tinjauan Pustaka Pembahasan mengenai kelas menengah, tidak bisa dilepaskan dari kajian mengenai kelas sosial. Pemikiran terkait konseptualisasi “kelas”, banyak dipengaruhi oleh perdebatan akademis antara Karl Marx dan Max Weber. Prinsip utama untuk menganalisa kelas sosial, menurut Karl Marx, adalah dengan melihat keberadaan mereka dalam perjuangan kelas, yang harus dibedakan dari asal-usul mereka. Dalam konteks ini, kelas-kelas sosial mengacu pada keberadaan mereka dalam ‘ruang ekonomi’, yang biasanya ditandai dengan peranan mereka dalam hubungan ekonomi. Penyebutan ‘ruang ekonomi’ (economic space) ini lebih
8
ditentukan oleh proses produksi. Sementara ‘hubungan produksi’, lebih ditentukan pada posisi atau tempat pekerja. Proses produksi berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan alam pada umumnya, sedangkan hubungan produksi dalam masyarakat yang mengenal pembagian kelas. Bagi Marx, hubungan produksi menunjuk pada dua hal, yakni pertama, hubungan antara pekerja dengan obyek dan alat kerjanya; dan kedua, hubungan antara sesama manusia yang dikenal dengan hubungan kelas. Pemikiran Marx menggunakan dasar hubungan faktor produksi sebagai pembeda kelas. Marx memiliki asumsi dasar bahwa watak individu sangat bergantung pada kondisi material produksi (Kusumandaru, 2003:31). Dalam hal ini, sebagaimana dijelaskan dengan gambling oleh Engels, “bahwa umat manusia pertama-tama harus makan, minum, memiliki tempat berteduh dan berpakaian sebelum ia dapat mengejar politik, sains, seni dan agama” (Drapper, 2001:43). Kemampuan manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhannya itulah yang kemudian tergantung pada terlibatnya mereka di dalam hubungan hubungan sosial dengan orang lain untuk mengubah lingkungan materil melalui kegiatan produktifnya.
Hubungan-hubungan
sosial
yang
elementer
ini
kemudian
membentuk infrastruktur ekonomi masyarakat. Pemilikan atau kontrol yang berbeda atas alat produksi sangat ditekankan oleh Marx. Pembedaan atas dasar pemilikan dan kontrol ini jauh lebih keras daripada perbedaan biologis. Pemilikan dan control itu pula yang merupakan dasar pokok untuk pembentukan kelas-kelas sosial yang berbeda-beda. Artinya, pemilikan atau kontrol atas alat produksi merupakan dasar utama kelas-kelas sosial dalam semua tipe-tipe masyarakat, dari
9
masyarakat yang dibedakan menurut kelas yang paling awal yang muncul dari komunisme suku bangsa primitif sampai ke kapitalisme modern. Dengan dasar berpikir semacam itu, Marx menggolongkan masyarakat ke dalam dua kelas: majikan/borjuis yang menguasai alat produksi, keuangan, lahan, dan teknologi produksi serta buruh/proletar yang menukarkan tenaganya untuk mendapatkan upah. Marx menegaskan bahwa keperluan asas yang dipentingkan dalam memahami ragam pengeluaran kapitalis adalah mewujud dalam materi (Dahrendorf, 1959:11). Penjelasan dialektika oposisi ini belum cukup memuaskan untuk melihat realitas. Jika kelas sosial hanya semata-mata dilihat dari pola produksi, maka akan terdapat dua kelas yang ditentukan oleh aspek politik, ekonomi dan ideologi, yakni kelas pemeras yang secara politis dan ideologis dominan, dan kelas yang diperas, dimana yang disebut kedua juga secara politis dan ideologis didominasi oleh yang pertama: tuan dan hamba dalam pola produksi perhambaan, bangsawan dan pelayan dalam pola produksi feodal, borjuis dan pekerja dalam pola produksi kapitalis. Dalam realitas sosial, formasi sosial yang terjadi tidak hanya terdiri dari suatu hubungan kelas yang tunggal, melainkan merupakan campuran dari beberapa hubungan sosial yang dibentuk oleh pola dan bentuk produksi. Sehingga, dalam membuat analisa kelas, pada titik tertentu, tidak dapat dilakukan pembagian kelas secara simplistis. Pada perkembangan selanjutnya, Karl Marx kemudian menyebut istilah Petty-bourgeois (the petit bourgeoisie), untuk menjelaskan perihal kelas menengah mencakup kaum professional, dan pada borjuis kecil (Gasper, 2005: 75).
10
Pada Bagian I ‘Burgeois and Proletarians’, Marx dan Engels mengatakan, kelas menengah adalah kelas antara yang bisa turun kelas atau tetap. Menurut Marks, kelas menengah tidak bisa naik kelsa menjadi borjuis yang memiliki kuasa penuh atas alat-alat produksi. Marx dan Engels mengatakan ada kelas menengah yang yang terempas jatuh menjadi proletariat karena kalah bersaing dengan industri modern. Mereka itu adalah anggota dari kelas menengah bawah, yakni pedagang kecil (small tradespeople), pemilik toko kecil (shopkeepers), para rentenir alias tukang riba (retired tradesman generally), para pekerja kerajinan tangan (handicraftsmen), dan petani (peasents) (Gasper, 2005: 50). Marx juga mengatakan bahwa tidak semua anggota dari kelas menengah ini bisa lenyap akibat kalah bersaing dengan borjuasi. Sebagian dari anggota kelas menengah ini kemudian menjadi kelas menengah baru dalam struktur industri modern (Gasper, 2005: 75). Sementara Max Weber menilai Kelas menengah tidak harus diukur melalui cara kepemilikan faktor produksi tapi dengan ukuran hal yang kuantifikasi berupa gabungan pendapatan, pendidikan, dan status sosial. Tiga hal itu menjadi penentu untuk mengukur derajat kelas seseorang (Seda, 2012:3-4). Seseorang bisa saja berpenghasilan besar dan memiliki usaha dengan karyawan banyak. Namun, karena pendidikannya rendah, ia belum tentu masuk ke kelas atas. Sebaliknya, penyair atau sastrawan bisa masuk kelas menengah karena derajat pengetahuannya, meskipun kemampuan ekonomi terbatas dan tidak menguasai alat produksi kapitalistik.
11
Pada
perkembangannya,
pemikiran
Weber
mempenaruhi
teori
struktural fungsional, yang dikembangkan oleh Talcott Parsons, Kingsley Davis dan Wilbert Moore. Teori ini berasumsi bahwa kelas menengah merupakan strktur sosial yang terkandung dalam tradisi dan nilai bersama, sehingga menjadi dasar dari integrasi dan stabilitas masyarakat (Seda, 2012:6). Dari kedua pemikiran ini, pandangan Karl Marx berkembang lebih dulu daripada Weber. Pandangannya tentang kelas, hampir menentukan perkembangan kajian berikut-berikutnya mengenai kelas. Kesamaan keduanya, bahwa pandangan mereka tentang kelas, mempengaruhi pandangan masing-masing tokoh ini tentang sejarah perkembangan manusia, terutama di era kapitalisme. Bagi marx, sejarah dari segala bentuk masyarakat dari dahulu hingga sekarang adalah sejarah pertikaian antar golongan.
D. Landasan Teori Filsafat sejarah adalah cabang dari bidang filsafat berkaitan dengan masalah perenungan, bersifat spekulatif, menjawab beberapa pertanyaan yang terkait dalam proses sejarah. Filsafat sejarah mengkhususkan diri untuk membahas pola apakah yang dapat diamati dalam proses sejarah, siapakah motor penggerak sejarah, dan apakah proses terakhir yang dituju oleh proses sejarah. Istilah filsafat sejarah pada dasarnya sejajar dan diambil dari istilah filsafat alam. Filsafat sejarah bermaksud mempelajari jalanya (proses) peristiwa-peristiwa alamiah yang sebenarnya dengan memandang struktur (susunan) alam semesta (kosmologi) serta riwayat alam semesta sebagai suatu keseluruhan. Analog
12
dengan itu pemikiran filsafat sejarah juga ingin memandang proses sejarah sebagai suatu keseluruhan. Filsafat sejarah berusaha untuk memberikan penjelasan (eksplanasi) dan penafsiran (interpretasi) yang luas mengenai proses sejarah. Proses sejarah yang dimaksud adalah proses sejarah sebagai peristiwa (res gestae). Berdasarkan keseluruhan proses sejarah itu, dengan pemikiran dan perenungan, hendak diungkap struktur dasar dengan menelusuri dan memberi kerangka kepada keseluruhan proses arus perjalanan sejarah. Kemudian dipelajari pula tabiat dan sifat-sifatnya, juga faktor-faktor esensial yang menggerakkan proses sejarah, asasasas atau hukum-hukum umum yang menguasai dan mengendalikanya ke arah mana arus proses sejarah menuju dan bermuara demikian pula melalui pemikiran dan perenungan itu ingin dicari makna atau arti proses sejarah. Filsafat sejarah melayani tuntutan akan suatu konsepsi atau teori yang dapat diterima secara intelektual ataupun moral mengenai proses perjalanan sejarah sebagai suatukeseluruhan dengan menunjukkan hasil pengkajianya bahwa sejarah masa lalu membentuk diri dengan dan sesuai asas-asas tertentu yang sah seara universal. Penafsiran dan interpretasinya mengenai proses sejarah juga memungkinkan untuk memenuhi tugas ilmiahnya adalah untuk membuat ramalan (prediksi) mengenai perkembangan masyarakat di masa depan. Dengan demikian, filsafat sejarah akan mengkaji sejarah sebagai suatu proses. Seorang filsuf sejarah memandang arus atau proses sejarah faktual dalam keseluruhannya, dan berusaha untuk menemukan suatu struktur dasar di dalam proses sejarah itu. Filsafat sejarah mencari suatu struktur dalam yang tersembunyi
13
tetapi ada di dalam proses historis yang menjelaskan mengapa sejarah berlangsung demikian. Dalam mempelajari filsafat sejarah, tidak hanya membicarakan mengenai kejadian sejarah yang terjadi sampai saat ini, melainkan juga membicarakan mengenai prediksi tentang sejarah yang akan terjadi (prediksi). Filsafat sejarah ini berkembang di dunia barat pada abad pertengahan, dan banyak diilhami oleh orang-orang kristen yang mempelajari filsafat. Karenanya, banyak tokoh filsuf skekulatif pada masa abad pertengahan, seperti misalnya Santo Augustinus (354435) yang membagi sejarah dengan dua periodisasi yang berlandaskan Injil yaitu Civitas Dei (Kerajaan Tuhan) dan Civitas Terrena (Kerajaan Dunia). Pemikiran filsafat sejarah tidak dengan sendirinya menerima masa lalu sebagai satu-satunya gambaran kita tentang definisi sejarah. Dalam, filsafat sejarah, jika sejarah an sich dijadikan sebagai sebuah konsep bangun ilmu, maka linieritas maupun siklisitas sejarah selalu mengandung gerak. Entah itu gerak maju, mundur ataupun tetap. Ada keterpautan lebih jauh menyangkut konsep sejarah jika dilihat dari sudut pandang filsafat. Dimana pemahaman manusia tentang sejarah akan selalu bertaut dengan deterministik maupun yang indeterministik. Sehingga, dalam filsafat sejarah, akan terdapat banyak pertanyaan yang diajukan dan kesemuanya berkorelasi dengan pola-pola perkembangan sejarah. Hal itulah kemudian yang menjadi pokok persoalan ketika sejarah filsafat hadir dengan sejumlah pertanyaan mengenai linieritas. Baik itu liniatirasi siklis maupun yang dialektis.
14
Muhammad Hadi Sundoro (2006) membagi ruang lingkup materi Filsafat Sejarah menjadi dua. Pertama, pengetahuan Aposteriori dan Apriori. Pada kategori pertama, Aposteriori, dijelaskan, bahwa secara umum, pengetahuan manusia yang dapat diandalkan memiliki dua sumber. Sumber yang pertama adalah pengetahuan yang berdasarkan pengetahuan (inderawi), dan yang kedua adalah pengetahuan yang berdasarkan pada pengalaman dan pengamatan terhadap kenyataan (pengetahuan Aposteriori). Dari lanskap teoritik di atas, pandangan filsafat ini kiranya cocok untuk digunakan menjadi perspektif untuk melihat pemikiran kelas menengah Karl Marx.
E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, adapun langkahlangkah pembuatan sebagai berikut: 1. Bahan dan Materi Penelitian. Bahan dan materi penelitian akan diperoleh melalui penelusuran pustaka yaitu dari buku Karl Marx yang berhubungan dengan Kelas Menengah. Pustaka terbagi menjadi dua yaitu pustaka primer dan pustaka sekunder. Kepustakaan primer adalah buku-buku karya Karl Marx, dbeberapa di antaranya meliputi: a. Karl Marx “The Holy Family” tahun 1988, University Press of the Pacific b. Karl Marx “The German Ideology” tahun 1945. http://www.marxist.org/archive/marx/works/1845/german-ideology/ch01a.htm c. Karl Marx “Grundrisse” tahun 1993, Penguin Books, London.
15
d. Karl Marx “The Poverty of Philosophy” tahun 1995, Promotheous Books, New York. e. Karl Marx “The Communist Manifesto, and its relevance for to tody” tahun 1998. Resistance Marxist Library, New South Wales, Australia. f. Sementara kepustakaan sekunder berupa buku dan kamus yang berhubungan dengan tema yang diangkat oleh peneliti. 2. Langkah Penelitian Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk menangkap ide dan memahami objek materi baik secara tekstual maupun kontekstual, kemudian peneliti akan menyusun gagasan yang ada dan mengkomunikasikannya kembali. Adapun langkah yang diambil dalam penelitian ini berjalan berdasarkan tahap demi tahap yaitu dengan cara melakukan analisis yang melingkupi proses pengumpulan data yang berkaitan dengan tema, data itu kemudian direduksi, dicari substansi serta pola-polanya, selanjutnya data diklasifikasikan berdasarkan kategorinya masing-masing, tahap berikutnya adalah mengorganisasikan data tersebut, dan dilakukan penafsiran juga interpretasi yang sesuai dengan konteks teoretis. Penelitian ini menggunakan unsur-unsur metodis yang mengacu pada buku yang ditulis oleh Kaelan (Kaelan, 2005: 68-98).
3. Analisis Hasil Dalam metode analisis ini melingkupi beberapa tahap yaitu; 1) Reduksi data, 2) Klasifikasi data, 3) Display data, dan 4) Melakukan penafsiran dan interpretasi serta pengambilan kesimpulan.
16
a. Deskripsi yaitu, memaparkan dan mengungkapkan data yang terkait dengan kejujuran sehingga mendapatkan pemahaman yang jelas. b. Verstehen (pemahaman) Penulis mencoba memahami bagaimana pemikiran Karl Marx, mencoba melihat dan memahami objek penelitian melalui ‘insight’ serta empati untuk menangkap makna apa yang terkandung didalamnya. c. Interpretasi Peneliti
melakukan
interpretasi
untuk
mengungkapkan
sekaligus
menerangkan objek penelitiannya. d. Hermeneutika Mencari dan menemukan makna yang terkandung dalam objek penelitian melalui pemahaman dan interpretasi. Dan untuk menangkap objective geist, yang terkandung dalam objek penelitian. e. Komparatif Melakukan perbandingan antara pemahaman para filsuf tentang apa itu kelas menengah, dan bagaimana hubungannya antara kelas menengah dengan sejarah, yang kemudian akan menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan pemahaman terhadap pemikiran kelas menengah dari Karl Marx. F. Hasil yang Dicapai Penelitian kefilsafatan ini mencapai hasil yang diinginkan, antara lain sebagai berikut:
17
1. Secara mendalam mendapat pengetahuan mengenai pemikiran Karl Marx tentang kelas menengah. 2. Mendapat gambaran gambaran dan penjelasan mengenai posisi sejarah (secara umum) dalam filsafat sejarah. 3. Mendapat penjelasan dan pemahaman peran kelas menengah Karl Marx dan proses sejarah masyarakat. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan naskah yang berjudul “Kelas Menengah dalam Kajian Marxisme (Tinjauan Filsafat Sejarah)”, ini terdiri dari lima bab dengan rincian sebagai berikut: BAB. I
Berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode yang digunakan penelitian, hasil yang ingin dicapai dan sistematika penulisan.
BAB. II
Pemikiran Karl Marx, yang di dalamnya berisikan: Riwayat hidup Karl Marx, tokoh-tokoh yang mempengaruhi, karya-karya, pemikirannya tentang konsep kelas, dan teori kelas Karl Marx dan teori kelas menengah Karl Marx.
BAB. III
Filsafat Sejarah, yang di dalamnya mengenai pengertian filsafat sejarah, tokoh-tokoh dan aliran-aliran filsafat sejarah, masyarakat dan proses sejarah
BAB. IV
18
Sejarah Kelas sebagai sejarah masyarakat, terdiri dari proses sejarah dan sejarah kelas, historisitas teori kelas Karl Marx dan Historisitas Kelas Menengah Karl Marx
BAB. V
Merupakan
bab
penutup
berupa
ringkasan
dari
bab-bab
sebelumnya rangkaian penelitian yang berisikan saran dan simpulan.