BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Jumlah siswa SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di Indonesia ada 3.878.652 siswa (http://www.depkominfo.go.id) yang tersebar di 34 propinsi pada tahun 2009. Jumlah SMK di Indonesia mencapai 8.399 sekolah dan 74% di antaranya atau 6.181 sekolah dikelola pihak swasta (Sulistyo, 2010). Saat ini juga sedang dikembangkan program SMK-RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Pada tahun 2009 tercatat ada 247 sekolah dengan label SMK-RSBI. Pemerintah menargetkan perbandingan jumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Indonesia mencapai 70 pe rsen banding 30 p ersen pada tahun 2015. K ebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh komposisi tenaga kerja Indonesia yang mayoritas unskill workers (pekerja yang tidak punya skill atau kompeten di bidangnya) (http://www.smkn36jakarta .sch.id/index.php?option=com_content&view=article&id=57:lulusansmkharusplusplus&ca tid=3:newsflash) Permasalahan di bidang ketenagakerjaan merupakan masalah klasik yang masih harus dihadapi bangsa Indonesia hingga kini. Salah satu masalah di bidang ketenagakerjaan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah peningkatan jumlah angkatan kerja yang melebihi laju pertumbuhan kesempatan kerja. Hal itu mengakibatkan j umlah pengangguran kian bertambah. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik per Februari 2010, angka pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,59 juta orang. Dari jumlah pengangguran terbuka di Indonesia tersebut, pengangguran dengan tingkat pendidikan lulusan SMA dan SMK adalah 15, 63% dan 8,34 % (BPS, 2010). Jumlah pengangguran terbuka di Provinsi DIY pada Desember 2011 di perkirakan sebesar 127.000 or ang.
1
2 Pengangguran terbanyak adalah lulusan SMK sebanyak 22.547 orang atau sekitar 17,75 % (BPS, 2011). Hal serupa juga terjadi di Kalimantan Timur, jumlah pengangguran tertinggi di propinsi ini berasal dari lulusan SMK, yakni mencapai 17,37 % atau sebanyak 28.564 orang
dari
total
jumlah
pengangguran
yang
mencapai
164.447 or
ang.
(http://www.surya.co.id/2010/05/17/bps-lulusan-smkdominasipenganggurandikaltim.html). Penelitian Hayadin (2006) di sejumlah Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Jakarta, memberikan gambaran bahwa 35,75% siswa kelas XII sudah mempunyai pilihan pekerjaan dan profesi, sementara 64,25% belum memiliki pilihan pekerjaan dan profesi. Adapun siswa yang belum memiliki pilihan pekerjaan dan profesi tersebut merupakan siswa yang memiliki prestasi akademik sedang hingga tinggi. Berdasarkan sejumlah fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa kelas XII baik SMA, MA, maupun SMK belum mampu merencanakan karirnya dengan baik. Padahal mempersiapkan karir merupakan salah satu tugas remaja dalam tahap perkembangannya (Havighurst, dalam Hurlock, 2004). Seperti yang dikemukakan oleh Jordaan (dalam Fuhrmann, 1990) bahwa hal paling penting dari perkembangan karir adalah konsep kematangan vokasional. Kematangan vokasional adalah kemampuan individu untuk memenuhi tugas perkembangan vokasional dengan baik sesuai dengan tahap perkembangan yang sedang dijalani (Super dalam Fuhrmann, 1990). Kematangan vokasional sangat penting untuk dimiliki seorang individu, terutama siswa kelas XII SMK. Menurut teori perkembangan karir yang dikemukakan oleh Super (dalam Patton & Creed ,2003), masa sekolah menengah atas atau sederajat merupakan saat di mana siswa mengumpulkan informasi mengenai diri mereka dan tentang dunia kerja melalui proses eksplorasi yang efektif, dengan tujuan untuk mengkristalisasi dan membuat pilihan karir yang bijaksana.
3 Siswa kelas XII seharusnya mampu menentukan pilihan pendidikan lanjutan yang merupakan langkah awal pencapaian karir di masa depan. SMK merupakan lembaga pendidikan khusus yang mempersiapkan siswanya untuk siap terjun ke dunia kerja. Penetapan pilihan sekolah merupakan awal proses pemilihan vokasional individu (Sunarto & Hartono, 2002). Kualitas pemilihan vokasional ditentukan oleh tingkat kematangan vokasional (Komandyahrini, 2008). Oleh karena itu, kematangan vokasional sangat dibutuhkan oleh siswa kelas XII agar mereka dapat memilih karir dengan tepat. Hasil penelitian yang dilakukan Widayani (1995) menunjukkan bahwa siswa SMK memiliki kematangan vokasional yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa SMA. Selain itu Rahmawati (2000) dalam penelitiannya membuktikan bahwa kematangan vokasional b erkorelasi positif dengan minat berwirausaha pada siswa SMK. Tingginya kematangan vokasional di SMK, menurut Rahmawati (2000) dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang diterapkan. Di SMK para siswa diwajibkan untuk melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL).
Melalui PKL siswa mendapat pengalaman kerja yang dapat
membantu siswa mengetahui bakat dan minatnya, mengembangkan keterampilan interpersonal,
dan belajar
bertanggung jawab
atas
pekerjaannya.
SMK
juga
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan berbagai program keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan kerja yang salah satunya terwujud melalui Pendidikan Sistem Ganda (PSG). PSG merupakan pola penyelenggaraan diklat yang dikelola bersama antara SMK dengan industri/asosiasi profesi sebagai institusi pasangan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan sertifikasi yang merupakan satu kesatuan program. Kematangan vokasional dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari keluarga, latar belakang sosial ekonomi, gender, teman sebaya, dan lingkungan sekolah (Seligman, 1994; Rice, 1993). Sementara itu, faktor internal terdiri dari
4 inteligensi dan bakat khusus, minat vokasional, kepribadian, nilai, aspirasi karir, dan konsep diri (Seligman, 1994; Rice, 1993; Hasan, 2006). Terdapat banyak teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan kepribadian seorang individu. Hampir semua teori kepribadian yang digunakan saat ini merupakan adaptasi dari teori-teori yang digunakan dan dikembangkan di dunia barat. Meskipun demikian, penggembangan dan penggunaan teori kepribadian yang berbasis pada kearifan lokal masyarakat Indonesia saat ini mulai mendapat perhatian dari para ahli dan peneliti. Untuk itulah dalam penelitian ini, kaitan antara kematangan vokasional pada siswa SMK akan dilihat hubungannya dengan kualitas kepribadian yang didasarkan pada konteks budaya Jawa, yakni kawruh jiwa Suryomentaram. Kawruh jiwa Suryomentaram menggambarkan struktur kepribadian individu yang dibedakan atas empat ukuran. Pada ukuran pertama, manusia dengan panca inderanya akan mencatat dan memotret hal- hal yang terjadi pada dirinya, atau bisa disebut aktivitas mempersepsi. Catatan-catatan dari hasil mencatat dan memotret tersebut berada pada ukuran kedua, yang dapat disebut juga dengan fungsi emosi. Ukuran ketiga adalah kramadangsa, pada dimensi ini individu bertindak berdasarkan kepentingan dengan latar belakang catatan-catatan yang dimilikinya. Ukuran keempat merupakan dimensi manusia tanpa ciri. Pada tingkat ini individu sudah mampu melampaui tuntutan akal objektif ke tingkat ideal. Individu dengan kualitas kepribadian manusia tanpa ciri akan dapat merasakan ketenangan, ketentraman, dan memahami keinginan sendiri. Dalam kehidupan ini Ki Ageng Suryomentaram menyatakan bahwa manusia sejak bayi sampai tua mempunyai keinginan, yang bersifat sebentar mulur, sebentar mungkret. Penyebab timbulnya rasa senang ialah tercapainya keinginan. Keinginan yang tercapai menimbulkan rasa senang, enak, lega, puas, tenang, dan gembira. Padahal bila keinginan tersebut sudah tercapai pasti mulur, membengkak, dalam arti meningkat, menginginkan
5 lebih dari apa yang sudah dicapai, entah jumlahnya maupun mutunya, sehingga tidak dapat tercapai dan menimbulkan perasaan susah. Jadi, perasaan senang tidak berlangsung terusmenerus (Sarwiyono, 2008). Dalam rangkaian proses perkembangan hidup, masa remaja merupakan salah satu masa yang cukup krusial dalam mempengaruhi keseluruhan hidup seseorang. Masa remaja merupakan masa yang kompleks, karena di dalam masa itu terjadi suatu transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Disini seorang remaja akan mengalami proses belajar dan berkembang menuju apa yang disebut kematangan. Selama masa ini tak ayal remaja mengalami ketidakstabilan emosi, merasa tertekan atau justru menjadi orang yang berperilaku agresif. Hal tersebut berdampak pada kurangnya sikap menghargai orang lain, sehingga seringkali terjadi pertengkaran dan perkelahian hingga memicu tawuran antar pelajar. Salah satu dari fenomena tersebut terjadi di Yogyakarta pada Mei 2014 s ilam. Konvoi perayaan kelulusan SMA/SMK di Yogyakarta diwarnai tawuran antarpelajar. Tawuran bermula dari iringan- iringan kendaraan pelajar SMK Piri dan SMK Muhammadiyah 2 Yogyakarta dari arah timur, Jalan Menteri Supeno. Rombongan pelajar ini saling menyerang dengan lemparan batu dan senjata tajam. Sejumlah kendaraan pelajar rusak akibat tawuran itu. Selain itu seorang pelajar dikabarkan terluka akibat benda tajam hingga dirawat di rumah sakit (Zakariya, 2014). Halaman Tribunnews (http://jogja.tribunnews.com/2012/01/06/ini-data-tawuran-dikota-yogya), menyebutkan bahwa Satuan Reserse dan Kriminal Polresta Yogyakarta berhasil menangkap IP (17) alias koplo, pelajar warga Sidoagung, Godean yang tercatat sebagai siswa kelas 1 di satu Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta daerah Wirobrajan, Yogyakarta. Dia terlibat aksi tawuran dengan pelajar lain dari SMK 2 Yogya pada Sabtu, (4/12). Selain tawuran antarpelajar, fenomena lain yang cukup menjadi sorotan ialah
6 banyaknya siswa yang membolos saat jam pelajaran. Siswa Sekolah Menengah Kejuruan paling banyak terjaring dalam Operasi Kasih Sayang yang dilakukan Patroli Sekolah, Dinas Pendidikan dan Pengajaran Pematangsiantar. Pada jam belajar sekolah, Tim Patroli Sekolah menangkap sekitar tiga puluh siswa SMK yang sedang bermain di warung Internet di depan Universitas Nomensen, Jalan Asahan. Sejak Februari 2015 lalu, Patroli Sekolah di bawah instruksi Wali Kota telah meningkatkan pengawasan terhadap siswa yang membolos di wilayah Siantar. Patroli ini bisa menjaring sekitar sepuluh siswa dalam sehari (Damanik, 2011). Dari apa yang terjadi pada fenomena tersebut, bila ditinjau dari konsep kawruh jiwa Suryomentaram menunjukkan bahwa perilaku individu masih didasarkan pada catatan-catatan dan hal itu menandai bahwa individu tersebut masih berada pada dimensi kramadangsa. Penelitian ini berfokus pada faktor internal yang mempengaruhi kematangan vokasional, yaitu dengan menjadikan kepribadian sebagai variabel prediktor. Kepribadian merupakan istilah yang bersifat deskriptif untuk menggambarkan individu yang diteliti berdasarkan variabel- variabel atau dimensi-dimensi yang menempati posisi penting dalam teori tertentu yang digunakan (Hall dan Lindzey, 1993). Faktor kepribadian yang dipilih dalam penelitian ini adalah konsep kepribadian manusia tanpa ciri/manungsa tanpa tenger yang merupakan ukuran IV dari ajaran Suryomentaraman. Hasil penelitian Prihartanti (1999 & 2003) tentang kualitas kepribadian yang terkait dengan konsep rasa Suryomentaraman, menyebutkan bahwa manusia tanpa ciri/manungsa tanpa tenger merupakan konsep-konsep positif yang dapat membantu pertumbuhan kepribadian sejahtera. Individu yang memiliki kepribadian manusia tanpa ciri, artinya dalam tahap ini individu tersebut telah mampu memahami perasaannya sendiri dan perasaan orang lain (Fudyartanto, 2003). Manusia tanpa ciri/manungsa tanpa tenger mampu melebihi tuntutan akal objektif ke arah tingkat ideal yang cenderung bersifat ethic-altruistic (Sa’adi, 2010).
7 Seseorang akan mampu mencapai manusia tanpa ciri ketika berhasil melakukan mawas diri. Keberhasilan tersebut ditunjukkan dengan adanya kepribadian tegar, optimistik, berkemampuan, dan empatik (Prihartanti, 2004)
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menguji hubungan antara kepribadian manusia tanpa ciri/manungsa tanpa tenger yang didasarkan pada kawruh jiwa Suryomentaraman dengan kematangan vokasional pada siswa SMK.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat secara teoritis terutama bagi ilmu psikologi kepribadian dan pendidikan yaitu memberikan tambahan informasi dan menguatkan penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan kematangan vokasional dan kualitas kepribadian manusia tanpa ciri berdasarkan konsep kawruh jiwo Suryomentaraman. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini juga memiliki manfaat secara praktis yaitu sebagai dasar referensi untuk melakukan tindakan atau kebijakan bagi pihak-pihak yang terkait dengan kematangan vokasional siswa SMK, seperti pihak sekolah, siswa, dan para orang tua. Selain itu penelitian ini juga bermanfaat bagi pihak-pihak yang tertarik untuk mengembangkan penelitian tentang kepribadian manusia tanpa ciri berdasarkan konsep kawruh jiwa Suryomentaram.