BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit tropis yang mengancam manusia di berbagai negara tropis dan menjadi salah satu masalah kesehatan yang sangat penting karena kasus-kasus yang telah dilaporkan semakin meningkat jumlahnya. Di Indonesia, penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting karena tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia sebagai daerah endemis dan sering menimbulkan letusan Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan angka kematian yang tinggi (Arman, 2008). Indonesia merupakan negara tertinggi yang memiliki kasus DBD di Asia Tenggara. Pada tahun 2008 tercatat 136.333 kasus demam berdarah. Kasus ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kasus DBD yang terjadi pada tahun 2007 yaitu 158.155 kasus (Depkes RI, 2009). Aedes aegypti merupakan nyamuk yang berperan sebagai penular flavivirus, yaitu salah satu virus dengue penyebab DBD. Berbagai cara telah ditempuh dalam upaya pengendalian nyamuk Ae. aegypti, pada umumnya dengan penggunaan bahan kimia secara berkala contohnya golongan organofosfat, organoklorin, karbamat, dan pteroid (Yang et al., 2002). Penggunaan bahan kimia secara terus-menerus, selain berdampak buruk terhadap kesehatan manusia, juga akan berdampak pada resistensi nyamuk terhadap insektisida, dan berdampak pada kerusakan lingkungan (Wilkinson & Moore, 1982).
1
2
Masalah-masalah tersebut dapat dicegah dengan penemuan alternatif lain untuk pengendalian vektor DBD yang lebih aman dan dapat terbiodegradasi yaitu dengan penggunaan bahan alam. Ekstrak bahan alam dapat menjadi sumber alternatif dalam pengendalian vektor DBD untuk mencegah dampak buruk yang terjadi akibat penggunaan bahan kimia. Kandungan aktif bahan alam yang memiliki aktivitas terhadap larva nyamuk antara lain tanin, saponin, dan alkaloid. Tanin mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas enzim pencernaan dan mengganggu aktivitas protein pada dinding usus sehingga akan terjadi penurunan asupan makanan pada larva yang terpapar tanin dan terjadi penurunan pertumbuhan. Saponin dapat menghambat aktivitas enzim pencernaan. Alkaloid merupakan senyawa yang bersifat anti-feedant dan toksik. Senyawa alkaloid dapat mendegradasi membran sel, masuk ke dalam sel kemudian merusak sel (Aminah et al., 2001; Nopiyanti et al., 2008). Salah satu tanaman yang diketahui memiliki kandungan senyawa golongan alkaloid adalah tanaman tapak dara (Catharanthus roseus (L.) G. Don.). Tapak dara merupakan tanaman dari suku Apocynaceae yang mengandung berbagai macam senyawa alkaloid sebagai kandungan aktifnya. Disamping alkaloid, tapak dara juga memproduksi golongan senyawa fenolik, turunan flavonoid, asam sitrat (asam organik), dan asam-asam amino sebagai metabolitnya (Pereira et al., 2009).
3
Remia & Logaswamy (2009) melaporkan bahwa ekstrak aseton daun C. roseus dan Lantana camara toksik terhadap larva nyamuk Ae. aegypti.. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengisolasi kandungan aktifnya dan menentukan dosis atau kadar optimum yang paling tepat sebagai larvasida. Tanaman tersebut ramah lingkungan dan dapat dijadikan sebagai alternatif yang tepat untuk menggantikan insektisida kimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek larvasida ekstrak larut air batang tapak dara (C. roseus) terhadap larva nyamuk Ae. aegypti yang merupakan vektor utama penyakit demam berdarah dan menentukan profil metabolit dari ekstrak larut air batang tapak dara. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar penelitian untuk memperoleh larvasida alami dari bahan alam berdasarkan komponen aktifnya, salah satunya dengan tanaman tapak dara (C. roseus).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah ekstrak larut air batang tapak dara (C. roseus) memiliki efek larvasida terhadap larva instar III nyamuk Ae. aegypti? 2. Berapa nilai LC50 (Lethal Concentration 50) dan LC90 (Lethal Concentration 90) ekstrak larut air batang tapak dara (C. roseus) terhadap larva instar III nyamuk Ae. aegypti?
4
3. Bagaimana profil metabolit ekstrak larut air batang tapak dara (C. roseus)?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui efek larvasida ekstrak larut air batang tapak dara (C. roseus) terhadap larva instar III nyamuk Ae. aegypti 2. Menentukan nilai LC50 dan LC90 ekstrak larut air batang tapak dara (C. roseus) terhadap larva instar III nyamuk Ae. aegypti 3. Menentukan profil metabolit ekstrak larut air batang tapak dara (C. roseus) didasarkan atas kadar relatif komponen senyawanya
D. Tinjauan Pustaka 1. Uraian Tumbuhan a. Nama Lain Catharanthus roseus (L.) G. Don. disebut sebagai Madagascar Periwinkle di Inggris karena tanaman ini merupakan tanaman yang berasal dari Madagaskar, sedangkan di China dikenal dengan sebutan Chang Chun Hua, dan di Malaysia sebagai Kemuning Cina. Di Indonesia sendiri, C. roseus juga dikenal dengan berbagai macam nama. Nama umumnya adalah tapak dara. Nama daerahnya antara lain tapak liman (Melayu) dan tapak doro (Jawa) (Anonim, 2005; BPOM RI, 2008).
5
b. Taksonomi C. roseus Klasifikasi tanaman tapak dara menurut BPOM RI (2008) adalah sebagai berikut: Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Gentianales
Suku
: Apocynaceae
Marga
: Catharanthus
Jenis
: Catharanthus roseus (L.) G. Don.
Gambar 1. Tanaman tapak Dara (Catharanthus roseus (L.) G. Don.) Habitat di wilayah Pogung, Sleman, Yogyakarta
6
c. Distribusi Tapak dara merupakan tanaman asli Madagaskar dengan nama Madagascar Periwinkle. Tanaman ini tersebar luas di India Barat, Mozambik, Vietnam Selatan, Sri Lanka, Filipina, dan Australia. Tapak dara dapat beradaptasi dengan baik pada wilayah dengan iklim tropis seperti India. Di negara-negara seperti Tamil Nadu, Karnataka, Gujarat, Madhya Pradesh dan Assam, budidaya tapak dara untuk kepentingan komersial. Amerika, Hungaria, Jerman Barat, Italia, Belanda dan Inggris adalah konsumen utamanya (Joy et al., 1998). Tapak dara tumbuh dengan baik pada iklim tropis dan subtropis. Tanaman ini terdistribusi pada wilayah dengan curah hujan 1000 mm atau lebih. Tapak dara dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, kecuali pada tanah dengan salinitas dan kebasaan tinggi. Tanah yang kaya dengan humus baik untuk budidaya tapak dara dengan skala besar (Joy et al., 1998). d. Kandungan kimia Tapak dara yang termasuk ke dalam suku Apocynaceae adalah tanaman yang kaya dengan kandungan alkaloid, yang terdistribusi di seluruh bagian tanaman. Kandungan alkaloid dalam tapak dara tersebar luas di berbagai bagian tanaman, yang terbesar adalah pada bagian akar dengan rentang 0,15-1,34% dan mencapai 1,79% pada jenis tertentu,
7
sedangkan di bagian batang 0,074-0,48%, daun 0,32-1,16%, bunga 0,0050,84%, buah 0,40%, biji 0,18%, dan perikarp 1,14% (Aslam et al., 2010). Tapak dara mengandung sekitar 130 alkaloid indol dimana 25 alkaloid berbentuk dimer di alam. Bagian daun dan batang tapak dara merupakan sumber dari alkaloid dimer. Dua alkaloid dimer, vinblastin dan vinkristin, dilaporkan beraktivitas sebagai antikanker (sitotoksik). Alkaloid monomer, ajmalisin (raubasin), pada bagian akar, telah dipastikan berkhasiat dalam pengobatan penyakit yang berhubungan dengan sirkulasi darah, khususnya peredaran darah pusat. Tapak dara juga mengandung alkaloid reserpin dan serpentin, yang berkhasiat sebagai penenang (Aslam et al., 2010; Kulkarni et al., 1999).
(a)
(b)
(c)
(d)
8
(e)
(f)
Gambar 2. Struktur kimia (a) Vindoline; (b) Catharanthine; (c) Vincristine; (d) Vinblastine; (e) Reserpine; (f) Serpentine (Wang et al., 2011; Mu et al., 2012)
Alkaloid indol dapat di deteksi dengan menggunakan pereaksi VanUrk, anisaldehid-HCl, atau pereaksi Serium Amonium sulfat (Stahl, 1967). Disamping alkaloid, tapak dara juga memproduksi golongan senyawa fenolik, turunan flavonoid, asam organik seperti asam sitrat, dan asamasam amino sebagai metabolitnya (Pereira et al., 2009). e. Manfaat Tapak dara secara turun-temurun digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit. Kandungan alkaloidnya yang bermacam-macam memiliki efek sebagai antikanker, antidiabetes, diuretik, antihipertensi, antimikroba, antidisentri, tonikum, sedativa, dan penenang (Joy et al., 1998). Tapak dara telah lama digunakan untuk pengobatan diabetes secara empiris di Eropa. Di India, sari dari daun tapak dara digunakan untuk mengobati luka akibat sengatan serangga. Di Hawaii, tapak dara direbus
9
untuk menghentikan pendarahan. Di China, tapak dara digunakan sebagai astringen, diuretik, dan obat batuk (Aslam et al, 2010). Di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, tapak dara digunakan sebagai pendingin untuk pengobatan radang dan sumbatan paru-paru. Di sepanjang Caribbean, ekstrak bunga tapak dara digunakan untuk membuat larutan untuk pengobatan iritasi dan infeksi mata. Peneliti barat mengemukakan bahwa di era 1950, penduduk Jamaica meminum teh tapak dara untuk penyembuhan diabetes. Mereka menemukan bahwa tapak dara mengandung banyak alkaloid yang bermanfaat. Beberapa, seperti katarantin, leurosin sulfat, losnerin, tetrahidrolstonin, vindolin dan vindolinin, dapat menurunkan kadar gula darah. Sedangkan yang lainnya beraksi sebagai hemostatik (menghentikan pendarahan) dan dua lainnya, vinkristin dan vinblastin memiliki aktivitas sebagai antikanker (Aslam et al., 2010).
2. Nyamuk Ae. aegypti a. Klasifikasi Klasifikasi nyamuk Ae. aegypti menurut Womack (1993): Kerajaan
: Animal
Divisi
: Arthropoda
Kelas
: Insekta
Bangsa
: Dipthera
10
Suku
: Culicidae
Marga
: Aedes
Jenis
: Aedes aegypti
b. Siklus hidup Nyamuk Ae. aegypti dalam perkembangan hidupnya mengalami metamorfosis lengkap yaitu mulai dari telur menetas menjadi larva (jentik) kemudian menjadi pupa dan selanjutnya berkembang menjadi nyamuk dewasa (imago). Stadium yang satu sangat berbeda dengan stadium berikutnya, baik dalam morfologi maupun sifat lainnya (Teiji et al., 1993). Siklus hidup nyamuk Ae. aegypti umumnya berlangsung 8-10 hari tergantung dari kualitas makanan, penghisapan darah, kondisi air, suhu lingkungan, dan kelembapan udara. Siklus hidup nyamuk Ae. aegypti mulai dari telur sampai nyamuk dewasa terdapat dalam Gambar 3.
Gambar 3. Siklus hidup nyamuk Ae. aegypti (Hopp & Foley, 2001)
11
c. Karakteristik dan Morfologi 1) Telur Nyamuk Ae. aegypti betina meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata 100 butir setiap kali bertelur. Telurnya berbentuk elips berwarna hitam dan terpisah satu dengan yang lain. Telur menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva (Ginanjar, 2008). Telur nyamuk Ae. aegypti mempunyai dinding yang bergaris-garis dan menyerupai gambaran kain kasa (Sutanto et al., 2008). Telur biasanya diletakkan di tempat basah, contohnya kolam, genangan air, dan tempat buatan yang berisi air jernih (Yap et al., 1995). Telur nyamuk Ae. aegypti dapat bertahan hidup sampai 74 hari dalam keadaan lingkungan yang kering (Teiji et al., 1993).
Gambar 4. Telur nyamuk Ae. aegypti
2) Larva Perkembangan larva nyamuk Ae. aegypti memiliki 4 tahap pergantian kulit (instar) yaitu instar I, instar II, instar III, dan instar IV. Tahap instar I sampai instar IV pada larva membutuhkan waktu 5-6 hari
12
dengan temperatur optimal sebesar 25-30 ᵒC (Utomo et al., 2010). Lama waktu pertumbuhan dan perkembangan larva bergantung pada suhu lingkungan, ketersediaan makanan, dan kepadatan larva dalam wadah (WHO, 2004). Tubuh larva nyamuk Ae. aegypti terdiri dari kepala, leher, rongga dada dan perut. Pada awal perubahan telur menjadi larva (instar I) tubuh larva terlihat transparan dan semakin lama menjadi gelap seiring dengan pergantian instar. Ukuran larva nyamuk Ae. aegypti mengalami pertambahan panjang 1-2 mm setiap pergantian instar. Menurut Clements (1963) larva instar I berukuran 1,6 ,mm, larva instar II berukuran 2,7 mm, larva instar III berukuran 4,6 dan larva instar IV berukuran 7 mm. Kepala larva instar I berbentuk segitiga dan kecil, kemudian semakin besar dan membulat pada larva instar II-IV. Ciri khas pada larva nyamuk Ae. aegypti yaitu memiliki corong udara atau sifon pada segmen terakhir (segmen ke-8) dengan ujung sifon tanpa katup penembus dan tidak melekat pada tumbuhan air. Comb pada sifon larva nyamuk Ae. aegypti terdapat banyak duri lateral sedangkan pecten pada sifon mempunyai sedikit duri lateral. Larva membentuk sudut dengan permukaan air sewaktu beristirahat (Bar & Andrew, 2013; Mardihusodo, 1991; Sivanathan, 2006).
13
Gambar 5. Larva nyamuk Ae. aegypti
3) Pupa Stadium pupa merupakan stadium akhir dalam air. Stadium ini merupakan fase puasa (tanpa makan) dan sangat sensitif terhadap pergerakan air sehingga pupa bergerak aktif dalam air. Pupa berbentuk bengkok dengan kepala besar dan bernafas dengan sepasang organ berbentuk terompet kecil yang terdapat pada toraks (Borror et al., 1992). Terompet pendek, tumpul, tidak memiliki katub penembus, dan tidak melekat pada permukaan air. Pupa nyamuk Ae. aegypti termasuk ke dalam tipe obtect, yaitu pupa yang terbungkus oleh kokon (Romoser & Stoffolano, 1998). Pupa bertahan selama dua hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu tujuh hingga delapan hari, tetapi dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung (Ginanjar, 2008).
14
Gambar 6. Pupa nyamuk Ae. aegypti
4) Dewasa Nyamuk Ae.aegypti betina dewasa memiliki tubuh berwarna hitam kecoklatan. Ukuran tubuh nyamuk Ae. aegypti betina antara 3-4 cm, dengan mengabaikan panjang kakinya. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Di bagian punggung (dorsal) tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri spesifik spesies ini. Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuknyamuk yang sudah tua. Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan nyata dalam hal ukuran. Biasanya nyamuk jantan memiliki tubuh lebih kecil daripada betina, dan terdapat rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan (Ginanjar, 2008). Nyamuk betina menghisap darah manusia pada siang hari yang dilakukan baik di dalam rumah ataupun di luar rumah. Penghisapan darah dilakukan dari pagi hari sampai petang. Tempat istirahat nyamuk Ae.
15
aegypti berupa semak-semak atau tanaman rendah termasuk rerumputan, juga berupa benda-benda yang tergantung di dalam rumah. Umur nyamuk betina dewasa di alam bebas kira-kira selama 10 hari, sedangkan di laboratorium mencapai dua bulan. Nyamuk Ae. aegypti mampu terbang sejauh 2 kilometer, walaupun umumnya jarak terbangnya adalah pendek yaitu kurang lebih 40 meter (Sutanto et al., 2008).
Gambar 7. Nyamuk dewasa Ae. aegypti (Sivanathan, 2006)
3. Metode ekstraksi (refluks) Ekstraksi adalah suatu proses dalam fitokimia yang bertujuan untuk memisahkan senyawa aktif yang diinginkan dari komponen tumbuhan lainnya. Bahan segar maupun bahan kering dapat digunakan dalam proses ekstraksi. Bahan tanaman dimasukkan ke dalam suatu wadah bersama-sama dengan pelarut yang sesuai contohnya air suling, alkohol, n-heksana, kloroform, benzena, atau toluena. Pemilihan pelarut tergantung oleh beberapa faktor, temasuk karakteristik dari senyawa yang akan di ekstraksi, biaya, dan masalah
16
lingkungan. Hasil ekstraksi yang diperoleh dari tanaman yang di ekstraksi berupa cairan, bentuk semipadat atau serbuk (Handa, 2008; Raaman, 2006). Ekstraksi harus dilakukan sesuai dengan prosedur untuk mendapatkan efek terapeutik yang diharapkan dan untuk mengeliminasi senyawa yang tidak diinginkan dengan pelarut yang sesuai. Beberapa teknik yang pada umumnya digunakan dalam ekstraksi antara lain maserasi, perkolasi, infundasi, dekokta, ekstraksi panas berkelanjutan (sokhlet), refluks, ekstraksi air-alkohol dengan fermentasi, dan counter-current extraction (Tiwari et al., 2011). Ekstraksi dengan metode refluks pada dasarnya adalah suatu ekstraksi berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak. Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih. Uap penyari akan naik keatas melalui bahan yang diekstraksi. Uap penyari mengembun karena didinginkan oleh pendingin balik. Embun turun melalui bahan sambil melarutkan zat aktifnya dan kembali ke labu, demikian seterusnya (Agoes, 2007). Menurut Depkes RI (1986), keuntungan ekstraksi dengan metode penyarian berkesinambungan (refluks) antara lain cairan penyari yang digunakan lebih sedikit dan secara langsung diperoleh hasil yang pekat, serbuk simplisia disari oleh cairan penyari yang murni sehingga dapat menyari zat aktif yang lebih banyak, dan penyarian dapat diteruskan sesuai dengan keperluan tanpa menambah volume cairan penyari. Ekstraksi dengan metode refluks juga memiliki kekurangan yaitu larutan dipanaskan terus-menerus
17
sehingga tidak cocok untuk zat aktif yang tidak tahan terhadap pemanasan. Selain itu, cairan penyari yang digunakan harus murni atau campuran azeotrop karena cairan penyari dididihkan secara terus-menerus.
Gambar 8. Perangkat Alat Ekstraksi (refluks) (Bagian Biologi Farmasi UGM)
4. Larvasida
Berbagai jenis nyamuk yang termasuk dalam marga Anopheles, Culex, dan Aedes merupakan vektor bagi patogen dari berbagai penyakit antara lain malaria, filariasis, DBD, dan chikungunya, menyebabkan mortalitas dan morbiditas pada manusia yang tinggal di wilayah tropis dan subtropis (Redwane et al., 2002). Pengontrolan kimiawi merupakan strategi yang efektif yang banyak digunakan. Ada banyak senyawa kimia yang toksik terhadap nyamuk antara lain organofosfat, organoklorin, karbamat, dan pteroid. Akan tetapi, penggunaan bahan kimia secara terus-menerus dapat menyebabkan resistensi nyamuk terhadap insektisida dan juga berdampak buruk bagi
18
lingkungan. Pengontrolan terhadap vektor tersebut menjadi lebih sulit karena efektivitas vaksin dan obat yang rendah dalam melawan vektor-vektor tersebut (Govindarajan & Karuppannan, 2011). Salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam pengontrolan vektorvektor tersebut adalah penggunaan ekstrak bahan alam. Kandungan yang berasal dari bahan alam dapat beraksi sebagai larvasida, pengendali pertumbuhan nyamuk, pengusir nyamuk (repelen), dan berperan penting dalam pencegahan perpindahan patogen oleh nyamuk (Khanna & Kannabiran, 2007; Patil et al., 2010). Pencarian larvasida alami, yang tidak memiliki efek samping pada organisme non-target dan mudah terdegradasi, menjadi salah satu prioritas utama bagi para peneliti. 5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) - Densitometri Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani Rusia, Michael Tswett pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang berisi kalsium karbonat (CaCO3). Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Saat ini kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum dan paling sering digunakan untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif, kuantitatif, atau preparatif dalam bidang farmasi. Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat dibedakan menjadi
19
kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi cair kinerja tinggi, dan kromatografi gas (Gandjar & Rohman, 2007). Pada Kromatografi Lapis Tipis (KLT), zat penjerap merupakan lapisan tipis serbuk halus yang dilapiskan pada lempeng kaca, plastik atau logam secara merata. Lempeng yang dilapisi dapat dianggap sebagai kolom kromatografi terbuka dan pemisahan yang tercapai dapat didasarkan pada adsorpsi, partisi atau kombinasi keduanya, yang tergantung dari jenis lempeng, cara pembuatan, dan jenis pelarut yang digunakan (Depkes RI, 2008). Lapisan yang memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan menjadi bercak atau pita. Pemisahan terjadi selama pengembangan setelah plat dimasukkan dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), selanjutnya dilakukan pendeteksian terhadap bercak yang timbul (Stahl, 1985). Kromatografi Lapis Tipis merupakan teknik kromatografi yang digunakan secara luas karena cepat, mudah, dan positif untuk menganalisis suatu sampel. Beberapa alasan menurut Rohman (2009) mengapa KLT menjadi pilihan utama dalam analisis, antara lain: a. KLT memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam hal pemilihan fase gerak
20
b. Berbagai
macam
teknik
untuk
optimasi
pemisahan
contohnya
pengembangan 2 dimensi, pengembangan bertingkat, dan pembaceman penjerap dapat dilakukan dalam KLT c. Proses kromatografi dapat diikuti dengan mudah dan dapat dihentikan kapan saja d. Semua komponen dalam sampel dapat di deteksi Deteksi senyawa pada Kromatografi Lapis Tipis dilakukan dengan pengamatan langsung pada sinar tampak atau di bawah lampu UV254 & UV366 dengan cara membandingkan jarak bercak yang timbul pada kromatogram dengan jarak elusi sehingga diperoleh nilai Rf (Retardation factor).
Angka Rf berjangka antara 0,00 sampai 1,00 dan ditentukan dalam dua desimal, sedangkan hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), yang menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Fried & Sherma, 1994). Warna yang timbul pada plat dan nilai Rf yang diperoleh, kemudian dibandingkan dengan literatur untuk mengetahui golongan senyawanya. Identifikasi golongan senyawa dalam metode Kromatografi Lapis Tipis juga bisa dilakukan dengan menggunakan pereaksi semprot. Pereaksi semprot harus mencapai plat KLT dalam tetesan yang sangat halus sebagai aerosol dan bukan sebagai semprotan kasar (Stahl, 1985). Menurut Harborne (1987) pereaksi semprot yang dapat digunakan antara lain:
21
a. Senyawa fenolik dapat dideteksi dengan pereaksi Folin-Ciocalteu dan akan memberikan bercak biru. Fenol lainnya terlihat sebagai bercak biru sampai kelabu jika plat diuapi amonia b. Senyawa golongan terpenoid dideteksi dengan larutan KMNO4 0,2% dalam air, antimon klorida dalam kloroform, H2SO4 pekat, atau anisaldehid-H2SO4. c. Asam-asam amino protein dideteksi dengan larutan ninhidrin dan akan memberikan bercak berwarna biru. d. Senyawa amina aromatis dapat dideteksi dengan pereaksi Ehrlich(1% pdimetilaminobenzaldehida dalam aseton-HCl 10M, 9:1). Pereaksi ini memberikan warna merah muda dengan senyawa turunan triptamina e. Senyawa golongan alkaloid dideteksi dengan pereaksi Dragendorff atau pereaksi Marquis. f. Glikosida sianogenik dideteksi dengan menyemprotkan AgNO3 amonia. g. Senyawa yang mempunyai gugus aldehida-keton dideteksi dengan pereaksi dinitrofenilhidrazin (2,4-DNPH). Analisis kuantitatif dalam Kromatografi Lapis Tipis dapat dilakukan dengan metode pengukuran luas puncak. Metode pengukuran luas puncak merupakan metode yang paling banyak digunakan. Pengukuran luas puncak yang tepat dan teliti didasarkan pada berbagai faktor. Pengukuran luas puncak yang paling akurat dalam KLT adalah dengan cara scanning menggunakan perangkat alat densitometer atau TLC scanner. Densitometer merupakan suatu
22
instrumen yang dapat mengukur intensitas radiasi yang direfleksikan dari permukaan lempeng ketika disinari dengan lampu UV atau lampu sinar tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar akan dicatat sebagai puncak (peak) dalam pencatat (recorder) (Gandjar & Rohman, 2012). 6. Analisis Probit Analisis probit biasa dipakai dalam pengujian biologis untuk mengetahui respon subyek yang diteliti oleh adanya stimulan, misalnya insektisida dan obat-obatan. Dalam pengujian toksisitas insektisida terhadap serangga uji, stimulan diaplikasikan pada subyek dalam serial unit konsentrasi (dosis) dan/atau waktu, sedangkan respon berupa angka kematian (mortalitas). Berdasarkan hal tersebut maka dapat diperoleh data LC50 (konsentrasi yang diperlukan agar populasi subyek uji mengalami kematian sebesar 50%); LC90 (konsentrasi yang diperlukan agar populasi subyek uji mengalami kematian sebesar 90%); dan garis regresi probit yang menggambarkan hubungan antara transformasi log dosis/konsentrasi dengan probit kematian. Analisis probit tidak hanya penting untuk pengujian toksisitas insektisida yang baru terhadap subyek uji, tetapi sangat penting mengetahui kerentanan subyek uji terhadap insektisida yang telah lama dipakai sehingga pemakaiannya dengan dosis yang tidak tepat dapat dihindari (Finney, 1971).
23
E. LANDASAN TEORI Penggunaan bahan kimia sebagai larvasida memiliki banyak kelemahan, terutama berdampak negatif pada kesehatan manusia dan lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dampak dari larvasida kimiawi yang tidak diinginkan adalah dengan memulai penggunaan larvasida alami sebagai pengendali larva nyamuk. Larvasida alami menggunakan sumber bahan alam sebagai komponen aktifnya dalam mengendalikan pertumbuhan larva nyamuk. Banyak keuntungan yang diperoleh dari penggunaan larvasida alami, antara lain tidak merusak lingkungan dan aman terhadap manusia. Pemilihan tanaman tapak dara (C. roseus) sebagai larvasida alami didasarkan pada beberapa penelitian sebelumnya yang mengindikasikan bahwa tapak dara menunjukkan hasil yang positif terhadap larva nyamuk Ae. aegypti. Remia & Logaswamy (2009) melaporkan bahwa ekstrak aseton daun C. roseus dan Lantana camara toksik terhadap larva instar II, instar IV, dan pupa nyamuk Ae. aegypti. Selain itu, Irfan (2011) melaporkan bahwa ekstrak daun tapak dara memiliki daya larvasida terhadap larva instar III nyamuk Ae. aegypti. Penggunaan batang tapak dara dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran senyawa aktif pada tanaman tapak dara yang mempunyai efek sebagai larvasida selain pada bagian daun. Beberapa senyawa alkaloid indol yang terdapat pada C. roseus, yaitu vinkristin, vinblastin, vindolin, dan katarantin memiliki aktivitas sitotoksik (mampu merusak sel). Siddiqui et al (2010) melaporkan bahwa vindolin (200
24
µg/mL) dan katarantin (60 µg/mL) dalam ekstrak C. roseus memiliki aktivitas sebagai agen sitotoksik dengan metode MTT assay. Vinblastin jenis baru (N’boxide dan 20’-deoxyvinblastine N’b-oxide) yang termasuk dalam alkaloid N-oksida dilaporkan
memiliki
aktivitas
sitotoksik
terhadap
sel
HepG2
(human
hepatocelullar carcinoma), sel Lovo (human colorectal carcinoma), dan sel MCF7 (human breast carcinoma) secara in vitro (Zhang et al.,2013). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai ekstrak daun tapak dara (C. roseus) sebagai larvasida alami dan kandungan senyawa golongan alkaloid indol yang memiliki aktivitas sitotoksik, diharapkan ekstrak larut air batang tapak dara (C. roseus) juga berefek sebagai larvasida terhadap larva instar III nyamuk Ae. aegypti.
F. HIPOTESIS Ekstrak larut air batang tapak dara (C. roseus) berefek sebagai larvasida terhadap larva instar III nyamuk Ae. aegypti.