BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia. Penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus dengue tersebut telah dilaporkan semenjak abad kesembilan belas dan pada awal abad kedua puluh telah ditemukan di Amerika, Eropa selatan, Afrika utara, Mediterania timur, Asia dan Australia, dan pada beberapa pulau di Samudra India, Pasifik selatan dan tengah serta Karibia (World Health Organization, 2009). Setiap tahun, di dunia diperkirakan terjadi dua puluh juta kasus infeksi dengue, dengan Case Fatality Rate (CFR) 1-5% (Ganda, 2006). Sekitar tiga milyar penduduk dunia memiliki risiko terinfeksi virus dengue setiap tahunnya. Lebih dari seratus negara tropis dan subtropis pernah mengalami letusan dengue. Di Asia Tenggara penyakit ini pertama kali dikenali di Filipina pada tahun 1953. Selama tiga dekade berikutnya, DBD terus menyebar dan ditemukan di berbagai Negara di Asia tenggara, termasuk Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara transmisi virus dengue, dan termasuk kategori A dalam negara endemik di Asia Tenggara (World Health
Organization, 2007). DBD merupakan masalah kesehatan di Indonesia (Ganda, 2006), dimana penyakit ini termasuk kedalam sepuluh penyebab perawatan di rumah sakit dan kematian pada anak-anak.
DBD pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1968 selama wabah yang terjadi di Surabaya dan Jakarta (CFR 41,3%) dan baru mendapat konfirmasi virologi pada tahun 1970. Di Indonesia, wabah DBD pernah dilaporkan oleh David Baylon di Batavia pada tahun 1779 (Hasan dan Alatas, 2005). Epidemi DBD yang terjadi pada tahun 1998, sebanyak 47.573 kasus DBD dilaporkan dengan 1.527 kematian. Kajian negara yang mendalam mengenai DBD mulai dilakukan pada bulan Juni tahun 2000, kemudian pada tahun 2004, Indonesia melaporkan CFR 1,12% yang merupakan angka tertinggi di Asia Tenggara (Ganda, 2006). Di kota Padang kejadian DBD pada tahun 2011 cukup tinggi dengan total sebanyak 965 kasus dan yang meninggal ada sebanyak enam kasus (CFR 0,62%). Kejadian DBD di kota Padang mengalami penurunan dari pada tahun 2010 yang memiliki total sebanyak 1045 kasus dan meninggal sebanyak dua kasus (CFR 0.2%). Selama 2007 sampai 2011 terjadi ppenurunan angka kejadian DBD di kota Padang setiap tahunnya (Dinas Kesehatan Kota Padang, 2012). Sindrom renjatan dengue (SRD) merupakan masalah utama pada hampir seluruh pasien DBD. Sindrom renjatan dengue ini terjadi karena perembesan plasma (Soedarmo, 2005; Berita Ikatan Dokter Indonesia, 2007; Nurhayati, 2004). Penanganan yang tepat dan seawal mungkin terhadap penderita DBD dan SRD, merupakan faktor yang penting untuk keberhasilan penanganan penderita (Soegijanto, 2005; Ganda, 2006; Berita Ikatan Dokter Indonesia, 2007 ). Berdasarkan pengklasifikasian keparahan demam berdarah dengue (DBD) menurut WHO tahun 1997, DBD diklasifikasikan menjadi empat derajat, yaitu derajat I, derajat II, derajat III, dan derajat IV, dimana SRD termasuk kedalam
derajat III dan IV. Peningkatan permeabilitas kapiler lanjut pada stadium ini mengakibatkan perembesan plasma yang massif ke ruang interstisial yang menyebabkan hipovolemia sehingga menimbulkan berbagai manifestasi dan komplikasi yang kompleks. Diagnosis yang tepat dan sedini mungkin, serta penilaian yang akurat terhadap stadium dan kondisi penderita merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan prognosis penderita. Semakin berat penyakit penderita, semakin jelek prognosisnya. Oleh karena itu penilaian yang akurat terhadap risiko renjatan, merupakan hal yang penting untuk penatalaksanaan yang adekuat, mencegah syok dan perdarahan lanjut. Untuk
penanganan
DBD,
WHO
tahun
2009
menetapkan
3
pengelompokan, yakni derajat 1 untuk pasien dengue tanpa tanda-tanda bahaya, derajat 2 untuk pasien dengue dengan tanda-tanda bahaya, dan derajat 3 untuk pasien dengue berat. Kriteria WHO tahun 1997 ataupun 2009 untuk derajat klinik DBD tersebut tidak memberikan nilai yang pasti dari hasil pemeriksaan darah lengkap untuk setiap derajat kliniknya. Sehingga petugas medis menentukan derajat klinik tersebut hanya berdasarkan tanda dan gejala klinik saja padahal pemeriksaan tromosit, hematokrit, dan hemoglobin memegang peranan penting untuk membantu diagnosis DBD terutama bila sudah terjadi kebocoran plasma yang dapat mencetuskan terjadinya syok. Adanya nilai yang pasti dari pemeriksaan trombosit, hematokrit, dan hemoglobin untuk setiap derajat klinik DBD diharapkan sangat membantu
petugas medis agar lebih mudah untuk membuat diagnosis dan menentukan prognosis dari DBD. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti ingin melihat hubungan pemeriksaan jumlah trombosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas memberikan dasar bagi peneliti untuk membuat rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan jumlah trombosit dengan derajat klink DBD berdasarkan kriteria WHO pada pasien dewasa di RSUP M. Djamil Padang? 2. Apakah terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan nilai hematokrit dengan derajat klink DBD berdasarkan kriteria WHO pada pasien dewasa di RSUP M. Djamil Padang? 3. Apakah terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan kadar hemoglobin dengan derajat klink DBD berdasarkan kriteria WHO pada pasien dewasa di RSUP M. Djamil Padang?
1.3 Tujuan Penelitian 1)
Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pemeriksaan jumlah trombosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa.
2)
Tujuan Khusus 1. Mengetahui hubungan jumlah trombosit dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa.
2. Mengetahui hubungan nilai hematokrit dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa.
3. Mengetahui hubungan kadar hemoglobin dengan derajat klinik DBD pada pasien dewasa.
1.4 Manfaat Penelitian 1) Ilmiah a) Sebagai informasi tambahan bagi pemahaman yang lebih utuh terhadap kejadian penyakit DBD. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu kedokteran khususnya mengenai DBD. c) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan pada penelitian mengenai DBD dimasa mendatang. 2) Aplikatif a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan
untuk
menentukan
derajat
klinik
pasien
DBD
berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah trombosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin untuk pasien DBD di masa mendatang. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan prognosis pasien DBD berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah trombosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin untuk pasien DBD di masa mendatang. 3) Pelayanan masyarakat Meningkatkan kualitas penanganan penderita DBD.