1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi dan perdagangan bebas yang dimulai tahun 2003 melalui Asean Free Trade Area (AFTA) menuntut peningkatan mutu calon pekerja di negara-negara Asean, seperti Indonesia. Peningkatan mutu tersebut dapat dicapai antara lain dengan perbaikan mutu pendidikan sehingga para lulusan kompeten di bidangnya. Di Inggris dan Australia, mutu perguruan tinggi dikaitkan dengan kebijakan dan sistem institusional, aktivitas, serta kinerja perguruan tinggi, bahkan pada tahun 2004 kebijakan publik di Inggris telah mendefinisikan tentang standar mutu perguruan tinggi (Westerheijden et al., 2007). Pada kompetisi pasar global, mutu merupakan faktor tunggal yang sangat menentukan kesuksesan. Juran dan Godfrey (1999) mengatakan bahwa abad 20 adalah abad produktivitas, sedangkan abad 21 adalah abad kualitas/mutu. Manajemen mutu menjadi isu kompetitif pada beberapa organisasi seperti di Amerika Serikat bahkan mutu menjadi bagian dari agenda nasional. Reformasi
pendidikan vokasional di Romania dilakukan dalam
mengembangkan kerangka penjaminan mutu di tingkat nasional (Hart dan Rogojinaru, 2007). Gvaramadze (2008) memprakarsai penjaminan mutu dengan melakukan analisis tentang peningkatan mutu dan implikasi budaya mutu perguruan tinggi di Eropa. Dieter (2009) mengembangkan suatu program reformasi dalam ilmu-ilmu dasar, penelitian klinis, dan pelayanan pasien untuk meningkatkan mutu output pada pendidikan kedokteran di Jerman.
2
Tuntutan reformasi pendidikan juga menyangkut pembaruan sistem di berbagai bidang pendidikan. Hal lain yang juga penting adalah upaya peningkatan
mutu
pendidikan
perguruan tinggi sehingga mewujudkan
pendidikan yang bermutu, relevan dengan kebutuhan stakeholders, dan berdaya saing dalam kehidupan global. Paradigma baru manajemen pendidikan tinggi di Indonesia yaitu peningkatan mutu secara berkelanjutan, otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi perlu dicapai (Depdiknas, 2003). Penerapan sistem penjaminan mutu (quality assurance) di suatu lembaga pendidikan tinggi sangat diperlukan sehingga para lulusan mampu bersaing di pasar global dengan mutu yang baik (Hadi, 2005). Pemahaman beberapa pendapat di atas menegaskan bahwa tujuan utama paradigma baru manajemen perguruan tinggi saat ini adalah terwujudnya suatu sistem yang lebih dinamis dan efektif, sehingga menjamin terjadinya peningkatan mutu secara berkesinambungan agar menghasilkan produk yang selaras dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat pengguna. Perguruan tinggi perlu melaksanakan sistem penjaminan mutu untuk menjamin agar mutu pendidikan perguruan tinggi dapat dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan yang direncanakan/dijanjikan. Mutu pembelajaran di perguruan tinggi merupakan sebuah isu strategis karena hal tersebut merupakan faktor determinan bagi tercapainya
tujuan
pembelajaran (Morley, 2003 cit. Hoecht, 2006). Namun demikian, banyak faktor masih menghambat pelaksanaan pencapaian mutu pembelajaran yang baik.
3
Salah satu dari faktor-faktor tersebut adalah belum optimalnya mutu dalam proses pembelajaran. Manajemen mutu pendidikan dapat dilakukan antara lain dengan mengevaluasi pengaruh mutu pendidikan terhadap prestasi mahasiswa setelah proses pembelajaran (Fry et al., 2009). Berdasarkan pengertian ini, perguruan tinggi memiliki peran dalam mempersiapkan lulusan yang bermutu untuk dapat dipertanggungjawabkan di dalam masyarakat. Pengelolaan
pendidikan
tenaga
kesehatan
(Diknakes)
merupakan
tantangan dalam rangka menghasilkan lulusan tenaga kesehatan yang profesional, mandiri dan berdaya saing secara efisien dan efektif (Depkes, 2009b). Pengelolaan penjaminan mutu institusi di lingkungan Diknakes dikembangkan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, secara kebijakan dibawah pimpinan institusi Diknakes, secara teknis fungsional dibina oleh pembantu pimpinan bidang akademik dan secara operasional dilaksanakan oleh unit penjaminan mutu (Kemenkes, 2010a). Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan (Poltekkes Kemenkes) merupakan sebuah Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Kementerian Kesehatan. Keputusan Menkes RI Nomor OT.01.01.2.4.0375 tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Poltekkes menyebutkan bahwa Poltekkes mempunyai tugas melaksanakan pendidikan yang bersifat vokasional dengan jenjang D I, II, III dan/atau D IV, sesuai keputusan UU yang berlaku (Depkes, 2009a). Jurusan yang ditawarkan dalam lingkup Poltekkes Kemenkes adalah jurusan
Gizi,
Analis
Kesehatan,
Kebidanan,
Keperawatan,
Kesehatan
Lingkungan, serta Keperawatan Gigi. Penyelenggaraan Jurusan Keperawatan
4
Gigi (JKG) diatur dengan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1035/Menkes/SK/IX/1998. Kompetensi lulusan pendidikan keperawatan gigi dihasilkan melalui proses pendidikan di institusi Pendidikan Diploma Keperawatan Gigi yang diharapkan dapat berperan serta dalam upaya-upaya kesehatan gigi dan mulut untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes, 2009c). Kompetensi perawat gigi Indonesia terdiri dari domain, kompetensi utama, kompetensi penunjang, dan kemampuan dasar (Kemenkes, 2010b). Pendidikan keperawatan gigi dituntut untuk mempunyai suatu kurikulum yang membantu mahasiswa mencapai kompetensi yang diharapkan. Proses pembelajaran di klinik adalah proses inti dalam pendidikan tenaga kesehatan, oleh karena itu keberadaan standar kompetensi lulusan menjadi sangat mutlak dan sifatnya strategis (Wellard et al., 2009). Pembelajaran klinik selaras dengan pendidikan keperawatan gigi yang mengutamakan pembelajaran praktik daripada teori. Schweek
dan Gebbie, 1996 cit. Depkes, 2004
menyebutkan bahwa praktik klinik merupakan unsur utama dari perencanaan kurikulum (the heart of the total curriculum plan). Pembelajaran klinik menjadi faktor utama yang mendukung proses belajar mengajar pada pendidikan keperawatan gigi untuk menghasilkan mutu lulusan yang kompeten di bidangnya, hal ini sesuai pendapat Papp et al. (2003) bahwa pembelajaran klinik adalah salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi profesional mahasiswa keperawatan. Mahasiswa diharapkan mempunyai kompetensi yang menyeluruh berdasarkan pengetahuan, keterampilan, dan
5
pengalaman klinik yang sudah mereka dapatkan selama pendidikan. Tujuan pembelajaran klinik pendidikan keperawatan gigi adalah menciptakan ahli madya keperawatan gigi yang kompeten yaitu mampu mengelola pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut. Kemampuan dan keterampilan dasar yang diberikan dalam pendidikan difokuskan dalam bidang promotif, preventif, dan kuratif terbatas (Depkes, 2004). Peningkatan mutu pembelajaran klinik pada pendidikan keperawatan gigi menjadi faktor utama yang mendukung proses pendidikan vokasi untuk meningkatkan kualitas lulusannya. Pengalaman pembelajaran praktik klinik penting untuk mempersiapkan mahasiswa ke arah penerapan pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional dengan memberi kesempatan mahasiswa melalui proses pembelajaran dalam situasi nyata. Pencapaian tujuan pembelajaran perlu didukung adanya sarana prasarana yang memadai serta waktu yang cukup untuk pembelajaran (Lake dan Ryan, 2006). Stark et al. (2003) menyatakan pentingnya pembimbing klinik sebagai role models, dan upaya peningkatan mutu pembelajaran klinik perlu dukungan dana serta pelatihan keterampilan mengajar. Proses pembelajaran yang efektif membutuhkan penyediaan sarana prasarana yang memadai termasuk media ajar yang sesuai dengan kebutuhan. Penggunaan media ajar dalam pembelajaran praktik klinik untuk melengkapi dan membantu pembimbing dalam menyampaikan materi atau informasi, adanya media ajar yang tepat diharapkan terjadi interaksi antara
6
pembimbing dengan mahasiswa dan antar mahasiswa secara maksimal sehingga dapat mencapai hasil belajar sesuai tujuan pembelajaran. Studi pendahuluan tentang implementasi model penjaminan mutu PDCA (Plan, Do, Check, dan Act) pada pembelajaran klinik Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta (lampiran 3) menunjukkan bahwa berdasarkan pemetaan posisi mutu menggunakan diagram Kartesius maka upaya tindak lanjut (follow up) yang menjadi prioritas utama program peningkatan mutu pembelajaran klinik adalah pada indikator mutu aspek evaluasi (check) yaitu penyediaan sarana prasarana yang memadai, khususnya kebutuhan media ajar sebagai alat simulasi pada pembelajaran praktik skaling. B. Rumusan Masalah Penguasaan keterampilan praktik merupakan faktor yang penting dalam menghasilkan tenaga perawat gigi yang berkualitas dan salah satu upaya yang diperlukan adalah penyediaan media ajar yang memadai. Penggunaan media ajar pada pembelajaran klinik penting karena keadaan mahasiswa sangat heterogen, media
ajar
sebagai
simulator
membantu
pembimbing
klinik
dalam
menyampaikan pesan-pesan atau materi pembelajaran praktik kepada mahasiswa supaya lebih mudah dimengerti, lebih menarik, dan lebih menyenangkan sehingga menambah motivasi dan lebih merangsang minat mahasiswa untuk belajar. Pembelajaran praktik skaling dilakukan dengan cara simulasi untuk mencapai tingkat kompetensi shows hows (Dent dan Harden, 2009), yaitu mahasiswa dapat melakukan atau mendemonstrasikan sebuah keterampilan pada
7
situasi yang terkendali. Simulasi pada praktik skaling merupakan usaha menciptakan pengalaman menggunakan media ajar sebelum mahasiswa menghadapi pasien sesungguhnya. Media ajar dalam bentuk model gigi yang saat ini digunakan belum mirip dengan keadaan nyata pada pasien, model tidak menampilkan tanda-tanda kelainan kalkulus, juga tidak dapat diatur posisinya sesuai kebutuhan operator sehingga sering menyulitkan mahasiswa maupun pembimbing praktik, hal ini menyebabkan pembelajaran praktik skaling menjadi tidak efektif dan target pencapaian kompetensi mahasiswa menjadi tidak tuntas. Media ajar praktik skaling yang realistik dibutuhkan supaya penyampaian informasi yang berkaitan dengan keterampilan skaling lebih mudah dipahami, menambah motivasi belajar mahasiswa, meningkatkan interaksi antar mahasiswa maupun pembimbing dengan mahasiswa, sehingga meningkatkan mutu proses dan produk pembelajaran. Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan masalah: Apakah pengembangan media ajar pada proses pembelajaran praktik skaling berpengaruh terhadap prestasi mahasiswa? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum: Untuk mengembangkan media ajar yang memadai pada pembelajaran praktik skaling. 2. Tujuan Khusus: Untuk mengetahui pengaruh intervensi menggunakan media ajar yang dikembangkan pada praktik skaling terhadap prestasi mahasiswa dilihat dari nilai kognitif dan nilai keterampilan.
8
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat untuk Pembangunan Pendidikan: Pengembangan media ajar sebagai alat simulasi praktik mahasiswa menjadi salah satu strategi dalam upaya penjaminan mutu pendidikan tenaga kesehatan di Indonesia, khususnya pada pendidikan keperawatan gigi. 2. Manfaat bagi Pengembangan Ilmu: Penelitian ini menambah penguatan mengenai prinsip-prinsip dan langkah-langkah pembelajaran klinik pada pendidikan keperawatan gigi sehingga menghasilkan tenaga perawat gigi yang kompeten di bidangnya. E. Keaslian Penelitian Fokus penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian terdahulu yaitu peningkatan mutu pendidikan keperawatan gigi melalui pengembangan media ajar praktik skaling berbasis implementasi model penjaminan mutu PDCA pada pembelajaran klinik. Beberapa penelitian terdahulu mengenai peningkatan mutu pembelajaran klinik di
perguruan tinggi adalah sebagai
berikut: Penelitian Snell et al. (2000) yang mendiskusikan pentingnya evaluasi pembelajaran klinik bagi institusi perguruan tinggi (dosen dan program studi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa model evaluasi dapat digunakan untuk mengetahui hubungan antara proses pembelajaran dengan peran pembimbing, selain itu dapat menjadi dasar untuk penelitian tentang hubungan antara mutu pembelajaran dengan hasil yang diharapkan, perbaikan sistem pembelajaran, serta nilai praktik klinik. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan
9
adalah mengevaluasi pembelajaran klinik, sedangkan perbedaannya adalah konteks penelitian yang akan dilakukan adalah tindak lanjut evaluasi mutu pembelajaran klinik keperawatan gigi. Papp et al. (2002) menggambarkan pendapat mahasiswa keperawatan mengenai pengalaman pembelajaran klinik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dari Colaizzi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran klinik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi profesional seorang perawat. Keseluruhan responden (16 mahasiswa) menyatakan terciptanya lingkungan pembelajaran klinik yang baik karena didukung adanya kerjasama antara institusi dengan staf klinik. Persamaan dengan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu menggunakan pendapat mahasiswa tentang pengalaman pembelajaran klinik. Perbedaannya adalah penelitian yang akan dilakukan untuk mengetahui mutu pembelajaran klinik sekaligus mengkaji pengaruh upaya tindak lanjut peningkatan mutu pembelajaran klinik terhadap output proses pembelajaran. Stark
(2003) meneliti tentang persepsi mahasiswa kedokteran dan
pembimbing klinik tentang mutu proses pembelajaran klinik. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semistruktur. Hasil penelitian menunjukkan pentingnya pembimbing klinik sebagai role models, dan upaya peningkatan mutu pembelajaran klinik perlu dukungan dana serta pelatihan keterampilan mengajar. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan
10
adalah konteks pembelajaran klinik perawat gigi dan metode penelitian yang digunakan yaitu pendekatan kuantitatif. Penelitian
Stokroos
et
al.
(2003)
untuk
mengetahui
efektivitas
pembelajaran klinik sebuah fakultas kedokteran di Amsterdam. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kualitatif, responden terdiri dari 19 mahasiswa yang dibagi dalam 2 kelompok. Penelitian ini menyatakan bahwa supervisi pembimbing dan umpan balik (feedback) yang konstruktif merupakan kunci utama efektivitas pembelajaran klinik dan merekomendasi upaya peningkatan mutu pada komponen-komponen pembelajaran klinik meliputi mahasiswa, pembimbing, lingkungan, serta cara pembelajaran mandiri. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah melihat efektivitas pembelajaran klinik berdasarkan persepsi mahasiswa, sedangkan perbedaannya adalah rekomendasi-rekomendasi yang diberikan dalam rangka program peningkatan mutu pembelajaran klinik. Varma et al. (2005)
membahas tentang pentingnya umpan balik
mahasiswa terhadap perubahan kurikulum baru pada delapan rumah sakit pendidikan di Inggris. Metode penelitian yaitu penggunaan kuisioner DREEM untuk mengukur educational environment pada 206 mahasiswa setelah mengikuti modul pembelajaran. Kesimpulan penelitian ini adalah skor DREEM mahasiswa tidak ada perbedaan yang bermakna (p=0.811) walaupun mahasiswa berasal dari institusi pendidikan yang berbeda-beda. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian ini juga menggunakan inventory DREEM sebagai salah satu acuan pembuatan instrumen evaluasi mutu
11
pembelajaran klinik keperawatan gigi dan perbedaannya adalah pada bentuk intervensi yang dilakukan untuk meningkatakan mutu pembelajaran klinik. Walasek et al. (2011) menyajikan model penjaminan mutu PDCA dalam proyek E-learning pada fakultas Teknik Universitas Czestochowa untuk menjamin mutu implementasi pembelajaran secara on line. Hasil penelitian menunjukkan model PDCA dapat menjamin dan meningkatkan mutu proses pembelajaran secara on line. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penggunaan model penjaminan mutu PDCA sebagai indikator mutu pembelajaran klinik, sedangkan perbedaannya adalah bahwa aspek-aspek PDCA kontennya disesuaikan pendidikan keperawatan gigi dan pada metode penelitian yang digunakan.