BAB I PENDAHULUAN
1.1 Demam kesehatan
Berdarah utama
di
Latar Belakang
Dengue
(DBD)
Indonesia.
masih
Jumlah
menjadi
penderita
masalah dan
luas
penyebaran DBD semakin bertambah sejak kejadian pertama di Surabaya
pada
tahun
1968,
dimana
sebanyak
58
orang
terinfeksi dan 24 orang meninggal dunia. Sejak tahun 1968, telah
terjadi
peningkatan
persebaran
jumlah
provinsi
dan
kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) provinsi dan 382 (77%) kabupaten/kota pada 2009. Selain itu juga terjadi peningkatan jumlah kasus DBD, dari 58 kasus pada 1968 menjadi 158.912 kasus pada 2009 (Kementrian Kesehatan RI, 2010). Data dari departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa Provinsi
DI
Yogyakarta
menempati
posisi
ke
9
sebagai
provinsi dengan Angka Insidensi (AI) Demam Berdarah Dengue tertinggi
di
Indonesia,
dengan
63,89
orang
per
100.000
penduduk. Hal ini berarti Provinsi DI Yogyakarta termasuk dalam daerah resiko tinggi DBD (AI >55 kasus per 100.000 penduduk).
Sejak
2006
hingga
2009
DI
Yogyakarta
telah
menjadi daerah resiko tinggi DBD (Departemen Kesehatan RI, 2006:2010).
1
Tingginya menyebabkan
morbiditas perlunya
penyebaran
penyakit
virus
obat
dan
dan
mortalitas
diadakan
ini.
upaya
Vaksin
antiviral
untuk
yang
dari
DBD
penanggulangan
pencegahan
efektif
untuk
infeksi
menangani
infeksi dengue masih belum ditemukan, sehingga pencegahan saat
ini
yaitu
lebih
dengan
aegypti
terfokus
upaya
(Sukowati,
untuk
memutus
pengendalian 2010).
rantai
vektor
yaitu
Usaha-usaha
untuk
penularan, nyamuk
Ae.
mengontrol
vektor ini tidak mampu menghentikan peningkatan insidensi dari DBD dan ekspansi jangkauan geografis dari transmisi endemik (Bhatt dkk, 2013). Salah satu upaya pengendalian vektor demam berdarah yang dilakukan oleh pemerintah adalah pengendalian secara kimiawi
menggunakan
insektisida.
Penggunaan
insektisida
secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu, dan cakupan akan
mampu
negatif
mengendalikan
terhadap
lingkungan
vektor dan
dan
mengurangi
organisme
bukan
dampak sasaran.
Sedang penggunaan insektisida dalam jangka waktu tertentu secara terus-menerus akan menimbulkan resistensi (Sukowati, 2010). Penggunaan pestisida secara terus-menerus menimbulkan efek seleksi, dimana mengakibatkan jumlah vektor yang peka (rentan) dalam populasi menjadi semakin sedikit dan yang tersisa adalah vektor yang resisten. Vektor akan kawin satu dengan yang
yang
lainnya
resisten
pula.
sehingga
akan
Akhirnya,
menghasilkan
populasi
keturunan
didominasi
oleh
vektor-vektor resisten yang dapat tetap hidup, berkembang
2
biak, dan tahan terhadap pestisida. Setiap jenis serangga seperti
nyamuk
Ae.
aegypti
dapat
mempertahankan
dan
mewariskan sifat resisten pada keturunannya dalam waktu yang lama (Untung, 2005). Masalah resistensi insektisida pada nyamuk vektor DBD sangat
penting
untuk
diteliti
dan
perlu
untuk
dilakukan
segera. Terlebih beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa nyamuk vektor DBD telah resisten terhadap insektisida yang digunakan dalam program. Penelitian yang dilakukan pada 11 Daerah di Jawa Tengah dan 3 di DI Yogyakarta menunjukkan bahwa Ae. aegypti telah resisten terhadap Malathion 0,8%, Bendiocarb 0,1%, Lambdacyhalothrin 0,05%, Permethrin 0,75%, Deltamethrin
0,05%,
dan
Etofenproks
0,5%,
namun
sebagian
daerah masih peka/rentan terhadap Cypermethrine 0,05%, dan sebagian Bendiocarb 0,1%. Sehingga perlu dilakukan rotasi insektisida yang digunakan untuk fogging, terutama Malathion 0,8% yang telah lama digunakan (Widiarti dkk, 2011). Serta perlu dilakukan penelitian untuk melihat adanya perubahan status
pada
insektisida
yang
masih
susceptible
seperti
Cypermethrine dan Bendiocarb. Salah satu daerah endemis di Kabupaten Sleman adalah daerah
Plosokuning,
sebelumnya
menunjukkan
Minomartani. daerah
Studi
Minomartani
yang tidak
dilakukan mencapai
standard target pengontrolan DHF, dengan angka bebas jentik (ABJ)
di
Minomartani
adalah
56.25%
(target
ABJ>95%)
dan
House Index 43.75% (target HI<5%). Selain itu, dengan nilai
3
B
Index
yang
mencapai
59.38,
menunjukkan
bahwa
daerah
Minomartani merupakan daerah resiko tinggi penularan demam berdarah dengue (Subri, 2013). Pengendalian demam berdarah di daerah Sleman sejak tahun 2002 dilakukan dengan fogging menggunakan
insektisida
Malathion,
Cypermethrine,
dan
Permethrin- secara bergantian. Karena itu, perlu dilakukan uji
resistensi
pada
nyamuk
Ae.
aegypti
dari
daerah
Minomartani untuk melihat apakah telah terjadi resistensi terhadap insektisida Cypermethrine. Uji
resistensi
insektisida
dapat
dilakukan
dengan
beberapa metode antara lain uji hayati berdasarkan dosis diagnostik dan uji resistensi berdasarkan perhitungan ERR (Estimated Resistence Ratio). Uji resistensi metode hayati dapat
dilakukan
menggunakan
kertas
whatman
yang
direndam
larutan insektisida (WHO, 1981) maupun dengan menggunakan botol
yang
dilapisi
cairan
insektisida
(CDC,
2013).
Berdasarkan uji resistensi tersebut status resistensi dapat dikelompokkan
menjadi
rentan
(resistensi sedang), dan
1.2 Berdasarkan
latar
(susceptible),
toleran
resisten (resistensi tinggi).
Perumusan Masalah
belakang
diatas,
maka
dapat
dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut : 1. Jumlah
kasus
infeksi
dengue
terus
meningkat
setiap
tahunnya di seluruh dunia.
4
2. Vaksin
dan
obat
yang
efektif
untuk
mengobati
infeksi
dengue belum ditemukan, sehingga penanggulangan terfokus pada kontrol terhadap vektor. 3. Didapat temuan resistensi vektor terhadap berbagai jenis insektisida yang sering digunakan.
1.3
Pertanyaan Penelitian
Apakah nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari daerah endemis
DBD
di
Plosokuning,
Yogyakarta
resisten
terhadap
insektisida Cypermethrinee?
1.4
Tujuan Penelitian
Menetapkan status resistensi nyamuk Ae. aegypti dari daerah
endemis
DBD
di
Plosokuning,
Yogyakarta
terhadap
insektisida Cypermethrine dengan uji hayati.
1.5
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan
dalam
pelaksanaan
menghentikan
transmisi
virus
usaha Dengue
mengontrol dengan
bahan atau
melakukan
pengendalian vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) yaitu nyamuk Ae. aegypti menggunakan insektisida Cypermethrinee.
1.6. Keaslian Penelitian
5
Beberapa insektisida
penelitian
uji
Cypermethrinee
yang
resistansi penulis
terhadap
temukan
dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Keaslian Penelitian Peneliti Arif, 2008
Judul Lokasi Uji Resistansi Nyamuk Yogyakarta Ae.aegypti terhadap (Sipermetrin) Insektisida Piretroid di Kota Yogyakarta & terhadap Insektisida Organofosfat di Kota Bantul
Hasil 96,7% Rentan, 3,3% Toleran (Sipermetrin)
Suryati, 2009
Uji Resistensi Sipermetrin pada Ae. aegypti dari Daerah Endemis dan Non Endemis Demam Berdarah Dengue
Gowongan, Yogyakarta dan Hargomulyo, Kulon Progo
Status resistansi adalah toleran (Gowongan) dan Resisten (Hargomulyo)
Widiarti, et. al., 2011
Peta Resistensi Vektor Demam Berdarah Dengue Ae. aegypti terhadap Insektisida Kelompok Organofosfat, Karbamat, dan Pyrethroid di
11 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dan 3 Kabupaten/Kota di provinsi DI
Status resistansi adalah rentan (Sipermetrin)
6
Propinsi Jawa Tengah Yogyakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta
7