BAB I. KEJAHATAN EKONOMI
1.1 Pengertian Kejahatan Kejahatan dalam perumusan peraturan perundang-undangan pidana diistilahkan dengan “tindak pidana” yaitu suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undangundang atau peraturan perundang-undangan lainnya, yang dilakukan dengan suatu maksud, serta terhadap perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Suatu perbuatan sudah memenuhi unsur tindak pidana, akan tetapi jika dilakukan oleh orang yang tidak bertanggungjawab atas perbuatannya itu, maka ia tidak dapat dipidana. Selanjutnya untuk menguraikan pengertian tindak pidana ini dikemukakan pendapat beberapa orang sarjana, antara lain: 1. Mulyatno (1975:16) menyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana desertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi si pelanggarrnya. 2. Simons, berpendapat bahwa perumusan feit atau tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: Suatu perbuatan manusia (mislijke handelingen). Dengan handelingen dimaksudkan tidak saja “een doen” (perbuatan), akan tetapi juga “een nelaten” (mengabaikan). Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut (Satochid Kartanegara, 1954:56).
2
3.
Wiryono Projodikoro, tindak pidana adalah: suatu perbuatan yang pelakunya da-pat dikenakan hukuman pidana dan pelakunya ini dapat dikatakan “subyek” tindak pidana.
Berdasarkan pendapat beberapa sarjana di atas, suatu tindak pidana harus memenuhi beberapa unsur yaitu: 1. Perbuatan itu merupakan perbuatan manusia. 2. Perbuatan itu harus dilakukan dengan suatu kemauan, maksud dan kesadaran. 3. Terhadap perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkannya, ini tergantung apakah dalam melakukan perbuatan ini dia harus mempunyai “kesalahan”. Sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah “nullum delictum nulla poena praevia lege dan geen straf zonder schuld”. Asas yang pertama berarti tidak dipidananya sebuah perbuatan jika bukan merupakan perbuatan pidana, sedangkan asas yang kedua, berarti tidak dapat dipidananya seseorang jika tidak mempunyai kesalahan. Jadi untuk dapat suatu perbuatan diklasifikasikan sebuah pertanggungjawaban pidana, harus disyaratkan adanya perbuatan dan kesalahan dalam melakukan perbuatan tesebut. Dalam buku-buku hukum pidana umumnya tidak memisahkan antara dilarangnya perbuatan dan dipidananya orang yang melakukan perbuatan. Menurut Pompe bahwa schuld tidak dapat dimengerti tanpa adanya wederechtelijkheid, tapi sebaliknya wederechtelijkheid mungkin ada tanpa adanya kesalahan (Moelyatno, 1984:155). Moelyatno menginterpretasikan pendapat tersebut bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia
3
tidak melakukan perbuatan pidana. Tapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu ia dapat dipidana. Dari pendapat di atas dapat ditarik suatu konklusi pertama, bahwa seseorang dapat dipermasalahkan melanggar suatu perbuatan pidana tidak mungkin dikenakan pidana walaupun perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tercela di masyarakat. Bahwa orang tersebut tidak disukai, atau dicemooh dalam masyarakat, tetapi untuk dijatuhi pidana, untuk dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana tidaklah mungkin selama dia tidak melanggar larangan pidana. Dari contoh yang kedua misalnya orang gila yang tidak dapat dipertangunggjawabkan, meskipun ia melakukan perbuatan pidana namun terhadapnya tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana di muka hakim, contoh lain, anak di bawah umur. Apakah arti “kesalahan” itu, kesalahan merupakan salah satu faktor yang dapat dipidana dalam suatu perbuatan pidana. Menurut Simon kesalahan adalah keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan ada hubungan antara keadan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan demikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi (Moelyatno, 1983:158). Untuk dapat dikatakan suatu perbuatan mempunyai kesalahan harus adanya; 1. Keadaan batin dari pelaku perbuatan tersebut. Keadaan batin ini dalam ilmu hukum pidana merupakan permasalahan yang lazim disebut kemampuan bertanggungjawab; 2. Hubungan antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan. Moelyatno (1984:164) mensyaratkan adanya kesalahan terdakwa harus; melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum), di atas umur tertentu mampu bertangungjawab, mempunyai suatu bentuk
4
kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan dan tidak adanya alasan pemaaf. Mengenai keadaan batin dari si terdakwa dalam ilmu hukum pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab. Kemampuan bertanggungjawab dapat dilihat dalam Pasal 44 KUHP yang berbunyi: "Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan disebabkan karena pertumbuhan yang cacat atau gangguan karena penyakit daripada jiwanya, maka orang itu tidak dapat dipidana." Roeslan Saleh merumuskan bahwa orang yang mampu bertanggung jawab itu harus memenuhi tiga syarat: (1) dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya; (2) dapat mengisafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat; (3) mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan (1983:80). Menurut pendapat lain ada dua faktor untuk mentukan kemampuan bertanggungjawab yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan mana yang tidak. Perumusan kemampuan bertanggungjawab dalam undang-undang dapat dilakukan dengan cara deskriptif, yaitu menentukan dalam merumuskan itu sebab-sebabnya tidak mampu bertanggungjawab. Menurut sistem ini, jika psikiater telah menyatakan misalnya bahwa terdakwa adalah gila, maka ia lalu tidak mungkin dipidana. Sebaliknya cara yang normatif tidak menyebutkan sebabnya ini, yang disebutnya hanyalah akibatnya saja, yaitu tidak mampu bertanggungjawab. Hal yang penting adalah apakah orang itu mampu bertanggungjawab atau tidak. Jika dipandang tidak mampu bertanggungjawab, apa penyebabnya tidaklah perlu dipikirkan lagi. KUHP Indonesia menempuh jalan gabungan cara deskriptif dan
5
normatif. Dalam menentukan bahwa terdakwa tidak mampu bertanggungjawab dalam praktek lalu diperlukan adanya kerja sama antara dokter dan hakim. KUHP juga tidak secara tegas mencantumkan masalah kesengajaan, begitu pula M.v.T hanya memberi petunjuk bahwa pidana pada umumnya, hendaknya dijatuhi pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang dengan deketahui dan dikehendaki. Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan menjadi tiga corak sikap batin, yang menunjukan tingkatan atau bentuk kesengajaan, yaitu:
1.
Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) Corak kesengajaan ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan si pelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini tidak ada, maka ia tidak akan berbuat demikian. 2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheids-bewustzijn) Dalam kesengajaan ini perbuatan mempunyai dua akibat, yaitu: a. Akibat yang dituju si pembuat. Ini dapat merupakan delik tersendiri atau tidak. b. Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan tersebut. 3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis). Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula memungkinkan terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi (Moelyatno, 1987:177). 1.2 Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Kejahatan merupakan salah satu bentuk dari "perilaku menyimpang" yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Menurut Saparinah Sadli (1976:56) "perilaku menyimpang itu merupakan ancaman yang
6
nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial; dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial; dan merupakan ancaman riil atau potensil bagi berlangsungnya ketertiban sosial." Dengan demikian kejahatan di samping merupakan masalah kemanusiaan, ia juga merupakan masalah sosial. Bahkan dikatakan Benedict S. Alper (1973:85) merupakan the social oldest problem. Menurut Moch. Sanusi (1987:2), terjadinya peningkatan kejahatan karena adanya dua faktor yaitu: 1. Perangkat hukum dan penegakan hukum yang ada ternyata dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya mampu menimbulkan efek jera bagi si pelaku. Hal ini dapat saja dikarenakan oleh: a. pengenaan hukum yang lebih ringan dibandingkan dengan perbuatan jahatnya; b. masih adanya celah-celah kelemahan hukum yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan kejahatan; c. kemampuan aparat penegak hukum yang masih perlu ditingkatkan agar tidak ada satu tindak pidana pun yang lolos dari jangkauannya; d. moral dari para penegak hukum yang masih memerlukan tempaan yang efektif agar terhindar dari kemungkinan penyimpangan; e. adanya undang-undang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan masyarakat yang pesat; f. masih adanya perbedaan pendapat antara aparat penegak hukum terhadap penafsiran dan materi ketentuan hukum. 2. Faktor lingkungan yang secara aktif mempengaruhi timbul dan berkembangnya kejahatan, antara lain: a. geografis Indonesia yang terdiri dari puluhan ribu kepulauan dan lautan yang luas, menimbulkan kerawanan-kerawanan yang tinggi mengingat terbatasnya aparat penegak hukum (terutama Polri). Di samping itu posisi silang Indonesia juga menimbulkan kerawanan bagi terjadinya international crime. b. demografi Indonesia yang termasuk negara padat dunia dengan struktur kependudukan yang sangat heterogen dari segi suku,
7
c.
d.
e.
f.
g.
adat kebudayaan, dan agama, menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya SARA; sumber daya alam yang walaupun volumenya tinggi namun dibandingkan dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi juga menimbulkan kerawanan-kerawanan di bidang sosial-ekonomi; kehidupan ideologi yang masih ditandai oleh adanya kelompok-kelompok yang belum sepenuhnya menerima Pancasila secara utuh. Bukti hal itu adalah masih adanya golongan ekstrim kanan dan ekstrim kiri; kehidupan politik yang walaupun berkembang kearah yang mantap namun masih terdapat golongan-golongan politik praktis yang masih mengutamakan kepentingan golongan/kelompok; kehidupan ekonomi merupakan titik rawan yang paling besar seperti antara lain adanya kecemburuan sosial, jurang yang dalam antara si kaya dan si miskin, standar hidup yang rendah, terbatasnya lapangan pekerjaan, dan lain-lain. kehidupan sosial budaya ditandai oleh adanya erosi nilai-nilai tradisional, adanya difusi kebudayaan dari negara-negara barat, pengangguran, dekadensi moral, menurunnya nilai-nilai pendidikan, dan lain-lain yang jelas sangat berpengaruh terhadap perkembangan kriminalitas.
Dalam perspektif kriminologis, pengkajian mengenai kejahatan mengalami mengalami perkembangan pesat yang memunculkan berbagai teori tentang faktor-faktor penyebab kejahatan. Secara tradisional teori-teori tersebut dibedakan pada (1) teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari aspek fisik (biologi kriminal); (2) teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari faktor psikologis dan psikiatris (psikologi kriminal); (3) teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari faktor sosio-kultural (sosiologi kriminal). Masing-masing teori tersebut mempunyai kelemahan dan kelebihan tersendiri, karena persoalan kejahatan tidak mungkin dapat ditinjau dari satu aspek saja. Meskipun demikian teori ketiga (sosiologi kriminal) bersifat lebih komprehensif, karena objek utama teori ini
8
adalah mempelajari hubungan antara masyarakat dengan anggotanya, antara kelompok --baik karena hubungan tempat maupun etnis-- dengan anggotanya, antara kelompok dengan kelompok, sepanjang hubungan tersebut dapat menimbulkan kejahatan. Di samping itu juga dipelajari tentang umur, seks, pelapisan sosial (berdasarkan tingkat ekonomi, pendidikan, kedudukan adat, dan sebagainya). Menurut teori ini, suatu masyarakat dapat dimengerti dan dinilai hanya melalui latar belakang kultural yang dimilikinya, norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku. Apakah kultur, norma dan nilai tersebut dipandang baik atau buruk, seberapa jauh konflik yang timbul antara norma/nilai yang satu dengan lainnya, dan karenanya dipandang dapat meningkatkan atau paling tidak ikut membantu timbulnya kejahatan. (I.S. Susanto, 1990:40). Dengan demikian untuk dapat memahami dan menjelaskan kejahatan yang ada perlu dipelajari bagaimana aspek-aspek budaya tertentu dapat mempengaruhi timbulnya kejahatan, misalnya sampai seberapa jauh budaya membawa senjata tajam berpengaruh terhadap timbulnya kejahatan kekerasan. Begitu pula berbagai aspek budaya tertentu lainnya yang pada masa lampau dianggap sebagai "baik" dengan perubahan sosial mungkin justru mempunyai pengaruh besar dalam timbulnya kejahatan dan bentuk-bentuk penyimpangan sosial lainnya. 3. Tindak Pidana Ekonomi dalam Peraturan Perundangundangan Istilah tindak pidana ekonomi lebih diartikan sebagai tindak pidana yang termuat dalam Undang-Undang No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Menurut Loebby Loqman (2001:2) tindak pidana ekonomi yang termuat dalam undang-undang di atas, dalam teori dikenal sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti sempit, sedangkan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah seluruh tindak pidana di bidang perekonomian di luar undang-undang tersebut, yaitu ketentuan dalam perundang-undangan nonhukum pidana di bidang perekonomian yang memuat aturan pidana didalamnya.
9
Terdapat banyak peraturan perundang-undangan nonhukum pidana yang mencantumkan ketentuan pidana dalam menjaga ditaatinya undang-undang tersebut, seperti Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Kepabeanan, UndangUndang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (UUPA), dan sebagainya, yang nyata-nyata merupakan peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian, didalamnya termuat ketentuan-ketentuan pidana, sehingga pelanggarannya disebut sebagai telah melakukan tindak pidana ekonomi. Tetapi tidak semua pelanggaran terhadap ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan non-pidana dianggap sebagai tindak pidana ekonomi, misalnya pelanggaran ketentuan pidana dalam Undang-Undang Keimigrasian, karena keimigrasian bukan merupakan peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian. Berdasarkan uraian di atas terdapat adanya kesulitan menentukan definisi dari tindak pidana ekonomi, ditambah lagi dengan adanya ketentuan hukum pidana khusus di luar KUHP seperti UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang juga merupakan peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian. Sebagai contoh apabila seseorang melakukan manipulasi pajak, apakah dia telah melakukan tindak pidana fiskal atau telah melakukan tindak pidana korupsi. Dalam ilmu hukum pidana, hal demikian dianggap sebagai concurcus idealis, yaitu seseorang melakukan satu perbuatan sekaligus melanggar beberapa ketentuan pidana. Analisis tindak-tindak pidana di atas, apakah merupakan tindak pidana ekonomi atau bukan, menurut Loebby Loqman (2001:4) dapat menggunakan dua teori, yaitu teori "absolut/subyektif" dan teori "predominan". Teori "absolut/subyektif" didasarkan atas penentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Undangundang itu sendiri telah menentukan bahwa perbuatan itu dianggap sebagai tindak pidana ekonomi. Oleh karena itu, terhadap suatu tindak pidana yang melanggar peraturan perundang-undangan di
10
bidang perekonomian, misalnya melakukan "penggelapan" pajak, "pencurian" uang pada suatu bank, "penipuan dan pemalsuan" suratsurat keterangan tanah, dan sebagainya, dimana perbuatan tersebut merupakan pelanggaran hukum pidana yang termuat dalam KUHP, maka perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana ekonomi. Teori ini lebih ditentukan oleh "politik hukum". Pada suatu saat suatu pelanggaran hukum yang termasuk dalam bidang perekonomian dianggap sebagai telah melakukan tindak pidana ekonomi, misalnya "memalsu" pestisida yang merupakan pelanggaran hukum pidana dalam KUHP, apabila ternyata perbuatan tersebut menimbulkan kegagalan panen bagi petani yang mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi, dianggap sebagai tindak pidana ekonomi. Teori "predominan" menentukan suatu perbuatan apakah merupakan sebagai tindak pidana ekonomi atau bukan dapat dilihat dari perbuatan itu sendiri. Misalnya perbuatan pencurian terhadap sebuah bank melalui tindak kekerasan atau peralatan teknologi modern apabila perbuatan lebih dominan pada tindak pidana pencurian merupakan tindak pidana konvensional, sedangkan apabila perbuatan tersebut mengarah pada sesuatu yang mengancam perekonomian, seperti menimbulkan krisis perbankan merupakan tindak pidana ekonomi. Selanjutnya dikemukakan Loebby Loqman (2001:6) teori "predominan" juga tergantung penafsiran sejauhmana pengertian mengancam perekonomian, apakah sekedar mencuri uang pada suatu bank dianggap telah merusak perekonomian, tetapi setidak-tidaknya teori tersebut dapat digunakan membedakan apa yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi. Oleh karena itu, landasan teori ini ditentukan atas logika dasar, sejauhmana perbuatan seseorang lebih dapat dikualifikasikan, sebagai tindak pidana konvensional atau tindak pidana yang diatur dalam suatu ketentuan khusus, karena apabila tidak ditentukan demikian, maka niscaya perbuatan seseorang akan dapat sekaligus termasuk dalam beberapa ketentuan pidana.
11
BAB II. KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN KEJAHATAN
2.1 Pengertian Istilah “kebijakan” berasal dari istilah policy (Inggris) atau politiek (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan kriminal” dapat pula disebut dengan istilah “politik kriminal”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik kriminal” sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy, criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”. Pengertian kebijakan atau politik kriminal dapat dilihat dari politik hukum. Menurut Sudarto (1983:20) politik hukum adalah: a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
12
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Berdasarkan pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik kriminal” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik. Menurut Marc Ancel (1965:5), tiap masyarakat yang terorganisasi memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya; (b) suatu prosedur hukum pidana, dan (c) suatu mekanisme pelaksanaan (pidana). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan kata lain, dilihat dari sudut politik kriminal, politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social-welfare), maka wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan
13
sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Dengan demikian, di dalam pengertian “social policy” sekaligus tercakup di dalamnya “social-welfare policy” dan “social-defence policy”. Selanjutnya Sudarto (1981: 114) mengemukakan tiga arti kebijakan kriminal, yaitu: a. dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari Pengadilan dan Kepolisian; c. dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Dalam kesempatan lain Sudarto mengemukakan pengertian bahwa politik kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. G. Peter Hoefnagels (1969:57) juga telah memberikan pengertian yang sama bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”. 2.2 Pendekatan Integral dalam Penanggulangan Kejahatan Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social-defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social-welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Perumusan tujuan politik kriminal yang demikian itu pernah pula dinyatakan dalam salah satu laporan UNAFEI (1974:75) sebagai berikut: “Most of group members agreed some discussion that “protection of the society” could be accepted as the final goal of
14
criminal policy, although not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by terms like “happiness of citizens”, “a wholesome and cultural living", “social welfare” or “equality”. Kebijakan kriminal dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan merupakan salah satu kebijakan, selain kebijakankebijakan pembangunan lainnya (politik sosial). Barda Nawawi Arief (1996:4) menyatakan: “Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial; ada keterpaduan (integral) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal”. Penegasan perlunya upaya penanggulangan kejahatan diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan pembangunan (nasional), antara lain dikemukakan oleh Sudarto: “Apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat dan modernisasi maka hendaknya dilihat dalam bagian keseluruhan politik kriminal atau social defence planning, dan inipun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional”. Selanjutnya juga dikemukakan oleh W. Clifford (1973:7) dalam seminar yang diselenggarakan UNAFEI: “On the one hand there is the need for a wider view of criminal policy as an integral part of general political and social policy of a given country. It is a reflection of local mores and customs and a by product of development. From this wider view point criminal policy cannot be something apart from the more general social situation but must be developed from it and through it”. Kongres PBB ke-7 Tahun 1985 di Milan (1985:7), dalam salah satu pertimbangan “Milan Plan of Action” menyatakan: Crime prevention and criminality should be (considered in the context of economic development, political systems, social and cultural values and social change, as well as in the context of the new international economic order. The criminal justice
15
system should be fully responsive to the diversity of political, economic and social systems and to the constantly, evolving conditions of society. Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New International Economic Order dari Kongres PBB ke-7 antara lain menyatakan: Crime prevention and criminal justice should not be treated as isolated problem to be tackled by simplistic, fragmentary methods, but rather as complex and wide ranging activities requiring systematic strategies and differentiated in relation to: (a) The socio-economic, political and cultural context and circums-tances of the society in which they are applied; (b) The development stage with special emphasis on the changes taking place and likely to occur and the related requirements; (c) The respective tradditions and customs, making maximum and effective use of human indigenous options. Pernyataan serupa juga terlihat pada salah satu pertimbangan “Milan Plan of Action” sebagai berikut: “The past years have witnessed rapid and farreaching social and economic transformations in many countries. Development is not criminogenic per se, especially where its fruits are equitable distributed among all the peoples, thus contributing to the improvement of overall social conditions; however, unbalanced or inadequately planned development contributes to increases of criminality”. Dari pernyataan-pernyataan Kongres PBB tersebut di atas jelas terlihat suatu penegasan, bahwa: 1. Pembangunan pada hakikatnya memang tidak bersifat kriminogen, khususnya apabila hasil-hasil itu didistribusikan secara pantas dan adil kepada semua rakyat serta menunjang seluruh kondisi sosial;
16
2. Namun demikian, pembangunan dapat bersifat kriminogen atau dapat meningkatkan kriminalitas apabila pembangunan itu : a. tidak direncanakan secara rasional; b. perencanaannya timpang atau tidak seimbang; c. mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral; serta d. tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang integral. Dengan penegasan di atas jelaslah, bahwa dilihat dari sudut politik kriminal, masalah strategis yang justru harus ditanggulangi ialah menangani masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Ini berarti, penanganan atau penggarapan masalah-masalah ini justru merupakan “posisi kunci dan strategis” dilihat dari sudut politik kriminal. Oleh karena itu, adalah wajar apabila Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 sangat memperhatikan masalah ini. Dalam pertimbangan resolusi mengenai “Crime Trends and Crime Prevention Strategies” antara lain dikemukakan: • the crime problem impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for a people (bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas kehidupan bagi semua orang); • crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and conditions giving rise to crime (bahwa strategi penanggulangan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan); • the main causes of crime in many countries are social inequality, racial and national discrimination, low standard of living, unemployment and illiteracy among broad sections of the population (bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan “kebutahurufan” (kebodohan) di antara golongan besar penduduk); Setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, maka dalam resolusi itu dinyatakan, antara lain:
17
“menghimbau semua anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan menyebabkan kejahatan, yang meliputi masalah penngangguran, kemiskinan, kebutahurufan (kebodohan), diskriminasi rasial dan nasional dan bermacam-macam bentuk dari ketimpangan sosial”. Sehubungan dengan perlunya pelaksanaan kebijakan pembangunan sosial, “Guiding Principles” yang dihasilkan oleh Kongres PBB ke-7 tahun 1985 antara lain menyatakan: “Proyek-proyek dan program-program pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan sesuai dengan kenyataankenyataan lokal, regional dan nasional, hendaknya didasarkan pada penelitian yang dapat diandalkan dan perkiraan/ramalan akan perkembangan atau kecenderungan sosial ekonomi pada saat ini maupun di masa yang akan datang, termasuk kecenderungan kejahatan, dan juga hendaknya didasarkan pada studi/penelitian mengenai pengaruh dan akibat-akibat sosial dari keputusan-keputusan serta investasi-investasi kebijakan. Studi-studi kelayakan juga harus meliputi faktor-faktor sosial dan dilengkapi dengan penelitian mengenai kemungkinan timbulnya akibat-akibat kriminogen serta strategi alternatif untuk menghindarinya”. Dari kutipan di atas jelas pula terlihat perlunya memanfaatkan studi dan evaluasi terhadap perkembangan/kecenderungan kejahatan (crime trend). Beberapa dimensi pembangan kejahatan yang mendapat perhatian Kongres PBB “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”, antara lain sebagai berikut: a. Kongres ke-5 Tahun 1975 di Geneva meminta penelitian antara lain terhadap “crime as business” yaitu kejahatan yang bertujuan mendapat keuntungan material melalui kegiatan dalam bisnis, yang pada umumnya dilakukan secara terorganisasi oleh mereka yang mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat; termasuk dalam kejahatan ini antara lain yang berhubungan dengan pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen dan
18
dalam bidang perbankan, kejahatan-kejahatan lainnya yang biasa dikenal dengan organized crime, white collar crime dan korupsi; b. Tindak pidana yang berhubungan dengan hasil pekerjaan seni dan kekayaan budaya, objek-objek budaya atau warisan budaya tertentu yang dipandang membahayakan seperti economic crime, environmental offences, illegal trafficking in drugs, terrorism and apartheid. Sehubungan dengan peran dari pertumbuhan industri serta kemajuan ilmu dan teknologi, Kongres ke-7 juga meminta perhatian khusus terhadap masalah “industrial crime”. c. Dalam Kongres ke-8 Tahun 1990 di Havana, Cuba, antara lain masih disoroti dimensi kejahatan yang dibicarakan pada kongres-kongres sebelumnya dengan beberapa penekanan antara lain: Masalah urban crime; crime against the nature and the environment; corruption keterkaitannya dengan economic crime, organized crime, illicit trafficking in narcotic drugs and psichotropic substances, termasuk juga masalah money laundering; crimes against movable cultural property (cultural heritage); computer related crime; terrorism; domestic violence; instrumental use children in criminal activities. Khususnya mengenai masalah korupsi, Kongres ke-8 menyatakan sangat perlunya hal ini diperhatikan mengingat “corrupt activities of public official” itu: a) can destroy the potential effectiveness of all types of governmental programmes (dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah); b) hinder development (dapat mengganggu/menghambat pembangunan); c) victimize individuals and groups (menimbulkan korban bagi individual maupun kelompok). Sehubungan dengan hal itu, kongres menghimbau kepada negara-negara anggota PBB untuk menetapkan strategi anti-korupsi sebagai prioritas utama di dalam perencanaan pembangunan sosial dan ekonomi (di dalam dokumen A/CONF 144/L. 13) disebutkan “The designation of anti- corruption strategies as high priorities in economic and social development plans”, serta mengambil tindakan
19
terhadap perusahaan- perusahaan yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Upaya penanggulangan kejahatan yang integral mengandung arti pula, bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus juga dipandang sebagai bagian dari politik kriminal. Sehubungan dengan hal ini, Kongres PBB pun menekankan, bahwa “the over all organization of society should be considered as anti criminogenic” dan menegaskan bahwa “community relations were the basis for crime prevention programmes”. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk membina dan meningkatkan efektivitas “extra legal system” atau “informal system” yang ada di masyarakat dalam usaha penanggulangan kejahatan, antara lain kerja sama dengan organisasi sosial dan keagamaan, lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi volunteer yang ada di masyarakat. Sehubungan dengan pemanfaatan “extra legal system” atau “informal system”, maka di dalam “Guiding Principles” yang dihasilkan Kongres PBB ke-7 juga diberikan pedoman mengenai “traditional forms of social control”. 2.2 Upaya Penal dalam Kebijakan Kriminal Kebijakan penal (penal policy) menurut Marc Ancel adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada Pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Salah satu kegiatan dalam kebijakan penal adalah tahap “formulasi” dalam hal ini adalah pembaruan hukum pidana. Pembaruan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya
20
pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio-filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Ini berarti, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu. Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakangi itu. Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di lndonesia. Secara singkat dapatlah dikatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach). Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, polikriminal, dan politik sosial). Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan-nilai. Dengan uraian di atas, dapat dikatakan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut: 1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan: a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya); b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya per-
21
lindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan); c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. 2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai : Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (“re-orientasi dan reevaluasi”) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosolik dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS). Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan : (1) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan (2) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial-politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan hukum pidana termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya.
22
Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto (1977:48) berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah “kriminalisasi”, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut: a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan Pancasila; Sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai. c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principles); d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overlasting). Pendekatan kebijakan seperti dikemukakan di atas jelas merupakan pendekatan yang rasional, karena karakteristik dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain dari penerapan metode-metode yang rasional. Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena seperti dikatakan oleh Sudarto: “Dalam melaksanakan politik orang mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi”. Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Hal itu juga berarti memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benarbenar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya
23
hukum pidana itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional dan ini pun merupakan pendekatan yang melekat (inherent) pada setiap kebijakan yang rasional. Salah satu kesimpulan dari Seminar Kriminologi Ketiga antara lain menyatakan, hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence. Pemilihan pada konsepsi perlindungan masyarakat inipun membawa konsekuensi pada pendekatan yang rasional dan pendekatan-pendekatan yang bersifat ekonomis. Dengan pendekatan ekonomis di sini tidak hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara biaya atau beban yang ditanggung masyarakat (dengan dibuat dan digunakannya hukum pidana) dengan hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dalam arti mempertimbangkan efektivitas dari sanksi pidana itu sendiri. Sehubungan dengan hal ini Ted Honderich (1971:59) berpendapat, bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical deterrents) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. pidana itu sungguh-sungguh mencegah; b. pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/merugi-kan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan; c. tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya/kerugian yang lebih kecil. 2.3 Upaya Non-Penal dalam Kebijakan Kriminal Hasil-hasil Kongres PBB yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa pencegahan dan penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat diatasi dengan penegakan hukum pidana semata melainkan harus dilakukan dengan upaya-upaya lain di luar hukum pidana (nonpenal). Upaya-upaya non-penal tersebut melalui kebijakan politik (political policy), ekonomi (economical policy), dan sosial budaya (social-cultural policy).
24
Di samping upaya-upaya non-penal di atas, menurut Barda Nawawi Arief dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya non-penal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif. Sumber lain itu, misalnya media pers/media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah techno-prevention) dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari aparat penegak hukum. Perlunya sarana non-penal diintensifkan dan diefektifkan, di samping beberapa alasan yang telah dikemukakan di atas, juga karena masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektivitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal. Bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berupa prevensi umum dan prevensi khusus saja, efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-tidaknya tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya.