57
BAB 5 Simpulan, Diskusi dan Saran
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat di simpulkan bahwa hasil dari penelitian ini adalah : 1. Pemanfaatan ruang terbuka publik dapat memprediksi kohesi sosial pada mahasiswa Jakarta. 2. Kohesi sosial dapat memprediksi kesehatan jiwa mahasiswa Jakarta. 3. Pemanfaatan ruang terbuka publik dapat memprediksi kesehatan jiwa secara tidak langsung yaitu melalui kohesi sosial.
5.2 Diskusi
Berdasarkan Tabel berikut ini nampak bahwa 82,4% dari partisipan memiliki orangtua yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, sedangkan sisanya 9,3% orangtua partisipan bertempat tinggal di Jawa, dan 2,87% di luar Jawa. Berdasarkan Tabel, nampak bahwa mayoritas partisipan (65.7%) mengunjungi ruang terbuka publik antara 2 sampai 5 jam dalam satu minggu. Hal
ini
menggambarkan
bahwa
mayoritas
partisipan
merupakan
penduduk Jakarta dan sekitarnya, dan hanya 17.6% dari luar Jakarta. Artinya, dapat diharapkan bahwa mereka telah terbiasa dan kondisi lingkungan kota Jakarta, termasuk ruang terbuka publiknya.
58
Pemanfaatan ruang terbuka publik di kota dalam penelitian ini, sesuai dengan instrumen penelitiannya, ditandai dengan persepsi partisipan mengenai ragam pemanfaatan ruang terbuka publik yang dialaminya. Semakin beragam, semakin tinggi tingkat pemanfaatannya. Temuan penelitian ini bahwa tingkat pemanfaatan ruang terbuka publik mampu memprediksi (dalam arah korelasi positif) kohesi sosial warga Jakarta sejalan dengan temuan Peters, Elands, dan Bujis (2010). Faktor utama terbentuknya kohesi sosial melalui ruang terbuka publik adalah inklusivitasnya, dapat dimasuki oleh orang lintas etnis, dan sebagainya. Kohesi sosial dalam hal ini dimaknai dalam kerangka interaksi sosial dan kelekatan pada tempat (place attachment). Hal yang penting dari penjelasan mereka adalah bahwa kohesi sosial terstimulasi tidak harus dengan interaksi sosial yang intensif, formal, dan terstruktur dengan orang atau kelompok yang sudah dikenal. Melainkan, kohesi sosial dapat dimulai dengan interaksi sosial yang bersifat informal, sepintas lalu (cursory), misalnya mengobrol singkat, atau melalui sapaan “halo”. Melalui interaksi sosial yang demikian, orang-orang merasa disambut, terhubung (connected) dengan warga rumah, dan sekaligus merasa seperti di rumah (feel at home). Ruang terbuka publik yang berfungsi seperti ini menarik variasi orang, dalam hal mana pengalaman sehari-hari terbagi dan ternegosiasikan di antara orang-orang. Selanjutnya, terhadap ruang terbuka publik itu sendiri, tumbuh “kesadaran ruang publik” (public space consciousness), di mana ruang publik diapresiasi karena memiliki nilai dan fungsional merangsang dan menciptakan perasaan nyaman, keakraban serta kerekatan dengan warga atau publik.
59
Hasil penelitian kali ini juga sejalan dengan temuan paling baru dari Arnberger dan Eder (2012). Kohesi sosial dalam penelitian ini dimaknai sebagai kelekatan komunitas (community attachment). Dalam penelitian mereka yang melibatkan 602 partisipan warga kota, mereka menunjukkan bahwa kelekatan komunitas diprediksikan oleh ketersediaan dan kualitas ruang hijau serta tingkah laku rekreatif. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa frekuensi mengunjungi ruang terbuka publik yang hijau (khususnya yang menarik, tidak crowded, dan mudah diakses) merupakan prediktor yang konsisten dan kuat terhadap kelekatan komunitas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini yang menemukan adanya korelasi positif antara frekuensi kunjungan ruang terbuka publik dalam 3 bulan terakhir dengan kohesi sosial (r = 0.123, p < 0.05), walaupun korelasi nampak lemah yang antara lain karena ada 18 partisipan yang tidak memberikan respons (missing values). Tabel 5.1 Hubungan antara frekuensi mengunjungi ruang terbuka publik dengan kohesi sosial
KOHESI Frek3bln
*
Pearson Correlation
.123
Sig. (2-tailed)
.020
N
357
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Sumber: Pengolahan Data SPSS 19.0
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan temuan penelitian Echeverriaa, Diez-Rouxc, Shea, , Borrell, dan Jackson (2008), bahwa kohesi sosial yang rendah berhubungan dengan meningkatnya depresi, tingkah laku merokok, dan
60
ketiadaan aktivitas berjalan untuk berolahraga dari warga. Sebaliknya, individu yang mengalami kohesi sosial secara signifikan kurang mungkin depresi, merokok, atau minum minuman keras. Dijelaskan oleh mereka bahwa hubungan ini adalah independen (bebas) dari faktor sosial ekonomi individu, karakteristik sosial ekonomi tetangga, dan ras/etnisitas. Kohesi sosial mencakup perasaan kebersamaan (sense of belonging), kepercayaan sosial (social trust),
dan kerjasama timbal balik (generalised
reciprocity and cooperation), serta keharmonisan sosial (social harmony) (Harpham, Grant, & Thomas, 2002). Dalam kaitannya dengan kesehatan jiwa, penelitian ini juga mendukung temuan Berry dan Welsh (2010) yang menemukan bahwa kohesi sosial sebagai unsur dari modal sosial (social capital) mempengaruhi tingginya kesehatan, khususnya kesehatan mental. Hubungan ini bersifat independen dari variabel jenis kelamin, usia, status indigenous, pendidikan, gaji, tinggal sendiri, kemiskinan, dan lain-lain. Namun demikian, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan temuan penelitian lain yang hampir serupa, misalnya Halim (2011) yang menyatakan bahwa adanya determinasi variabel the need for green space (n-Green) terhadap variabel mental development. Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan temuan penelitian Velarde, Fry, dan Tveit (2007) yang menunjukkan bahwa ada efek melihat lanskap lingkungan (baik lanskap alamiah maupun lanskap urban) terhadap kesehatan dan kesejahteraan (well-being). Sebagaimana diketahui, melihat lanskap merupakan bagian dari pemanfaatan ruang terbuka publik. Hal yang baru dari penelitian ini adalah temuan bahwa tingkat pemanfaatan ruang terbuka publik tidak dapat langsung meramalkan kesehatan jiwa seseorang. Lebih lanjut, pemanfaatan ruang terbuka publik itu harus diikuti
61
dengan persepsi mengenai kohesi sosial, sebagai produk dari partisipasi sosial dan interaksi sosial di ruang terbuka publik. Apabila kohesi sosial tidak terjalin, maka pemanfaatan ruang terbuka publik sama sekali tidak dapat menjelaskan kesehatan jiwa, karena kohesi sosial dalam konteks penelitian ini merupakan mediator penuh menuju kesehatan jiwa. Hal ini menjelaskan bahwa persoalan kesehatan jiwa bukanlah semata-mata merupakan persoalan mikro-klinisindividual, melainkan sebuah persoalan yang bersifat sosial. Hal ini didukung oleh temuan penelitian Landstedt, Asplund, dan Gillander Gådin (2009) bahwa kesehatan mental merupakan dipengaruhi oleh proses-proses sosial (social processes). Selanjutnya, sebagaimana diungkapkan oleh Pandu Setiawan (dalam Hartiningsih, 2009): “…. agar soal kesehatan jiwa dipahami secara lebih utuh. Tak bisa lain, sekat-sekat yang mengurung soal itu dalam pemahaman sempit, klinismedis, harus diterobos .... melampaui batas-batas tradisi keilmuan dan profesi psikologi dan psikiatri, termasuk kemungkinan tersangkut pautnya proses dan kejadian-kejadian sosial sebagai situs-situs penekan dan pengganggu.” Hal
ini
mengimplikasikan
bahwa
peran
psikologi
sosial
dalam
mendiskusikan permasalahan kesehatan jiwa menjadi semakin signifikan. Dalam kaitannya dengan temuan penelitian ini, psikolog sosial, pembuat kebijakan publik, perencana perkotaan, perlu terus diintensifkan perannya dalam rangka mendesain dan memodifikasi ruang terbuka publik yang mampu membangkitkan kohesi sosial, baik dalam rancangan fisik maupun rancangan aktivitasnya. Ruang terbuka publik yang dimaksud hendaknya inklusif, mudah diakses, membuka kesempatan setiap orang bertemu secara informal dan bebas, bersih, nyaman untuk diduduki, dan dalam perancangannya melibatkan masyarakat setempat;
62
sehingga kohesi sosial dapat dihasilkan dalam utilisasi ruang terbuka publik dan pada gilirannya berperan dalam meningkatkan kesehatan jiwa sebagai warga kota. 5.3 Saran
Pemprov DKI Jakarta seharusnya lebih giat memfungsikan dan memperhatikan dengan baik taman kota, ruang terbuka hijau, dan ruang terbuka publik
lainnya.
Sehingga masyarakat
bisa
sekedar melepaskan penat,
mendapatkan penyegaran hati dan pikiran apabila menggunakan fasilitas ini. Dan saling berinteraksi sehingga meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat.
Untuk penelitian lebih lanjut disarankan untuk turut menyertakan variabel prediktor lainnya misalnya ukuran tetangga, ukuran keluarga, desain lingkungan fisik, beragam tingkat pendidikan baik bersekolah, tidak bersekolah, kuliah.
Saran praktisnya adalah bagi perencana kota agar dapat berkontrubusi mendisain ruang terbuka publik yang merangsang partisipasi dan interaksi sosial.