BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sikap terhadap makan sehat 2.1.1. Definisi Sikap Sikap adalah hal yang tidak asing dan secara rutin masuk ke dalam percakapan kita sehari-hari. Sikap merupakan kunci untuk memahami perilaku manusia dan bisa dianggap sebagai kecendrungan langsung untuk merespon secara tertentu terhadap benda atau objek sikap (Callaghan & Lazard, 2011). Gordon Allport (1935) menyatakan dalam bukunya Handbook of Social Psychology bahwa sikap adalah kondisi kesiapan syaraf yang diatur melalui pengalaman, memberikan pengaruh terarah atau dinamis terhadap respon individu kepada segala objek dan situasi terkait ( dalam Hogg & Vaughan, 2008). Sementara menurut Rokeach (1980) sikap terdiri dari kumpulan keyakinan yang relatif permanen mengenai suatu objek atau situasi yang mempengaruhi individu untuk merespon dengan cara yang disukai. Sebelum itu, Fishben dan Ajzen (1975) sudah terlebih dulu mendefinisikan sikap. Mereka memahaminya sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten suka atau tidak suka terhadap suatu objek, individu atau peristiwa (dalam Clark, 1999). Berdasarkan definisi tersebut Clark (1999) menyimpulkan tiga poin; pertama, individu tidak dilahirkan dengan sikap, tetapi dipelajari melalui pengalaman. Kedua, sikap itu cenderung stabil dan relatif permanen. Ketiga, sikap adalah sarana untuk menilai secara positif atau negatif. Hogg dan Vaughan (2008) menjelaskan secara lebih spesifik mengenai sikap. Selain perasaan suka atau tidak, sikap juga merupakan pengaturan yang relatif kontinyu dari kecendrungan keyakinan, dan perilaku terhadap objek, grup, peristiwa atau simbol yang signifikan 7
8
secara sosial. Ketiga kecendrungan tersebut dirangkum dalam evaluasi umum (positif ataupun negatif) mengenai orang, objek dan isu. Begitu juga dengan Bohner dan Wanke (2010) yang mengartikan sikap sebagai rangkuman evaluasi (perasaan/reaksi emosi, proses pemikiran dan kecendrungan perilaku) dari objek atau pemikiran. Sebuah objek sikap bisa apa saja yang dipikirkan oleh individu. Objek tersebut bisa konkret maupun abstrak, benda mati, orang dan grup. Mereka sepakat bahwa sikap bersifat tidak permanen. Berdasarkan berbagai definisi yang ada, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah respon evaluatif (positif atau negatif) dalam bentuk perasaan atau reaksi emosional, keyakinan atau proses pemikiran dan kecendrungan perilaku terhadap suatu objek sikap (orang, benda, situasi, konsep abstrak maupun konkret dan sebagainya) yang cenderung stabil tapi tidak permanen.
2.1.2. Komponen sikap Berbagai jenis pendekatan komponen sikap (Hogg & Vaughan, 2008): 1. Model satu komponen Sikap memiliki satu komponen yaitu afek terhadap suatu objek. Thurstone sebagai salah satu penganut pendekatan ini menyimpulkan bahwa sikap berarti masalah suka atau tidak seseorang terhadap objeknya. 2. Model dua komponen Sikap adalah kondisi kesiapan mental atau predisposisi yang implisit dengan pengaruh umum dan konsisten terhadap respon evaluatif seseorang. 3. Tiga komponen Sikap terdiri dari aspek kognitif, afektif dan perilaku. Ketiga divisi ini merupakan warisan lampau, pemikiran, perasaan dan tindakan sebagai pengalaman dasar manusia. Selain tiga komponen tersebut, pendekatan ini juga menekankan bahwa sikap itu relatif permanen; bertahan melalui waktu dan situasi, jadi perasaan yang sementara
9
bukan termasuk sikap. Kedua, sikap terbatas pada peristiwa dan objek yang secara sosial signifikan. Ketiga, sikap bersifat umum dan melibatkan abstraksi. Dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan tiga komponen atau disebut juga dengan tripartite model (Bohner dan Wanke, 2010; Aronson, Wilson, & Akert, 2010; Breckler, dkk, 2006 ): 1. Afektif: Reaksi emosional atau perasaan terhadap objek sikap. 2. Kognitif: Pemikiran dan keyakinan yang dibentuk berdasarkan analisis pro dan kontra dari objek sikap. Mewakili pengetahuan individu, beragam tingkat kepastian mengenai salah atau benar, baik atau buruk dan diinginkan atau tidak. (Rokeach, 1980). 3. Perilaku: Cara atau kecendrungan berperilaku terhadap objek sikap, yang didasarkan pada informasi perilaku yang dilakukan dimasa lalu.
2.1.3. Fungsi sikap Katz (1960) menjelaskan fungsi-fungsi sikap yang dikelompokkan dalam dua fungsi utama, sebagai berikut ( dalam Bohner & Wanke, 2012): 1. Organisasi pengetahuan dan regulasi pendekatan dan penghindaran a. Fungsi pengetahuan Sikap memberikan struktur sederhana dalam mengorganisasi dan menangani lingkungan yang kompleks dan ambigu. Dengan kata lain, sikap mewakili skema kognitif individu. b. Fungsi utilitarian/instrumental Setelah memiliki pengetahuan mengenai suatu objek sikap, individu dapat mengunakan sikap sebagai cara bertindak, mendekati atau menjauhi objek tersebut. 2. Kebutuhan psikologis tingkat lebih tinggi a. Fungsi simbolis Sikap sebagai ekspresi dari konsep diri dan nilai-nilai yang dianut individu. Selain itu, berfungsi menjaga self-esteem dan pengurangan rasa takut atau konflik internal serta coping terhadap ancaman pada diri.
10
b. Fungsi identitas sosial Sikap juga dapat digunakan dalam menjaga hubungan sosial, misalnya memegang sikap yang dianggap baik oleh teman sebaya.
2.1.4. Faktor yang Mempengaruhi Sikap Menurut Azwar (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap ada beberapa, yaitu: 1. Pengalaman pribadi Segala yang telah dialami oleh individu akan turut dalam pembentukan sikap dan mempengaruhi sikap individu terhadap stimulus yang ada. 2. Orang lain yang dianggap penting Kepada orang yang dianggap penting oleh individu seperti orangtua, sahabat, orang yang statusnya lebih tinggi dan sebagainya, individu akan lebih cenderung mengikuti sikap mereka. Hal ini bisa didasarkan pada keinginan untuk berafiliasi atau menghindari konflik. 3. Kebudayaan Budaya yang mengelilingi kehidupan individu membawa pengaruh yang cukup besar dalam pembentukan sikap. 4. Media Massa Media membawa beragam pesan-pesan persuasif kepada individu. Pesan yang cukup kuat dapat memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu. 5. Lembaga pendidikan dan agama Kedua lembaga ini membawa daasr pengertian dan konsep moral bagi individu, sehingga kehadirannya dapat memberikan pengaruh dalam membentuk sikap individu.
11
2.1.5. Makan sehat (Healthy Eating) Makan sehat didefinisikan sebagai makan yang memungkinkan individu untuk mencapai keadaan fisik, mental dan kesejahteraan sosial dan bukan hanya ketidakberadaan penyakit atau kelemahan (World Health Organization, 2007, dalam Chan, Prendergast, Grønhøj, & BechLarsen, 2011). Makan sehat dibentuk oleh beragam kenyataan, bisa jadi berbeda di setiap budaya dan berubah seiring waktu (Paquette, 2005). Persepsi akan makan sehat secara umum didasarkan pada pilihan makanan, karakteristik makanan dan konsep kesehatan publik. Buah dan sayur secara konsisten dianggap sebagai bagian dari makan sehat. Kealamian dan kesegaran, rendah kandungan lemak, dan gula serta garam juga penting dalam persepsi makan sehat. Sementara peran daging terbilang ambigu. Ada studi yang memasukkan makan daging sebagai sehat (Piroznia, 2001; dalam Chan dkk, 2011) dan ada juga yang menghindari atau membatasi daging sebagai konsumsi yang sehat (Troiano & Flegal, 1998; dalam Chan dkk, 2011). Konsep-konsep seperti keseimbangan, keragaman dan moderasi sering dikaitkan dengan makan sehat. Tetapi, konsep semacam ini dinilai rumit dan sering memiliki makna yang berbeda tergantung kelompok demografis (Paquette, 2005). Deskripsi makan sehat cenderung mengelompokkan makanan ke dalam grup besar dan membuat rekomendasi berdasarkan konsumsi relatif setiap grup tersebut (Ogden, 2012). 1. Buah dan sayur: Berbagai jenis sayur dan buah harus dimakan, setidaknya lima atau lebih porsi sehari. 2. Roti, pasta, racikan gandum lain dan kentang: Makan dalam jumlah banyak jenis karbohidrat yang kompleks, terutama yang berserat tinggi. 3. Daging, ikan dan alternatif lainnya: Dalam jumlah sedang, makan daging ikan dan protein lainnya, paling baik yang kadar lemaknya rendah. 4. Susu dan produk susu: Dikonsumsi dengan kadar secukupnya, dan pilih yang rendah lemak.
12
5. Makanan berlemak dan bergula: Porsi konsumsi yang paling sedikit terletak di grup ini. Makanan seperti keripik, permen, minuman bersoda dan sebagainya. Pengelompokkan semacam itu, disebut oleh Sutopo (2014) sebagai makanan dengan gizi berkualitas, yang ditentukan oleh kadar zat dan nilai zat gizi pangan. Kadar zat gizi adalah komposisi kimia dan ukuran kepadatan zat yang dikelompokkan ke dalam lima golongan yaitu; karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Sementara nilai zat gizi merupakan tingkat manfaat zat terhadap tubuh; tercukupi zat gizinya dan dapat memberi pertahanan tubuh. Ahli gizi, Arifasno Napu (2014) juga mendefinisikan gizi seimbang menjadi kelompok-kelompok yang masing-masing harus terpenuhi, yaitu, makanan pokok (nasi, jagung, umbi, dan sebagainya), lauk-pauk (daging, ikan, tempe), sayur (kangkung, sawi, bayam) dan buah (pisang, mangga, melon). Selain itu, makanan yang sehat harus sesuai dengan kebutuhan individu. Kebutuhan tersebut dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, berat badan, aktivitas dan perkembangan serta kondisi tubuh. Kealamiahan makanan juga penting sebagai faktor makanan sehat, semakin sering diproses nilai gizi juga akan semakin berkurang. Menurut Gonzalez-Campoy, J., StJeor, S. T., Castorino, K., Ebrahim, A., Hurley, D., Jovanovic, L., & dkk. (2013) dalam Clinical Practice Guidelines for healthy eating, makan sehat melibatkan makanan zat gizi makro dan mikro yang cukup untuk menyokong fisiologis normal dan menghindari kekurangan zat gizi. Kelompok-kelompok yang disebutkan sebelumnya, dikelaskan lagi secara besar, yaitu (Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS), dalam Muaris, 2012): 1. Zat gizi Makro: Komponen gizi yang berperan memberikan bahan bakar atau kalori dalam berkegiatan sehari-hari. Zat gizi ini diperlukan dalam jumlah yang besar, sehingga disebut juga sebagai komponen utama.
13
a. Karbohidrat/pokok: Tersusun dari atom karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O). PUGS menyarankan konsumsi karbohidrat sebesar 50-60% dari total konsumsi energi. Contoh makanan yang mengandung karbohidrat adalah nasi, terigu (mi dan roti), umbi-umbian dan sebagainya. Karbohidrat juga penting untuk metabolisme. b. Protein/lauk: Tersusun dari berbagai jenis asam amino. PUGS menyarankan konsumsi protein sebesar 15% setiap harinya. Makanan yang kaya protein berkualitas tinggi adalah yang mengandung asam amino lengkap dan cukup. Protein ada dua jenis; nabati (kacang-kacangan, tempe, tahu) dan hewani (telur,ikan, ayam, daging memamah biak). Sebaiknya kedua jenis ini dikombinasikan. Protein berguna sebagai penunjang pertumbuhan terutama dalam hal memperbaiki dan memperbaharui sel. c. Lipid: Terdiri dari dua macam; lemak (berbentuk padat) dan minyak (berbentuk cair). Tersusun dari asam lemak. Maksimal konsumsi lipid menurut PUGS adalah 25% per hari. Makanan yang mengandung asam lemak adalah ikan, daging, kacang, alpukat dan lainnya. Batasi konsumsi asam lemak jenuh sampai 10% dan asam lemak tak jenuh trans hanya 2%. 2. Zat gizi Mikro: Komponen pertahanan tubuh yang dibutuhkan dalam jumlah lebih sedikit dan tertentu. a. Vitamin/buah dan lainnya: Vitamin memiliki banyak fungsi di antaranya kemampuan antioksidan. Vitamin ada dua kelompok; larut lemak dan larut air. Berdasarkan kelompok tersebut, vitamin terbagi lagi menjadi beberapa jenis, seperti vitamin A (hati, telur, sayuran merah), vitamin D (hati, susu, telur), vitamin E (minyak nabati, sayuran hijau, kacang), vitamin K (kubis, sayuran hijau), vitamin B kompleks (buah dan sayur), dan vitamin C (buah dan sayur).
14
b. Mineral/sayur dan lainnya: Banyak menyusun struktur tubuh dan mengatur reaksi kimia yang terjadi dalam tubuh. Jenisnya ada; Kalsium (susu, ikan kecil, brokoli, kacang-kacangan), Zat Besi (hati, ikan, unggas), Iodin (garam), Zinc (ikan, kerang daging). Selain itu, makan sehat juga berarti menghindari makanan yang dapat memberi dampak negatif pada tubuh secara berlebihan, seperti berkadar gula dan lemak yang tinggi. Dari semua pengertian yang ada, dapat disimpulkan bahwa makan sehat adalah makan yang memungkinkan individu mencapai kesejahteraan fisik (mendapat energi dan pertahanan tubuh). Hal tersebut melibatkan pemenuhan zat gizi makro (karbohidrat, protein dan lemak) dan mikro (vitamin dan mineral) secara seimbang dan cukup serta sesuai kebutuhan individu. Hal ini juga berarti menghindari makan yang mengandung zat yang membawa dampak buruk pada tubuh, seperti berkadar lemak dan gula yang tinggi.
2.1.6. Sikap terhadap Makan Sehat Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa sikap terhadap makan sehat berarti evaluasi individu secara afektif, kognitif dan perilaku terhadap makan yang membuat individu mampu mencapai kesejahteraan fisik, makan dengan gizi makro dan mikro yang seimbang serta sesuai kebutuhan. Selain itu juga terhadap makan yang mengandung kadar gula dan lemak yang tinggi yang berdampak negatif pada tubuh. Sikap terhadap makan sehat yang terdiri dari tiga komponen, berarti dapat dijabarkan menjadi sebagai berikut: 1. Aspek Afektif: Perasaan atau reaksi emosional individu terhadap makan dengan gizi makro dan mikro yang seimbang serta seusai kebutuhan dan memberikan kesejahteraan fisik. Selain itu juga perasaan terhadap makan yang berdampak negatif, seperti kadar gula dan lemak yang tinggi.
15
2. Aspek Kognitif: Pemikiran dan keyakinan berdasarkan analisis pro dan kontra terhadap makan yang seimbang kandungan gizi makro dan mikronya serta sesuai kebutuhan dan pencapaian kesejahteraan fisik. Pemikiran juga berlaku terhadap makan yang membawa efek buruk seperti tingkat lemak dan gula yang tinggi. 3. Aspek Perilaku: Kecendrungan berperilaku individu terhadap makan yang menunjang kesejahteraan fisik individu melalui konsumsi gizi makro dan mikro yang seimbang dan sesuai kebutuhan. Juga terhadap makan kadar gula dan lemak yang tinggi (berdampak buruk pada tubuh).
2.1.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap terhadap Makan Sehat Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap menurut Azwar (2011) yang sudah dijabarkan, berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap makan sehat. 1. Pengalaman pribadi Segala yang telah dialami oleh individu seperti riwayat penyakit di keluarganya, atau pengalaman memiliki teman yang sakit, pengalaman individu sakit akibat tidak makan sehat, turut serta dalam pembentukan sikap terhadap makan sehat. 2. Orang lain yang dianggap penting Individu akan lebih cenderung mengikuti sikap orang yang dianggap penting, seperti keluarga atau orang yang dijadikan panutan. Termasuk di dalamnya pola asuh orangtua yang berperan dalam membentuk sikap terhadap makan sehat inidividu. Apabila sejak kecil keluarganya memiliki kebiasaan makan dengan gizi seimbang, maka mungkin sikap individu tersebut akan berbeda dengan individu lain yang tidak memiliki kebiasaan tersebut. 3. Kebudayaan Budaya makan di Indonesia dapat mempengaruhi kebiasaan makan inividu. Misalkan, budaya Jawa yang memiliki ciri khas manis
16
pada masakannya atau Padang yang kaya bumbu pedas serta santan, dapat memiliki andil pada sikap individu terhadap makan sehat. 4. Media Massa Melalui media masa individu mendapatkan beragam informasi mengenai makanan, baik sehat maupun tidak. Misalkan, acara yang membahas makan sehat di televisi atau artikel tentang makan sehat di majalah. Selain itu, iklan-iklan produk makanan juga dapat mempengaruhi sikap individu terhadap makan sehat. 5. Lembaga pendidikan dan agama Kedua lembaga ini dapat memberikan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh invididu, sehingga sikap individu terhadap suatu hal juga dapat terbentuk melalui ini. Aturan mengenai makanan apa yang sebaiknya dan tidak boleh dimakan dapat mempengaruhi sikap individu terhadap makan sehat. Misalkan, pada agama Islam, ada makanan-makanan yang diharamkan untuk dikonsumsi, maka sikap individu terhadap makan sehat berarti termasuk menghindari makanan yang diharamkan tersebut.
1.2. Pesan Persuasif Melalui Workbook Makan Sehat Merupakan pesan yang merujuk kepada satu sisi tertentu. Pesan yang disampaikan dimaksudkan untuk mengubah sikap dan perilaku terkait (Hogg & Vaughan, 2008). Dalam penelitian ini pesan disajikan melalui workbook. 1.2.1. Workbook Workbook merupakan buku yang berisi permasalahan dan latihan yang perlu dikerjakan, selain itu workbook juga merupakan tempat mengerjakan sesuatu (freedictionary.com). Media ini seringkali dipakai dalam menyampaikan pesan kesehatan, seperti Meal and Snack Planning Workbook (LifeScan, Inc) yang bertujuan membantu merencanakan pola makan yang menjaga kadar gula darah terutama bagi penderita diabetes. Kemudian, Let’s Eat Healthy Workbook (Venditti, E. M., Elliot, D. L., Faith M. S., Firrell, L. S., Giles, C. M., Goldberg, L. dkk, 2009), sebagai
17
media yang membantu siswa memilih pola makan yang sehat sekaligus sebagai pencegahan penyakit diabetes tipe 2. Dan Eat Smart Workbook (North Caroline Health Smart) menginformasikan mengenai makan sehat sebagai tindakan preventif bagi penyakit di masa mendatang. Berikut teori-teori yang mendasari pembuatan workbook makan sehat.
2.2.1. Latar Belakang 2.2.1.1. Health Belief Model Teori yang menyatakan individu akan mengambil tindakan preventif berdasarkan ancaman (seberapa serius, seberapa mungkin, dan sinyal tindakan) yang dirasakan serta penilaian prokontra dari suatu tindakan yang akan diambil (Sarafino & Smith, 2012). Berpegang pada teori ini, peneliti menggunakan pesan persuasif yang terdiri dari tiga teori lainnya, yaitu fear communication, inoculation dan cognitive response theory.
1. Fear Communication Disebut juga sebagai fear appeal, yang menekankan bahwa rasa takut akan bahaya yang timbul dari kebiasaan kesehatan tertentu akan membuat individu mengurangi kebiasaan tersebut sebagai usaha menurunkan rasa takut (Taylor, 2003). Studi menunjukkan fear appeal dapat memotivasi orang untuk mengadopsi beragam sikap dan perilaku yang lebih sehat (Diefenbach, 2004, dalam Sarafino & Smith, 2012). Penggunaan metode ini harus dalam kadar yang tepat, karena jika terlalu ekstrim, individu akan menjadi defensif dan tidak mau menerima pesan yang disampaikan. Kadar rasa takut yang cukup akan memotivasi individu untuk menganalisa pesan lebih dalam (Petty 1995; Rogers, 1983, dalam Aronson dkk, 2010).
18
2. Inoculation Berasal dari teori Inokulasi McGuire (1964) (dalam Bohner & Wanke, 2012) yang mengutarakan cara penolakan terhadap persuasi. Caranya adalah dengan memberikan kilasan argumen yang berlawanan dengan keyakinan individu, sehingga saat individu dipaparkan argumen lengkap yang berlawanan, individu akan lebih cenderung tidak mengubah sikapnya. Hal ini disebabkan persiapan dan antisipasi individu terhadap argumen berlawanan tersebut. Tetapi teori ini juga dapat digunakan sebagai strategi mendukung pengubahan sikap individu. Caranya adalah dengan menyajikan argumen positif dan negatif bersama-sama (Bohner & Wanke, 2012).
3. Cognitive Response Theory Teori ini menyatakan individu akan menghasilkan responrespon kogntif saat diberikan suatu pesan persuasif. (Petty & Cacioppo, 1981; Petty & Wegener, 1998; Peety, Wheeler &Tormala, 2003, dalam Oskamp & Schultz, 2005). Proses yang terjadi adalah, saat menerima pesan, individu akan mengaitkannya dengan keyakinan, pengetahuan, dan sikap yang sudah mereka miliki terhadap subjek pesan tersebut (Oskamp & Schultz, 2005). Respon ini dihasilkan sendiri oleh penerima pesan dan bisa setuju dengan pesan, berlawanan, netral atau tidak relevan. Biasanya semua jenis respon ini akan bercampur dan yang paling utama adalah respon suka atau tidak suka. Respon yang disebut juga sebagai self-generated thought ini bersifat subjektif. Pengukurannya dapat dilakukan dengan teknik tought-listing. Individu menulis sendiri pikiran atau pernyataan yang muncul saat mendengar atau membaca pesan persuasif. Hal ini merupakan bentuk dari partisipasi aktif dalam persuasi,
19
yang menyatakan bahwa individu yang mengimprovisasi sendiri pesan persuasif yang ada menunjukkan perubahan sikap yang lebih tinggi dan tahan lama dibandingkan yang hanya membaca pelan atau keras ke sebuah rekaman (King & Janis, 1956, dalam Oskamp & Schultz, 2005).
2.2. Kerangka Berpikir Health Belief Model menyatakan individu akan mengambil tindakan preventif berdasarkan penilaian individu akan ancaman (kemungkinan muncul, tingkat bahaya, dan sinyal-sinyal tindakan) yang dirasakan, serta penilaian pro-kontra dari tindakan tersebut (Sarafino & Smith, 2012). Dalam hal makan sehat, hal ini berarti, individu akan makan sehat saat penilaiannya mengenai ancaman (dampak tidak makan sehat) itu tinggi dan ia pro/positif terhadap tindakannya (makan sehat). Pengubahan pada penilaian tersebut akan membawa pada pengubahan tindakan yang diambil. Salah satu caranya adalah dengan pemberian informasi terkait makan sehat kepada individu, atau disebut juga pesan persuasif. Pesan persuasif bermaksud membuat individu meyakini suatu hal melalui argumen-argumen (positif dan negatif), menekankan rasa takut (fear communication) dan menuliskan respon kognitifnya terhadap pesan. Semua teori tersebut kemudian dirangkum dan disajikan dalam bentuk workbook makan sehat. Berdasarkan penelitian Triffileti, dkk (2011), pesan persuasif dapat mengubah respon atau penilaian individu terhadap suatu hal, atau disebut juga dengan sikap. Verstreaten, dkk (2014) juga membuktikan bahwa sikap merupakan salah satu faktor dari seseorang berperilaku makan. Maka dari itu, peneliti menduga pesan persuasif dalam workbook makan sehat efektif dalam sikap terhadap makan sehat. Berikut bagan kerangka berpikir:
20
Health Belief Model
Gambar 1: Kerangka Berpikir