BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tuberkulosis Paru
2.1.1
Definsi
Tuberkulosis adalah penyakit radang parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sebanyak 80 % dari infeksi bakteri ini menyerang organ paru, sedangkan 20% ekstrapulmonar (Djojodibroto, 2012).
2.1.2
Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien
Menurut Kemenkes RI (2011), penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu: •
Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
•
Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif;
•
Riwayat pengobatan TB sebelumnya, pasien baru atau sudah pernah diobati
•
Status HIV(Human Immunodeficiency Virus) pasien. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. Saat ini sudah tidak
dimasukkan dalam penentuan definisi kasus. a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena 1) Tuberkulosis paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis
yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2) Tuberkulosis ekstra paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lai
4
Universitas Sumatera Utara
5
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis, terutama ditujukan pada TB Paru 1) Tuberkulosis paru BTA positif a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS(Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya BTA positif. b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non-OAT(Obat Anti Tuberkulosis). 2) Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberculosis. c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan HIV negatif. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu: 1) Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif 2) Kasus yang sebelumnya diobati a) Kasus kambuh (Relaps)
Universitas Sumatera Utara
6
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis
dan
telah
dinyatakan
sembuh
atau
pengobatan lengkap didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). b) Kasus setelah putus obat (Default) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. c) Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 3) Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya. 4) Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang a) Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya. b) Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya. c) Kembali diobati dengan BTA negatif.
2.1.3
Cara Penularan
TB ditularkan melalui udara secara langsung, yaitu melalui hubungan dekat antara penderita dengan orang yg tertular, misalnya berada di dalam satu ruangan kerja atau kamar tidur. Droplet yang mengandung basil TB yang keluar bersamaan dengan batuk, melayang di udara hingga kurang lebih dua jam, tergantung pada kualitas ventilasi ruangan. Jika droplet tersebut terhirup oleh orang yang sehat, droplet tersebut akan terdampar pada dinding sistem pernapasan. Droplet yang masuk memiliki ukuran yang berbeda-beda, droplet yang berukuran besar akan menetap di saluran pernapasan bagian atas, sedangkan droplet yang berukuran kecil akan masuk ke alveoli di lobus manapun; tidak ada predileksi lokasi terdamparnya droplet berukuran kecil (Djojodibroto, 2012).
Universitas Sumatera Utara
7
2.1.4
Manifestasi Klinis
Gejala TB Paru bervariasi tergantung pada usia dan keadaan penderita saat terinfeksi. Gejala umum berupa demam dan malaise. Gejala demam bersifat hilang timbul, dimana timbul pada petang dan malam hari disertai dengan berkeringat. Demam ini mirip dengan demam yang disebabkan oleh influenza namun kadang-kadang dapat mencapai suhu 40°-41°C. Malaise yang terjadi dalam jangka waktu panjang berupa pegal-pegal, rasa lelah, anoreksia, nafsu makan berkurang, serta penurunan berat badan. Pada wanita dapat terjadi amenorea (Djojodibroto, 2012). Gejala respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif merupakan gejala yang paling sering terjadi dan merupakan indikator yang sensitif untuk penyakit tuberkulosis paru aktif. Batuk ini sering bersifat persisten karena perkembangan penyakitnya lambat. Gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim atau miliar. Nyeri dada biasanya bersifat nyeri pleuritik karena terlibatnya pleura dalam proses penyakit. Hemoptisis mulai dari yang ringan sampai yang masif mungkin saja terjadi (Djojodibroto, 2012).
2.1.5
Diagnosis
Seseorang didiagnosa menderita TB Paru jika ditemukannya kuman TB pada pemerikasaan dahak mikroskopis, yang merupakan program TB nasional dalam penegakan diagnosa utama. Pemeriksaan dahak dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS), • S (Sewaktu)
: dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. • P (Pagi)
: dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes (Fasilitas Pelayanan Kesehatan).
Universitas Sumatera Utara
8
• S (Sewaktu)
: dahak dikumpulkan di Fasyankespada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Pemeriksaan biakan dilakukan untuk menegakkan diagnosa pada pasien tertentu, yaitu pasien TB ekstra paru, pasien TB anak, pasien TB BTA negatif. Pada pasien dengan HIV/AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), diagnosis TB Paru ditegakkan dengan sebagai berikut, • TB Paru BTA Positif,yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif. • TB Paru BTA Negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran klinis dan radiologis mendukung TB atau BTA negatif dengan hasil kultur TB positif (Kemenkes RI, 2011).
2.1.6
Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip – prinsip, yaitu : • OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. • Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). • Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. -
Tahap Awal (Intensif) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Universitas Sumatera Utara
9
-
Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman
persistensehingga
mencegah
terjadinya
kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia 1. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia: •
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
•
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
•
Kategori Anak: 2HRZ/4HR
•
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamisin, sapreomisin, levofloksasin, etionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.
2. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. 3. Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniasid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT
Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
Universitas Sumatera Utara
10
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: 1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. 2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep 3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
a. Paduan OAT lini pertama dan peruntukkannya 1.
Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: -
Pasien baru TB paru BTA positif.
-
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
-
Pasien TB ekstra paru
Tabel 2.1 Dosis Paduan OAT KDT untuk Kategori 1 Tahap Intensif Berat Badan
tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)
Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150)
30-37 kg
2 tablet 4KDT
2 tablet 2KDT
38-54 kg
3 tablet 4KDT
3 tablet 2KDT
55-70 kg
4 tablet 4KDT
4 tablet 2KDT
71 kg
5 tablet 4KDT
5 tablet 2KDT
Universitas Sumatera Utara
11
Tabel 2.2 Dosis Paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1 Dosis per hari / kali Tahap
Tablet
Lama
Pengobatan Pengobatan
Isoniazid @300 mg
Kaplet
Jumlah
Tablet
Tablet
hari/kali
Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan @ 450 mg
@ 500 mg
@250 mg
obat
Intensif
2 bulan
1
1
3
3
56
Lanjutan
4 bulan
2
1
-
-
48
2.
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: •
Pasien kambuh
•
Pasien gagal
•
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT untuk Kategori 2
Berat
Tahap Intensif
Tahap Lanjutan
tiap hari
3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + S
RH (150/150) + E (400)
Badan Selama 56 hari
Selama
Selama 20 minggu
28 hari 30-37 kg
2 tab 4KDT
2 tab 4KDT
+ 500 mg Streptomisin
2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol
inj. 38-54 kg
3 tab 4KDT
3 tab 4KDT
+ 750 mg Streptomisin
3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol
inj. 55-70 kg
4 tab 4KDT
4 tab 4KDT
4 tab 2KDT
Universitas Sumatera Utara
12
+ 1000 mg Streptomisin
+ 4 tab Etambutol
inj. 71 kg
5 tab 4KDT
5 tab 4KDT
5 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin
+ 5 tab Etambutol
inj.
Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2 Tablet
Kaplet
Tablet
Etambutol
Strept
Jumlah hari/kal
Tahap
Lama
Isoniazid
Rifamp
Pirazin
Tablet
Tablet omisi
Pengob
Pengob
@300
isin
amid
@
@
n
i
atan
atan
mgr
@400
@500
250
400
injeks
menela
mgr
mgr
mgr
mgr
i
n obat
1
1
3
3
-
1
1
3
3
-
2
1
-
1
2
Tahap
2 bulan
Intensif
1 bulan
(dosis harian) Tahap
0,75 gr -
56 28
4 bulan
Lanjuta n (dosis 3x
-
60
seming gu)
3.
OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Universitas Sumatera Utara
13
Tabel 2.5 Dosis Paduan KDT untuk Sisipan Berat Badan
Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg
2 tablet 4KDT
38-54 kg
3 tablet 4KDT
55-70 kg
4 tablet 4KDT
71 kg
5 tablet 4KDT
Tabel 2.6 Dosis Paduan Kombipak untuk Sisipan Tahap
Lama
Pengobata
Pengobatan
n
Tahap
1 bulan
Tablet
Kaplet
Tablet
Isoniazid
Rifampisi
Pirazinami
@300
n
d
mg
@ 450 mg
@ 500 mg
1
1
3
Tablet Etambut ol @250 mg 3
Jumlah hari/kal i menela n obat 28
Intensif (dosis harian)
b.
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.
Universitas Sumatera Utara
14
2.1.7
Pemantauan dan Hasil Pengobatan
1. Pemantauan kemajuan pengobatan Semua pasien harus dipantau untuk menilai respon pengobatan. Pemantauan yang regular akan memfasilitasi pengobatan lengkap, identifikasi dan tata laksana reaksi obat tidak diinginkan. Semua pasien, PMO, dan tenaga kesehatan sebaiknya diminta untuk melaporkan gejala TB yang menetap atau muncul kembali, gejala efek samping OAT atau terhentinya pengobatan. Berat badan pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT disesuaikan dengan perubahan berat badan. Pemantauan kemajuan hasil pengobatan dilaksanakan pada akhir bulan kedua dengan pemeriksaan
ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan. Laju
Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Universitas Sumatera Utara
15
Tindak lanjut hasil pemriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.7 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak Tipe Pasien TB
Pasien baru dengan pengobatan kategori 1
Tahap Pengobatan
Hasil Pemeriksaan Dahak
Tindak Lanjut
Akhir Intensif
Negatif
Tahap lanjutan dimulai.
Positif
Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif: - tahap lanjutan tetap diberikan. - jika memungkinkan, lakukanbiakan, tes resistensi atau rujuk kelayanan TBMDR Pengobatan dilanjutkan
Pada bulan ke-5 pengobatan
Negatif Positif
Pengobatan diganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR
Akhir Pengobatan (AP)
Negatif
Pengobatan dilanjutkan
Positif
Pengobatan diganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR
Universitas Sumatera Utara
16
Akhir Intensif
Pasien paru BTA positif dengan pengobatan ulang kategori 2
Pada bulan ke-5 pengobatan
Negatif
Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan.
Positif
Beri Sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, teruskan pengobatan tahap lanjutan. Jika setelah sisipan masih tetap positif: - tahap lanjutan tetap diberikan - jika memungkinkan, lakukanbiakan, tes resistensi atau rujuk kelayanan TBMDR Pengobatan
Negatif
diselesaikan Positif
Pengobatan dihentikan , rujuk ke layanan TBMDR
Akhir Pengobatan (AP)
Negatif
Pengobatan diselesaikan
Positif
Pengobatan dihentikan , rujuk ke layanan TB-MDR Pengobatan dihentikan , rujuk ke layanan TB-MDR Pengobatan dihentikan , rujuk ke layanan TB-MDR
Universitas Sumatera Utara
17
Apusan
dahak
BTA
positif
pada
akhir
fase
intensif
mengindikasikan beberapa hal berikut ini: -
Supervisis kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien yang buruk.
-
Kualitas OAT buruk.
-
Dosis OAT dibawah kisaran yang direkomendasikan.
-
Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah kuman yang banyak.
-
Terdapat komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau respons terhadapn terapi OAT lini pertama
2. Tatalaksana Pasien yang Berobat Tidak Teratur Tabel 2.8 Tatalaksana Pasien yang Berobat Tidak Teratur Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan: -
Lacak pasien Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan: Tindakan-1 -
-
Lacak pasien Diskusikan dan cari masalah Periksa 3 kalidahak (SPS) dan lanjutkan pengobatan sementara menunggu hasilnya
Tindakan-2
Bila hasil BTA negatif atau Tb extra paru:
Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai
Bila satu atau lebih hasil BTA positif
Lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan *
Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai
Lama pengobatan sebelumnya lebih dari 5 bulan
Kategori-1: Mulai kategori-2 Kategori-2: rujuk, mungkin kasus TB resistan obat.
Universitas Sumatera Utara
18
Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan (Default) -
-
Periksa 3 kali dahak SPS Diskusikan dan cari masalah Hentikan pengobatan sambil menunggu hasil pemeriksaan dahak.
Bila hasil BTA negatif atau Tb extra paru: Bila satu atau lebih hasil BTA positif
Pengobatan dihentikan, pasien diobservasi bila gejalanya semakin parah perlu dilakukan pemeriksaan kembali (SPS dan atau biakan) Kategori-1 Mulai kategori-2 Rujuk, kasus TB resistan obat.
Kategori-2
3. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif •
Sembuh Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
•
Pengobatan Lengkap Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
•
Meninggal Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
•
Putus berobat (Default) Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
•
Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
•
Pindah (Transfer out) Adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
Universitas Sumatera Utara
19
•
Keberhasilan pengobatan (Treatment success) Jumlah yang sembuh dan pengobatan lengkap. Digunakan pada pasien dengan BTA (+) atau biakan positif(Kemenkes RI, 2011).
2.1.8 Strategi DOTS Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD (International Union Against Turberculosis and Lung Disease) mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: 1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan. 2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien. 4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif. 5) Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (costefective). Di Indonesia, strategi DOTS pertama kali dilakukan uji coba pada tahun 1995 dan kemudian diimplementasikan secara luas dalam sistim pelayanan kesehatan dasar. Fokus saat ini adalah meningkatkan cakupan DOTS ke seluruh penyedia pelayanan kesehatan di Indonesia disertai peningkatan mutu pelayanan. Langkah awal dengan memperkuat jejaring puskesmas, lalu strategi inovasi lainnya seperti perencanan spesifik daerah dalam upaya menjangkau populasi yang sulit mendapatkan akses pelayanan (akibat sosial ekonomi maupun geografis), keterlibatan Rumah Sakit (Hospital DOTS Lingkage), TB pada anak,
Universitas Sumatera Utara
20
TB di rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan, penanganan kasus resisten serta penanganan koinfeksi TB-HIV.
2.2.
TB MDR (Multidrugs Resistant Tuberculosis)
2.2.1. Definisi TB MDR Kebal obat atau resistensi terhadap obat berarti kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tidak dapat lagi dibunuh oleh OAT yang dipakai saat ini. Resistensi ini dimulai dari yang sederhana yaitu mono resistan sampai dengan Multidrugs Resistant (MDR) dan eXtensive Drugs Resistant (XDR).Secara umum resitensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi : a. Resisten primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan b. Resisten initial ialah apabila tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah c. Resisten sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan (Kemenkes RI, 2013). Saat ini menurut WHO Indonesia menduduki peringkat ke delapan dari 27 negara dengan jumlah kasus MDR tertinggi. Survey resistensi OAT di provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa angka TB MDR pada pasien yang belum pernah mendapat pengobatan OAT sebelumnya sekitar 2 % dan sekitar 16 % bagi yang pernah mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya. Faktor utama penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap OAT adalah ulah manusia, baik penyedia layanan, pasien, maupun program/sistem layanan kesehatan yang berakibat terhadap tatalaksana pengobatan pasien TB yang tidak sesuai dengan standar dan mutu yang ditetapkan.
2.2.2. Suspek TB MDR Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan salah satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini: 1. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)
Universitas Sumatera Utara
21
2. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2. 3. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di Fasyankes Non DOTS. 4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1. 5. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan. 6. Pasien TB kambuh. 7. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default. 8. Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR 9. ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dengan gejala TB-HIV(Kemenkes RI, 2013).
2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya TB MDR Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDR akan menyebabkan lebih banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan hanya merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. TB resistensi OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan terjadinya penularan dari pasien TB-MDR ke.orang lain / masyarakat. Faktor penyebab resitensi OAT terhadap kuman M. tuberculosis antara lain : 1. Faktor Mikrobiologik -
Resisten yang natural
-
Resisten yang didapat
-
Amplifier effect
-
Virulensi kuman
-
Tertular galur kuman –MDR
2. Faktor Klinik a.
Penyelenggara kesehatan - Keterlambatan diagnosis - Pengobatan tidak mengikuti guideline - Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat
Universitas Sumatera Utara
22
resitensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin atau INH - Tidak ada guideline - Tidak ada / kurangnya pelatihan TB - Tidak ada pemantauan pengobatan - Fenomena addition syndromeyaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan yang pertama maka ”penambahan” 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten. - Organisasi program nasional TB yang kurang baik b.
Obat - Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien - Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan komplit atau sampai selesai gagal - Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada diare - Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang - Regimen / dosis obat yang tidak tepat - Harga obat yang tidak terjangkau - Pengadaan obat terputus
c.
Pasien - PMO tidak ada / kurang baik - Kurangnya informasi atau penyuluhan - Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll - Efek samping obat - Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada - Masalah sosial - Gangguan penyerapan obat
Universitas Sumatera Utara
23
3. Program - Tidak ada fasilitsa untuk biakan dan uji kepekaan - Amplifier effect - Tidak ada program DOTS-Plus - Program DOTS belum berjalan dengan baik - Memerlukan biaya yang besar 4. Faktor HIV-AIDS - Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar - Gangguan penyerapan - Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar 5. Faktor Kuman Kuman M. tuberculosis super strains - Sangat virulen - Daya tahan hidup lebih tinggi - Berhubungan dengan TB-MDR 2.2.4. Diagnosis TB MDR Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis. Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pagi hari. Uji kepekaan M.tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi untuk uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian TB Nasional (Kemenkes RI, 2011).
2.3.
Teori Perilaku
Perilaku adalah semua aktivitas atau kegiatan manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2003), perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut terori “S-O-R” atau Stimulus Organisme
Universitas Sumatera Utara
24
Respons. Skiner membedakan adanya 2 respons, yaitu Respondent Respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan (stimulus) tertentu atau disebut juga eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap dan Operant Respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsangan tertentu yang disebut juga sebagai reinforcing stimulation atau reinforcer karena memperkuat respons, dimana sebagian besar perilaku manusia adalah operant response. Berdasarkan bentuk respons terhadap stimulus, perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu 1. Perilaku tertutup (covert behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tertutup (covert). Respons
ini
masih
terbatas
pada
perhatian,
persepsi,
pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 2. Perilaku terbuka (overt behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata dan terbuka. Respons ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Pemberian respons sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari individu yang bersangkutan. Hal ini berarti meskipun diberikan stimulus yang sama pada beberapa individu, namun respons dari tiap-tiap individu akan berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. 2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
Universitas Sumatera Utara
25
Beberapa teori yang mengungkap determinan perilaku dari analisis faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, salah satunya adalah teori Lawrence Green (1980). • Teori Lawrence Green Green menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor diluar perilaku (nonbehaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor. a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan,, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tesedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya. c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
2.4.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan
2.4.1. Usia dan Jenis Kelamin Pada negara-negara industri, tingginya insidensi TB Paru terjadi pada usia dewasa muda, dimana angka insidensinya sama pada jenis kelamin laki-laki, tetapi akan menurun pada wanita diatas usia reproduktif. Pada wanita, TB Paru umunya didapat setelah melahirkan. Menurunnya frekuensi penyakit bersamaan dengan meningkatnya usia pasien TB. Kasus TB Paru lebih sering terjadi pada usia yang lebih tua, baik pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan, dikarenakan pada usia tua memiliki kemungkinan yang lebih tinggi terinfeksi pada saat-saat tertentu di kehidupannya (Crofton, 2009). Usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis pada umumnya
Universitas Sumatera Utara
26
menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk TB paru. Makin tua usia akan terjadi perubahan fungsi secara fisiologik, patologik dan penurunan sistem pertahanan tubuh dan ini akan mempengaruhi kemampuan tubuh menangani OAT yang diberikan. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan risiko terinfeksi tuberkulosis sebesar 4-5 kali.
2.4.2. Pendidikan Kesuksesan pengobatan penderita dipengaruhi oleh pendidikan pasien . Pengetahuan sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin baik penerimaan informasi tentang pengobatan dan penyakitnya sehingga akan semakin tuntas proses pengobatan dan penyembuhannya, termasuk penyakit TB paru. Fahrudda (2001) dalam Nainggolan (2013), mendapatkan hasil bahwa tingkat pengetahuan penderita yang dikategorikan rendah akan berisiko lebih dari 2 kali untuk terjadi kegagalan pengobatan dibandingkan dengan penderita dengan tingkat pengetahuan tinggi. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau masyarakat dan perilaku terhadap penggunaan/sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (Notoatmojo, 2003). Proporsi kejadian TB lebih banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai pendidikan yang rendah, dimana kelompok ini lebih banyak mencari pengobatan tradisional dibandingkan pelayanan medis (Desmon, 2006 dalam Nainggolan, 2013).
2.4.3. Penyakit penyerta Jurnal Tuberkulosis Indonesia yang diterbitkan oleh Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) pada Maret 2012 diantaranya melaporkan bahwa adanya penyakit lain menyertai seperti Diabete Melitus(DM) dan infeksi HIV – AIDS dapat menyebabkan kegagalan pengobatan TB paru.
Universitas Sumatera Utara
27
Menurut Wulandari dan Sugiri (2013), Diabetes Melitus (DM) meningkatkan risiko infeksi tuberkulosis (TB) aktif sebesar 3,11 kali. Dengan peningkatan pandemik DM yang 80% berada di daerah endemik TB, maka TB akan menjadi masalah besar di masa yang akan datang. Meskipun laju insidens TB mengalami penurunan tapi belum mencapai angka yang diharapkan, yaitu target laju insidens sebesar 1 kasus baru per 1 juta penduduk. Diabetes merupakan penyakit dengan dampak gangguan sistem imun, terutama sistem imun selular. Sistem ini berperan utama untuk menghambat terjadinya infeksi TB. Diabetes memberikan dampak manifestasi TB yang lebih buruk daripada penderita TB tanpa DM. Diabetes dapat menjadi faktor risiko ditemukannya BTApada sputum, dengan konversi yang lebih lama dari pada penderita TB tanpa DM, sehingga meningkatkan risiko penularan dan risiko resistensi kuman. Diabetes juga mempengaruhi prognosis pada pengobatan TB, dalam hal ini dapat meningkatkan kematian, risiko kegagalan terapi dan relaps. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita tuberkulosis paru akan meningkat, dengan demikian penularan tuberkulosis paru di masyarakat akan meningkat pula.
2.4.4. Merokok Penurunan daya tahan tubuh dapat disebabkan oleh konsumsi rokok (Leung, 2010), sehingga dapat mempengaruhi kesembuhan pengobatan penderita TB paru. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan‐ bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen). Bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang disekitarnya yang tidak merokok. Perkembangan bakteri mycobacterium akan lebih mudah jika sistim imun di paru melemah yang diakibatkan oleh merokok.
Universitas Sumatera Utara
28
2.4.5. Pengetahuan Pengetahuan adalah
hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek, baik melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan. Tingkat yang paling rendah ialah tahu, yaitu suatu keadaan dimana seseorang dapat mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya. Pada tingkat kedua ialah paham yang diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang mampu menjelaskan dengan benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Tingkat ketiga ialah aplikasi yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Tingkat keempad adalah sintesis, yaitu suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Tingkat pengetahuan tertinggi ialah evaluasi dimana seseorang sudah memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2003).
2.4.6. Sikap Sikap merupakan reaksi seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut pendapat ahli, manifetasi sikap tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi hanya dapat diartikan dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan hubungan kesesuaian rekasi terhadap stimulus tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap terdiri dari 3 komponen, yaitu yang pertama adalah kepercayaan, ide, dan konsep terhadap suatu objek, yang kedua adalah kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek, dan yang ketiga adalah kecenderungan untuk bertindak. Berdasarkan komponen diatas dapat diartikan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmojo, 2012).
Universitas Sumatera Utara
29
2.4.7. PMO Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. a. -
Persyaratan PMO Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
-
Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
-
Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
-
Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.
b.
Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
c. -
Tugas seorang PMO Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
-
Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
-
Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
-
Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
-
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.
d.
Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya:
Universitas Sumatera Utara
30
- TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan - TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur - Cara penularan TB, gejala-gejala
yang mencurigakan dan cara
pencegahannya - Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan) - Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke Fasyankes.
2.4.8. Petugas Kesehatan Peran petugas kesehatan adalah suatu sistem pendukung bagi pasien dengan memberikan bantuan berupa informasi atau nasehat, bantuan nyata, atau tindakan yang mempunyai manfaat emosional atau berpengaruh padaperilaku penerimanya (Depkes,
2002).
Dukungan
emosional
sehingga merasa nyaman,merasa
diperhatikan, empati, merasa diterima dan ada kepedulian. Dukungan kognitif dimana pasien memperoleh informasi, petunjuk, saran atau nasehat. Menurut Mukhsin (2006) dalam Nainggolan (2013), hubungan yang saling mendukung antara pelayanan kesehatan dan penderita, serta keyakinan penderita terhadap pelayanan kesehatan lanjutan merupakan faktor-faktor yang penting bagi penderita untuk menyelesaikan pengobatannya. Pelayanan kesehatan mempunyai hubungan yang bermakna dengan keberhasilan pengobatan pada penderita TB. Pelayanan kesehatan mengandung dua dimensi, yakni (1) menekankan aspek pemenuhan spesifikasi produk kesehatan atau standar teknis pelayanan kesehatan (2) memperhatikan perspektif pengguna pelayanan yaitu sejauh mana pelayanan yang diberikan mampu memenuhi harapan dan kepuasan pasien. Interaksi petugas kesehatan dengan penderita TB terjadi di beberapa titik pelayanan yaitu poliklinik, laboratorium, tempat pengambilan obat dan pada waktu kunjungan rumah. Peranan petugas kesehatan dalam penyuluhan tentang TB perlu dilakukan, karena masalah tuberkulosis banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan penyakit
Universitas Sumatera Utara
31
tuberkulosis (Depkes, 2002). Penyuluhan tuberkulosis dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media.
2.4.9. Fasilitas Kesehatan Menurut Peraturan Presiden RI No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, tepatnya pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 No. 14, disebutkan bahwa pengertian fasilitas kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Menurut Erawatyningsih (2009), tidak ada pengaruh yang signifikan antara kualitas pelayanan kesehatan
terhadap ketidakpatuhan berobat pada
penderita TB paru dan juga tidak ada pengaruh yang signifikan antara jarak rumah dengan fasilitas kesehatan terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru.
2.4.10. Ketersediaan OAT Salah satu strategi DOTS adalah jaminan ketersediaan OAT bahkan harus yang bermutu untuk penanggulangan TB dan diberikan kepada pasien secara cumacuma (Kemenkes RI, 2009). Dengan jaminan ketersediaan obat OAT, tidak terjadi kegagalan pengobatan karena obat tidak dimakan secara rutin. Obat yang tersedia tidak lengkap juga dapat mengakibatkan terjadi resistensi OAT dan akan menambah kasus MDR-TB.
Universitas Sumatera Utara