BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tujuan Pencetakan Anatomis Gigi tiruan adalah alat yang berfungsi menggantikan gigi asli yang terdiri dari
gigi tiruan penuh (GTP), gigi tiruan cekat (GTC), gigi tiruan sebagian lepasan (GTSL), dalam pembuatannya diawali dengan melakukan pencetakan pada rongga mulut pasien yang biasa disebut pencetakan anatomis. Pencetakan anatomis adalah pencetakan untuk mendapatkan suatu bentuk negatif dari suatu permukaan objek yang menghasilkan bentuk struktur gigi dan jaringan gigi disekitarnya (The Glossary of Prostodontics terms). Pencetakan anatomis dibidang prostodonsia bertujuan untuk : a) Pembuatan model studi b) Pembuatan model kerja c) Pembuatan sendok cetak fisiologis.
2.2 Bahan Cetak untuk Pencetakan Anatomis Bahan cetak yang dipergunakan untuk menghasilkan replika yang akurat dari jaringan intraoral dan ekstraoral harus memenuhi kriteria untuk mendapatkan cetakan yang akurat sebagai berikut : 1. Harus cukup cair untuk beradaptasi dengan jaringan mulut dan cukup kental untuk diisikan pada sendok cetak agar dapat ditempatkan di dalam mulut.
Universitas Sumatera Utara
2. Di dalam mulut harus mengeras dalam waktu yang layak ,idealnya total waktu pengerasan harus kurang dari tujuh menit. 3. Cetakan yang telah mengeras tidak boleh berubah bentuk atau rusak sewaktu dikeluarkan dari mulut pasien. 4. Cetakan yang didapat dari bahan cetak harus stabil dimensinya sampai cetakan diisi untuk mendapatkan model dan harus dapat mempertahankan kestabilan dimensinya setelah pelepasan model sehingga model kedua atau ketiga dapat diperoleh dari cetakan yang sama. 5. Bahan cetak harus biokompatibel dengan jaringan. Bahan cetak yang akan dipergunakan mempunyai karakteristik masingmasing sesuai dengan sifat-sifat fisis, kemis dan mekanis yang ada padanya dan memerlukan perhatian dalam hal efeknya pada perubahan dimensi hasil cetakan. Kekentalan bahan, sifat flow (rheology), elastisitas, fleksibilitas mempunyai pengaruh pada keakuratan hasil cetakan. Salah satu bahan cetak yang mempunyai katakteristik diatas adalah bahan cetak alginat, yang telah dipergunakan secara luas baik untuk membuat model studi maupun model kerja (Haralur SB dkk.,2012)
Universitas Sumatera Utara
2.2.1
Alginat Alginat adalah polisakarida alam yang banyak terdapat pada dinding sel dari
spesies ganggang coklat. Alginat yang terdapat diganggang coklat ini kebanyakan dalam bentuk asam karboksilat yang disebut asam alginik dan garam anorganik yang tidak larut dalam air (Gambar 2.1), sehingga sering digunakan untuk keperluan industri yaitu garam natrium maupun kalium alginat (Situngkir J, 2008). Di bidang kedokteran gigi alginat digunakan sebagai bahan cetak untuk pencetakan anatomis atau pencetakan awal, bahan cetak yang dapat dipergunakan untuk pengambilan cetakan anatomis selain alginat adalah : Wax, Gips, Compound, namun alginat adalah bahan cetak yang paling sering digunakan pada saat pencetakan awal di bidang prostodonsia, penggunaan bahan cetak ini jauh melampaui bahan cetak yang lain karena beberapa faktor, yaitu: manipulasi mudah, nyaman bagi pasien, relatif tidak mahal, tidak memerlukan banyak peralatan, fleksibel, akurat dan murah (Annusavice KJ, 2004).
Gambar 2.1. Rumus bangun struktur asam alginik Sumber : Powers .JM, Restorative Dental Materials ,2009
Universitas Sumatera Utara
2.2.1.1 Komposisi Komponen utama bahan cetak alginat yang larut dalam air, seperti natrium, kalium, atau alginat trietanolamin. Bila alginat larut dicampur dengan air bahan tersebut membentuk sol. Sol sangat kental meskipun dalam konsentrasi rendah, alginat yang dapat larut membentuk sol dengan cepat bila bubuk alginat dan air dicampur dengan kuat. Berat molekul dari campuran alginat amat bervariasi tergantung buatan pabrik. Semakin berat molekul semakin kental sol yang terjadi. Bahan cetak alginat dari fase sol ke fase gel karena reaksi kimia, saat terjadi gelasi tidak dapat kembali menjadi sol oleh karena itu disebut sebagai hidrokoloid irreversible (Powers JM dkk, 2009) (Tabel 2.1) Tabel 2.1 Komposisi dari bubuk bahan cetak alginat Sumber: Powers JM dkk., 2009 Material Persentase
Kegunaan
Sodium alginat
15
Kalsium sulfat
16
Sodium fosfat
2
Pengisi, seperti Diatomaceous earth Oksida seng
60
Sebagai pelarut dalam air dan bereaksi dengan ion kalsium Bereaksi dengan sodium alginate membentuk gel kalsium tidak larut air Bereaksi dengan ion kalsium untuk menyediakan waktu kerja sebelum gelasi Sebagai partikel pengisi
4
Sebagai partikel pengisi
Pottasium titanium florida
3
Sebagai pemercepat pengerasan stone
Zat zat tambahan Organic glycols Flavoring agents Coloring agents Disinfectant
Kuantitas sangat rendah
Mengurangi debu saat pengambilan powder Menyempurnakan rasa dari bahan Bahan pewarna Sebagai antibakterial
Universitas Sumatera Utara
2.2.1.2 Manipulasi Alginat Bubuk alginat dan air hendaknya diukur sesuai dengan yang dianjurkan pabrik, rasio bubuk dan air akan mempengaruhi hasil adonan alginat. Perbandingan bubuk dan air yang kurang akan meningkatkan waktu kerja, setting time dan fleksibilitas (Powers JM dkk.,2009). Pengadukan dilakukan dengan cepat dan terus menerus serta spatula ditekan pada dinding rubber bowl dengan putaran intermitten (180o ) dari spatula untuk mengeluarkan gelembung udara. Semua bubuk haruslah tercampur rata. Bila terdapat sisi bubuk maka gel yang baik tidak akan terbentuk dan sifat bahan menjadi kurang sempurna. Pengadukan yang baik akan menghasilkan campuran yang halus dengan konsistensi seperti krim, serta tidak menetes dari spatula apabila spatula diangkat dari rubber bowl. Waktu pencampuran untuk alginat tipe reguler adalah 1 menit dan untuk tipe fast 45 detik. Waktu pencampuran sangat penting karena pengadukan yang kurang dan berlebihan akan mempengaruhi kekuatan dari bahan cetak (Powers JM dkk.,2009). Pada proses gelasi bubuk alginat yang dicampur dengan air akan menghasilkan bentuk pasta. Dua reaksi utama terjadi ketika bubuk bereaksi dengan air selama proses setting. Tahap pertama,sodium fosfat bereaksi dengan kalsium sulfat yang menyediakan waktu pengerjaan yang adekuat ( Anusavice KJ, 2004)
Universitas Sumatera Utara
Tahap kedua, setelah sodium fosfat telah bereaksi, sisa kalsium sulfat bereaksi dengan sodium alginat membentuk kalsium alginat yang tidak larut, yang dengan air akan membentuk gel :
Menurut kecepatan proses gelasinya alginat dibedakan menjadi dua jenis yaitu :
Fast Setting Alginate yaitu mengeras dalam 1 menit dan digunakan untuk mencetak rahang anak-anak atau penderita yang mudah mual.
Regular Setting Alginate yaitu mengeras dalam 3 menit dan dipakai untuk pemakaian rutin.
2.2.1.3 Sifat- Sifat Sifat fisika alginat yaitu kelarutan dan kemampuannya mengikat air bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pH dibawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum alginat dapat mengabsorbsi air dan bisa digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah (Situngkir J, 2008; Anonim, 2005). Alginat tidak stabil terhadap panas, oksigen, ion logam dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam keadaan yang demikian alginat akan mengalami degradasi. Selama penyimpanan, alginat cepat mengalami degradasi dengan adanya oksigen terutama naiknya
kelembaban
udara.
Alginat
komersial
mudah
terdegradasi
oleh
mikroorganisme yang terdapat diudara, karena bahan tersebut mengandung partikel alga dan zat bernitrogen. Semua larutan alginat akan mengalami depolimerisasi dengan kenaikan suhu (Zhanjiang 1990 yang dikutip oleh Situngkir J, 2008). Sifat lain dari cetakan alginat adalah mempunyai sifat imbibisi yaitu menyerap air bila dalam lingkungan yang basah sehingga lebih mudah mengembang (swelling) dan mudah terjadi pengerutan (shirinkage) saat dibiarkan terlalu lama diudara terbuka. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan dimensi hasil cetakan. Seperti hidrokoloid lainnya, alginat mengandung sejumlah air yang besar dan rentan terhadap distorsi yang disebabkan oleh pengembangan yang terkait dengan imbibisi dan sineresis (Imbery TA dkk.,2010). Alginat merupakan bahan viskoelastik yang tinggi dan perlu teknik pelepasan cetakan dadakan (snap removal technique) agar tercapai tujuan untuk mendapatkan respon elastik. Pengerasan alginat terjadi diantara sendok cetak dan jaringan mulut, penting untuk mengetahui tentang perluasan suatu deformasi permanen sewaktu pengeluaran cetakan. Spesifikasi ANSI-ADA mensyaratkan paling sedikit 95 % elastic recovery atau tidak lebih dari 5 % deformasi permanen, kebanyakan bahan cetak alginat meningkat sifat elastisitasnya dari waktu ke waktu yang akan meminimalisasi distorsi sewaktu pengeluaran cetakan sehingga menghasilkan reproduksi yang baik pada
Universitas Sumatera Utara
daerah undercut. Cetakan alginat seharusnya tidak dikeluarkan dari mulut sedikitnya tiga menit setelah terjadi gelasi. Bahan cetak alginat tertentu, telah diperlihatkan bahwa cetakan yang dibiarkan 6 – 7 menit setelah gelasi lebih akurat dibanding dengan yang 3 menit yang menghasilkan distorsi yang signifikan. Jumlah air dan bubuk alginat mempengaruhi fleksibilitas alginat yang sudah keras. Campuran yang kental menghasilkan fleksibilitas yang rendah. Ketepatan hasil cetakan oleh suatu bahan cetak merupakan hal yang penting tak terkecuali pada bahan cetak alginat (Sastrodiharjo, 2010)
2.3
Model untuk Pembuatan Gigi Tiruan
2.3.1 Model Studi Setelah cetakan alginat diisi dengan gips maka akan didapatkan suatu hasil cetakan yang disebut model. Model untuk pembuatan gigi tiruan merupakan replika jaringan keras dan jaringan lunak rongga mulut pasien yang digunakan sebagai media untuk menentukan diagnosis dan rencana perawatan prostodonsia maupun perawatan pendahuluan sebelum perawatan prostodonsia. Model untuk pembuatan gigitiruan merupakan alat untuk menghubungkan komunikasi klinis dengan laboratoris (Hatrick CD dkk., 2011) Model studi merupakan reflika jaringan rongga mulut pasien yang digunakan oleh dokter gigi untuk mengamati dan mempelajari keadaan rongga mulut pasien. Model studi harus dapat mencakup :
Universitas Sumatera Utara
1) Lokasi gigi,kontur, dan hubungan dataran oklusal 2) Kontur linggir yang tersisa dan ukuran 3) Anatomi rongga mulut yang berguna untuk perluasan basis gigi tiruan (Powers JM dkk., 2008). Kegunaan : 1) Memberikan gambaran keadaan jaringan keras dan lunak rongga mulut pasien dalam bentuk tiga dimensi. 2) Media untuk mempelajari hubungan oklusal dari lengkung rahang pasien. 3) Media untuk mempelajari ukuran gigi, posisi gigi, bentuk gigi dan hubungan rahang pasien. 4) Media untuk mempelajari jaringan keras dan jaringan lunak rongga mulut pasien dari pandangan lingual saat gigi oklusi. 5) Media untuk membandingkan keadaan rongga mulut pasien sebelum dilakukan perawatan dan setelah dilakukan perawatan. . 6) Rekam medis legal mengenai keadaan lengkung rahang pasien untuk keperluan asuransi,gugatan hukum dan forensik (Hatrick CD dkk., 2011).
2.3.2 Model Kerja Dibidang prostodonsia model kerja atau yang biasa disebut model fisiologis merupakan replika dari struktur rongga mulut yang digunakan sebagai media atau tempat pembuatan gigi tiruan.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2.1 Sifat-sifat Ideal Model Kerja Model kerja harus mempunyai sifat-sifat yang ideal sebagai berikut (Soratur SH,2002) : 1) Model harus kuat dan keras. 2) Stabilitas dimensi harus dipertahankan selama dan setelah proses pengerasan. 3) Tidak melengkung atau mengalami distorsi 4) Tidak pecah atau rusak selama proses laboratorium. 5) Cocok dengan semua jenis bahan cetak. 6) Tahan terhadap abrasi dan fraktur
2.3.2.2 Bahan Pembuatan Model Kerja Model kerja dapat dibuat dari gips tipe III contohnya untuk pembuatan gigi tiruan sebagian lepasan klas III maupun klas IV Kennedy, gips tipe III memiliki kekuatan yang cukup untuk menahan tekanan selama prosedur laboratoris karena itu dapat digunakan sebagai media pembuatan gigi tiruan (Hatrick CD dkk., 2011). Gips tipe III dihasilkan dari gips yang dipanaskan pada temperatur 125ºC dibawah tekanan atmosfer sehingga mengalami dehidrasi dan kandungan airnya akan berkurang, setelah melalui proses dehidrasi, maka akan dihasilkan senyawa α-hemihidrat yang lebih padat, bentuknya teratur, kurang porus, dan kristal dengan bentuk prismatik. Karakteristik yang dimiliki oleh α-hemihidrat menyebabkan gips ini membutuhkan jumlah air yang lebih sedikit dan memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan dengan
Universitas Sumatera Utara
gips tipe II, sehingga gips tipe III sering digunakan sebagai bahan pembuatan model kerja. Gips tipe III awalnya berwarna putih sehingga sulit dibedakan dengan gips tipe I dan II sehingga pabrik biasanya memberi warna kekuningan atau warna kapur lainnya, namun perlu diketahui bahwa pemberian warna pada gips tidak menentukan kualitas gips. Berdasarkan spesifikasi ADA No.25, setting ekspansi gips tipe III setelah 2 jam pengerasan yaitu sebesar 0,00% - 0,20% dan besar rasio W/P, yaitu sebesar 28-30 ml air/100 gr gips.
2.3.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Dimensi Model Kerja Model kerja terbentuk dari hasil pengisian gips tipe III,
salah satu
karakteristik gips yaitu adanya perubahan dimensi yang merupakan hasil dari proses ekspansi selama pengerasan gips yang disebabkan oleh hasil dari pertumbuhan kristal gips yang saling mendorong keluar. Gips mengalami ekspansi selama proses pengerasannya, hal ini dapat diartikan bahwa model akan berukuran sedikit lebih besar dari hasil cetakan dan hal ini mempengaruhi perubahan dimensi dari model gips. Faktor – faktor yang mempengaruhi perubahan dimensi gips yaitu (Hatrick CD., dkk, 2011; Powers JM., dkk, 2008; Anusavice KJ, 2003) : a. Suhu Ruangan dan Suhu Air Perubahan suhu ruangan dan suhu air dapat memberikan pengaruh pada gips selama proses pengerasan. Peningkatan suhu ruangan dan suhu air dapat menyebabkan pergerakan ion kalsium dan ion sulfat meningkat sehingga setting time
Universitas Sumatera Utara
menjadi lebih singkat. Peningkatan suhu ruangan yang berawal 20ºC menjadi 37ºC dapat meningkatkan kecepatan reaksi pengerasan sehingga setting time menjadi lebih singkat dan setting ekspansi menjadi lebih besar, tetapi suhu yang meningkat diatas 37ºC menyebabkan setting time menjadi lebih lama, serta setting ekspansi menjadi lebih kecil. Peningkatan suhu air (tidak melebihi 37.5ºC) yang digunakan sebagai campuran gips dapat mempersingkat setting time, tetapi jika suhu air diatas 37.5ºC dapat memberikan efek retarder pada pengerasan gips. b. Rasio W/P Rasio W/P merupakan faktor penting dalam mempengaruhi sifat fisik dan sifat kimia dari produk akhir gips, misalnya semakin besar rasio W/P maka setting ekspansi menjadi lebih kecil karena semakin meningkat rasio W/P maka semakin sedikit nukleus kristalisasi per unit volum yang ada dan karena dapat dianggap bahwa ruangan antar nukleus lebih besar pada keadaan tersebut, maka pertumbuhan interaksi kristal-kristal dihidrat akan semakin sedikit, demikian juga dorongan keluar. Sebaliknya, penurunan rasio W/P dapat menyebabkan setting ekspansi menjadi lebih besar karena kandungan air menjadi lebih sedikit sehingga jarak antar kristal menjadi lebih dekat, dan hal tersebut menyebabkan dorongan antar kristal menjadi lebih besar. Oleh karena itu rasio air dan bubuk perlu diperhatikan sesuai dengan aturan pabrik, contohnya rasio W/P untuk gips tipe III yaitu 28-30 ml air/100 gr gips. c. Waktu dan Kecepatan Pengadukan Metode pengadukan yang tepat adalah dengan penyediaan air yang sudah diukur terlebih dahulu kemudian diikuti dengan penambahan bubuk yang telah ditimbang
Universitas Sumatera Utara
secara bertahap. Adonan gips diaduk selama kurang lebih 15 detik dengan kecepatan pengadukan 120 rpm menggunakan spatula dan diikuti dengan pengadukan mekanik selama 20-30 detik dengan kecepatan 450 rpm menggunakan vacum mixer. Sebagian kristal gips terbentuk langsung ketika gips berkontak dengan air. Begitu pengadukan dimulai, pembentukan kristal ini meningkat. Pada saat yang sama, kristal-kristal tersebut diputuskan oleh spatula dan didistribusikan merata dalam adukan dengan hasil pembentukan lebih banyak nukleus kristalisasi. Dalam jangka limitnya, semakin lama pengadukan maka akan meningkatkan jumlah nukleus kristalisasi dari partikel dihidrat. Akibatnya, jalinan ikatan kristalin yang terbentuk akan semakin banyak, pertumbuhan internal dan dorongan keluar dari kristal-kristal dihidrat meningkat. Hal inilah yang menyebabkan setting ekspansi gips meningkat sejalan dengan semakin lamanya waktu pengadukan. d. Retarder Retarder merupakan suatu bahan kimia yang ditambahkan pada gips dan berguna untuk memperlambat setting time. Beberapa contoh retarder adalah NaCl > 20%, natrium sulfat > 3,4%, asetat, boraks, dll. Menurut Noort (2007) dan Manappalli (2008) penambahan retarder seperti boraks dapat mengurangi ekspansi dengan mengubah bentuk kristal dihidrat. Kristal akan menjadi pendek dan datar dan mencegah pertumbuhan lebih lanjut sehingga dapat mengurangi ekspansi gips. e. Akselerator Akselerator merupakan bahan kimia yang dapat mempercepat setting time. Penambahan akselerator membuat dihidrat kurang larut dibandingkan hemihidrat
Universitas Sumatera Utara
yang menyebabkan reaksi pengerasan bergerak menuju dihidrat sehingga reaksi pengerasan menjadi lebih cepat. Penambahan bahan akselerator juga mempunyai pengaruh untuk menurunkan nilai setting ekspansi dengan cara mengubah bentuk kristal dihidrat yang terbentuk. Beberapa contoh akselerator, yaitu NaCl 2%, Na2SO4 3,4%, K2SO4 dengan konsentrasi di atas 2%.
2.4
Kondisi Hasil Cetakan Alginat
2.4.1
Kontaminasi Saliva dan Darah Sewaktu prosedur pengambilan cetakan, kemungkinan darah dan saliva akan
dijumpai pada hasil cetakan yang tentunya terdapat berbagai mikroorganisme dari rongga mulut baik patogen maupun flora normal. Darah, saliva dan eksudat yang mengandung mikroorganisme di rongga mulut pasien berpotensi menyebabkan infeksi silang terhadap operator dan pekerja kedokteran gigi lainnya (Sastrodihardjo S, 2010; Hatrick CD, 2011; Pang SK, Millar BJ, 2006).
2.4.2
Mikroorganisme Rongga Mulut Didalam rongga mulut manusia terdapat banyak mikroorganisme baik flora
normal maupun yang patogen. 2.4.2.1 Bakteri Aerob dan Fakultatif Anaerob Bakteri aerob dan fakultatif anaerob yang dapat berada di rongga mulut yaitu (Szymanska, 2005; Slots J dkk, 2000) :
Universitas Sumatera Utara
a) Golongan
gram-negatif
diplococcic:
Moraxella
catarrhalis,
Neisseriameningitidis, Neisseria flavescens, Neisseria gonorrhoeae) b) Golongan gram-positif dan coryneform bacteria (Lactobacillusacidophilus, Corynebacterium diphteriae) c) Golongan
Staphylococci:
(Staphylococcus
aureus,
Staphylococcus
epidermidis, Staphylococcus spp.) d) Golongan Streptococci (Streptococcus mutans,Streptococcus salivarius, Streptococcus
milleri,
Streptococcussanguis,
Streptococcus
pyogenes,
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus spp, Enterococcus faecalis, e) Golongan
Enterococcus
spp.);
spirochetes
(Treponema
pallidum),
mycoplasmas (Mycoplasma pneumoniae).
2.4.2.2 Bakteri Anaerob Rongga Mulut Bakteri anaerob yang dapat berada dirongga mulut yaitu (Szymanska, 2005; Slots J dkk, 2000) : a) Golongan gram-negatif: (Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia, Prevotella melaninogenica, Prevotella oralis, Prevotellaspp., Fusobacterium nucleatum, Fusobacterium spp.,Bacteroides spp., Veillonella spp.) b) Golongan gram-positif (Arachnia spp., Bifidobacterium spp., Eubacterium spp.,Propionibacteriumspp.);
streptococci
(Peptostreptococcusmicros,
Peptostreptococcus spp.)
Universitas Sumatera Utara
c) Golongan yang membentuk spora: (Clostridium spp.); actinomycetes (Actinomyces viscosus, Actinomyces israelii, Actinomyces spp.) d) Bakteri yang terdapat dirongga mulut akibat penyakit gigi dan periodontal
Bakteri penyebab karies: Streptococcus mutans, Lactobacillus acidophilus and Actinomyces viscosus .
Bakteri
anaerob
yang
menyebabkan
periodontitis:
Porphyro-
monasgingivalis, Prevotella intermedia and Peptostreptococcus micros, dan bakteri fakultatif anaerob dari spesies Actinobacillus actinomycetemcomitans dan Campylobacter rectus.
2.5
Staphylococus Bakteri Staphylococcus pertama kali dikenal oleh Pasteur (1880) dan Ogston
(1881) dari pus seorang penderita. Pada tahun 1883 Becker berhasil melakukan biakan murni dan pada tahun 1884 Rosenbach pertama kali mengetahui adanya hubungan kausal antara timbulnya suatu penyakit osteomielitis dengan bakteri Staphylococus (Dzen dkk., 2003). Staphylococus merupakan sel gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur. Staphylococus tumbuh dengan cepat pada beberapa tipe media dan dengan aktif melakukan metabolisme, melakukan fermentasi karbohidrat dan menghasilkan bermacam-macam figmen dari warna putih hingga kuning gelap.
Universitas Sumatera Utara
Ukuran Staphylococcus berbeda-beda tergantung pada media pertumbuhannya. Apabila ditumbuhkan pada media agar, Staphylococcus memiliki diameter 0,5-1,0 mm dengan koloni berwarna kuning. Genus Staphylococcus memiliki 30 spesies beberapa diantaranya yaitu :
2.5.1
Staphylococcus aureus
Staphylococus epidermis
Staphylococcus saprophyticus
Staphylococcus aureus Staphylococus aureus bersifat koagulase positif, yang membedakannnya dari
spesies lain. Staphylococus aureus adalah patogen utama pada manusia hampir setiap orang pernah mengalami infeksi Staphylococus aureus selama hidupnya
dari
keracunan makanan yang berat atau infeksi kulit yang kecil sampai infeksi yang tidak bisa disembuhkan. Penyakit yang dapat ditimbulkan oleh infeksi Staphylococcus aureus antara lain: Pneumonia, Sinusitis, tonsillitis, otitis eksterna media, tracheitis ,meningitis, empiema, endokarditis, atau sepsis dengan supurasi ditiap organ (Brooks GF, 2005; Scully C dkk, 2005; plata K dkk, 2009). Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram Positif, tidak bergerak, tidak berspora dan mampu membentuk kapsul, berbentuk kokus dan tersusun seperti buah anggur. Staphylococcus aureus adalah bakteri aerob dan anaerob fakultatif yang mampu menfermentasikan manitol dan menghasilkan
enzim
koagulase,
hyalurodinase,
fosfatase,
protease
dan
Universitas Sumatera Utara
lipase. Staphylococcus aureus mengandung lysostaphin yang dapat menyebabkan lisisnya sel darah merah.Toksin yang dibentuk oleh Staphylococcus aureus adalah haemolysin alfa, beta, gamma delta dan apsilon. Toksin lain ialah leukosidin, enterotoksin dan eksfoliatin. Bakteri Staphylococcus aureus banyak terdapat hidup didalam tubuh manusia sekitar 25 – 30% atau 1/3 bagian tubuh kita yang terdapat pada permukaan kulit, hidung, tanpa menyebabkan infeksi.
Tetapi jika terjadi luka pada tubuh dapat
menyebabkan infeksi. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan masalah serius seperti pneumonia yang biasa disebut radang paru-paru (Brooks GF,Butel JS,Morse SA, 2005; Plata dkk., 2009). Penyakit pneumonia merupakan penyakit dari paruparu dan sistem pernapasan dimana alveoli (mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang bertanggung jawab untuk menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi radang dan disertai penimbunan cairan. Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam sebab,meliputi infeksi karena bakteri, virus, jamur atau parasit. Gejala khas yang berhubungan dengan pneumonia meliputi batuk, nyeri dada, demam, dan sesak nafas. Pneumonia termasuk salah satu penyebab kematian terbesar, di Amerika serikat terdapat sekitar 200.000 kasus pneumonia setiap tahun dan kurang lebih 15.000 kasus menyebabkan kematian (Margaret S dkk., 2001)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Rontgen dada menunjukkan berbentuk baji yang sangat menonjol di paru kanan. sumber: Pneumonia bacterial (file:///D:/pneumonia.html)
Rongga mulut sudah lama dicurigai sebagai sumber mikroorganisme penyebab infeksi pneumonia, penelitian
Margaret S dkk (2001) menemukan
jumlah
Staphylococcus aureus paling banyak ditemukan didalam cairan rongga mulut penderita pneumonia pada komunitas veteran lansia Amerika Serikat. Pada saat melakukan pencetakan, Staphylococus aureus dapat terkontaminasi pada cetakan dan berbahaya karena dapat berpindah ke model kerja. Sewaktu melakukan proses pekerjaan pada model kerja untuk pembuatan gigi tiruan, operator dapat terinfeksi bakteri tersebut secara inhalasi sehingga berpotensi menyebabkan penyakit pneumonia (gambar 2.3).
Gambar 2.3. Mikroorganisme dapat menyatu dengan partikel debu material gips dan terhirup secara inhalasi oleh operator.
Universitas Sumatera Utara
2.5.2
Uji Bakteri Staphylococcus aureus
2.5.2.1 Media MSA (Manitol Salt Agar) Uji bakteri Staphylococcus aureus dapat menggunakan beberapa media diantaranya (Afrianto E, 2008) :
Manitol salt agar (MSA)
Vogel Johnson agar (VGA)
Baird parker agar (BPA)
Dari ketiga jenis media tersebut yang lebih sering digunakan adalah MSA karena dapat menunjukkan
karakteristik yang lebih khas untuk Staphylococcus aureus.
Selain itu penggunaan MSA dapat menyeleksi bakteri Staphylococus aureus dari anggota genus Staphylococcus lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan Staphylococus aureus yang ditandai dengan adanya perubahan warna media
dari
merah
menjadi
kuning.
Spesimen mula-
mula ditanam pada media Tryprone Hewit Broth (THB), diinkubasi pada suhu 37°C, selama 24 jam. Koloni bakteri yang tumbuh pada media THB ditanam ulang ke Plat Agar Darah dan diikubasikan pada suhu 37°C selama 24 jam. Koloni bakteri yang bersifat mukoid selanjutnya ditanam ulang pada media manitol salt agar (MSA) pada suhu 37°C, selama 24 jam. Warna kuning timbul karena fermentasi mannitol yang koloni
dilakukan
Staphylococus
aureus.
Adanya
Staphylococus aureus ditandai dengan perubahan warna media MSA dari
merah menjadi kuning.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Bakteri Staphylococus aureus Sumber:hhtp://pujipeja.blogspot staphylococcus.html
Staphylococus aureus yang patogenik dan yang bersifat invasif menghasilkan koagulase dan cenderung untuk menghasilkan pigmen kuning dan hemolitik. Pembiakan Staphylococus tumbuh dengan baik pada berbagai media baktriologi dibawah suasana aerob atau mikroaerofilik.Tumbuh dengan cepat pada temperatur 37 o
C namun pembentukan pigmen yang terbaik adalah pada temperatur kamar (20 –
35o C). Koloni pada media yang padat berbentuk bulat,lembut dan mengkilat, Staphylococcus aureus biasanya membentuk koloni abu-abu hingga kuning emas (Brooks GF, Butel JS, Morse SA, 2005) 2.6
Infeksi Silang Infeksi silang dalam kedokteran gigi adalah perpindahan penyebab penyakit di
antara pasien, dokter gigi, mahasiswa klinik, dan petugas kesehatan dalam lingkungan pelayanan kesehatan gigi. Sejumlah ahli telah mendefinisikan infeksi silang diantaranya Wiliam G.Kohn dkk (2003) menyatakan bahwa infeksi silang adalah
Universitas Sumatera Utara
penularan infeksi dari satu pasien di rumah sakit atau dilingkungan pelayanan kesehatan ke pasien lain dengan mikrorganisme patogen yang berbeda dalam lingkungan yang sama. Sedangkan menurut Kristeen Cherney (2013) infeksi silang adalah pemindahan mikroorganisme berbahaya seperti bakteri dan virus. Selanjutnya Kristeen Cherney mengatakan bahwa penyebaran infeksi dapat terjadi dari manusia maupun peralatan medis, oleh karena itu tenaga medis harus senantiasa memastikan bahwa peralatan dan lingkungannya steril. Infeksi silang dapat berasal dari bakter, jamur, parasit dan virus yang berasal dari peralatan medis yang tidak steril, batuk/bersin. transmisi, menyentuh benda yang terkontaminasi dan tempat tidur yang kotor. Faktor-faktor yang mempengaruhi perpindahan infeksi dari seseorang ke orang lain yaitu adanya sumber infeksi, perantara dan cara transmisinya. Penularan mikroorganisme terjadi dengan cara : (a) kontak langsung dengan lesi/saliva/darah yang terinfeksi; (b) penularan tidak langsung melalui alat terkontaminasi; (c) percikan atau tumpahan darah, saliva, sekret nasofaringeal langsung pada kulit tidak utuh atau selaput lendir, dan (d) penularan lewat udara atau dengan terhirupnya aerosol( Shah dkk, 2009). Dibidang kedokteran gigi, profesi dokter gigi tidak terlepas dari kemungkinan untuk berkontak secara langsung ataupun tidak langsung dengan mikroorganisme yang berasal dari saliva dan darah pasien. Penyebaran infeksi dapat juga terjadi secara inhalasi yaitu melalui proses pernafasan atau secara inokulasi atau melalui transmisi mikroorganisme dari serum dan berbagai substansi lain yang telah terinfeksi. Infeksi silang sering terjadi di praktek dokter gigi karena kemungkinan
Universitas Sumatera Utara
pasien, dokter gigi maupun stafnya memang sudah mengidap suatu penyakit infeksi tertentu (Sunoto, 2011). Penyebaran infeksi dapat terjadi karena adanya sumber infeksi,yang paling banyak didapat dari pasien saat melakukan perawatan gigi. Pasien dengan infeksi akut biasanya sangat menular dan dapat melepaskan sejumlah besar mikroba kelingkungan sekitar. Pasien penderita penyakit berbahaya seperti hepatitis A,B,C,D HIV/AIDS,tuberkulosis, pneumonia dan lain-lain yang datang ke klinik dokter gigi, dokter gigi harus mampu dan bersedia untuk memberikan pelayanan dengan tetap menjaga keselamatan dokter gigi, staf maupun pasien lewat prosedur pencegahan infeksi.
Penularan penyakit pada infeksi silang, menurut Kohli dan
Puttaiah (2007) dapat lewat kontak langsung, perkutaneus, inhalasi aerosol atau droplet, kontak tidak langsung (Georgescu CE, dkk., 2002; Kohli A dkk., 2007; Rampal N., 2010). Penularan dapat terjadi sewaktu pencetakan
dengan tidak
memakai sarung tangan, operator dapat berkontak langsung dengan saliva, plak gigi, darah, pus, dan cairan gingiva pasien dari cetakan tersebut. Bidang prostodonsia memiliki objek yang berpotensi untuk terkontaminasi dengan mikroorganisme patogen melalui laboratorium dan klinik (Kumar dkk.,2010). Sebagai contoh kondisi hasil pencetakan yang terkontaminasi saliva dan darah dapat menyebabkan mikroorganisme menempel pada model hasil pengisian gips, mikroorganisme dapat menyatu dengan material-material tersebut dan menyebabkan infeksi hingga dapat menularkan penyakit karena terhirup secara inhalasi, karena mikroorganisme yang berada pada model untuk pembuatan gigi
Universitas Sumatera Utara
tiruan dapat hidup beberapa hari sehingga mikroorganisme yang terdapat dirongga mulut dapat berpindah ke dokter gigi, personil laboratorium maupun pasien lainnya. Beberapa penyakit yang dapat ditularkan dari pencetakan adalah influenza, penumonia,
tuberkulosis,
herpes,
hepatitis
dan
AIDS
(Sheridan S,
2013;
Sastrodihardjo S, 2010). Bahan-bahan kedokteran gigi merupakan salah satu media penularan agen infeksi kepada dokter gigi. Menurut Miller dan Cottone yang dikutip oleh Ghahramanloo (2010), setetes saliva mengandung 50.000 bakteri yang berpotensi patogen. Bakteri patogen ini dapat dengan mudah menyebar melalui bahan cetak, terutama alginat yang menjadi tempat berkumpul bakteri lebih banyak dari pada bahan cetak lainnya. Kondisi rongga mulut yang berhubungan langsung dengan saluran pernafasan bagian atas dan
rongga
hidung (nasal cavity) memungkinkan mikroorganisme dari organ tersebut dapat berpindah kerongga mulut dengan penetrasi (Ghahramanloo, 2010) maupun terkontaminasi lewat dahak (sputum) dan bercampur dengan saliva. Flora normal hidung terdiri dari korinebakteria, Staphyilococus (Staphylococus epidermis, Staphyilococus aureus dan Streptococus.Infeksi pada rongga mulut dan saluran pernafasan bagian atas sering disebabkan oleh bakteri anaerob, infeksi periodontal ,abses
perioral,
sinusitis
dan
mastoiditis
terutama
melibatkan
Prevotella
melaninogenica, fusobakterium dan peptostreptokoki. Aspirasi saliva (mengandung sampai 102 dari organisme-organisme diatas dan aerob) dapat menyebabkan pneumonia nekrotik, abses paru dan empiema (Brooks dkk.,2005). Pada penderita
Universitas Sumatera Utara
tuberkulosis dahaknya dapat bercampur dengan saliva sehingga saliva mengandung mikroorganisme yang berpotensi menularkan penyakit tuberkulosis. Hasil cetakan yang mengandung mikrorganisme dalam jumlah yang sangat banyak, di antaranya Streptococci (100%), Staphylococci (65,4%), dan P. aeruginosa (7,7%) yang semuanya telah diketahui bersifat patogen, mengakibatkan nosokomial, dan merupakan infeksi yang mengancam nyawa bagi orang yang memiliki imunitas rendah (Ghahramanloo , 2010). Mikroorganisme yang berada pada cetakan tersebut dapat mengakibatkan penyakit infeksi seperti pneumonia, herpes, hepatitis B, tuberkulosis dan AIDS. Dokter gigi dan perawat, serta tekniker beresiko untuk mengalami transmisi mikroorganisme patogen tersebut yang seterusnya dapat mengakibatkan berbagai penyakit infeksi (Sunoto, 2011). Mikroorganisme yang berpindah ke model dari kontaminasi rongga mulut dapat bertahan hidup selama 7 hari (Sheridan S, 2013). Menurut berbagai penelitian hasil cetakan merupakan salah satu agen penularan infeksi pada dokter gigi, perawat, staf dan teknisi laboratorium (Sunoto, 2011). Saliva, debris , darah dan pus dapat menempel pada hasil cetakan saat pencetakan dan mikroorganisme dapat berinteraksi dengan hasil cetakan sehingga menjadi agen penyebab infeksi dan menjadi pencetus penularan penyakit (Sari dkk., 2013). Powell dkk (1990) menyatakan bahwa 67% dari hasil cetakan yang dikirim dokter gigi ke laboratorium kedokteran gigi terkontaminasi oleh bakteri patogen (Haralur dkk.,
2012; Badrian dkk., 2012).
Bakteri patogen ini dapat dengan mudah menyebar melalui bahan cetak, terutama alginat yang menjadi tempat berkumpul bakteri lebih banyak dari pada bahan cetak
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Oleh karena itu, amatlah penting untuk mencuci atau membersihkan darah dan saliva dari hasil cetakan dengan menggunakan air dan melakukan desinfeksi dengan cairan desinfektan sebelum dilakukan pembuatan model di laboratorium (Sheridan S, 2013). Banyak hasil cetakan yang dikirim ke laboratorium dental tanpa proses desinfeksi yang baik, beberapa masih terkontaminasi dengan darah dan sisa makanan. Model yang diisi dari cetakan yang terinfeksi dapat menyebabkan mikroorganisme infeksius berpindah dari tempat praktek ke laboratorium (Kugel dkk., 2002) sehingga amatlah perlu melakukan desinfeksi hasil cetakan sebagai salah satu upaya kontrol infeksi dilingkungan Prostodonsia.
2.7
Kontrol infeksi Kontrol infeksi adalah upaya untuk mengontrol infeksi iatrogenik, nosokomial
antara pasien dan petugas kesehatan terhadap material yang dapat menyebabkan infeksi selama perawatan. Kontrol infeksi bukan berarti pencegahan total terhadap infeksi iatrogenik ,nosokomial antara pasien terhadap material yang berpotensi menimbulkan infeksi, namun lebih memiliki pengertian mengurangi resiko terjadinya penularan penyakit (Kohli dkk., 2007). Dibidang kedokteran gigi, protokol dan prosedur yang terkait dalam pencegahan dan pengendalian infeksi adalah untuk mengurangi kemungkinan resiko infeksi silang yang terjadi di klinik dokter gigi,sehingga dapat membuat lingkungan yang aman bagi dokter gigi, perawat dan pasien (Roberts, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Dokter gigi tidak dapat menjamin bahwa pasien yang datang untuk perawatan gigi adalah pembawa kuman infeksi (carrier) sehingga semua prosedur klinis yang dilakukan pada pasien harus melaksanakan kontrol infeksi secara umum tak terkecuali untuk pencetakan (Sunoto, 2011) sehingga perlu dilakukan suatu sterilisasi dimana untuk pencetakan yang masih memungkinkan adalah dengan desinfeksi kimia. Prosedur kontrol infeksi dibidang kedokteran gigi meliputi (Sunoto, 2011; Kohli, 2007; Samaranayake, 2006): a) Evaluasi pasien b) Perlindungan diri c) Sterilisasi d) Pembuangan sampah bekas praktek e) Desinfeksi. Berdasarkan petunjuk tersebut
salah satu
kontrol
infeksi
dibidang
prostodonsia adalah desinfeksi pencetakan. Kebutuhan untuk pelaksanaan desinfeksi pencetakan semakin meningkat terutama dengan diterapkannya standar operasi prosedur dibidang kedokteran gigi. Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah suatu perangkat instruksi /langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu. SOP memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi, sesuai yang dibutuhkan di rumah sakit.
Universitas Sumatera Utara
2.7.1
Desinfeksi Desinfeksi adalah suatu upaya kontrol infeksi dengan mengeliminasi semua
mikroorganisme
patogen
dari
tiap
benda/substansi
yang
bertujuan
untuk
menyingkirkan mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi. Desinfeksi terhadap pencetakan harus dilakukan dengan berbagai alasan yang sudah dijelaskan (Kumar dkk., 2010; Solichati, 2013; Rahayu, 2009). Desinfeksi bertujuan untuk membunuh mikroorganisme penyebab penyakit dengan bahan kimia atau secara fisik, hal ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi. Dibidang kedokteran gigi diantaranya alkohol, aldehid, biguanid, senyawa halogen, fenol dan klorosilenol (Sastrodihardjo S, 2010). FDI (Federation Dentaire International) menyatakan semua hasil cetakan dan gigi tiruan pasien harus dibersihkan dan didesinfeksi sebelum dikirim ke laboratorium. Bila hasil cetakan dan gigi tiruan terinfeksi dikirim langsung ke laboratorium tanpa proses desinfeksi maka siklus infeksi silang akan terjadi (Munagapati dkk, 2011) (Gambar 2.5)
Gambar 2.5. Siklus dari kontaminasi infeksi silang sumber : Munagapati B dkk, 2011
Universitas Sumatera Utara
2.7.1.1 Metode Desinfeksi Metode dan lamanya perendaman atau penyemprotan cairan desinfektan pada hasil cetakan tergantung kepada kadar penyerapan air hasil cetakan tersebut dan waktu setelah dibuat. Lama perendaman hasil cetakan dengan larutan desinfektan dianjurkan tidak lebih dari 10 menit (Haralur, 2012, Malone, 2005). Berbagai penelitian tentang waktu desinfeksi hasil cetakan alginat dengan metode perendaman selama 10 menit dengan desinfektan yang berbeda-beda yaitu: Kaplan dkk (1994) dengan glutaraldehyde 2%, Jhonson et al ( 1998) menggunakan iodophor dan phenol glutaraldehyde, Taylor dkk (2002) dengan NaOCl 1%. Namun ada juga beberapa petunjuk pabrik yang merekomendasikan antara 5 dan10 menit (Tabel 2.2). Tabel 2.2 Rekomendasi waktu desinfeksi dengan metode perendaman berdasarkan petunjuk pabrik sumber: AminW, dkk ., 2009
Universitas Sumatera Utara
Metode desinfeksi secara kimia ada dua yaitu: (Power JM, 2006; Collins FM, 2013, Palenik C, 2004; Sousa CJ, 2013) a) Perendaman Metode perendaman dapat dilakukan dengan cara merendam hasil cetakan alginat pada cairan desinfektan yang disediakan dengan konsentrasi dan waktu tertentu, perendaman merupakan metode yang efektif dan paling banyak dipilih oleh karena :
Memungkinkan cairan desinfektan dapat mencakup seluruh permukaan terutama daerah undercut pada hasil cetakan alginat.
Mengurangi resiko terhirupnya partikel-partikel larutan desinfektan
Sedangkan kerugiannya dapat menyebabkan distorsi pada hasil cetakan jika desinfektan dilakukan terlalu lama (Ahila S dkk., 2012; Badrian dkk., 2012; Hiraguchi dkk., 2012) b) Penyemprotan Metode penyemprotan dapat dilakukan dengan cara menyemprot cairan desinfektan pada hasil cetakan alginat yang akan didesinfeksi kemudian dimasukkan kedalam tempat yang tertutup dan dibiarkan dalam waktu yang tertentu. Keuntungannya :
Universitas Sumatera Utara
Lebih sederhana dan cepat
Kemungkinan terjadinya distorsi lebih rendah terutama pada bahan cetak alginat dan polyeter
Kerugiannya :
Tidak semua permukaan hasil cetakan tercakup dengan sempurna
Partikel-partikel dari cairan desinfektan yang ada diudara dapat terhirup oleh operator maupun pasien Lamanya perendaman maupun penyemprotan
tergantung pada jenis
desinfektan yang digunakan. Waktu dan metode penggunaan desinfektan tergantung kepada potensi bahan cetak dalam mengabsorbsi air (Hiraguchi dkk, 2012; Amin dkk., 2009). Keefektifan dari perendaman dan penyemprotan tergantung pada beberapa faktor (Cottone dkk., 2010):
Konsentrasi dan sifat mikroorganisme yang menyebabkan kontaminasi
Konsentrasi larutan kimia
Lamanya waktu perendaman
Jumlah eksudat yang terkontaminasi
Seluruh operator kedokteran gigi harus meningkatkan kesadaran tentang adanya potensi jalur infeksi silang yang berasal dari darah, saliva daneksudat lainnya yang menempel pada alat-alat kedokteran gigi tak terkecuali pada pencetakan. Semua
Universitas Sumatera Utara
hasil cetakan harus dicuci dengan air mengalir setelah dikeluarkan dari mulut untuk membersihkan hasil cetakan dari sisa saliva dan darah pasien dan untuk mencegahnya harus dilakukan suatu kontrol infeksi yaitu dibersihkan dengan menggunakan air mengalir dan didesinfeksi. Sampai saat ini menurut beberapa literatur solusi untuk pencegahan infeksi silang pada pencetakan alginat yang masih memungkinkan adalah desinfeksi kimia dengan cairan desinfektan (Kumar dkk., 2010).
2.7.1.2 Desinfektan Desinfektan berasal dari kata desinfektansia yaitu zat-zat kimia yang digunakan untuk menghilangkan mikroorganisme dipelbagai macam permukaan jaringan hidup atau benda mati dengan jalan mematikan atau menghentikan pertumbuhan mikroorganisme patogen yang terdapat padanya. Desinfektan sering disebut antiseptik, sebelumnya sering digunakan pengertian desinfektan untuk benda mati sedangkan antiseptik untuk jaringan hidup tetapi dewasa ini kedua istilah tersebut dapat digunakan tanpa perbedaan lagi jadi cukup dengan sebutan desinfektan (Tjay TH, Rahardja K, 2010). Sifat – sifat desinfektan yang ideal (Tabel 2.3)
Universitas Sumatera Utara
Table 2.3. Sifat-sifat Desinfektan yang ideal sumber: Cottone dkk, 2000
2.7.1.2.1 Klasifikasi Desinfektan Berdasarkan spektrum aktivitasnya desinfektan diklasifikasikan atas 3 tingkatan yaitu (A Guide to Selection and Use of Disinfectants, 2003) : 1) Desinfektan tingkat rendah (Low level disinfectant) Desinfektan ini mengeliminasi hampir semua mikroorganisme patogen tetapitidak dapat mengeliminasi spora. Contohnya golongan Alkohol,Quaternary ammonium compounds, dan lain-lain. 2) Desinfektan tingkat sedang (Intermediate level disinfectant)
Universitas Sumatera Utara
Desinfektan ini mengeliminasi semua mikrooganisme patogen tetapi tidak dapat mengeliminasi spora. Contohnya golongan fenol yaitu halogen fenol, dan lain-lain. 3) Desinfektan tingkat tinggi (High level disinfectant) Desinfektan ini mengeliminasi semua mikrooganisme patogen dan mengurangi spora tetapi untuk jumlah yang besar tidak dapat mengeliminasi sempurna. Contohnya golongan Ethylene Oxoide,Gluteraldehyde,Formaldehyde dan lain- lain. Banyak penelitian telah memaparkan tentang penggunaan bahan desinfektan yang dapat digunakan sebagai desinfeksi hasil cetakan dalam bentuk spray maupun cairan rendam seperti (Sastrodihardjo S, 2010) : a. Chlorine solution,. b. Aldehyde solution c. Iodine solution atau iodophors 1% d. Phenols. Beberapa kekurangan dari bahan tersebut cenderung berbahaya untuk kulit,mata dan lain sebagainya,mempunyai bau yang kurang sedap dan sangat korosif terhadap logam, bersifat karsinogenik,toksisitas yang tinggi tetapi memiliki banyak kerugian ditinjau dari berbagai aspek seperti toksis, bau yang menyengat, bersifat karsinogenik, iritatif dan lain-lain. Bahan desinfektan yang ideal untuk hasil cetakan adalah yang mempunyai sifat efektif untuk membunuh mikroorganisme, mencegah infeksi silang dan tidak
Universitas Sumatera Utara
mengganggu stabilitas dimensi hasil pencetakan karena hasil cetakan yang akurat sangat menentukan keberhasilan pembuatan gigi tiruan. Salah satu contoh desinfektan yang dapat digunakan yaitu cairan dettol yang mengandung chloroxylenol dan memiliki sifat antimikroba yang efektif untuk membunuh bakteri, virus dan jamur serta mikrooganisme patogen lainnya, mempunyai aroma yang baik serta aman untuk kulit. Dengan berbagai alasan tersebut penulis mencoba menjelaskan tentang penggunaan cairan dettol sebagai bahan desinfektan pada hasil cetakan alginat yang umumnya dipakai sebagai bahan pencetakan awal. 2.7.1.2.2 Chloroxylenol Desinfektan chloroxylenol merupakan golongan fenol yaitu senyawa halogen fenol, sehingga masuk dalam desinfektan tingkat sedang, senyawa ini mengandung halogen terutama chlor dengan nama lain p-klor-xilenol (4-klor-3,5dimetil-fenol), senyawa ini bekerja terutama terhadap bakteri gram positif (Mahmood dkk., 2008; Schunack dkk.,1990) (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Rumus Kimia chloroxylenol sumber : Walter S.,Klaus M., Manfred., 1990
Universitas Sumatera Utara
Choloroxylenol dengan rumus molekul (4-kloro-3,5dimethylphenol) adalah senyawa kimia antimikroba yang digunakan untuk membunuh bakteri, alga dan jamur. Hal ini juga umum digunakan dalam bentuk sabun antibakteri. Chloroxylenol adalah senyawa modifikasi xilena diklorinasi dengan rumus struktur C8H9ClO adalah antiseptik kuat yang memiliki spektrum yang sangat luas dan rentan,terhadap bakteri dan jamur. Chloroxylenol telah digunakan di Amerika Serikat sejak awal 1950-an, dan pertama kali terdaftar sebagai fungisida pada tahun 1959 (US EPA 2009). Chloroxylenol adalah bahan aktif dalam dettol yang digunakan sebagai desinfektan rumah tangga, banyak digunakan di Inggris dan di sejumlah negara persemakmuran. Kemampuan chloroxylenol sebagai antimikroba sama seperti turunan fenol lainnya yaitu merusak membran sel (cytoplasmic) bakteri dan jamur, sedangkan aktifitasnya sebagai antivirus masih belum diketahui (Goddard dan McCue 2001). Namun chloroxylenol dapat menonaktifkan virus telah dilaporkan (Butcher dan Ulaeto, 2005; Maes dkk, 2007). Rekomendasi ACI (American Cleaning Institute) tahun 2014 , menyatakan bahwa:
Chloroxylenol tidak bersifat karsinogenik, tidak menimbulkan efek hormonal pada manusia baik sistemik maupun topikal.
Chloroxylenol (C8H9ClO) dapat membunuh bakteri dengan mengganggu membran sel bakteri yang akan menurunkan kemampuan membran sel untuk memproduksi ATP sebagai sumber energi.
Universitas Sumatera Utara
Chloroxylenol telah terbukti efektif dalam mengurangi jumlah bakteri patogen di lingkungan rumah sakit (Messager dkk, 2001;Messager dkk, 2004)
Menurut Agung (Haffandi , 2011), Chloroxylenol mempunyai spektrum antimikroba yang luas, sehingga efektif digunakan untuk bakteri gram positif dan gram negatif, jamur, ragi dan lumut, Chloroxylenol memiliki keunggulan dalam hal toksisitas dan sifat korosif yang rendah. Salah satu contoh cairan yang mengandung desinfektan chloroxylenol (C8H9ClO) yang mudah di dapatkan dipasaran adalah cairan dettol yang biasanya berwarna kuning muda, cairan dettol terdiri dari 4,8% chloroxylenol sedangkan sisanya: minyak pinus, iso propanol, minyak jarak, sabun, caramel dan air. Chloroxylenol yang terkandung didalam cairan dettol memiliki sifat antimikroba dengan spektrum luas baik secara in vitro maupun in vivo terhadap sejumlah bakteri Gram positif dan Bakteri Gram negatif, jamur dan virus , meskipun aktivitas spesifik tergantung konsentrasinya. Menurut Rutala (1996) dettol digunakan secara meluas di rumah, fasilitas kesehatan untuk desinfeksi dengan tujuan mengurangi jumlah mikroorganisme baik pada kulit, peralatan maupun sanitasi lingkungan. Penelitian ElKholy dan Sedky (2012) menunjukkan bahwa desinfektan dettol, lysoformin 3000 dan sodium hipoklorit memiliki efektifitas yang sama dalam mendesinfeksi hasil cetakan dengan teknik penyemprotan dan berhasil menghilangkan 100 % mikroorganisme dari permukaan cetakan. Penelitian Chimezie dkk (2013)
Universitas Sumatera Utara
melaporkan desinfeksi cairan dettol pada permukaan keyboard dan mouse computer sangat efektif dan menyarankan penggunaan secara rutin setiap hari.
2.8
Perubahan Dimensi Perubahan dimensi merupakan parameter atau pengukuran yang dibutuhkan
untuk mendefinisikan sifat-sifat suatu objek, yaitu ukuran seperti panjang, lebar dan tinggi, serta bentuk. Perubahan dimensi dapat diukur secara volumetrik dan linier yang biasanya dinyatakan dalam persentasi panjang atau volume akhir dibandingkan dengan panjang atau volume semula dari suatu objek. Perubahan dimensi linier lebih mudah dan sederhana untuk diukur dibandingkan dengan perubahan dimensi volumetrik (Powers JM dkk, 2008). Perubahan dimensi pada model kerja merupakan perubahan ukuran pada model gips selama proses pengerasannya, biasanya dinyatakan sebagai persentase dari panjang semula atau volume (Powers JM dkk, 2008). Perubahan dimensi dipengaruhi oleh setting ekspansi dan ekspansi higroskopis. Setting ekspansi dapat dijelaskan berdasarkan mekanisme kristalisasi yang digambarkan sebagai suatu pertumbuhan kristal-kristal dihidrat dari nukleus yang saling berikatan satu dengan yang lainnya. Kristal gips yang terbentuk selama proses pengerasan yaitu berbentuk sperulitik, kristal ini saling menimpa satu sama lain dan mencoba untuk mendorong kristal yang lain agar terpisah sehingga terjadi ekspansi selama pengerasan yang dapat menyebabkan perubahan dimensi pada gips (Van Noort, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Perubahan dimensi model kerja dapat disebabkan oleh 2 faktor yaitu faktor dari bahan gips itu sendiri yang dipengaruhi oleh sifat-sifat dan karakter yang ada pada gips, serta faktor dari bahan cetak alginat (sifat, saat setting dan saat manipulasi). a)
Faktor dari Gips
Salah satu karakter dari gips adalah adanya perubahan dimensi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:
Suhu ruangan dan suhu air
Rasio bubuk dan air
Waktu dan kecepatan pengadukan
Retarder
Akselerator
b) Faktor dari Bahan Cetak Alginat Perubahan dimensi pada model kerja akibat perubahan pada bahan cetak alginat dapat disebabkan karena sifat fisis dari bahan cetak tersebut dan perubahan dimensi yang terjadi sewaktu pengambilan cetakan yaitu: proses pengerasan (set) bahan cetak baik secara kimiawai maupun perubahan temperatur, reaksi pengerasan ini dapat menimbulkan tekanan, gaya atau pressure didalam bahan cetak dan sebelum mengeras bahan cetak dapat mengalir (flow) yang memungkinkan lepasnya tekanan atau gaya pada bahan cetak. Aliran bahan cetak yaitu daya dari bahan cetak untuk menahan gaya yang ada padanya yang disebut viscosity . adanya tekanan pada bahan
Universitas Sumatera Utara
cetak, Skinner menyatakan bahwa perubahan dimensi dapat terjadi dengan munculnya tekanan atau stress tertentu pada proses gelasi bahan cetak hidrokoloid selama pengambilan cetakan. Penelitian Masri dkk (2002) terdapat tekanan atau gaya pada daerah palatum oleh bahan cetak sewaktu pengambilan cetakan berlangsung. Cara pelepasan cetakan banyak disebutkan penyebab terjadinya perubahan dimensi hasil cetakan. Bahan cetak alginat merupakan bahan yang viscoelastic yang tinggi dan snap removal technique perlu dipergunakan untuk mendapatkan elastic response. Sejumlah compression strain bahan akan terjadi pada pelepasan cetakan didaerah undercut sebesar 10% dan deformasi permanen pada keadaan ini dapat terjadi sebesar 1,5% hanya sebatas yang diperbolehkan secara klinis (Sastrodiharjo, 2010). Perubahan dimensi dari bahan yang telah didesinfeksi telah menjadi subjek penelitian. Beberapa peneliti menggunakan cetakan lengkung rahang lengkap sedangkan yang lain menggunakan dai. Teknik pengukuran perubahan dimensi juga bervariasi mulai dari menggunakan alat ukur sederhana sampai menggunakan mikroskop (Amin dkk.,2009). Salah satu cara untuk mengukur perubahan dimensi hasil cetakan alginat yaitu dengan membandingkan ukuran jarak antar titik terluar dai silinder yang ditanam pada model master dengan model kerja hasil cetakan alginat. Farzin dan Panahandeh (2010) dalam penelitiannya meneliti perubahan dimensi pada model
kerja
berdasarkan
temperatur
dan
waktu
penyimpanan
dengan
membandingkan ukuran pada model master dan model kerja. Tidak ditemukan perubahan dimensi yang signifikan pada garis CA tetapi pada garis AP ditemukan perubahan dimensi yang signifikan, garis AP mewakili bidang vertikal sedangkan
Universitas Sumatera Utara
garis CA mewakili bidang horizontal (Farzin dan Panahandeh, 2010; Sari RF, 2013) (Gambar 2.7)
Gambar 2.7.Titik-titik yang digunakan sebagai pengukuran perubahan dimensi sumber : Farzin dan Panahandeh, 2010
Universitas Sumatera Utara
2.11
Hipotesis Penelitian
1. Ada pengaruh perendaman cetakan alginat dalam chloroxylenol selama 1 menit, 5 menit, 10 menit terhadap jumlah Staphylococcus aureus. 2. Ada perbedaan pengaruh perendaman cetakan alginat dalam chloroxylenol selama 1 menit, 5 menit, 10 menit terhadap jumlah Staphylococcus aureus. 3. Ada pengaruh perendaman cetakan alginat dalam chloroxylenol selama 1 menit, 5 menit, 10 menit terhadap perubahan dimensi cetakan alginat pada garis AP (Antero Posterior) dan garis CA (Cross Arch) model kerja. 4. Ada perbedaan pengaruh perendaman cetakan alginat dalam chloroxylenol selama 1 menit, 5 menit, 10 menit terhadap perubahan dimensi cetakan alginat pada garis AP (Antero Posterior) dan garis CA (Cross Arch) model kerja.
.
Universitas Sumatera Utara