8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Bahan Pengemas Dapat Dimakan (Edible Packaging) Bahan pengemas telah memainkan peranan yang sangat penting dalam
rantai distribusi produk makanan olahan dan telah menjadi satu bagian baik dalam proses pembuatan makanan tersebut maupun dalam proses pendistribusiannya. Bahan pengemas digunakan untuk melindungi makanan dari lingkungan sekitarnya seperti misalnya cahaya, mikroba, abu, tekanan mekanis, uap air dan lain sebagainya. Bahan pengemas harus dapat melindungi makanan dari berbagai macam kemungkinan kerusakan yang akan dialaminya seperti misalnya akibat dari proses fisiologis (contoh: proses respirasi pada sayuran dan buah-buah segar), proses kimiawi (contoh: oksidasi lemak), proses fisika (contoh: dehidrasi), aspek mikrobiologis (contoh: timbulnya jamur) dan pencemaran oleh serangga. Disamping itu, bahan pengemas juga dapat digunakan sebagai sarana produsen untuk menyampaikan informasi berkaitan dengan makanan tersebut melalui penempelan label pada bahan pengemas. Bahan pengemas yang baik harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu yakni: 1. Mampu mempertahankan kualitas makanan supaya tetap bersih dan terhindar dari kontaminasi kotoran atau kontaminan lainnya. 2. Menjaga makanan dari kerusakan fisik akibat pengaruh cahaya, udara dan air. 3. Bahan pengemas harus dirancang untuk siap pakai dan dapat berfungsi secara benar. 4. Mudah dibentuk dan digunakan, dimana dalam hal ini tidak hanya memberi kemudahan bagi konsumen tetapi juga harus dapat mempermudah pekerja-pekerja dalam pengolahan di pabrik dan selama pengangkutan untuk distribusi. 5. Memiliki daya tarik, mudah dikenali dan informatif sehingga konsumen mengetahui produk makanan apa yang terdapat dalam kemasan tersebut sehingga tertarik untuk membelinya (Buckle et al., 1985) Sejak tahun 1950 berbagai penelitian dan inovasi untuk mengembangkan plastik sebagai penunjang kebutuhan hidup manusia berkembang dengan pesat.
Universitas Sumatera Utara
9
Produksi plastik berkembang 10% setiap tahunnya. Dari sekitar 1,3 juta ton produksi plastik dunia pada tahun 1950 berkembang menjadi 230 juta ton pada tahun 2005. Dari jumlah tersebut sekitar 37% diantaranya digunakan sebagai pengemas. Total konsumsi dunia untuk plastik sebagai pengemas bertumbuh sekitar 2,9% pertahunnya berdasarkan data tahun 1992 – 1997 (Avella et al., 2001). Perkembangan yang sangat pesat ini disebabkan oleh karena plastik memiliki beberapa keunggulan yakni: fleksibel, mudah dibentuk, transparan, kuat dan harganya murah. Namun demikian dalam perkembangannya plastik mulai dikurangi pemakaiannya di seluruh dunia, dimana hal ini disebabkan sifat plastik yang sukar terdegradasi di lingkungan serta dapat mencemari produk melalui transmisi monomernya ke bahan yang dikemas. Oleh karena itu mulai dikembangkan bahan pengemas yang berasal dari bahan-bahan yang mudah terurai di lingkungan. Bahan pengemas dapat dimakan (edible packaging) merupakan salah satu bahan pengemas yang bersifat biodegradable dan berasal dari bahan-bahan yang terperbaharui. Kelebihan utama dari edible packaging ini dibandingkan plastik adalah dapat dikonsumsi bersamaan dengan bahan makanan yang dilapisinya. Bahkan meskipun tidak ikut dikonsumsi, edible packaging ini tidak akan mencemari lingkungan karena akan cepat terurai di alam (Bourtoom, 2008). Edible packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu yang berfungsi sebagai pelapis (edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible film) (Krochta
et
al.,1994).
Edible
film
dan
coating
berbeda
dalam
cara
pembentukannya dan penggunaannya pada makanan. Edible coating dibentuk dan digunakan secara langsung pada produk makanan
dengan menggunakan
larutan pembentuk film cair atau senyawa-senyawa yang dicairkan, dengan cara mengolesi menggunakan kuas cat, penyemprotan, pencelupan atau penyiraman (Cuqet al., 1995). Sedangkan Edible film merupakan lapisan tipis berupa lembaran yang dibentuk melalui penuangan pada cetakan yang selanjutnya dikeringkan. Edible coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku, makanan semi basah, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan obat-obatan terutama untuk pelapis kapsul (Krochta et al., 1994). Edible film dan coating
Universitas Sumatera Utara
10
dapat memberikan penahanan terhadap uap air, oksigen (O2), karbondioksida (CO2), aroma, lipida dan sebagai pembawa zat (seperti antimikroba, antioksidan, flavour dan lain sebagainya) (Krochta and De Mulder-Johnston, 1997). Edible packaging dapat dihasilkan dari bahan-bahan yang memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan film. Bahan-bahan tersebut terlebih dahulu dilarutkan dalam pelarut seperti misalnya air, alkohol, campuran air dan alkohol atau dengan pelarut lainnya. Bahan pemlastis, pewarna, pemberi rasa atau antimikroba dapat ditambahkan pada waktu pelarutan ini. Penyesuaian pH atau pemanasan larutan dilakukan selanjutnya untuk menyempurnakan dispersi. Larutan film ini kemudian dituangkan pada cetakan dan dipanaskan sesuai suhu yang diinginkan hingga diperoleh lapisan film (Bourtoom, 2008). Edible packaging yang dihasilkan harus memenuhi beberapa kriteria yakni: •
Tidak mencemari lingkungan
•
Teknologi untuk membuatnya sederhana
•
Biaya untuk proses pembuatan dan pengadaan bahan-bahannya murah
•
Memiliki kualitas sensorik yang baik
•
Memiliki sifat penghambat (barrier) yang baik
•
Memiliki kestabilan biokimia, fisikokimia dan mikrobial yang baik
•
Tidak beracun dan aman bagi kesehatan tubuh manusia (Giancone, 2006)
Secara keseluruhan terdapat beberapa kelebihan edible packaging dibandingkan bahan pengemas lainnya yakni: •
Edible packaging dapat dikonsumsi secara bersamaan dengan bahan yang dikemas.
•
Meskipun edible packaging tersebut tidak dimakan tetapi tidak akan mencemari lingkungan karena berasal dari bahan-bahan yang terperbaharui dan mudah terdegradasi di lingkungan.
•
Edible packaging dapat meningkatkan sifat organoleptis dari makanan yang dikemas, dimana bahan-bahan penambah rasa, pewarna atau pemanis dapat di inkorporasi kedalam edible packaging tersebut.
Universitas Sumatera Utara
11
•
Edible
packaging
dapat
meningkatkan
nilai
nutrisi
makanan
yang
dikemasnya,misalnya edible packaging yang dibuat dari protein. •
Edible packaging dapat digunakan untuk melapisi makanan dalam jumlah yang kecil secara sendiri seperti misalnya pelapisan buah-buahan.
•
Edible packaging dapat diaplikasikan pada makanan yang memiliki lapisan yang berbeda-beda untuk mencegah pencampuran antar komponen dalam makanan tersebut dan untuk mencegah migrasi zat terlarut seperti pada pizza, pie dan permen.
•
Edible packaging dapat membawa bahan antimikroba dan antioksidan sehingga meningkatkan daya simpan produk makanan tersebut.
•
Edible packaging dapat digunakan secara bersamaan dengan bahan pengemas nonedible lainnya dimana dalam hal ini edible packaging bertindak sebagai pemisah antara produk makanan dengan pengemas nonedible tersebut (Gennadios and Weller, 1990; Debeaufort et al., 1998).
Komponen penyusun edible film dan coating umumnya berasal dari bahan pertanian. Komponen polimer hasil pertanian antara lain adalah polipeptida (protein), polisakarida (karbohidrat) dan lipida. Ketiganya mempunyai sifat termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak sebagai film kemasan. Keunggulan polimer hasil pertanian adalah bahannya yang berasal dari sumber yang terbarukan (renewable) dan dapat dihancurkan secara alami (biodegradable) (Julianti dan Nurminah, 2006). Lilin (wax) merupakan edible packaging yang pertama kali digunakan pada buah-buahan. Bangsa Cina telah menggunakan lilin untuk melapisi jeruk dan limau pada sekitar abad ke 12 dan 13. Kemungkinan pada masa tersebut bangsa Cina tidak menyadari fungsi dari lilin tersebut yang dapat mengurangi kecepatan penguapan dari buah-buahan. Hanya saja mereka menemukan bahwa buah-buahan yang dilapisi lilin dapat disimpan lebih lama dibandingkan buah-buahan yang tidak dilapisi. Pada sekitar abad ke 16 di Inggris juga telah digunakan lemak sebagai pelapis produk makanan. Baru pada sekitar tahun 1930 diproduksi secara komersial lilin parafin untuk melapisi buah-buahan seperti apel dan pear (Park, 1999).
Universitas Sumatera Utara
12
Salah satu fungsi dari edible packaging adalah mempertahankan kualitas produk makanan yang dikemasnya agar tidak mengalami degradasi. Degradasi dalam sistem makanan sangat ditentukan oleh komposisi gas yang terdapat dalam lingkungan produk yang dikemas tersebut. Sebagai contoh, oksigen yang terlibat dalam proses ketengikan lemak dan minyak, pertumbuhan mikroorganisme, pembentukan warna coklat oleh enzim dan kerusakan vitamin. Dengan demikian edible packaging yang ingin dibuat harus dapat melindungi produk makanan dari oksigen (Gontard et al., 1996). Namun demikian, permeabilitas edible packaging terhadap oksigen dan karbon dioksida sangat penting bagi buah-buahan dan sayursayuran dimana respirasi sangat berperan penting dalam menjaga kesegaran produk tersebut. Untuk itu bahan yang dapat membentuk edible packaging dengan kemampuan yang seimbang lebih diutamakan. Oleh karena itu karakteristik utama dalam mempertimbangkan pemilihan edible packaging adalah daya permeabilitas terhadap oksigen, karbon dioksida dan uap airnya (Ayranci and Tunc, 2002). Pada produk makanan segar, keberhasilan edible packaging mempertahankan kesegaran produk bergantung pada kemampuannya untuk mengontrol komposisi gas internal (Park, 1999). Tabel 1 dibawah ini memperlihatkan komposisi gas yang diinginkan dalam berbagai jenis produk makanan agar dapat tahan lama serta jenis-jenis bahan untuk membuat edible packaging-nya berdasarkan data-data hasil penelitian peneliti sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
13
Tabel 2.1. Komposisi Gas Dan Jenis Kerusakan Yang Terjadi Pada Makanan Produk Makanan
Jenis Kerusakan yang Dapat Terjadi
Buah-buahan
Respirasi tinggi Kehilangan air Tumbuh mikroba
Sayuran
Respirasi tinggi Kehilangan air Tumbuh mikroba
Daging Daging Merah Daging lainnya Ikan Rendah lemak Banyak lemak Telur Roti Makanan beku
Makanan yang digoreng
Komposisi Gas-gas yang Diinginkan O2 (1 – 5%) CO2 (0 – 5%)
Bahan Pembuat Edible Packaging
Contoh
Mangga Apel Kiwi Strawberi Alpukat Aprikot Jamur O2 (1 – 5%) Tidak ada Lada CO2
Polisakarida Tepung Gandum, CMC Protein Kedelai, CMC Polisakarida CMC MC MC MC
photooksidasi pigmen Tumbuh mikroba Photooksidasi pigmen Tumbuh mikroba
O2 (80%) Daging babi CO2 (30 – 20%) O2 sedikit Daging ayam CO2 banyak
Kasein, alginat, tepung jagung
Autolisis oleh adanya enzim Oksidasi dan aktivitas metabolik mikroorganisme Tumbuh bakteri Tumbuh jamur Staling Degradasi pigmen dan vitamin Oksidasi lemak Destabilisasi protein Oksidasi
O2 (30%) Ikan CO2 (40%) CO2 (40 60%) N2 (60 -40%) Telur O2 sedikit Roti
Karagenan
O2 sedikit
Ikan salmon beku Daging beku Strawberi beku
Whey Amilosa pati Kitosan
O2 sedikit
Kentang goreng Produk pati Sereal
Kasein, CMC, tepung jagung
Lemak Etil selulosa, pektin
Hidroksi propil metil selulosa turunan Tepung jagung Gelatin, gum karagenan
Sumber: Akbari et al., 2007. Keterangan: CMC = Carboxy Methyl Cellulose
MC = Methyl Cellulose
Pembuatan edible packaging untuk skala laboratorium dilakukan dengan cara sederhana yang meliputi proses pendispersian hidrokoloid dalam pelarut,
Universitas Sumatera Utara
dan
14
penyebaran larutan film dalam cetakan, pengeringan dan aplikasi pada produk makanan. Pada skala industri, proses pembuatannya meliputi proses ekstruksi atau ko-ekstruksi, laminasi, moulding dan pengeringan pelarut menggunakan pengering berjalan (roll drying) (Guilbert et al., 1996; Debeaufort et al., 1998). Edible packaging yang dibentuk tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan fungsional yang diperlukan seperti kemampuan menahan uap air, penghambatan gas atau padatan, kelarutan dalam air atau lemak, warna dan penampilan, karakteristik mekanik dan daya alir, uji racun dan lain sebagainya. Karakteristik edible packaging ini sangat bergantung pada bahan-bahan yang digunakan, cara pembuatan dan aplikasinya. Bahan pembentuk ikatan silang (cross lingking agent), pemlastis, antimikroba, antioksidan, bahan pembentuk tekstur dan lainnya dapat ditambahkan untuk meningkatkan sifat fungsional edible packaging tersebut. Pada edible packaging ada 2 gaya tarik menarik yang terlibat yakni kohesi dan adhesi. Gaya kohesi terjadi diantara molekul-molekul yang membentuk film tersebut sedangkan gaya adhesi terjadi diantara film tersebut dengan molekulmolekl bahan yang dikemas. Kekuatan gaya kohesi mempengaruhi sifat fungsional edibe packaging seperti fleksibilitas, permeabilitas, ketahanan, dan lain sebagainya. Gaya kohesi yang kuat menyebabkan sifat fleksibilitas dan kemampuan menahan gas dan padatan menjadi menuruntetapi terjadi peningkatan kemampuan menyerapnya (porosity) (Gontard et al., 1993). Kuat tidaknya gaya kohesi dari edible packaging tergantung pada struktur bahan pembentuknya, prosedur pembuatan dan parameter-parameter saat diproduksi (suhu, tekanan, jenis pelarut dan tingkat pengenceran, teknik penguapan pelarut, dan lain-lain), adanya zat pemlastis dan pembentuk ikatan silang serta ketebalan film yang dibentuk (Guilbert et al., 1996). Pemlastis merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan sifat fisikokimia edible packaging. Secara umum, pemlastis ditambahkan kedalam edible packaging untuk memperbaiki kerapuhan film yang terbentuk yang disebabkan oleh gaya intermolekuler yang terjadi. Disamping itu, penambahan pemlastis juga berfungsi supaya film yang terbentuk dapat dengan mudah
Universitas Sumatera Utara
15
dilepaskan dari cetakannya. Penambahan pemlastis menyebabkan menurunnya gaya intermolekuler yang terjadi pada rantai polimer bahan penyusun edible packaging sehingga sebagai konsekuensinya terjadi peningkatan fleksibilitas, ekstensibilitas, kekerasan dan ketidakmudah robekan film yang terbentuk. Namun demikian,
pemlastis
menyebabkan
terjadinya
penurunan
terhadap
sifat
permeabilitas gas, uap air dan padatan serta penurunan elastisitas dan gaya kohesi edible packaging tersebut (Parra et al., 2004). Pemlastis yang akan digunakan harus kompatibel dengan polimer bahan penyusun edible packaging dan jika memungkinkan dapat cepat larut dalam pelarut yang digunakan. Hal ini untuk mencegah terjadinya pemisahan pemlastis dengan komponen penyusun edible packaging lainnya selama proses pengeringan berlangsung. Dengan kata lain, pemlastis yang efektif haruslah memiliki struktur yang mendekati atau hampir mirip struktur polimer yang ada pada bahan penyusun edible packaging. Bahan pemlastis yang biasa digunakan berupa poliol seperti gliserol, sorbitol, polietilen glikol, mono-, di- atau oligosakarida, lemak dan turunannya (Guilbert, 1986; Bozdemir and Tutas, 2003).
2.2.
Komponen Penyusun Edible Packaging Komponen penyusun edible packaging mempengaruhi secara langsung
bentuk morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen utama penyusunnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: hidrokoloid (contoh: polisakarida atau protein), lemak (contoh: asam lemak, asilgliserol, dan lilin) dan komposit serta komponen tambahan yang dapat memodifikasi film (Donhowe andFennema, 1994).
2.2.1. Hidrokoloid Hidrokoloid dapat digunakan sebagai bahan pembentuk edible packaging apabila pengendalian migrasi uap air tidak menjadi hal yang mempengaruhi atau diperhitungkan. Edible packaging yang dibentuk dari bahan hidrokoloid ini memiliki sifat penghambat yang baik terhadap oksigen, karbondioksida dan lemak. Kebanyakan dari edible packaging yang dihasilkan memiliki sifat mekanis
Universitas Sumatera Utara
16
yang sangat baik sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan perpaduan struktural dari produk yang mudah pecah. Kemudahan larut dalam air edible packaging dari hidrokoloid ini merupakan satu keunggulan yang sangat baik dalam situasi dimana edible packaging tersebut ikut dikonsumsi bersama produk makanannya yang terlebih dahulu harus dipanaskan sebelum dimakan. Selama proses pemanasan produk makanan tersebut, edible packaging dari hidrokoloid akan larut dan idealnya tidak mengubah rasa maupun aroma dari produk makanan tersebut. Untuk dapat meningkatkan kemampuannya menghambat uap air maka diperlukan penambahan komponen lainnya yang bersifat hidrofobik seperti lemak (Bozdemir and Tutas, 2003). Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan Edible film dapat berupa protein (kolagen, gelatin, protein kacang kedelai, corn zein dan wheat gluten) atau polisakarida seperti selulosa dan turunannya, pektin, ekstrak ganggang laut (alginat, karagenan, agar), gum (gum arab dan gum karaya), xanthan, kitosan dan lain-lain (Danhowe and fennema, 1994; Broody, 2005). Beberapa polimer polisakarida yang banyak diteliti akhir-akhir ini dalam pembuatan film adalah pati gandum, jagung, kentang dan manan (galaktomanan) yang bersumber dari Locust bean gum (Bozdemir and Tutas, 2003; Aydinli et al., 2004) dan glukomanan dari konjac (Cheng et al., 2007). Ada juga dalam bentuk film campuran antara pati dan konjac glukomanan (Chen et al., 2008) dan glukomanan-kitosan (Li et al., 2006) dan dalam bentuk film komposit antara glukomanan (konjac glukomanan), karboksimetilselulosa dan lipida (Cheng et al., 2008). 2.2.1.1. Polisakarida Polisakarida yang biasa digunakan sebagai bahan pembuat edible packaging antara lain adalah selulosa dan turunannya, kitosan dan pululan, turunan pati, ekstrak rumput laut, gum dan lain sebagainya (Krochta and De Mulder-Johnson, 1997). Edible packaging yang dihasilkan dari polisakarida memiliki sifat permeabilitas yang sangat baik sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan masa simpan produk makanan. Hal ini disebabkan edible packaging dari polisakarida tidak membentuk kondisi anaerobik pada bahan yang
Universitas Sumatera Utara
17
dikemas sedangkan edible packaging dari lipida umumnya menghasilkan kondisi anaerobik sehingga mengurangi masa simpan produk yang dikemas. Namun demikian karena sifatnya yang hidrofilik maka edible packaging dari polisakarida tidak dapat menghambat migrasi uap air. Apabila edible packaging dari polisakarida ini digunakan untuk membungkus produk daging yang kemudian akan diasapkan atau dikukus maka polisakarida tersebut akan menyatu dengan permukaan daging. Daging yang terlapisi polisakarida tersebut memperlihatkan struktur dan tekstur yang lebih baik serta hanya sedikit mengalami kehilangan berat (Cutter, 2006). Selulosa dan Turunannya Selusosa merupakan polimer alami yang banyak dijumpai di alam dan tersedia dalam harga yang murah tetapi sulit untuk digunakan oleh karena sifat hidrofobiknya, sukar larut dalam air dan struktur kristalnya. Untuk meningkatkan kelarutannya dalam air dapat dilakukan dengan menambahkan larutan alkali yang diikuti reaksi dengan asam kloroasetat atau metil klorida atau propilen oksida untuk menghasilkan carboxymethyl cellulose (CMC) atau methyl celluose (MC), atau hydroxypropyl methyl cellulose (HPMC) atau hydroxypropyl cellulose (HPC). CMC, MC, HPMC dan HPC memiliki karakteristik yang sangat baik, fleksibel, tidak berbau dan tidak berasa, transparan, tahan terhadap minyak dan lemak, mudah larut dalam air, kekuatan serta kecepatan transmisi oksigen dan uap airnya menengah (Krochta and De Mulder-Johnson, 1997). MC dan HPMC banyak digunakan sebagai pelapis dalam produk makanan yang perlu digoreng (deep frying food product) karena dapat mencegah absorpsi minyak kedalam produk (Kester and Fennema, 1986). MC juga telah diaplikasikan dalam produk konfeksionari sebagai penghambat migrasi lemak (Nelson and Fennema, 1991). Pati dan Turunannya Pati merupakan polimer karbohidrat yang terdiri dari unit-unit anhidroglukosa yang rantainya dapat berbentuk linear (amilosa) atau bercabang (amilopektin). Pati dan turunannya telah banyak digunakan sebagai bahan pembentuk edible packaging oleh karena harganya yang murah dan mudah didapat, bersifat terperbaharui dan memiliki sifat mekanis yang baik (Xu et al., 2005). Pati yang
Universitas Sumatera Utara
18
banyak mengandung amilosa seperti pada jagung merupakan sumber bahan pembuatan edible packaging yang sangat baik. Pati jagung umumnya mengandung 25% amilosa dan 75% amilopektin sedangkan dari varietas hasil mutasi genetik dapat diperoleh sampai 85% amilosa (Whistler and Daniel, 1985). Kompatibilitas merupakan hal utama yang menjadi perhatian bila menggunakan pati sebagai bahan dasar pembuatan edible packaging. Penambahan bahan yang dapat meningkatkan kompatibilitas dan aditif lainnya dapat membantu mengatasi permasalahan tersebut. Penggunaan pemlastis juga diperlukan untuk menurunkan ikatan hidrogen intermolekuler dan meningkatkan kestabilan edible packaging yang dihasilkan. Edible packaging berbahan dasar pati telah diproduksi secara komersial pada beberapa tahun belakangan ini dan penggunaannya mendominasi pasar edible packaging (Van Tuil et al., 2000). Kitosan dan Pululan Kitosan merupakan hasil deasetilasi kitin yang banyak ditemukan dialam terutama pada kerangka hewan invertebrata dari kelompok Arthopoda sp, Molusca sp, Coelenterata sp, Annelida sp, dan Nematoda sp, dinding sel jamur dan bahan biologis lainnya (Srinivasa et al., 2002) sedangkan pululan merupakan ekstraselular mikrobial polisakarida yang larut dalam air yang dihasilkan oleh jamur (Kristo and Biliaderis, 2006). Edible packaging yang dihasilkan dari kitosan dan pululan ini memiliki sifat mekanik dan penghambat oksigen yang baik. Namun demikian untuk memperbaiki sifat penghambatan karbondioksida dapat dilakukan melalui metilasi rantai polimernya. Adanya gugus amina dalam kitosan membuat kitosan juga dapat berfungsi sebagai antimikroba. Edible packaging yang dihasilan dari kitosan umumnya digunakan untuk melapisi buahbuahan dan sayuran (El Ghaouth et al., 1991; Kaban, 2007). Alginat, Pektin, dan Karagenan Natrium alginat adalah garam turunan dari asam alginat yang diekstraksi dari rumput laut berwarna coklat. Pektin adalah suatu komponen serat yang terdapat pada lapisan lamella tengah dan dinding sel primer pada tanaman sedangkan karagenan diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut berwarna merah. Film dari alginat dibuat dengan cara mencelupkan produk yang ingin dikemas atau plat
Universitas Sumatera Utara
19
cetakan kedalam larutan berair alginat diikuti pengeringan. Film dari pektin diperoleh melalui penyebaran larutan metoksi pektin yang telah ditambahkan garam kalsium sebagai sumber ion pembentuk ikatan silang diikuti pengeringan sedangkan film karagenan dihasilkan melalui pendinginan larutan panas netral atau alkali karagenan untuk membentuk gel yang kemudian diikuti pengeringan. Secara umum film yang dihasilkan dari alginat, pektin dan karagenan ini mudah larut dalam air dan kekuatan mekanisnya lebih lemah dibandingkan jenis polisakarida lainnya. Namun demikian, film yang terbentuk memiliki daya penghambatan oksigen dan lemak yang sangat baik. Edible packaging dari ketiga senyawa ini dapat memperlambat oksidasi dan mencegah migrasi lemak dalam makanan (Kester and Fennema, 1986).
2.2.1.2. Protein Edible packaging dari protein umumnya dihasilkan dari dispersi larutan protein pada bahan pencetak. Pelarut yang sering digunakan untuk melarutkan protein sangat terbatas, hanya air, etanol atau campuran air-etanol (Kester and Fennema, 1986). Protein terlebih dahulu di denaturasi melalui pemberian panas, asam, basa atau penambahan pelarut membentuk struktur yang lebih panjang yang diperlukan dalam pembuatan film. Setelah di denaturasi, protein akan dapat berinteraksi melalui pembentukan ikatan hidrogen, ionik, hidrofobik dan kovalen. Interaksi antar rantai yang dapat membentuk film dengan gaya tarik kohesi yang sangat kuat dipengaruhi derajat perpanjangan rantai dan asam amino yang terdapat didalamnya. Edible packaging dari polimer ini sangat kuat tetapi kurang fleksibel dan permeabilitas terhadap gas, uap air
sangat rendah (Kester and
Fennema, 1986). Namun demikian, edible packaging berbahan dasar protein memiliki sifat penghambatan oksigen yang baik oleh karena adanya ikatan hidrogen atau ionik yang terjadi diantara rantai protein tersebut (Salame, 1986). Beberapa jenis protein telah sering digunakan dalam pembuatan edible packaging termasuk didalamnya gelatin, kasein, whey, corn zein, wheatgluten, protein kedelai dan kacang-kacangan (Gennadios et al., 1993) Gelatin
Universitas Sumatera Utara
20
Gelatin banyak mengandung asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin. Edible packaging berbahan dasar gelatin dapat dibuat dari 20 – 30% gelatin, 10 – 30% pemlastis (gliserol atau sorbitol) dan 40 – 70% air yang selanjutnya diikuti pengeringan membentuk gel gelatin (Guilbert, 1986). Gelatin banyak digunakan untuk enkapsulasi fase minyak dalam makanan dan bahan farmasi. Gelatin memiliki sifat melindungi terhadap oksigen dan cahaya yang sangat baik sehingga banyak digunakan sebagai penyalut obat-obatan. Disamping itu edible packaging berbahan dasar gelatin juga telah banyak diaplikasikan pada daging (Gennadios et al., 1994) Corn Zein Zein merupakan protein yang banyak terdapat dalam jagung dalam bentuk prolamin dan larut dalam etanol 70 – 80%. Zein bersifat hidrofobik dan dapat membentuk bahan yang bersifat termoplastik. Sifat hidrofobik dari zein ini disebabkan oleh tingginya kandungan asam amino yang bersifat nonpolar (Shukla and Cheryan, 2001). Edible packaging berbahan dasar zein ini dapat dihasilkan melalui proses pengeringan larutan zein dalam etanol (Gennadios and Weller, 1990).
Film
yang dihasilkan
umumnya rapuh
sehingga membutuhkan
penambahan pemlastis untuk meningkatkan fleksibilitasnya. Secara umum film berbahan dasar zein memiliki sifat penghambat uap air yang sangat baik sekali dibandingkan film berbahan dasar lainnya (Guilbert, 1986). Sifat penghambatan uap air ini juga dapat ditingkatkan melalui penambahan asam lemak atau zat pembentuk ikatan silang. Edible packaging berbahan dasar zein ini juga diketahui memiliki kemampuan untuk mengurangi penguapan, mempertahankan buah agar tidak mudah lembek dan menghambat perubahan warna melalui pengurangan transmisi oksigen dan karbon dioksida pada buah tomat (Park et al., 1994).
Wheat Gluten Wheat gluten merupakan protein yang berasal dari tepung terigu dan bersifat tidak larut dalam air. Wheat gluten mengandung asam amino prolamin, glutenin dan gliadin. Gliadin larut dalam etanol 70%. Edible packaging berbahan dasar wheat gluten dapat diperoleh melalui pengeringan larutan etanol berair dari wheat
Universitas Sumatera Utara
21
gluten. Putusnya ikatan disulfida selama proses pemanasan untuk mengentalkan larutan film tersebut dan pembentukan ikatan disulfida baru selama proses pengeringan film dipercaya mempengaruhi struktur film yang terbentuk (Gennadios and Weller, 1990). Penambahan pemlastis seperti gliserol misalnya sangat diperlukan untuk meningkatkan fleksibilitas filmyang dihasilkan (Gennadios et al., 1994). Namun demikian apabila sorbitol yang digunakan sebagai pemlastis maka kekuatan film, elastisitas dan daya hambat uap airnya menjadi berkurang (Gontard et al., 1992).
Protein Kedelai Protein yang terkandung dalam kedelai berkisar 38 – 44% dan kebanyakan bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam larutan garam netral. Protein kedelai mengandung konglisinin sebanyak 35% dan glisinin sebanyak 52%. Edible packaging berbahan dasar protein kedelai dapat diperoleh melalui penguapan dan pengeringan larutan susu kedelai atau larutan isolat protein kedelai. Susu kedelai diperoleh dari hasil penggilingan kedelai dengan air diikuti pemisahan susu dari residu. Sifat mekanis yang lemah dan sensitifitas terhadap uap air tinggi, menjadi penyebab terbatasnya penggunaan protein kedelai sebagai edible packaging. Film yang terbentuk dari protein kedelai murni cenderung rapuh. Protein kedelai lebih banyak diaplikasikan pada tinta dan pelapisan kertas (Van Tuil et al., 2000).
2.2.2. Lipida Kelompok lipida terdiri dari lilin/wax, trigliserida, monogliserida terasetilasi, asam lemak, alkohol asam lemak dan ester sukrosa asam lemak (Danhowe and Fenema, 1994; Broody, 2005). Aplikasi edible packaging berbahan dasar lipida terbatas hanya pada buah-buahan dan daging saja. Oleh karena sifatnya yang hidrofobik maka edible packaging dari lipida memiliki kemampuan penahanan uap air yang baik sekali serta dapat mencegah migrasi komponen lainnya dari produk makanan tersebut. Disamping itu lipida juga memberikan efek mengkilap pada edible packaging yang dihasilkannya sehingga
Universitas Sumatera Utara
22
dapat meningkatkan penampilan visual produk. Namun demikian, kekuatan struktur edible packaging berbasis lipida sangat jelek dan cenderung rapuh sehingga perlu penambahan polisakarida untuk memperbaikinya (Mc Hugh and Krochta, 1994). Parafin dan lilin telah banyak diaplikasikan sebagai edible packaging pada buah-buahan, sayur-sayuran dan keju. Edible packaging berbahan dasar lilin digunakan untuk menghambat gas dan bahan lainnya yang terdapat pada kulit buah serta untuk meningkatkan penampilan permukaan dari produk makanan tersebut sehingga lebih menarik (Bourtoom, 2008). Monogliserida terasetilasi diketahui memiliki karakterisitik yang unik yakni bentuknya yang dapat berubah dari cair menjadi padatan. Kebanyakan lipida hanya dapat ditarik sampai dengan 102% dari panjangnya sebelum putus sedangkan monogliserida terasetilasi dapat ditarik sampai dengan 800% dari panjang
sesungguhnya
tanpa
putus.
Edible
packaging
berbahan
dasar
monogliserida terasetilasi banyak diaplikasikan pada produk makanan ternak dan daging (Kester and Fennema, 1986).
2.2.3. Komposit Komposit adalah bahan yang didasarkan pada campuran hidrokoloid dan lipida. Kebanyakan film polisakarida dan protein (hidrokoloid) memiliki sifat-sifat penahanan yang jelek terhadap uap air. Hal ini terjadi karena adanya gugus hidroksi bebas pada matriks yang berinteraksi secara kuat dengan molekul air yang bermigrasi. Sifat penahanan uap air yang jelek dapat diperbaiki dengan penambahan bahan hidrofobik dengan cara melapisi lapisan hidrofilik dengan lapisan hidrofobik (lipida) yang disebut sebagai komposit dua lapis (bilayer) ataupun dengan cara pembentukan komposit film, dimana kedua komponen hidrokoloid dan hidrofobik di dispersikan pada pelarut yang kemudian dikeringkan. Meskipun telah terbukti bahwa film bilayer memiliki penahanan yang baik terhadap transmisi uap air, namun film komposit dari hasil pengemulsian lebih menguntungkan dari segi prosedurnya yang sederhana dan
Universitas Sumatera Utara
23
pembuatannya yang mudah, serta memiliki kohesi struktur yang bagus (Cheng et al., 2008; Danhowe and Fennema, 1994).
2.3.
Sifat Fisikokimia Dan Mekanis Edible Packaging Aplikasi edible packaging sangat bergantung pada sifat dan karakteristik
yang dimilikinya. Edible packaging harus memenuhi beberapa kriteria agar dapat digunakan sebagai bahan pelapis pada produk makanan. Kriteria-kriteria tersebut meliputi sifat penghambatan terhadap uap air, gas, cahaya dan aroma, sifat optisnya (misalnya transparansi) dan sifat mekanisnya (Debeaufort et al., 1998).
2.3.1. Sifat Penghambatan Kualitas produk makanan dapat tercemar oleh adanya penyerapan uap air, serangan oksigen, kehilangan aroma, penyerapan bau yang tidak diinginkan dan migrasi komponen pelapis kedalam makanan (Kester and Fennema, 1986; Debeaufort et al., 1998; Krochta, 1992). Fenonema ini dapat terjadi diantara makanan dengan lingkungan sekitarnya, makanan dengan bahan pelapisnya atau diantara komponen heterogen penyusun makanan tersebut (Krochta, 1992). Sebagai contoh, penetrasi oksigen kedalam makanan menyebabkan terjadinya oksidasi; tinta, pelarut atau bahan aditif dapat bermigrasi kedalam makanan; flavour yang mudah menguap dari produk minuman dan gula-gula dapat terabsorbsi kedalam bahan pembungkusnya; atau lapisan kulit yang garing dari pizza dapat menyerap uap air dari bahan taburannya sehingga menjadi tidak garing lagi. Oleh karena itu diperlukan edible packaging untuk mengatasi masalah tersebut diatas. Beberapa edible packaging memiliki sifat penghambatan oksigen yang sangat baik sekali kecuali yang berasal dari lipida. Sifat penghambatan edible packaging ini sangat dipengaruhi oleh komposisi penyusun edible packaging tersebut dan kondisi lingkungan saat produk tersebut disimpan (kelembaban relatif dan temperatur). Pada kondisi kelembaban yang tinggi, permeabilitas oksigen bertambah cukup besar. Oleh karena itu sangat penting sekali menjaga kelembaban lingkungan penyimpanan agar dapat meningkatkan efektifitas edible packaging sebagai penghambat gas.
Universitas Sumatera Utara
24
Temperatur juga mempengaruhi migrasi (Guilbert et al., 1997; Amarante and Banks, 2001; Wu et al., 2002). Peningkatan suhu menyebabkan meningkatnya energi substan untuk bermigrasi dan meningkatkan permeabilitasnya. Nilai permeabilitas suatu jenis film perlu diketahui, karena dapat dipergunakan untuk memperkirakan
daya
simpan
produk
yang
dikemas
didalamnya.
Nilai
permeabilitas juga dapat dipergunakan untuk menentukan produk atau bahan pangan apa yang sesuai untuk kemasan tersebut. Nilai permeabilitas mencakup: permeabilitas terhadap uap air dan permeabilitas terhadap gas (Julianti dan Nurminah, 2006). Permeabilitas didefinisikan sebagai kecepatan transmisi uap atau gas melalui suatu bahan dengan ketebalan tertentu pada kondisi kelembaban dan temperatur tertentu (Yang and Paulson, 2000).Penentuan permeabilitas oksigen dan karbon dioksida dilakukan mengikuti metode ASTM D3985 dimana gas oksigen dialirkan pada satu sisi dari lapisan film dan pengaliran gas nitrogen pada sisi yang lain untuk membawa gas oksigen yang bertransmisi ke sebuah sensor (Ayranci and Tunc, 2003). Aktivitas air (water activity, Aw) merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas dan daya tahan produk makanan. Selama dalam penyimpanan, oksidasi lemak, reaksi pencoklatan Maillard dan enzimatis serta bertumbuhnya mikroba dalam produk makanan sangat tergantung pada aktivitas air dan kandungan air yang terdapat didalamnya.
2.3.2. Sifat Optis Warna dan ketransparansian edible packaging merupakan salah satu sifat yang penting dalam pengemasan produk makanan. Warna berhubungan dengan bahan-bahan yang digunakan sebagai pembentuk edible packaging tersebut. Warna dari edible packaging ini mempengaruhi penerimaan konsumen akan produk makanan tersebut (Kunte et al., 1997). Sistem yang biasa digunakan untuk menentukan warna dari edible packaging adalah sistem yang dikembangkan oleh Hunter Lab berdasarkan fakta bahwa mata manusia memiliki 3 jenis sensor warna
Universitas Sumatera Utara
25
yang sensitif terhadap warna merah, hijau dan biru sedangkan warna lainnya merupakan pencampuran dari ketiga warna dasar tersebut (Abbot, 1999).
Sifat Mekanis Secara umum parameter penting karakteristik mekanik yang diukur dan diamati dari sebuah film kemasan termasuk edible film adalah kuat tarik (tensile strength), persen pemanjangan (elongation to break) dan elastisitas (elastic modulus/young modulus). Parameter-parameter tersebut dapat menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan film yang berhubungan dengan struktur kimianya. Karakteristik mekanik menunjukkan indikasi integrasi film pada kondisi tekanan (stress) yang terjadi selama proses pembentukan film tersebut. Kuat tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh sebuah film. Parameter ini menggambarkan gaya maksimum yang terjadi pada film selama pengukuran berlangsung. Hasil pengukuran ini berhubungan erat dengan jumlah pemlastis yang ditambahkan pada proses pembuatan film. Penambahan pemlastis lebih dari jumlah tertentu akan menghasilkan film dengan kuat tarik yang lebih rendah (Lai et al., 1997). Proses pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum pada saat terjadi peregangan hingga sampel film terputus. Pada umumnya keberadaan pemlastis dalam proporsi lebih besar akan membuat nilai persen perpanjangan suatu film meningkat lebih besar. Modulus elastis merupakan kebalikan dari persen pemanjangan, karena akan semakin menurun seiring meningkatnya jumlah pemlastis dalam film. Modulus elastis menurun berarti fleksibilitas film meningkat, modulus elastis merupakan ukuran dasar dari kekakuan (stiffness) sebuah film.
Universitas Sumatera Utara
26
2.4.
Antimikroba Dan Antioksidan Dalam Edible Packaging
2.4.1. Antimikroba Berkembangnya jamur pada bahan makanan telah diteliti sejak dahulu untuk mendapatkan metode yang tepat mengawetkan makanan. Beberapa metode telah dikembangkan dan digunakan dalam kaitan pengawetan makanan, diantaranya melalui pengubahan temperatur (pemanasan atau pendinginan), mengurangi aktivitas air, pengendalian pH, modifikasi atau pengendalian kondisi ruang penyimpanan, pengasapan, penggaraman, penambahan antimikroba, irradiasi dan pengemasan (Wagner and Moberg, 1989). Edible packaging yang mengandung bahan antimikroba juga telah banyak diteliti dan dikembangkan untuk diaplikasikan pada produk makanan. Penambahan antimikroba dalam edible packaging berguna untuk mengurangi dan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada permukaan makanan. Ada beberapa hal yang
harus menjadi pertimbangan saat merancang
sistem pengemasan yang mengandung antimikroba yakni: 1. Peraturan yang berkaitan dengan bahan-bahan yang bersifat antimikroba sangat penting untuk diperhatikan. Ada beberapa jenis antimikroba yang bekerja dengan cara difusi atau melepaskan bahan aktifnya. Hal ini menyebabkan bahan pengemas tersebut diklasifikasikan sebagai bahan aditif makanan tidak langsung (indirect food additive) sehingga harus memenuhi persyaratanpersyaratan pemerintah yang berkaitan dengan bahan aditif makanan. 2. Perbandingan biaya produksi dengan keuntungan yang dapat diperoleh bila menggunakan bahan antimikroba tersebut. Beberapa bahan antimikroba memiliki sifat fungsional yang sangat baik sekali tetapi bila diproduksi dalam skala yang besar mereka memerlukan biaya produksi yang lebih besar dibandingkan manfaat yang akan dihasilkannya dalam kaitan pengawetan produk makanan. 3. Hal terakhir yang harus dipertimbangkan meliputi teknik yang digunakan dalam melakukan pelapisan makanan tersebut, perubahan yang terjadi pada sifat fisik dan mekanik dari film yang terbentuk, pengaruh pada warna, tekstur atau flavour dari makanan serta kemampuan dari bahan antimikroba tersebut
Universitas Sumatera Utara
27
untuk berinteraksi dengan komponen penyusun bahan pengemas (Cooksey, 2005). Bahan
pengemas
yang
mengandung
bahan
antimikroba
dapat
dikelompokkan menjadi dua yakni: (1) bahan pengemas yang dapat melepaskan bahan antimikroba yang terkandung didalamnya untuk bermigrasi kedalam produk makanan, dan (2) bahan pengemas yang tidak melepaskan bahan antimikroba yang terkandung didalamnya dan hanya melakukan penghambatan pertumbuhan mikroba dipermukaan produk makanan (Suppakul et al., 2003). Dalam kelompok yang pertama, sistem pengawetan terjadi baik didalam produk makanan
tersebut
maupun
pada
permukaannya.
Gambar
dibawah
ini
memperlihatkan skema yang menggambarkan bentuk cara kerja dari kelompok pertama maupun yang kedua. Skema (A), (B) dan (C) memperlihatkan cara kerja dari kelompok pertama. Skema (A) memperlihatkan bahan pengemas yang mengandung bahan antimikroba yang kemudian dilepaskan secara bertahap kedalam produk makanan tersebut. Skema (B) memperlihatkan hal yang sama dengan (A) tetapi terdapat pelapis pada bagian dalam yang memisahkan produk makanan dengan bahan pengemasnya, dimana pelapis tersebut dapat bermanfaat sebagai pengendali pelepasan bahan aktif antimikroba kedalam produk makanan. Skema (C) memperlihatkan bahan pengemas yang terbagi menjadi 2 lapisan dimana lapisan bagian dalam yang berhubungan dengan produk makanan yang mengandung bahan antimikroba dan bahan aktifnya dilepaskan kedalam produk makanan tersebut. Kelompok yang kedua digambarkan oleh skema (D), dimana bahan antimikroba-nya hanya aktif apabila mikroorganismenya kontak dengan bahan pengemas tersebut (Han, 2003; Quintaalla and Vicini, 2002). Antimikroba
(B)
(A)
Bahan aktif antimikroba yang dilepaskan ke produk makanan
Bahan Pengemas
Produk Makanan
Lapisan Dalam
Universitas Sumatera Utara
28
Antimikroba
(C)
(D)
00000
Bahan Pengemas
Lapisan Dalam
Gambar 2.1. Skema Penggunaan Bahan Antimikroba Pengemas (Sumber: Bastarrachea et al., 2011)
Produk Makanan Dalam Bahan
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efektivitas edible packaging
yang
mengandung
bahan
antimikroba
dalam
menghalangi
pertumbuhan mikroba. Namun demikian, hasil penelitian yang diperoleh tidak menunjukkan hasil yang baik oleh karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan bahan antimikroba tersebut dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Faktor-faktor tersebut antara lain: interaksi yang terjadi diantara komponen penyusun edible packaging dengan bahan antimikroba sangat mempengaruhi pelepasan bahan aktif antimikroba tersebut ke produk makanan; prosedur yang digunakan dalam pembuatan edible packaging dapat mengurangi aktivitas bahan antimikroba sehingga berkurang efektifitasnya; dan proses yang terjadi selama pembuatan edible packaging tersebut berlangsung seperti misalnya ekstruksi, pengeringan atau pelapisan, juga dapat mengurangi efektifitas bahan aktif antimikrobanya oleh karena mengalami degradasi atau menguap selama proses tersebut berlangsung (Suppakul et al., 2003). Hal lain yang juga harus dipertimbangkan adalah aktivitas bahan aktif antimikroba tersebut setelah kontak dengan bahan makanannya. Interaksi yang timbul diantara bahan aktif antimikroba dengan komponen-komponen yang terdapat dalam bahan makanan ini dapat saja sangat kuat sehingga mengurangi efektifitasnya dalam melawan mikroba (Vermeiren et al., 2002). Konsentrasi
Universitas Sumatera Utara
29
bahan antimikroba yang ingin ditambahkan dalam edible packaging juga harus dipertimbangkan karena hal tersebut berkaitan dengan ketebalan film yang akan dihasilkan. Penambahan bahan antimikroba kedalam edible packaging diketahui dapat mempengaruhi sifat mekanis, daya penghambatan dan sifat optis film yang terbentuk dimana tingkat pengaruhnya bergantung pada jenis bahan pembentuk, prosedur pembuatan dan bahan antimikroba yang digunakan. Bahan antimikroba dari hasil ekstraksi tumbuh-tumbuhan umumnya mempengaruhi warna dan kebeningan (opacity) edible packaging yang dihasilkan (An et al., 1998; Hong et al., 2000). Tensile dan sifat daya penghambatan edible packaging juga mengalami penurunan jika ada penambahan aditif kedalam film tersebut (Dobias et al., 1998). Penggunaan minyak atsiri dari berbagai jenis tumbuhan telah banyak diteliti sebagai salah satu sumber antimikroba. Hasil penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa minyak atisri dari oregano (Origanum vulgare), thyme (Thymus vulgaris), kayu manis (Cinnamon casia), lemongras (Cymbopogon citratus) dan minyak cengkeh (Eugenia caryphyllata) dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli (Dorman and Deans, 2000). Carvacrol salah satu komponen yang terdapat dalam minyak atsiri oregano dan thyme bahkan telah diterima sebagai salah satu bahan alami yang sangat aman dikonsumsi dan telah banyak dipergunakan sebagai flavouring agent pada roti, manisan, es krim, minuman ringan dan permen karet. Friedman et al., (2002) telah melakukan penelitian aktivitas antibakteri 120 minyak atsiri yang terkandung dalam tumbuhtumbuhan terhadap 4 spesies bakteri yang seringkali dijumpai pada makanan. Minyak atsiri yang memiliki nilai BA50 (persentase minyak dalam buffer fosfat yang dapat membunuh 50% bakteri) terhadap bakteri Campylobacter jejuni (BA50: 0,003 – 0,009%) adalah marigold, akar jahe, yasmine, nilam, gardenia, cedarwood, carrot seed, celery seed, mugwort, spikenard dan orange bitter; terhadap bakteri Escherichia coli (BA50: 0,057 – 0,092%) adalah oregano, thyme, cinnamon, palmarosa, bay leaf, clove bud, lemon grass dan allspice; terhadap bakteri Listeria monocytogenes (BA50: 0,057 – 0,092%) adalah gardenia, cedarwood, bay leaf, clove bud, oregano, cinnamon, thyme dan patchouli; dan terhadap bakteri Salmonella enterica (BA50: 0,045 – 0,14%) adalah thyme,
Universitas Sumatera Utara
30
oregano, cinnamon, clove bud, allspice, bay leaf, palmarosa dan marjoram (Friedman et al., 2002).
2.4.2. Antioksidan Spesi oksigen reaktif seperti hidrogen peroksida (H2O2), anion radikal superoksida (O2 ) dan radikal hidroksil (OH ) dapat terbentuk oleh karena adanya cahaya, logam, panas, radiasi ionisasi, beberapa reaksi kimia, proses metabolis dan penuaan. Spesi yang reaktif ini berperan dalam perubahan sitotoksitas dan metabolik tubuh seperti penyimpangan kromosom, oksidasi lipida dan protein, perubahan pada morfologi dan sistem jaringan otak pada hewan dan manusia, serta juga terlibat dalam perkembangan beberapa penyakit seperti kanker, jantung koroner, diabetes dan lain sebagainya (Moskovitz et al., 2002). Antioksidan telah digunakan secara luas sebagai aditif bahan makanan untuk meningkatkan stabilitas oksidasi lipida dan protein serta untuk memperpanjang masa penyimpanan produk makanan kering atau yang sensitif terhadap oksigen. Oksidasi lipida yang terkandung dalam makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan kualitas dan masa simpan produk makanan. Reaksi oksidasi pada bahan makanan menyebabkan terjadinya degradasi pada lipida dan protein yang selanjutnya akan merusak flavour, tekstur dan warna dari produk makanan tersebut. Oleh karena itu diperlukan penambahan antioksidan untuk dapat mencegah terjadinya reaksi oksidasi pada bahan makanan. Antioksidan sintetis seperti butil hidroksitoluen (BHT), butil hidroksianisol (BHA), tersier butil hidroksi quinon (TBHQ) dan propil galat (PG) telah luas digunakan sebagai antioksidan pada industri makanan. Namun demikian, antioksidan sintetis ini masih dipertanyakan keamanannya bagi kesehatan tubuh manusia. BHA diketahui dapat menimbulkan kanker pada hewan percobaan. Pada dosis yang cukup tinggi, BHT bahkan dapat menimbulkan kematian pada hewan tikus dan guinea pigs (Ito et al., 1985). Oleh karena itu telah banyak dilakukan penelitian untuk mendapatkan antioksidan alami yang dapat digunakan pada industri makanan menggantikan antioksidan sintetis.
Universitas Sumatera Utara
31
Minyak atsiri telah dikenal luas penggunaannya sebagai bahan pengawet pada industri makanan dan dapat diterima konsumen karena berasal dari alam. Namun demikian, aplikasi minyak atsiri masih terbatas mengingat pertimbangan flavour yang dibawanya dan efektifitasnya yang tidak terlalu tinggi oleh karena interaksinya dengan komponen-komponen yang terdapat dalam makanan (Skandamis et al., 2001). Beberapa tumbuh-tumbuhan terutama yang biasa digunakan sebagai bumbu masakan merupakan sumber senyawa fenolik dan telah dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan yang sangat baik. Minyak atsiri dari tumbuh-tumbuhan tersebut umumnya diperoleh dari hasil hidrodestilasi sehingga tidak beracun karena tidak menggunakan bahan pelarut organik. Tabel 2.2. berikut memperlihatkan banyaknya minyak atsiri yang terdapat dalam beberapa tumbuhtumbuhan serta kandungan senyawa fenol yang terdapat didalamnya. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian inkorporasi minyak atsiri yang bersifat antioksidan kedalam edible packaging (Sanchez-Gonzalez et al., 2011). Permasalahan dalam inkorporasi antioksidan kedalam edible packaging sama dengan permasalahan penambahan antimikroba. Pelepasan bahan aktif dan pengaruh penambahannya terhadap sifat mekanis, daya penghambatan, dan sifat optis edible packaging yang terbentuk menjadi pertimbangan dalam pemilihan dan penentuan besaran konsentrasi minyak atsiri yang akan ditambahkan. Inkorporasi minyak atsiri kedalam matrik edible packaging memperbaiki sifat permeabilitas uap air filmnya oleh karena fraksi yang mengandung gugus hidrofobik semakin meningkat. Namun demikian terjadi sedikit penurunan pada daya penghambatan oksigen dan karbon dioksida (Sanchez-Gonzalez et al., 2011). Hal yang sama juga terjadi pada sifat mekanis edible packaging yang diinkorporasi minyak atsiri, dimana penambahan minyak atsiri menurunkan sifat mekanisnya sehingga menjadi lebih mudah patah. Hal ini disebabkan adanya fase minyak yang terdispersi dalam matriks film tersebut menyebabkan struktur filmnya mengalami diskontinuitas. Sebagai contoh sifat perpanjangan film kitosan murni menjadi berkurang bila minyak atsiri dari kayu manis ditambahkan kedalam filmnya (Ojagh et al., 2010).
Universitas Sumatera Utara
32
Tabel 2.2. Kandungan Fenol Dan Yield Ekstrak Dari Hasil Hidrodestilasi Beberapa Tumbuhan Nama Tumbuhan
Famili
Kemangi (Ocimum basilicum) Parsley (Petroselinum crispum) Laurel (Laurum nobilis) Juniper (Juniperus communis) Cardamom (Elettaria cardamomum) Jahe (Zingiber officinalis) Aniseed (Pimpinella anisum) Fennel (Foeniculum vulgare) Cumin (Carum carvi) Sumber: Hinneburg et al., 2006.
Lamiaceae Apiaceae Lauraceae Cupressaceae Zingiberaceae Zingiberaceae Apiaceae Apiaceae Apiaceae
Yield Ekstraksi (mg/g) 246 196 258 422
Total Fenol (mg GA/g) 147 ± 1,60a 29,2 ± 0,44b,c 92,0 ± 2,45d 18,5 ± 0,62e
88
24,2 ± 0,29b,f
302 230 216 242
23,5 ± 1,26b,e 20,8 ± 0,62e,f 30,3 ± 0,76c 37,4 ± 0,32g
Inkorporasi minyak atsiri kedalam edible packaging juga mempengaruhi transparansi, tingkat kecerahan dan warna dari film yang dihasilkan. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat penampilan produk yang dikemas menjadi salah satu aspek penilaian konsumen dalam memilih produk yang ingin dibelinya. Biasanya penambahan minyak atsiri menyebabkan tingkat kecerahan dan transparansi edible packaging menjadi menurun (Sanchez-Gonzalez et al., 2010). Antioksidan alami lainnya yang juga telah mulai banyak diteliti adalah polisakarida. Beberapa peneliti telah menemukan bahwa ternyata polisakarida dari beberapa tumbuh-tumbuhan memiliki sifat antioksidan yang sangat kuat (Wang and Luo, 2007; Jiang et al., 2008). Polisakarida yang diekstraksi dari buah pepaya telah diteliti memiliki sifat antoksidan yang cukup baik dalam menghambat radikal superoksida, hidroksil dan DPPH• (Zhang et al., 2012). Peneliti lainnya juga telah meneliti aktivitas antioksidan dari polisakarida yang larut dalam air dari buah wolfberry (Lycium barbarum L.), sweet cherry (Prunus avium L.), kiwi (Actinidia chinensis L.) dan cranberry (Vaccinium macrocarpon Aiton). Polisakarida dari keempat jenis buah-buahan tersebut diperoleh dari ekstraksi menggunakan air panas yang kemudian difraksinasi dengan menggunakan kromatografi kolom penukar ion dan dikarakterisasi berat molekulnya dengan High Performance Size Exclusion Chromatography (HPSEC). Dari keempat jenis buah-buahan tersebut masing-masing diperoleh 4 fraksi
polisakarida yang
Universitas Sumatera Utara
33
berbeda berat molekulnya dimana fraksi polisakarida dari buah sweet cherries diketahui memiliki berat molekul yang lebih tinggi dibandingkan lainnya. Hasil uji aktivitas antioksidan memperlihatkan polisakarida dari keempat jenis buahbuahan ini memiliki sifat antioksidan, dimana polisakarida dari buah sweet cherry yang paling tinggi sifat antioksidannya (Fan et al., 2010). Tumbuhan Magnolia officinalis yang banyak digunakan dalam ramuan herbal pengobatan tradisional China juga telah diteliti memiliki sifat antioksidan dan antitumor. Hasil penelitian memperlihatkan ternyata berat molekul dari polisakarida mempengaruhi kemampuan penghambatan pembentukan radikal bebas dimana fraksi polisakarida tumbuhan Magnolia officinalis yang memiliki berat molekul paling rendah ternyata memiliki kemampuan penghambatan pembentukan radikal bebas yang lebih tinggi dibandingkan fraksi lainnya (Lan et al., 2012). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian para peneliti lainnya yang menyatakan polisakarida dengan berat molekul kecil memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan polisakarida dengan berat molekul tinggi (Sun et al., 2009; Zha et al., 2009). Mekanisme reaksi polisakarida dapat bertindak sebagai antioksidan memang sampai dengan saat ini belum dengan jelas ditetapkan. Namun demikian ada beberapa peneliti yang telah memberikan saran mekanisme yang mungkin terjadi dalam reaksi oksidasi tersebut. Beberapa peneliti menyatakan bahwa secara umum dalam teori radikal bebas ada 2 mekanisme kerja antioksidan yakni penangkapan radikal bebas yang dihasilkan dan peredaman pembentukan radikal bebas. Dalam mekanisme penangkapan radikal bebas, polisakarida bertindak sebagai donor atom hidrogen dimana hal ini terjadi oleh karena lemahnya energi disosiasi ikatan O-H. Radikal bebas akan menerima elektron tersebut membentuk produk yang lebih stabil sehingga radikal bebasnya menjadi hilang dan reaksi berantainya menjadi terhenti (Yamashoji and Kajimoto, 1980; Yin et al., 2010; Lan et al., 2012, Jin et al., 2012). Oleh karena itu apabila semakin banyak gugus yang dapat menyumbangkan elektron seperti misalnya gugus hidroksil dan karboksil pada polisakarida serta energi disosiasi ikatan O-H semakin lemah maka aktivitas antioksidannya semakin tinggi (Shimada et al., 1996; Yuan et al., 2005).
Universitas Sumatera Utara
34
Peneliti lainnya menyatakan bahwa atom H yang terikat pada C anomer mudah lepas oleh adanya radikal OH● (Fray, 1998). Penelitian pada selubiosa memperlihatkan bahwa apabila terjadi abstraksi atom H pada atom C1, C4 atau C5 akan terjadi pemecahan ikatan glikosidik sedangkan bila abstraksi atom H terjadi pada atom C2, C3 atau C6 akan menghasilkan residu glikosulosa yang lebih stabil (Schuchmann and von Sonntag, 1978; Kardosova and Machova, 2006). Qi et. al., (2006) telah meneliti aktivitas antioksidan polisakarida yang secara alami mengandung gugus sulfat dan asetil dari alga Ulva pertusa. Peneliti tersebut menemukan bahwa ternyata polisakarida terasetilasi memperlihatkan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan polisakarida yang mengandung gugus sulfat. Oleh karena itu beliau menyatakan bahwa aktivitas antioksidan polisakarida berasal dari kemampuannya memberikan atom hidrogen. Gugus asetil yang tersubstitusi pada atom C2 atau C3 dapat mengaktivasi atom hidrogen yang terikat pada atom karbon anomer. Wang et al., (2010) meneliti pengaruh adanya gugus sulfat yang disubstitusi pada senyawa galaktomanan dari guar gum terhadap sifat antioksidannya. Peneliti tersebut memperlihatkan bahwa ternyata gugus –OSO3H yang banyak terikat pada atom C6 dan dapat mengaktivasi atom hidrogen pada anomer sehingga menjadi mudah lepas untuk kemudian dapat menetralkan radikal bebas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa galaktomanan tersulfasi memiliki aktivitas antioksidan yang jauh lebih baik dibandingkan galaktomanan. Beberapa polisakarida dari tumbuh-tumbuhan yang telah diuji aktivitas antioksidannya diperlihatkan pada tabel 2.3. dibawah ini. Aktivitas antioksidan polisakarida tersebut diuji dengan menggunakan metode DPPH• (1,1-Difenil-2pikril-hidrazil). Metode DPPH• ini sangat umum dan telah luas dipergunakan untuk menentukan kemampuan penghilangan radikal bebas dari berbagai antioksidan (Yuan et al., 2008). DPPH• merupakan senyawa yang memiliki radikal bebas yang stabil dan menunjukkan absorbansi maksimum pada 517 nm. DPPH• akan dengan segera berubah menjadi bentuk DPPH-H yang bersifat lebih stabil oleh adanya donor proton dari antioksidan. Konsentrasi antioksidan yang diperlukan untuk mengurangi 50% konsentrasi DPPH• (IC50) merupakan
Universitas Sumatera Utara
35
parameter yang digunakan untuk mengukur aktivitas antioksidan. Semakin rendah nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi. Aktivitas penghilangan radikal bebas (Scavenging Activity) dengan metode DPPH• juga dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
(%) =
(Absblanko - Abssampel) Absblanko
Dimana Absblanko adalah absorbansi DPPH pada 517 nm sedangkan Abssampel adalah absorbansi DPPH• dan sampel dengan variasi konsentrasi pada 517 nm (Chen et al., 2012). Semakin besar persentase Scavenging Activity maka aktivitas antioksidannya juga semakin besar.
N
N
N
HN
O 2N
NO2
O 2N
+
R
H
O 2N
NO2
R.
O 2N
DPPH
DPPH-H
(Ungu, 517 nm)
(Tidak Berwarna)
Gambar 2.2. Antioksidan
+
Struktur DPPH• Sebelum Dan Sesudah Bereaksi Dengan
Universitas Sumatera Utara
36
Tabel 2.3. Aktivitas Antioksidan Polisakarida Dari Beberapa Tumbuhtumbuhan Nama Tumbuhan (Latin)
Scavenging Activity (%)
Referensi
Grifola frondosa Agaricus bisporus Lentinus edodes Carica Papaya Saussurea involucrate Houttuynia cordata Zizyphus Jujuba cv. Jinsixiaozao Medicago sativa L. Turbinaria ornata (Marine Brown Alga) Turbinaria conoides Brevibacterium otitidis BTS 44 Hyriopsis cumingii Salvia officinalis L. Ecklonia cava Litchi chinensis Sonn
79,6 86,1 90,6 78,5 88,7 87,2 88,7 74,5 80,21 90 91,5 81,28 90 70,1 54,1
Chen et al., 2012 Tian et al, 2012 Chen et al., 2012 Zhang et al., 2012 Yao et al., 2012 Tian et al., 2011 Li et al., 2011 Liu et al., 2010 Ananthi et al., 2010 Chattopadhyay et al., 2010 Asker and Shawky, 2010 Qiao et al., 2009 Capek et al., 2009 Athukorala et al., 2006 Yang et al., 2006
2.5.
Aren (Arenga pinnata)
Aren (Arenga pinnata) merupakan tanaman serba guna yang dapat hidup didaerah tropis basah serta mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai agroklimat mulai dari dataran rendah hingga 1.400 meter diatas permukaan laut. Aren merupakan tumbuhan berbiji tertutup dimana biji buahnya terbungkus daging buah. Aren banyak ditanam di Indonesia termasuk di propinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Tanaman aren belum dibudidayakan dan sebagian besar masih menerapakan teknologi yang minim (Anonim, 2009). Adapun sistematika tanaman aren adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Ordo
: Arecales
Famili
: Areacaceae
Genus
: Arenga
Spesies
: A. pinnata
Universitas Sumatera Utara
37
Hampir semua bagian dari pohon aren dapat dimanfaatkan atau menghasilkan produk yang mempunyai nilai ekonomi. Jenis produk yang dihasilkan dari pohon aren sebagai berikut : Ijuk sebagai bahan baku pembuatan peralatan keperluan rumah tangga. Nira sebagai bahan baku gula merah, tuak, dan cuka. Kolang-kaling yang dihasilkan dari buah pohon aren. Tepung aren sebagai bahan baku pembuatan sabun, mie, dawet (cendol). Batang pohon sebagai bahan bangunan dan peralatan rumah tangga Setiap pohon dapat menghasilkan 15 liter nira per hari, ijuk sebanyak 2 kg/pohon/tahun, kolang-kaling 100 kg/pohon/tahun dan tepung 40 kg/pohon bila tidak disadap nira-nya. Tinggi batang tanaman aren berkisar antara 8-20 m sehingga untuk menyadap nira diperlukan tangga.Tanaman berbunga setelah berumur7-12 tahun. Tandan bunga muncul dari setiap pelepah atau bekas pelepah daun, mulai dari atas kira-kira seperempat dari pucuk kearah bawah. Bunga pada tandan pertama hingga kelima atau enam adalah bunga betina, baru disusul bunga jantan yang muncul secara bertahap hingga ke pangkal batang, atau 2-3 m di atas tanah. Seluruh bunga betina akan masak dalam 1-3 tahun. Bunga betina yang masih muda dapat diolah menjadi buah aren atau kolang-kaling. Buah aren terbentuk setelah terjadinya proses penyerbukan dengan perantaraan angin atau serangga. Buah aren berbentuk bulat berdiameter 4 – 5 cm, di dalamnya berisi biji 3 buah, masing masing terbentuk seperti satu siung bawang putih. Bagian – bagian dari buah aren terdiri dari : 1. Kulit luar, halus berwarna hijau pada waktu masih muda, dan menjadi kuning setelah masak. 2. Daging buah, berwarna putih kekuning – kuningan. 3. Kulit biji, berwarna kuning dan tipis pada waktu masih muda, dan berwarna hitam yang keras setelah buah masak. 4. Endosperm, berbentuk lonjong agak pipih berwarna putih agak bening dan lunak pada waktu buah masih muda; dan berwarna putih, padat atau agak keras pada waktu buah sudah masak.
Universitas Sumatera Utara
38
a. Pohon Aren b. Kolang-kaling Gambar 2.3. Pohon Aren Dan Kolang-kaling Buah yang masih muda adalah keras dan melekat sangat erat pada untaian buah, sedangkan buah yang sudah masak daging buahnya agak lunak. Daging buah aren yang masih muda mengandung lendir yang sangat gatal jika mengenai kulit, karena lendir ini mengandung asam oksalat. Buah yang setengah masak dapat dibuat kolang kaling. Kolang-kaling adalah endosperm biji buah aren yang berumur setengah masak setelah melalui proses pengolahan. Setelah diolah menjadi kolang kaling, maka benda ini mejadi lunak, kenyal, dan berwarna putih agak bening (Sunanto, 1993). Tiap buah aren mengandung tiga biji. Buah aren yang setengah masak, kulit biji buahnya tipis, lembek dan berwarna kuning, inti biji (endosperm) berwarna putih agak bening dan lembek, endosperm inilah yang diolah menjadi kolang-kaling (Mogea et al., 1991). Adapun cara untuk membuat kolang-kaling sebagai berikut: Buah aren dibakar dengan tujuan agar kulit luar dari biji dan lendir yang menyebabkan rasa gatal pada kulit hilang. Biji-biji yang hangus, dibersihkan dengan air sampai dihasilkan inti biji yang bersih. Buah aren direbus dalam belanga/kuali sampai mendidih selama 1-2 jam, sehingga kulit biji menjadi lembek dan memudahkan untuk melepas/memisahkan dari inti biji. Inti biji ini dicuci berulang-ulang sehingga menghasilkan kolangkaling yang bersih. Untuk menghasilkan kolang-kaling yang baik, bersih dan kenyal, inti biji yang sudah dicuci diendapkan dalam air kapur selama 2 – 3 hari. Setelah direndam
Universitas Sumatera Utara
39
dalam air kapur, maka kolang-kaling yang terapung inilah yang siap untuk dipasarkan. Analisis terhadap kolang-kaling memperlihatkan komposisi kimia yang dikandung berdasarkan berat keringnya adalah 5,2% protein, 0,4% lemak, 2,5% abu, 39% serat kasar dan 52.9% karbohidrat
(Nisa, 1996). Kolang-kaling
memiliki kadar air sangat tinggi, hingga mencapai 93,8% dalam setiap 100 gramnya. Kolang kaling juga mengandung protein dan karbohidrat serta serat kasar. Selain memiliki rasa yang menyegarkan, mengkonsumsi kolang kaling juga membantu memperlancar kerja saluran cerna manusia. Kandungan karbohidrat yang dimiliki kolang kaling bisa memberikan rasa kenyang bagi orang yang mengkonsumsinya, selain itu juga menghentikan nafsu makan dan mengakibatkan konsumsi makanan jadi menurun, sehingga cocok dikonsumsi sebagai makanan diet. Kolang kaling juga dapat digunakan sebagai coktail dan makanan ringan lokal seperti kolak (Orwa et al., 2009). Karbohidrat di dalam kolang-kaling pada umumnya adalah galaktomanan dengan berat molekul beragam dari 6000 sampai dengan 17000 (Koiman, 1971).
2.5.1. Galaktomanan Kebanyakan tumbuh-tumbuhan memiliki cadangan polisakarida yang secara biologis tidak memiliki fungsi apapun terkecuali sebagai cadangan sumber karbon untuk bertumbuh. Tumbuhan dari famili Poaceae seperti misalnya gandum, padi, maize dan lainnya memiliki cadangan polisakarida. Tumbuhan lainnya dari keluarga legume memiliki cadangan polisakarida dalam bentuk galaktomanan. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan dari 163 spesies tumbuhan dari keluarga legume ini, 119 diantaranya menyimpan cadangan polisakaridanya dalam bentuk galaktomanan (Mathur, 2012). Galaktomanan ini memiliki selain sebagai cadangan makanan juga berfungsi menyimpan air untuk mencegah terjadinya kekeringan pada tumbuhan (Srivastava and Kapoor, 2005). Galaktomanan merupakan polisakarida heterogen yang terdiri dari rantai utama β(1-4)-D-manopiranosa dengan satu unit cabang α-D-galaktopiranosa yang terikat pada posisi α-(1-6). Galaktomanan dari masing-masing tanaman berbeda-beda
Universitas Sumatera Utara
40
pada rasio manosa dan galaktosa, distribusi galaktosa pada rantai manosa dan berat molekulnya. Tingkat kekentalan galaktomanan bila dilarutkan dalam air sangat tergantung pada ukuran molekulnya dan bila ditambahkan polisakarida lainnya seperti xantan maka akan terbentuk gel (Morris et al., 1977). Kelebihan utama dari galaktomanan ini dibandingkan polisakarida lainnya adalah kemampuannya untuk membentuk larutan yang sangat kental dalam konsentrasi yang rendah dan hanya sedikit dipengaruhi oleh pH, kekuatan ionik dan pemanasan. Viskositas galaktomanan sangat konstan sekali pada kisarang pH 1 – 10,5 yang kemungkinan disebabkan oleh karakter molekulnya yang bersifat netral. Namun demikian apabila galaktomanan akan mengalami degradasi pada kondisi yang sangat asam atau basa pada suhu tinggi. Sifat fisikokimia galaktomnan dapat dikarakterisasi dengan menggunakan beberapa peralatan dan teknik yang berbeda. Parameter-parameter yang penting dalam karakterisasi galaktomanan adalah perbandingan manosa dan galaktosa, berat molekul rata-rata, bentuk struktur dan viskositas intrinsiknya. Rasio manosa dan galaktosa dapat ditentukan dengan menggunakan kromatografi gas atau dengan kromatografi pertukaran anion tekanan tinggi setelah terlebih dahulu dihidrolisis dengan menggunakan asam. Berat molekulnya dapat ditentukan dengan menggunakan size exclusion chromatography sedangkan distribusi galaktosa pada rantai manan-nya dapat dikarakterisasi dengan menggunakan spektroskopi enzim
13
C-NMR atau dengan menggunakan metode enzimatis dengan
β-D-mannanase
yang
akan
mendegradasi
galaktomanan
secara
spesifik.Viskositas intrinsik dapat ditentukan dengan menggunakan viskometer kapiler dan persamaan Huggins & Kramer’s untuk menentukan viskositasnya (Cerqueira et al., 2009c). Rasio manosa dan galaktosa tergantung pada sumber galaktomanan tersebut dan umumnya berkisar pada 1,1 sampai dengan 5,0. Galaktomanan dengan kandungan galaktosa yang besar umumnya mudah larut dalam air dan kecenderungannya
untuk
membentuk
gel
sangat
rendah
dibandingakn
galaktomanan dengan rasio galatosa yang rendah. Kelarutan yang sangat tinggi tersebut disebabkan oleh banyaknya rantai cabang sehingga rantai manosa
Universitas Sumatera Utara
41
menjadi sukar untuk berinteraksi secara intermolekuler (Srivastava and Kapoor, 2005). Tabel 2.2. berikut dibawah ini memperlihatkan sumber-sumber galaktomanan, rasio manosa dan galaktosa serta kemungkinan aplikasinya. Tabel 2.4. Beberapa Sumber Galaktomanan, Rasio Manosa : Galaktosa Dan Kemungkinan Penggunaannya
Spesies
Rasio Manosa : Galaktosa
Ceratonia siliqua (locust bean 3,9 : 1 gum) Caesalpinia pulcherrima 2,9 : 1 Gleditsia triacanthos 2,8 : 1 Cesalpinia spinosum (tara 2:1 gum) Dimorphandra gardneriana 1,8 : 1 Tul Cyamopsis tetragonolobus 1,8 : 1 (guar gum) Adenanthera pavonina 1,4 : 1 Prosopis pallida (mesquite 1,4 : 1 gum) Mimosa scabrella 1,3 : 1 Trigonella foenum graecum 1:1 (fenugreek gum) Sumber : Srivastava and Kapoor, 2005
Aplikasi Thixotropic, bahan pengikat, penstabil dan lubrikator Penstabil, pengental, pengemulsi
Penstabil, pengental, pengemulsi
Penstabil, pengental
Aplikasi galaktomanan sebagai edible packaging masih belum begitu banyak bila dibandingkan polisakarida lainnya. Namun demikian beberapa penelitian telah menunjukkan suatu perspektif baru tentang sifat dan karakter edible packaging berbahan dasar galaktomanan dimana hal ini disebabkan oleh karakter spesifik galaktomanan yang dapat membentuk larutan yang sangat kental meskipun dengan konsentrasi yang rendah dan hanya memerlukan air dalam proses pembuatannya (Cerqueira et al., 2009a; Cerqueira et al., 2010a; Lima et al., 2010).
Universitas Sumatera Utara
42
2.6.
Kemangi (Ocimum) Genus/marga Ocimum secara kolektif disebut basil (bahasa Inggris), ada
sekitar 30 jenis (species) dari daerah tropik dan subtropik (Paton, 1992). Ocimum ditanam dan diolah untuk
digunakan secara luas pada makanan, parfum,
kosmetik, pestisida, obat-obatan dan ritual tradisional karena aroma, cita rasa dan sifat-sifat alami lainnya (Darrah, 1974). Diantara tumbuhan yang dikenal untuk obat-obatan, salah satunya adalah
tumbuhan marga Ocimum (kemangi),
suku/famili Labiatae yang sangat penting untuk terapi pengobatan. Spesies dari marga Ocimum yang diketahui memiliki sifat sebagai obat adalah Ocimum sanctum L. (Tulsi), Ocimum gratissium (Ram Tulsi), Ocimum canum (Dulal Tulsi), Ocimum basilicum (Ban Tulsi), Ocimum kilimandsharicum, Ocimum ammericanum, Ocimum champora dan Ocimum micranthum (Prakash and Gupta, 2005). Diantara marga Ocimum yang dikenal menghasilkan
minyak atsiri
kemangi dantelah dibudidayakan secara komersial di beberapa negara adalah kemangi (Ocimum basilicum L.) (Sajjadi, 2006). Adapun taksonominya berdasarkan identifikasi di Herbarium Medanense, Universitas Sumatera Utara adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Ordo
: Lamiales
Famili
: Labiate
Genus
: Ocimum
Spesies
: Ocimum basilicum L.
Nama Lokal
: Kemangi
Kemangi memiliki bau yang khas dan rasa yang tajam. Tumbuh aslinya kemungkinan di India, Afganistan, Pakistan, India utara dan Iran, tapi sekarang sudah dibudidayakan diseluruh dunia. Secara tradisional kemangi telah digunakan pada makanan sebagai pembawa cita rasa, industri parfum dan pengobatan (Telci et al., 2006).
Universitas Sumatera Utara
43
2.6.1. Manfaat Kemangi Bagian daun dan bunga dari Kemangi (Ocimum basilicum L.) secara tradisional telah digunakan sebagai antispasmodic, aromatic, carminative, digestive, galactogoga, stomatich, dan bahan tonik . Juga telah banyak digunakan sebagai obat rumahan untuk mengobati penyakit ringan seperti: demam, pencernaan yang kurang baik, mual, kram perut, radang pencernaan, migrain, insomnia, depresi, penyakit kelamin, disentri dan diare kronis. Secara eksternal telah digunakan untuk pengobatan jerawat, menghilangkan bau, gigitan serangga, gigitan ular, dan infeksi kulit. Literatur melaporkan bahwa minyak atsiri daun kemangi (Ocimum basilicum L.) atau tepung daun efektif sebagai insektisida dan pestisida (Keita et al., 2001; Ketoh et al., 2002). Akhir-akhir ini telah diteliti penggunaan minyak atsiri kemangi secara khusus sebagai antimikroba dan antioksidan (Lee et al., 2005; Wannisorn et al., 2005). Minyak atsiri kemangi mengandung senyawa-senyawa kimia yang
bervariasi, tergantung pada
tipe
kimianya, warna daun dan bunga, serta asal tumbuhan (Da-Silva et al., 2003). Komponen utama minyak atsiri kemangi adalah chavicol metil eter atau estragol, linalool dan eugenol (Hussain et al., 2008; Omidbaigi et al., 2003). Tumbuhan kemangi berguna sebagai antibakteri yang berfungsi merusak dan meracuni mikroba dari produk makanan (Mazzanti et al., 1998; Politeo, 2007). Berdasarkan studi literatur memberi kesan bahwa linalool merupakan zat aktif utama sebagai antibakteri (Ravid et al., 1997). Ada kesulitan atau bahkan tidak mungkin untuk membandingkan studi aktivitas antimikroba O. basilicum yang satu dengan lainnya, hal ini disebabkan karena perbedaan metode pengujian sifat-sifat antimikroba, komposisi dan kandungan herbal berbeda dari tiap geografis yang berbeda. Moghaddam et al., (2011) telah meneliti bahwa aktivitas antimikroba minyak atsiri O. basilicum lebih baik pada gram negatif dibanding dengan gram positif, hal ini berbeda dengan yang diteliti oleh Prasad et al. (1986), yang mana ekstrak minyak dari O. basilicum yang dikumpulkan dari beberapa daerah memiliki keefektifan yang tinggi pada gram positif dibandingkan gram negatif, tetapi pada studi yang sama, ekstrak minyak O.basilicum memiliki aktivitas yang baik pada strain Salmonella (Prasad et al., 1986; Ophalchenova and Obreshkova,
Universitas Sumatera Utara
44
2003). O. basilicum menunjukkan sifat efektif pada E. Coli, Salmonella typi, Salmonella paratypi, Shigella boydi, Proteus vulgaris, dan S. aureus (Sinha and Gulati, 1990). Perbedaan tahapan pemotongan, fisiologi tahapan tumbuh, akan mempengaruhi komposisi dan kandungan ekstrak minyak atsiri kemangi. Disamping itu faktor lingkungan, lama hari, intensitas cahaya dan suhu ruangan mempengaruhi kuantitas dan kualitas kandungan minyak atsiri, yang akhirnya mempengaruhi sifat pengobatan dari tumbuhan. Perbedaan senyawa-senyawa tumbuhan dan metode ekstraksi dapat mempengaruhi aktivitas antimikroba. (Moghaddam et al., 2011). Koba et al., (2009), meneliti komposisi kimia dan sifat antimikroba O. basilicum yang dibudidayakan di Togo, minyak atsiri diperoleh sebesar 1,4-2,2% berdasarkan berat kering dan berdasarkan konstituen utamanya maka minyak atsiri kemangi (O. basilicum) diklasifikasikan menjadi 5 tipe kimia yaitu: 1.
Tipe kimia estragol (sampel dari Lome), kandungan utamanya estragonl
(85,50%) dan sedikit 1,8-sineol (2,25%). 2.
Tipe kimia Linalool-estragol (sampel dari Sokode), kandungan utamanya
linalool (41,21%) estragol (22,17%), dan (E)-α-bergamoten (7,56%), tipe ini mirip dengan tipe eropah 3.
Tipe kimia metileugenol (sampel dari kebun botani UL), kandungan
utamanya metileugenol (74,45%), limonen (6,22%), γ-Kadinen (4,07%) dan (Z)β-osimen (3,16%). 4.
Tipe kimia metileugenol dan t-anetol (sampel dari Adeticope Lome),
kandungan utama metileugenol (41,10%) dan t-anetol (32,56%). 5.
Tipe kimia t-anetol (sampel dari Bassar), kandungan utamanya t-anetol
(74,64%), linalool (17,30%), dan Karvacrol (2,69%). Dari kelima tipe tersebut hanya tipe methyleugenol dan metileugenol/t-anetol yang aktif terhadap jamur dan bakteri.
Universitas Sumatera Utara
45
2.6.2. Komponen Kimia Minyak Atsiri Kemangi Pada umumnya komponen kimia dalam minyak atsiri dibagi menjadi dua golongan yaitu: Golongan Hidrokarbon Persenyawaan yang termasuk golongan hidrokarbon terbentuk dari unsur Hidrogen (H) dan Karbon (C). Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam alam dan minyak atsiri sebagian besar terdiri dari monoterpen (2 unit isoprene), sesquiterpen (3 unit isoprene), olefin dan hidrokarbon aromatik. Komponen kimia golongan hidrokarbon yang dominan menentukan bau dan sifat khas setiap jenis minyak. Sebagai contoh minyak terpentin yang mengandung monoterpen disebut pinene dan minyak jeruk mengandung 90% limonene. Oxygenated hydrocarbon Komponen kimia dari golongan persenyawaan ini terbentuk dari unsur Karbon (C), Hidrogen (H) dan Oksigen (O). Persenyawaan yang termasuk dalam golongan ini adalah persenyawaan alkohol, aldehida, keton, oksida, ester dan ether. Ikatan atom karbon yang terdapat dalam molekulnya dapat terdiri dari ikatan jenuh dan ikatan tidak jenuh. Persenyawaan yang mengandung ikatan tidak jenuh umumnya tersusun dari terpen. Komponen lainnya terdiri dari persenyawaan fenol, asam organik yang terikat dalam bentuk ester misalnya lakton, coumarin dan turunan furan misalnya quinone. Golongan persenyawan oxygenated hydrocarbon merupakan persenyawaan menyebabkan bau wangi dalam minyak atsiri, sedangkan golongan hidrokarbon berpengaruh kecil terhadap nilai wangi minyak atsiri. Persenyawan oxygenated hydrocarbon mempunyai nilai kelarutan yang tinggi dalam alkohol encer (kecuali beberapa senyawa golongan aldehida), serta lebih tahan dan stabil terhadap proses oksidasi dan resinifikasi. Sebaliknya golongan persenyawaan hidrokarbon lebih mudah mengalami proses oksidasi dan resinifikasi di bawah pengaruh cahaya dan udara atau pada kondisi penyimpanan yang kurang baik, sehingga dapat merusak bau dan menurunkan nilai kelarutan minyak dalam alkohol (Ketaren, 1985).
Universitas Sumatera Utara
46
2.6.3. Penyulingan Minyak Atsiri Kemangi Dalam industri pengolahan minyak atsiri telah dikenal 3 macam sistem penyulingan, yaitu : a. Penyulingan dengan air (water distillation) Pada sistim penyulingan dengan air, bahan yang akan di suling langsung kontak dengan air mendidih. Keuntungan dari penggunaan sistim ini adalah baik digunakan untuk menyuling bahan yang berbentuk tepung dan bungabungaan yang mudah membentuk gumpalan jika kena panas. Prosesnya cukup sederhana. Sistim penyulingan ini memiliki keuntungan dapat mengekstraksi minyak dari bahan yang berbentuk bubuk (akar, kulit, kayu). Kelemahannya adalah pengekstraksian minyak atsiri tidak dapat berlangsung dengan sempurna. Walaupun bahan dirajang. Selain itu beberapa jenis ester, misalnya linalil asetat akan terhidrolisa sebagian. Persenyawaan yang peka seperti aldehid, akan mengalami polimerisasi karena pengaruh air mendidih. b. Penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation) Pada sistim penyulingan ini, bahan diletakkan di atas piring yang berupa ayakan yang terletak beberapa sentimeter di atas permukaan air dalam ketel penyuling. Keuntungan dari sistim penyulingan ini adalah karena uap berpenetrasi secara merata ke dalam jaringan bahan dan suhu dapat dipertahankan sampai 100oC. Lama penyulingan relatif singkat, rendemen minyak lebih besar dan mutunya lebih baik jika dibandingkan dengan minyak hasil sistim penyulingan dengan air dan bahan yang disuling tidak dapat menjadi gosong. c. Penyulingan dengan uap (steam distillation) Pada sistim ini air sebagai sumber uap panas terdapat dalam boiler yang letaknya terpisah dari ketel penyulingan. Uap yang dihasilkan mempunyai tekanan lebih tinggi dari tekanan udara luar. Sistim penyulingan ini baik digunakan untuk mengekstraksi minyak dari biji-bijian, akar dan kayu-kayuan yang umumnya mengandung komponen minyak yang bertitik didih tinggi. Sistim penyulingan ini tidak baik dilakukan terhadap bahan yang mengandung minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan dan air. Minyak yang
Universitas Sumatera Utara
47
dihasilkan dengan cara penyulingan, baunya akan sedikit berubah dari bau asli alamiah, terutama minyak atsiri yang berasal dari bunga (Ketaren, 1985)
2.7.
Ikan Nila Klasifikasi ikan nila adalah sebagai berikut : Kelas Sub-kelas Ordo Sub-ordo Famili Genus Spesies
: Osteichthyes : Acanthoptherigii : Percomorphi : Percoidea : Cichilidae : Oreochromis : Oreochromis niloticus
Ikan nila merupakan spesies yang berasal dari kawasan Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya di Afrika. Bentuk tubuh memanjang, pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Jenis ini merupakan ikan konsumsi air tawar yang banyak dibudidayakan setelah ikan mas (Cyrprinus Carpio) dan telah dibudidayakan di lebih dari 85 negara. Saat ini, ikan ini telah tersebar ke negara beriklim tropis dan subtropis, sedangkan pada wilayah beriklim dingin tidak dapat hidup dengan baik. Bibit nila didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Peneliti Perikanan Air Tawar (Balitkanwar) dari Taiwan pada tahun 1969. Setelah melalui masa penelitian dan adaptasi, ikan ini kemudian disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh pemerintah melalui Direktur Jenderal Perikanan (Dinas kelautan dan perikanan, 2010). Produksi ikan nila di Indonesia tersebar di seluruh wilayah dan produsen utamanya Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Volume produksi dunia diperkirakan 3 juta ton pertahun. Produksi Indonesia tahun 2008 sebesar 306.527 ton berasal dari tangkapan di perairan umum (5,05%) dan budidaya (94,95%) (Direktorat Pemasaran Dalam Negri, 2010). Berikut merupakan informasi yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan mengenai bagian-bagian dari ikan yang memiliki manfaat yang kaya akan gizi. Kepala dan mata: kepala dan mata ikan mengandung polisakarida yang berfungsi mengontrol aliran darah.
Universitas Sumatera Utara
48
Duri; duri ikan mengandung kalsium dan kolagen yang sangat bermanfaat membantu pertumbuhan tulang dan gigi Minyak ikan; minyak ikan mengandung DHA (Docosa Hexaenoic Acid) yang sangat penting bagi pertumbuhan otak dan retina Daging; daging ikan mengandung protein berkualitas tinggi dan vitamin yang sangat berguna untuk pertumbuhan dan ketahanan tubuh Kulit; kulit ikan mengandung vitamin A dan B12 yang sangat bermanfaat untuk kesehatan mata dan kekebalan tubuh (Hamid, 2010). Minyak dalam ikan terdapat dalam daging ikan baik daging yang berwarna merah maupun putih, selain dalam daging, minyak juga terdapat dalam bagian tubuh ikan yang lain terutama hati dengan kadar yang beragam. Minyak ikan merupakan komponen lemak dalam jaringan tubuh ikan yang telah diekstraksi dalam bentuk minyak. Sampai saat ini, pengertian minyak/lemak atau lipida secara umum belum didefinisikan dengan pasti dan dapat diterima oleh semua ilmuwan. Sampai saat ini minyak ikan masih merupakan sumber asam lemak ω-3 yang utama (Estiasih, 2009). Selama hidup, ikan tidak mengalami proses pembusukan karena memiliki kandungan glikogen dan pertahanan alami. Mekanisme pertahanan alami pada ikan dapat terbentuk secara fisik (kulit dan sisik) maupun fisiologis (antibodi). Proses pembusukan akan berlangsung dengan segera setelah ikan mengalami kematian, karena mekanisme pertahanan alaminya sudah tidak berfungsi secara normal. Ikan mengandung lemak dengan persentase yang berbeda dan sebagian besar berupa lemak tidak jenuh yang memiliki beberapa ikatan rangkap. Lemak dengan ikatan rangkap demikian bersifat tidak stabil dan relatif mudah mengalami proses oksidasi. Selama penyimpanan, reaksi oksidasi yang terjadi akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berperan pada pembentukan aroma, cita rasa dan penampakan. Oksidasi lemak merupakan penyebab utama penurunan kualitas pada ikan segar yang disimpan pada suhu rendah. Mikroba dan enzim yang dihasilkannya dapat berperan dalam proses ketengikan lemak, tetapi proses oksidasi lemak lebih dominan sebagai penyebab proses ketengikan (Liviawaty, 2010).
Universitas Sumatera Utara