BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anxiety 2.1.1 Definisi Anxiety atau kecemasan adalah emosi spesifik yang terkarakterisasi dari timbulnya kewaspadaan yang tinggi, negatif valensi, ketidakpastian, dan rendahnya kontrol diri (Gray, 1991; Raghunathan & Pham, 1999; C. Smith & Ellsworth, 1985). State Anxiety atau kecemasan situasional didefinisikan sebagai perasaan tidak menyenangkan yang fluktuatif termasuk rasa keprihatinan, tegang, grogi, serta khawatir, yang biasanya dibarengi dengan aktifnya sistem syaraf otonomi; hal tersebut menggambarkan seberapa terancamnya seseorang terhadap lingkungannya (Spielberger, 1968, 1977). 2.1.2 Faktor Penyebab Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya reaksi kecemasan (Ramaiah, 2003), antara lain: a. Lingkungan Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berpikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja. Sehingga individu tersebut merasa tidak aman terhadap lingkungannya. b. Emosi yang Ditekan Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal ini, terutama jika dirinya menekan rasa marah atau frustrasi dalam jangka waktu yang sangat lama. c. Sebab-sebab Fisik Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi seperti misalnya kehamilan, 7
8 semasa remaja, dan sewaktu pulih dari suatu penyakit. Selama ditimpa kondisikondisi ini, perubahan perasaan lazim muncul, dan ini dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. 2.1.3 Jenis Wilt, Oehlberg, dan Revelle (2010) mengemukakan bahwa terdapat riset mengenai kecemasan yang secara tipikal membagi kecemasan itu sendiri menjadi dua kategori yang berbeda berdasarkan ketertarikan para peneliti mengenai kecemasan sementara ataupun kecemasan jangka panjang: trait anxiety dan state anxiety (Spielberger, Gorsuch, & Lushene, 1970, 1999). •
Trait Anxiety Mengacu pada salah satu disposisi umum individu untuk menjadi cemas atau tingkat khas dari kecemasan itu sendiri.
•
State Anxiety Secara umum dapat didefinisikan sebagai tingkat kecemasan dari individu itu sendiri dalam jeda waktu yang relatif singkat (detik, menit, dan jam). Alasan mengapa peneliti hanya menggunakan state anxiety saja karena peneliti ingin melihat situasi kecemasan yang dialami responden pada saat responden mendeklarasikan orientasi seksual responden kepada orang-orang terdekat.
2.1.4 Dampak Menurut Semiun (2006) dampak dari kecemasan dapat dibagi menjadi beberapa simtom, antara lain: a. Simtom Suasana Hati Individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman dan bencana yang mengancam dari suatu sumber tertentu yang tidak di ketahui. Orang yang mengalami kecemasan tidak bisa tidur, dan dengan demikian dapat menyebabkan sifat mudah marah. b. Simtom Kognitif Kecemasan dapat menyebabkan kekhawatiran dan keprihatinan pada individu mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan yang mungkin terjadi. Individu tersebut
9 tidak memperhatikan masalah-masalah real yang ada, sehingga individu sering tidak bekerja atau belajar secara efektif, dan akhirnya dia akan menjadi lebih merasa cemas. c. Simtom Motor Orang-orang yang mengalami kecemasan sering merasa tidak tenang, gugup, kegiatan motor menjadi tanpa arti dan tujuan, misalnya jari-jari kaki mengetukngetuk, dan sangat kaget terhadap suara yang terjadi secara tiba-tiba. Simtom motor merupakan gambaran rangsangan kognitif yang tinggi pada individu dan merupakan usaha untuk melindungi dirinya dari apa saja yang dirasanya mengancam. 2.2 Psychological Well-Being 2.2.1 Definisi Sebuah konsep dinamis yang mencakup dimensi-dimensi subjektif, sosial, dan psikologi, dimana memiliki keterkaitan yang erat dengan health behavior.Skala PWB yang dikemukakan Ryff ini merupakan sebuah instrumen teoritis yang secara spesifik berfokus pada mengukur beberapa segi atau dimensi dari psychological well-being (Seiffert, 2005). Terdapat enam dimensi yang dikemukakan oleh Ryff, antara lain: •
Self acceptance, sebuah sikap positif pada diri sendiri dan masa lalu dari individu itu sendiri. Memiliki sebuah sikap positif pada diri sendiri, serta mengakui dan menerima berbagai aspek dalam diri termasuk aspek positif maupun negatif.
•
Positive relations with others, hubungan dengan orang lain yang berkualitas tinggi dan memuaskan. Pribadi yang memiliki hubungan sosial yang hangat, memuaskan dan saling mempecayai satu sama lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, memiliki rasa empati, afeksi, dan keintiman yang kuat, serta memahami maksud dari give and take dalam suatu hubungan.
•
Autonomy, kepercayaan diri dalam mengemukakan opini atau pendapat. Menentukan seorang individu yang mandiri, dapat menahan diri dari tekanan sosial untuk berpikir dan melakukan suatu hal, mengatur perilaku dari dalam diri, serta mampu mengevaluasi diri sendiri.
•
Purpose in life, sudah memiliki pehamaman sendiri mengenai tujuan hidup dari individu itu sendiri. Terarah dalam aspek kehidupannya, merasa bahwa setiap perjalanan hidup,
10 masa lalu maupun masa depan, memiliki arti tersendiri, memegang keyakinan bahwa hidup memiliki tujuan tertentu, serta memiliki pandangan jauh ke depan. •
Environmental mastery, menyadari bahwa diri individu itu sendiri memiliki tanggung jawab pada setiap situasi yang dijalani. Individu memiliki kemampuan dan kompetensi dalam mengelola lingkungan, mengontrol berbagai macam aktifitas eksternal yang rumit, mampu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, serta mampu memilih dan menciptakan suasana yang sesuai dengan nilai-nilai maupun norma-norma di sekitarnya.
•
Personal growth, senang akan pengalaman-pengalaman baru dengan pemikiran bahwa setiap pengalaman memiliki tantangan yang dapat meningkatkan kualitas dalam hidup. Individu merasa bahwa perkembangan itu terus terjadi, melihat dirinya sebagai sesuatu yang tumbuh dan berkembang, terbuka pada setiap pengalaman baru, memiliki kesadaran akan potensi diri, melihat kemajuan pada diri dan perilaku sepanjang waktu, serta melihat bahwa terjadinya perubahan merupakan suatu hal yang dapat merefleksikan pengetahuan diri dan keefektivitasan yang lebih (Seiffert, 2005).
2.3 Gay 2.3.1 Definisi Ketertarikan secara romantis maupun seksual kepada mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama, berbeda dengan heteroseksual (Lahey, 2009). Gay merupakan kata ganti untuk menyebut perilaku homoseksual. Homoseksualitas bukan hanya kontak seksual antara seseorang dengan orang lain yang memiliki jenis kelamin yang sama tetapi juga menyangkut individu yang memiliki kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial terhadap seseorang dengan jenis kelamin yang sama (Kendall dan Hammer,1998). 2.3.2 Peran Kaum gay masih tetap merasa dan menganggap dirinya sebagai laki-laki. Dalam mewujudkan seksualitasnya, ada yang bertindak sebagai pihak pasif / bottom (seperti peran perempuan dalam hubungan seksual) dan ada yang bertindak sebagai pihak aktif atau top (seperti peran laki-laki), tetapi masing-masing tetap menganggap diri sebagai laki-laki, baik secara fisik maupun psikis (Kristina, 2013).
11 2.3.3 Faktor Penyebab Menurut Lahey (2009), mengemukakan bahwa banyak psikolog kini mulai yakin bahwa pengalaman dalam pembelajaran sosial sangat penting dalam perkembangan homoseksualitas, tetapi hanya kombinasi beberapa faktor biologis yang penting. Beberapa penelitian telah memberikan bukti yang konsisten dengan hipotesis berikut ini: Twin studies berpendapat bahwa faktor-faktor genetik memiliki kemungkinan
•
untuk mempengaruhi beberapa individu untuk menjadi homoseksual (Eckert dll., 1986; Kendler dll., 2000). Jika satu dari sepasang anak kembar merupakan seorang homoseksual, maka besar kemungkinannya bagi yang lain untuk menjadi seorang homoseksual jika mereka merupakan sepasang kembar identik (mereka berbagi gen yang sama) daripada mereka yang kembar fraternal (pembagian gen setengah dengan sama rata). •
Terdapat sebuah bukti bahwa level-level hormon seks yang tidak normal selama masa perkembangan prenatal meningkatkan kemungkinan menjadi homoseksual (Lippa, 2003; Meyer-Bahlburg dll., 1995).
•
Banyak penelitian mengindikasikan bahwa pria homoseksual biasanya memiliki saudara kandung pria lebih dari satu (e.g., Blanchard dll., 1996a, 1996b; Bogaert, 2003). Karena anak pria terakhir memiliki level testosteron prenatal yang lebih rendah (Blanchard dll., 1996), hal ini dapat menggambarkan pengaruh hormonal pada pria homoseksual. Menariknya, bagaimanapun, urutan kelahiran dan persentase dari saudara pria ataupun wanita rupanya tidak berkaitan terhadap kemungkinan pada wanita yang homoseksual (Bogaert, 1998).
•
Terdapat bukti konsisten bahwa homoseksual dan heteroseksual berbeda secara area hipotalamus dan struktur otak yang pada dasarnya berbeda diantara pria dengan wanita (Allen & Gorski, 1992; LeVay, 1991; Swaab & Hofman, 1990, 1995). Jadi, struktur otak homoseksual lebih menyerupai struktur otak individu heteroseksual dari jenis kelamin berbeda daripada struktur otak dari jenis kelamin individu itu sendiri.
12 2.4 Coming Out 2.4.1 Definisi Proses individu dalam mengetahui, menerima, dan mengekspresikan secara terbuka mengenai kecenderungan homoseksualnya (Crooks & Baur, 1983). 2.4.2 Tahapan Sebuah model dengan dukungan empiris yang cukup, menjelaskan proses pengintegrasian identitas dari homoseksual menjadi sebuah konsep diri dengan membaginya menjadi lima tahapan (Brady & Busse, 1994; Cass, 1979; Sophie, 1985), yakni: •
Identity confusion (kebingungan identitas), pada tahapan ini individu mulai mempertanyakan kesuciannya. Individu mulai sadar akan gejala-gejala psikiatris dan merasa terasingkan dari populasi ‘normal’.
•
Comparison (perbandingan), lambat laun individu pada situasi ini mulai belajar untuk mentolerir identitas barunya dan mencari individu lain yang memiliki gejala yang sama dengan mereka.
•
Identity acceptance (penerimaan diri), tahapan dari pengembangan diri, individu mulai membuka diri pada orang lain yang dianggap dapat dipercaya. Kekhawatiran dan ketakutan akan gejala penyakit jiwa dapat tergantikan dengan penerimaan atau harga diri.
•
Immersed (pembenaman), beberapa mulai membenamkan diri atau dengan kata lain mengikuti terapi-terapi dalam kelompok (Frese & Davis, 1997; Trainor dll., 1997). Selain itu, terdapat penolakan dari nilai-nilai budaya yang dominan, hal ini merujuk pada sebuah gerakan yang disebut dengan gerakan anti-psikiatri (Crossley, 1998).
•
Identity synthesis (perpaduan identitas), pada akhirnya kebanggaan diri pada tahapan immersed kemudian mulai tergantikan oleh perpaduan identitas yakni identitas individu yang pada awalnya dianggap sebagai penyakit jiwa menjadi salah satu aspek dari identitas individu itu sendiri.
2.4.3 Keuntungan & Kerugian Menurut Corrigan dan Matthews (2003), terdapat beberapa keuntungan dan kerugian dalam mengungkapkan diri sebagai homoseksual, antara lain:
13 Keuntungan
Kerugian
Psychological well-being,
Kemungkinan besar untuk melakukan aktivitas menyakiti
-
Meningkatnya self esteem.
-
Berkurangnya tingkat distress.
diri sendiri.
Mengurangi perilaku yang berisiko.
Dijauhi atau diabaikan dari lingkungan sosial.
Memfasilitasi hubungan pribadi.
Tidak diterimanya di dalam lingkungan sosial.
Meningkatkan keterikatan dengan
Berkurangnya self-
lembaga tempat kita bekerja, sekolah
consciousness serta self-
atau lainnya (seperti lebih aktif atau
fulfilling.
rajin mengikuti kegiatan di institusi tersebut). Tabel 2.1 Keuntungan dan kerugian proses coming out. 2.5 Kerangka Berpikir Gay yang coming out
Anxiety dalam menghadapi
Psychological Well-Being
respon dari orang terdekat
Semakin maraknya fenomena gay di negara-negara berkembang memunculkan pemikiran bagi peneliti untuk melakukan penelitian ini. Salah satu fenomena yang muncul di permukaan yakni mulai banyaknya atau maraknya para gay yang melakukan coming out of the closet atau yang biasa disebut dengan kesadaran diri atau pengakuan seseorang kepada publik atau orang lain mengenai orientasi seksual yang dimiliki (Fransisca, M., 2009). Coming out sendiri merupakan suatu tahapan dalam penerimaan diri sendiri, yang akhirnya nanti akan berdampak pada kehidupan dari diri individu itu sendiri. Dalam proses ini terdapat banyak hal yang harus dipertimbangkan sehingga
14 nantinya akan mempengaruhi apakah seorang gay tersebut dapat melanjutkan hidupnya ke tahapan yang lebih baik atau mungkin lebih buruk. Adanya nilai heteronormatif di negara Indonesia yang kemudian memunculkan suatu rasa kecemasan tersendiri pada gay yang memiliki keputusan untuk melakukan coming out pada orang-orang terdekatnya. Rasa cemas akan adanya penolakan, pelecehan, penganiayaan, pengasingan dan lain sebagainya yang biasanya akan dilakukan oleh orang terdekat atau para homofobik dan biasanya bukan dalam intensitas dan frekuensi yang kecil saja, namun tidak sedikit yang melakukannya dalam skala yang cukup besar. Rasa cemas dalam menghadapi respon dari orang terdekat tersebutlah yang menggiring seseorang untuk mengurungkan niatnya dalam melakukan coming out, namun biasanya mereka yang pada akhirnya tidak jadi melakukan hal tersebut, akan menjalani hidup dengan rasa was-was, gelisah dan memungkinkan untuk melakukan penarikan diri dari lingkungan. Semakin tinggi kecemasan dalam menghadapi respon dari orang terdekat maka semakin rendah kesejahteraan psikologis seorang pria gay yang telah coming out. Penelitian internasional menunjukkan bahwa anak muda homoseksual menunjukkan kecenderungan lebih besar untuk depresi dan mengalami kecemasan. Risiko lain yang terkait dengan permasalahan ini adalah perilaku menyakiti diri sendiri (Self Injuring Behaviour), dan keinginan bunuh diri (Raja, et al., 2008; Pachankis, Goldfried, & Ramrattan, 2008; Almeida, Johnson, Corliss, Molnar, & Azrael, 2009; Plöderl, Kralovec, & Fartacek, 2010; Shenkman & Shmotkin, 2011, dalam Jose, et al., 2012). Bukan hanya dampak negatif yang dapat dirasakan oleh mereka yang telah melakukan tahapan ini, dampak positif juga dapat dirasakan merujuk pada kesejahteraan psikologis individu. Dampak positif yang didapatkan oleh seorang gay yakni berpengaruh pada psychological well-being mereka dengan meningkatnya self esteem serta berkurangnya tingkat distress, mengurangi perilaku yang berisiko, memfasilitasi hubungan pribadi, dan meningkatkan keterikatan dengan lembaga tempat kita bekerja, sekolah atau lainnya (seperti lebih aktif atau rajin mengikuti kegiatan di institusi tersebut) (Corrigan dan Matthews, 2003). Mereka yang telah melewati tahap ini akan merasakan kedamaian dalam diri sehingga dapat dengan mudah berinteraksi dalam lingkungan sosialnya. Setidaknya mereka merasa lebih lepas dan lega dalam menerima dirinya sendiri.
15
2.6 Asumsi
• Ho : -
Tidak terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan psychological well-being pada pria gay yang telah coming out.
-
Tidak terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi environmental mastery pada psychological well-being pada pria gay yang telah coming out.
-
Tidak terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi personal growth pada psychological well-being pada pria gay yang telah coming out.
-
Tidak terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi positive relation with others pada psychological well-being pada pria gay yang telah coming out.
-
Tidak terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi purpose in life pada psychological well-being pada pria gay yang telah coming out.
-
Tidak terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi self-acceptance pada psychological well-being pada pria gay yang telah coming out.
• Ha : -
Terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan psychological well-being pada pria gay yang telah coming out.
-
Terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi autonomy pada psychological well-being pada pria gay yang telah coming out.
16 -
Terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi environmental mastery pada psychological well-being pada pria gay yang telah coming out.
-
Terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi personal growth pada psychological well-being pada pria gay yang telah coming out.
-
Terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi positive relation with others pada psychological well-being pada pria gay yang telah coming out.
-
Terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi purpose in life pada psychological well-being pada pria gay yang telah coming out.
-
Terdapat hubungan antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan dimensi self-acceptance pada psychological well-being pada pria gay yang telah coming out.